Senin, 29 November 2010

CHAPTER 11: DAPHNE’S TURN

Rumah tampak begitu sibuk. Semua orang berseliweran, berjalan ke sana ke mari.
Segalanya tampak ramai. Persiaapan yang amat bik untuk acara pelepasan Kepingan
Waktu dari tubuh seorang gadis sepertiku.

Aku merasa amat tegang. Aku terpaksa harus melakuka ini. Aku tak mau melakukan poses
ini. Tapi lebih baik mengikuti arus semua temanku dan menurut untuk engikuti proses
ini. Aku belum mau mati karena perbuatan Gyle.

“Daphne,” panggil Laurel, “kau sudah siap?”

“Kalau mau jujur, belum,” jawabku tegang. “Tapi tak apa. Lakukanlah.”

Laurel tersenyum. “Tak apa. Ini bukanlah ujian, hanya proses kecil. Tapi,” Laurel
tampak gelisah, “mungkin kau akan merasa sedikit kesakitan.”

Aku menggeleng. “Tak apa. Lebih baik begitu. Asalkan tato ini bisa lepas. Jadi aku
tak akan dikejar-kejar Gyle lagi. Meskipun rasanya sayang,” tambahku dengan wajah
sedih.

Laurel tertawa. “Aku bisa mengerti kenapa kau merasa sayang. Tato itu memang bagus
sekali.”

“Tapi membawa petaka,” keluhku sedih.

Laurel tertawa. “Lupakan soal itu. Sekarang saatnya untuk melepaskannya dari
tubuhmu, oke?”

Aku mengangguk. “Oke. Aku sudah siap.”

*

Aku dduduk menunduk seperti seorang anak kecil yang sedang merenung. Rambutku
kujepit tinggi-tinggi dan kusampirkan di bahuku, jadi tengkukku terbuka. Tato itu
tampak amat jelas di tengkukku.

“Rasa sakit ini mungkin akan membuatmu pingsan, Daph,” kata James.

Aku menean ludah. “Tak apa. Lakukan.”

“Daph…”

“Tak apa, Jason,” kataku. “Ini keputusanku. Aku tak mau kau kehilangan ingatanmu
lagi. Aku tak mau Gyle gila itu mengejar-ngejarku lagi.”

Jason tersenyum. “Kautlah, adikku,” katanya.

“Ayo, semuanya,” kata Laurel. “Keluarkan kekuatan kalian. Tunggu, Argus! Kau janga
ikut mengeluarkan kekuatanmu!”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Dia dan Gyle punya jenis kemampuan yang sama,” jawab James. “Pencuri kemampuan.”

“Whoa!” kata Theo kagum.

“Dasar bodoh,” Thalia menutup wajah dengan sebelah tangan. “Ini bukan saatnya kagum…”

“Bisakah kita fokus?” katau kesal. “Gyle bisa muncul kapan saja sekarang.”

“Oh, baiklah,” kata Erato. “Semua siap?”

“Yang jelas aku siap,” kata Ares santai.

“Tak ada yang menanyaimu,” kata Calypso. “Ayo.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Inilah saatnya.

Semua orang kecuali Argus dan aku segera mengerahkan kekuatan mereka masing-
masing.dalam sekejap, waktu di dalam rumahku serasa bercampur, tak jelas masa lalu
atau masa depan. Semua peralatan seperti pisau berubah membesar, menjadi pedang atau
tombak. Garpu berubah jadi trisula, sendok berubah jadi perisai. Segala elemen bagai
berusaha menguasai rumah. Angin mengamuk, air bergejolak, api menari-nari, tanah
bergetar. Musik mengalun lembut, terasa menguatkan dan memantapkan kekuatan masing-
masing. Suatu tekanan di udara seakan memaksa semua orang unutk berusaha lebih
keras, kehendak dari Calypso seperti ditekan di tengah ruangan. Potongan-potogan
kejadian di masa depan tampak menari-nari di depanku. Dan aku bisa mendengar pikiran
tiap orang, sama seperti tiap orang kini bisa mendengar pikiran yang lain.

“Awas, Daph,” kata James, “hampir saatnya.”

Hampir saatnya.

Dia bilang hampir saatnya, tapi tepat sedetik setelah kata-kata itu meluncur keluar
dari bibirnya, rasa sakit luar biasa menyerang tengkukku. Aku menjerit keras.

“Tahan, Daphne!” seru Argus. “Jangan menjerit! Suaramu akan mengirim pergi tenaga
yang digunakan untuk melepas tato itu!”

Aku menggigit bibir, menahan jerit seperti suruhan Argus. Sakit sedikit, katanya?
Apaan, ini sih sakitnya setengah mati!

Aku menarik nafas alam-dalam dan menghembuskannya perlahan, menahan sakit. Seluruh
tubuhku gemetaran menahan sakit. Jantungku berdetak dalam dentuman tak keruan, tak
jelas polanya. Nafasku mulai kacau dalam usahaku menahan jerit. Terlalu sakit.
Terlalu menyiksa. Sakit sekali. Kenapa terasa sesakit ini?

Ada sesatu yang terasa menggelitik di tengkukku. Tepat di tempat tato itu berada.
Gelitikan lembut, manis, yang di saat bersamaan terasa menyakitkan. Aku menyadari
kalau ada sesuatu yang terjadi pada tatoku… pada Kepingan Waktu itu.

“Ini…” bisikku serak, masih berusaha menahan jerit.

“Sssh!” desis Argus.

Gelitikan aneh di tengkukku itu menghilang. Tapi rasa sakitnya menguat. Aku tak bisa
menahannya lagi. Aku menjerit keras.

“Daphne!”

Mendadak rasa sakit itu menghilang. Jeritanku terhenti, digantikan oleh desah
kesakitan. Aku masih terengah. Kelelahan, aku terjatuh.

“Sudah selesai,” terdengar suara sama di belakangku.

Aku menoleh dengan tubuh gemetaran. Laurel ada di sana, cahaya keemasan
mengelilinginya. Tatoku, Keping Waktu, kini tampak amat besar, lebih besar dari
Laurel yang membawa jam pasirnya yang berpendar kebiruan. Kini kedua pendaran cahaya
itu, dari Kepingan Waktu dan jam pasir Laurel, tampak seperti menyatu. Lambang
Kepingan Waktu itu perlahan mengecil dan menempel di jam pasir Laurel. Mendadak jam
pasir itu bersinar, berpendarr dalam cahaya segala warna, keemasan sekaligus
keperakan.

Pandanganku mulai mengabur. Aku terlalu lelah. Aku memejamkan mata dan terjatuh
dalam ketidaksadaran.

*

Aku terbangun karena suara teriakan di sekitarku. Au membuka mata dan memandang
sekeliling.

Seketika aku mengerti kenapa semuanya ribut. Gyle ada di sini.

“Apa…?” kataku kaget.

“Daph, berdiri di belakangku!” seru Jason yang kini ada di hadapanku.

“Ada apa ini?” tanyaku sambil bangkit berdiri. “Kenapa Gyle ada di sini?”

“Mana kutahu?!” seru Jason kesal. “Dia datang tepat setelah kau pingsan! Mendadak
muncul di tengah ruangan! Sial, saat kita semua lelah seperti ini…”

“Tepat setelah – tunggu. Sudah berapa lama aku pingsan?”

“Hanya lima menit.”

“Baguslah,” kataku, “Berarti aku tidak ketinggalan banyak.”

Jason melongo. “Daph, memang kau ini haus darah dan aku ketinggalan banyak atau
bagaimana?”

Aku nyengir lebar. “Kau ketinggalan banyak!”

Jason membuka mulut. Percakapannya denganku membuatnya menjadi tak fokus dengan
keadaan di sekitarnya. Mendadak ia terlempar ke sampig.

“Jason!” seruku kaget. Makin kaget lagi saat menyadari kalau Gyle sudah ada di
depanku.

“Kenapa?” tanyanya dengan nada kalut. “Kenapa kau menyerahkannya pada Laurel?”

Aku ternganga. “Menyerahkan apa…?”

“Kepingan Waktu.”

“Menyerahkan? Apa – “

Mendadak, tanpa mengatakan atau membiarkanku mengatakan apapun lagi, Gyle menyaambar
piggangku dan memudar, membawaku bersamanya. Jason berteriak memangilku, begitu pula
semua teman-temanku, dan mereka berusaha menjangkauku untuk menariku kembali. Jason,
seperti biasa, berhasil menggenggam tanganku, tapi tetap terlambat.

Dengan membawaku dan Jason bersamanya, Gyle kembali pergi ke kastilnya.

*

“Sakit!!!” pekikku kesal. “Kenapa kau selalu membawau dengan cara seperti itu?! Itu
perjalanan terburuk yang pernah kulakukan!”

Jason di sebelahku terbatuk. “Astaga. Aku mual. Kurasa aku mabuk…”

Tak mempedulikan ucapan kami berdua, Gyle melesat dan mengguncang bahuku.

“Kenapa kau memberikannya pada Laurel?!”serunya kalut. “Kenapa?! Apa kau tidak sadar
seberapa berbahayaya dia?!”

“Berbahaya apa?!” seruku balik. “Dia pecahanku! Tak ungki dia – “

“Dia pecahanmu bukan berarti kau mengenalnya sebaik aku mengenalnya! Aku pamannya!
Keluarganya!”

Aku terdiam. Nada kalut Gyle mulai membuatku merasa gugup. Ada apa ini? Kenapa dia
sepanik ini? Ada masalah apa sebenarnya kalau Kepingan Waktu jatuh ke tangan Laurel?
Bukankah dia Penjaga Waktu?

“Well, yang dipikirkan Daphne ada benarnya juga,” kata Jason. “Memangnya kenapa
kalau Laurel punya Kepingan Waktu?”

“Itu memang benr dia Penjaga Jam Pasir Waktu,” kata Gyle, “tapi dia bukanlah penjaga
terbaik. Malah, dialah penjaga terburuk yang pernah ada. Tugasnya adalah melindungi
waktu, tapi ia malah lebih tertarik untuk menguasai waktu. Ia mengumpulkan semua
Keping Waktu dan menjadikannya satu dalam jam pasirnya, tapi untungnya aku berhasil
mengirimkan Keping Masa Depan ke pecahannya yang ada di dimensi waktu lain. Kukira
dia tak akan mengusik pecahannya karena itu terlalu beresiko baginya, tapi aku
salah.” Gyle menggigit bibir. “Dia tetap ke sini.”

“Tunggu…” kataku bingung. “Aku tak paham. Kenapa dia ingin menguasai waktu?”

“Dia yang menguasai waktu bisa menjadi Tuhan,” kata Gyle lagi. “Dunia bisa hancur.
Waktumu, Daphne, bisa dipercepatnya sampai kau mati. Atau diputarbalikkan sampai
sebelum kau lahir. Atau malah dihentikan sama sekali. Kehadiran dan esensi orang
tergantung pada waktu. Sekali waktu berubah, segalanya berubah. Tak ada orang dari
keluarga kami yang cukup bodoh untuk mencoba menguasai waktu. Kecuali Laurel.”

“Kau serius?” tanya Jason. “Kau mengatakan kebenarannya?”

“Tatap mataku dan katakan kalau kau menemukan kebohongan di dalam sana,” kata Gyle
tegas. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Untuk apa aku berbohong soal ini?”

“Tapi kalau kau memang mengatakan yang sebenarnya, kenapa kau tidak mengatakannya
dari dulu?” tanyaku heran. “Dan mengapa mempengaruhi Jason untuk melakukan apa yang
kaumau?”

“Karena aku tahu kalian tak akan mempercayaiku!” seru Gyle. “Karena aku tahu bila
Jason tidak kupengaruhi dia akan berpihak juga pada Laurel! Karena aku tahu tanpa
ini aku akan gagal!”

“Tapi – “

“Aku tak mau mendengar kata tapi,” potong Gyle. “Itulah kebenarannya.”

Aku diam. Gyle benar. Aku pastti akan mempercayai Laurel, bukan dia. Tapi sekarang,
aku merasa tak yakin. Apa Laurel memang orang baik? Apa Gyle memang tak bisa
dipercaya? Tapi ceritanya terasa masuk akaldan mungkin terjadi. Tapi…

“Aku tahu kalian bimbang,” kata gyle, “karena itu sebaiknya kalian pergi dan
pastikan sendiri.”

Gyle mulai memudar. Aku dan Jason tersentak, dan, bebarengan, kami berusaha
meraihnya sambil berteriak, “Tunggu!”

Segera, tubuh kami ikut memudar dan kami menghiang dari tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar