Senin, 29 November 2010

CHAPTER 11: DAPHNE’S TURN

Rumah tampak begitu sibuk. Semua orang berseliweran, berjalan ke sana ke mari.
Segalanya tampak ramai. Persiaapan yang amat bik untuk acara pelepasan Kepingan
Waktu dari tubuh seorang gadis sepertiku.

Aku merasa amat tegang. Aku terpaksa harus melakuka ini. Aku tak mau melakukan poses
ini. Tapi lebih baik mengikuti arus semua temanku dan menurut untuk engikuti proses
ini. Aku belum mau mati karena perbuatan Gyle.

“Daphne,” panggil Laurel, “kau sudah siap?”

“Kalau mau jujur, belum,” jawabku tegang. “Tapi tak apa. Lakukanlah.”

Laurel tersenyum. “Tak apa. Ini bukanlah ujian, hanya proses kecil. Tapi,” Laurel
tampak gelisah, “mungkin kau akan merasa sedikit kesakitan.”

Aku menggeleng. “Tak apa. Lebih baik begitu. Asalkan tato ini bisa lepas. Jadi aku
tak akan dikejar-kejar Gyle lagi. Meskipun rasanya sayang,” tambahku dengan wajah
sedih.

Laurel tertawa. “Aku bisa mengerti kenapa kau merasa sayang. Tato itu memang bagus
sekali.”

“Tapi membawa petaka,” keluhku sedih.

Laurel tertawa. “Lupakan soal itu. Sekarang saatnya untuk melepaskannya dari
tubuhmu, oke?”

Aku mengangguk. “Oke. Aku sudah siap.”

*

Aku dduduk menunduk seperti seorang anak kecil yang sedang merenung. Rambutku
kujepit tinggi-tinggi dan kusampirkan di bahuku, jadi tengkukku terbuka. Tato itu
tampak amat jelas di tengkukku.

“Rasa sakit ini mungkin akan membuatmu pingsan, Daph,” kata James.

Aku menean ludah. “Tak apa. Lakukan.”

“Daph…”

“Tak apa, Jason,” kataku. “Ini keputusanku. Aku tak mau kau kehilangan ingatanmu
lagi. Aku tak mau Gyle gila itu mengejar-ngejarku lagi.”

Jason tersenyum. “Kautlah, adikku,” katanya.

“Ayo, semuanya,” kata Laurel. “Keluarkan kekuatan kalian. Tunggu, Argus! Kau janga
ikut mengeluarkan kekuatanmu!”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Dia dan Gyle punya jenis kemampuan yang sama,” jawab James. “Pencuri kemampuan.”

“Whoa!” kata Theo kagum.

“Dasar bodoh,” Thalia menutup wajah dengan sebelah tangan. “Ini bukan saatnya kagum…”

“Bisakah kita fokus?” katau kesal. “Gyle bisa muncul kapan saja sekarang.”

“Oh, baiklah,” kata Erato. “Semua siap?”

“Yang jelas aku siap,” kata Ares santai.

“Tak ada yang menanyaimu,” kata Calypso. “Ayo.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Inilah saatnya.

Semua orang kecuali Argus dan aku segera mengerahkan kekuatan mereka masing-
masing.dalam sekejap, waktu di dalam rumahku serasa bercampur, tak jelas masa lalu
atau masa depan. Semua peralatan seperti pisau berubah membesar, menjadi pedang atau
tombak. Garpu berubah jadi trisula, sendok berubah jadi perisai. Segala elemen bagai
berusaha menguasai rumah. Angin mengamuk, air bergejolak, api menari-nari, tanah
bergetar. Musik mengalun lembut, terasa menguatkan dan memantapkan kekuatan masing-
masing. Suatu tekanan di udara seakan memaksa semua orang unutk berusaha lebih
keras, kehendak dari Calypso seperti ditekan di tengah ruangan. Potongan-potogan
kejadian di masa depan tampak menari-nari di depanku. Dan aku bisa mendengar pikiran
tiap orang, sama seperti tiap orang kini bisa mendengar pikiran yang lain.

“Awas, Daph,” kata James, “hampir saatnya.”

Hampir saatnya.

Dia bilang hampir saatnya, tapi tepat sedetik setelah kata-kata itu meluncur keluar
dari bibirnya, rasa sakit luar biasa menyerang tengkukku. Aku menjerit keras.

“Tahan, Daphne!” seru Argus. “Jangan menjerit! Suaramu akan mengirim pergi tenaga
yang digunakan untuk melepas tato itu!”

Aku menggigit bibir, menahan jerit seperti suruhan Argus. Sakit sedikit, katanya?
Apaan, ini sih sakitnya setengah mati!

Aku menarik nafas alam-dalam dan menghembuskannya perlahan, menahan sakit. Seluruh
tubuhku gemetaran menahan sakit. Jantungku berdetak dalam dentuman tak keruan, tak
jelas polanya. Nafasku mulai kacau dalam usahaku menahan jerit. Terlalu sakit.
Terlalu menyiksa. Sakit sekali. Kenapa terasa sesakit ini?

Ada sesatu yang terasa menggelitik di tengkukku. Tepat di tempat tato itu berada.
Gelitikan lembut, manis, yang di saat bersamaan terasa menyakitkan. Aku menyadari
kalau ada sesuatu yang terjadi pada tatoku… pada Kepingan Waktu itu.

“Ini…” bisikku serak, masih berusaha menahan jerit.

“Sssh!” desis Argus.

Gelitikan aneh di tengkukku itu menghilang. Tapi rasa sakitnya menguat. Aku tak bisa
menahannya lagi. Aku menjerit keras.

“Daphne!”

Mendadak rasa sakit itu menghilang. Jeritanku terhenti, digantikan oleh desah
kesakitan. Aku masih terengah. Kelelahan, aku terjatuh.

“Sudah selesai,” terdengar suara sama di belakangku.

Aku menoleh dengan tubuh gemetaran. Laurel ada di sana, cahaya keemasan
mengelilinginya. Tatoku, Keping Waktu, kini tampak amat besar, lebih besar dari
Laurel yang membawa jam pasirnya yang berpendar kebiruan. Kini kedua pendaran cahaya
itu, dari Kepingan Waktu dan jam pasir Laurel, tampak seperti menyatu. Lambang
Kepingan Waktu itu perlahan mengecil dan menempel di jam pasir Laurel. Mendadak jam
pasir itu bersinar, berpendarr dalam cahaya segala warna, keemasan sekaligus
keperakan.

Pandanganku mulai mengabur. Aku terlalu lelah. Aku memejamkan mata dan terjatuh
dalam ketidaksadaran.

*

Aku terbangun karena suara teriakan di sekitarku. Au membuka mata dan memandang
sekeliling.

Seketika aku mengerti kenapa semuanya ribut. Gyle ada di sini.

“Apa…?” kataku kaget.

“Daph, berdiri di belakangku!” seru Jason yang kini ada di hadapanku.

“Ada apa ini?” tanyaku sambil bangkit berdiri. “Kenapa Gyle ada di sini?”

“Mana kutahu?!” seru Jason kesal. “Dia datang tepat setelah kau pingsan! Mendadak
muncul di tengah ruangan! Sial, saat kita semua lelah seperti ini…”

“Tepat setelah – tunggu. Sudah berapa lama aku pingsan?”

“Hanya lima menit.”

“Baguslah,” kataku, “Berarti aku tidak ketinggalan banyak.”

Jason melongo. “Daph, memang kau ini haus darah dan aku ketinggalan banyak atau
bagaimana?”

Aku nyengir lebar. “Kau ketinggalan banyak!”

Jason membuka mulut. Percakapannya denganku membuatnya menjadi tak fokus dengan
keadaan di sekitarnya. Mendadak ia terlempar ke sampig.

“Jason!” seruku kaget. Makin kaget lagi saat menyadari kalau Gyle sudah ada di
depanku.

“Kenapa?” tanyanya dengan nada kalut. “Kenapa kau menyerahkannya pada Laurel?”

Aku ternganga. “Menyerahkan apa…?”

“Kepingan Waktu.”

“Menyerahkan? Apa – “

Mendadak, tanpa mengatakan atau membiarkanku mengatakan apapun lagi, Gyle menyaambar
piggangku dan memudar, membawaku bersamanya. Jason berteriak memangilku, begitu pula
semua teman-temanku, dan mereka berusaha menjangkauku untuk menariku kembali. Jason,
seperti biasa, berhasil menggenggam tanganku, tapi tetap terlambat.

Dengan membawaku dan Jason bersamanya, Gyle kembali pergi ke kastilnya.

*

“Sakit!!!” pekikku kesal. “Kenapa kau selalu membawau dengan cara seperti itu?! Itu
perjalanan terburuk yang pernah kulakukan!”

Jason di sebelahku terbatuk. “Astaga. Aku mual. Kurasa aku mabuk…”

Tak mempedulikan ucapan kami berdua, Gyle melesat dan mengguncang bahuku.

“Kenapa kau memberikannya pada Laurel?!”serunya kalut. “Kenapa?! Apa kau tidak sadar
seberapa berbahayaya dia?!”

“Berbahaya apa?!” seruku balik. “Dia pecahanku! Tak ungki dia – “

“Dia pecahanmu bukan berarti kau mengenalnya sebaik aku mengenalnya! Aku pamannya!
Keluarganya!”

Aku terdiam. Nada kalut Gyle mulai membuatku merasa gugup. Ada apa ini? Kenapa dia
sepanik ini? Ada masalah apa sebenarnya kalau Kepingan Waktu jatuh ke tangan Laurel?
Bukankah dia Penjaga Waktu?

“Well, yang dipikirkan Daphne ada benarnya juga,” kata Jason. “Memangnya kenapa
kalau Laurel punya Kepingan Waktu?”

“Itu memang benr dia Penjaga Jam Pasir Waktu,” kata Gyle, “tapi dia bukanlah penjaga
terbaik. Malah, dialah penjaga terburuk yang pernah ada. Tugasnya adalah melindungi
waktu, tapi ia malah lebih tertarik untuk menguasai waktu. Ia mengumpulkan semua
Keping Waktu dan menjadikannya satu dalam jam pasirnya, tapi untungnya aku berhasil
mengirimkan Keping Masa Depan ke pecahannya yang ada di dimensi waktu lain. Kukira
dia tak akan mengusik pecahannya karena itu terlalu beresiko baginya, tapi aku
salah.” Gyle menggigit bibir. “Dia tetap ke sini.”

“Tunggu…” kataku bingung. “Aku tak paham. Kenapa dia ingin menguasai waktu?”

“Dia yang menguasai waktu bisa menjadi Tuhan,” kata Gyle lagi. “Dunia bisa hancur.
Waktumu, Daphne, bisa dipercepatnya sampai kau mati. Atau diputarbalikkan sampai
sebelum kau lahir. Atau malah dihentikan sama sekali. Kehadiran dan esensi orang
tergantung pada waktu. Sekali waktu berubah, segalanya berubah. Tak ada orang dari
keluarga kami yang cukup bodoh untuk mencoba menguasai waktu. Kecuali Laurel.”

“Kau serius?” tanya Jason. “Kau mengatakan kebenarannya?”

“Tatap mataku dan katakan kalau kau menemukan kebohongan di dalam sana,” kata Gyle
tegas. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Untuk apa aku berbohong soal ini?”

“Tapi kalau kau memang mengatakan yang sebenarnya, kenapa kau tidak mengatakannya
dari dulu?” tanyaku heran. “Dan mengapa mempengaruhi Jason untuk melakukan apa yang
kaumau?”

“Karena aku tahu kalian tak akan mempercayaiku!” seru Gyle. “Karena aku tahu bila
Jason tidak kupengaruhi dia akan berpihak juga pada Laurel! Karena aku tahu tanpa
ini aku akan gagal!”

“Tapi – “

“Aku tak mau mendengar kata tapi,” potong Gyle. “Itulah kebenarannya.”

Aku diam. Gyle benar. Aku pastti akan mempercayai Laurel, bukan dia. Tapi sekarang,
aku merasa tak yakin. Apa Laurel memang orang baik? Apa Gyle memang tak bisa
dipercaya? Tapi ceritanya terasa masuk akaldan mungkin terjadi. Tapi…

“Aku tahu kalian bimbang,” kata gyle, “karena itu sebaiknya kalian pergi dan
pastikan sendiri.”

Gyle mulai memudar. Aku dan Jason tersentak, dan, bebarengan, kami berusaha
meraihnya sambil berteriak, “Tunggu!”

Segera, tubuh kami ikut memudar dan kami menghiang dari tempat itu.

Selasa, 23 November 2010

CHAPTER 10: JASON’S TURN

Aku menatap kedua orang itu. Daphne dan… pemuda itu. Siapa dia? Seingatku tadi
Schurke (Gyle, aku mengingatkan diri sendiri) memberitahuku siapa namanya. Argus.
Ya, Argus.

Keduanya berlari melewati lorong-lorong, berlari keluar dari kastil, menjauh dariku.

Aku menoleh dan berjalan menuju sel Daphne. Sel yang kini tinggal puing-puing karena
sudah dihancurkan Argus.

Kutemukan Gyle di sana, berbaring telentang, mata berkilat marah.

“Gyle…”

“Mana dua orang itu?”

“Entahlah.” Ini jujur karena aku toh tak tahu di mana mereka sekarang. Mungkin
terjebak dalam kastil. Mungkin sudah di luar. Entahlah.

Gyle mengeraskan rahang. Pikiran-pikirannya berseliweran dan terdengar olehku.

Kurang ajar.

Argus… anak sial! Dia menggunakan kemampuannya untuk mencuri kemampuan orang lain
untuk melumpuhkanku!

Kekebalan itu seharusnya menjadi milikku. Gadis itu tak pantas mendapatkannya.

Aku mengerjap. Whoa. Pikiran apa itu tadi? Sepertinya Argus menghajar Gyle dengan
serius tadi.

Gyle bangkit berdiri. Ia menatapku dengan matanya yang tampak tajam. Aku membalas
tatapannya dalam diam. Apa yang ingin dikatakannya?

“Aku tak berhasil membunuh gadis itu,” kata Gyle akhirnya. “Mereka kabur sebelum aku
sempat melakukannya. Kuberi tahu kau. Kau harus membawa gadis itu kembali. Tak harus
sampai membunuhnya. Yang penting aku bisa mendapatkannya.”

Aku hanya mengangguk. Lama kelamaan misi-misi Gyle jadi terasa aneh. Semuanya
tentang gadis itu, Daphne. Memangnya dia punya apa sampai Gyle begitu
menginginkannya? Apa sebenarnya yang seharusnya aku ketahui tapi tak kuketahui di
sini? Apa sebenarnya yang disembunyikan Gyle?

“Sekarang, Jason,” kata Gyle lagi. “Kau harus mencari gadis itu. Sekarang.
Sendirian. Aku tak akan ikut denganmu. Aku punya – “ Gyle meluruskan punggungnya
dengan wajah tersiksa “ – urusan yang harus diselesaikan. Sana pergi!”

*

Aku melangah menuju rumah itu lagi. Rumah yang ditunjukkan Gyle saat ia ingin aku
membunuh Daphne. Aku ingin tahu apa aku bisa menemukannya di dalam rumah ini lagi.

Mendadak serbuan gambaran muncul di kepalaku. Teriakan, jeritan, tawa. Semuanya
dalam nuansa bahagia. Senyum-senyum dan tawa-tawa senang bermunculan tanpa bisa kukendalikan.

Pintu rumah terbuka. Daphne berdiri di sana, senyum lebar terpampang di wajahnya,
tapi senyum itu perlahan menghilang saat ia melihatku.

“Jason…”

Aku hanya diam. Aku memandanginya dalam diam. Aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku tak tahu siapa dia. aku bahkan tak ada hubungan apapun dengannya.

“Kau akan mengingatku, Jason,” katanya tiba-tiba.

Aku tetap diam. “Aku tak bisa mengatakan apapun tentang itu,” kataku akhirnya. “Yang
jelas Gyle ingin aku membawamu padanya. Walau aku tak paham alasannya.”

Ia menatapku sedih. “Apakah harus?”

Aku mengangguk tegas. “Sayang jawabannya ‘ya’. aku sendiri juga tak mengerti. Dia
hanya memberiku perintah untuk membawamu. Hanya itu.”

“Tapi bagaimana kalau aku tak mau?”

Aku tak menjawab. Daphne mendesah kecil dan berjalan padaku. Menghampiriku. Ia
menatap mataku dalam-dalam.

“Kau harus ingat, Jason. Mungkin tak sekarang. Tapi nanti harus. Tetap ingat aku.
Mengerti?”

Kembali serbua gambaran menyergapku. Kini dalam gelombang ombak kesakitan yang
mendera kepalaku. Aku mengerang pelan. Daphne hanya mampu menatapku bingung.

“Aku benci ini,” keluhku pelan. Kedua tangannya mencengkram kepala dengan kuat. Aku
kesakitan. Apa yang kauharapkan dariku?

“Jason?”

Semua kenangan dan ingatan kembali melimpah ruah masuk ke dalam kepalaku. Daphne,
Ayah, Ibu, Calypso, Ares, segalanya. Juga tentang pemuda itu, James, yang kujumpai
dalam mimpiku. Segalanya.

Daphne tetap memandangiku dengan bingung. Kini dia tampak panik. Ia memanggil teman-
temannya dari dalam rumah.

Setelah beberapa lama segalanya kembali normal, setidaknya kondisi kepalaku berbalik
normal.

“Aw,” aku mendongak kembali, menggelengkan kepalaku dengan gerakan lembut. “Well,
itu menyakitkan. Cara sadis untuk mengingatkan kembali seseorang akan sesuatu yang
dilupakannya. Bukan salahku juga aku lupa, kan? Jadi, Daph, kau mau menyambut
kepulangan kakakmu di dalam agar aku bisa makan atau tetap berdiri di luar begini?”

Mata Daphne tampak bersinar. “Jason!”

Lalu, tanpa peringatan, ia memukuliku.

“Auw! Hei! Hentikan! Daph!”

“Kau pikir berapa lama aku mencemaskanmu?! Berapa lama aku menangis karena mengira
kakakku sudah benar-benar hilang?! kenapa kau tidak kembali dari tadi-tadi?!”

“Hei!” aku memprotes balik. “Kau pikir kondisiku enak?! Kau pikir berapa kali
ingatanku dikubur karena aku berusaha melindungimu?! Berapa kali aku merasakan
sakitnya proses itu saat diulang-ulang?! Berapa lama aku harus kebingungan akan
identitasku sendiri?! Yang merasa cemas itu tak hanya kau sendiri, aku juga
mencemaskan keadaanmu!”

Daphne memberiku satu bogem mentah lagi, lalu memelukku erat.

“Kalau sampai kau hilang lagi, kupastikan aku akan membunuhmu sendiri,” katanya
sadis.

“Ow… Daph, aku tidak bisa nafas…”

*

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan.

“James… bisakah kau membantuku?”

“Maaf, kawan. Sepertinya tidak.”

“Setidaknya bujuk dia. Aku mulai merasa risih di sini.”

“Yah… tapi sulit. Kau tahu sendiri bagaimana dia.”

Aku mendengus.

Akhirnya aku tak tahan lagi. “Calypso, menyingkir dari punggungku!”

Calypso tampak tersinggung. “Tapi kan aku baru…”

“Aku tak peduli, Kelli. Cepat menyingkir dari punggungku. Punggungku bukan batang
pohon tempat semua monyet bisa nergelantungan!”

Mata Calypso berkilat. “Jangan pernah panggil aku Kelli.”

“Stop…” kata Daphne tak sabar. “Hentikan pertengkaran dua sejoli ini sekarang juga.
Sekarang yang penting adalah masalah Gyle dan obsesinya terhadap Kepingan Waktu yang
ada padaku, oke? Aku tak mau mati muda karena perbuatannya itu!”

“Masalah itu juga disingkirkan dulu saja,” balasku sambil mendorong Calypso
jauh-jauh. “Yang jelas, apa sebenarnya Kepingan Waktu itu? Apa wujudnya?”

“Kemungkinan besar gambar abstrak,” jawab Laurel. “Tato. Tertempel pada kulit Daphne
dan tak akan bisa dilepas sebelum pengirimnya melepaskannya sendiri. Atau beberapa
pemilik kemampuan menggabungkan kekuatan untuk melepaskannya.”

Daphne tampak gelisah. Ia menyentuh tengkuknya dengan gerakan cepat seakan ingin
menyembunyikan sesuatu yang ada di sana. Aku segera menyingkirkan tangannya dan
mengintip ke balik helaian rambut dan kerah kemejanya.

“Daph,” kataku kemudian. “Lepas kemejamu.”

Daphne melotot ke arahku. “Piktor! Kau pikir ini di mana?! Aturan pertama dalam
rumah, dilarang berkata atau bertindak tidak senonoh!”

“Kau selalu menggunakan tank top di balik kemejamu!” protesku. “Kau sendiri sering
hanya menggunakan tank top tanpa kemeja!”

“Hanya di rumah!”

“Kau pikir di mana ini?!”

Daphne membuka mulut untuk bicara lagi, tapi menutupnya kembali. Lalu, dengan
diiringi gerutuan, ia membuka kemejanya. Aku membalikkan tubuhnya dan menyibakkan
rambutnya. Di tengkuknya ada gambar hitam abstrak, nyaris tak terlihat di balik
tirai rambut yang menutupinya.

“Daphne,” kataku galak, “kapan kau membuat tato ini?”

“Tiga minggu yang lalu.”

“Jadi ini alasanmu meminta tambahan uang?! Tunggu sampai ayah dan ibumu tahu!”

“Jason!”

“Apa?”

“Itu… ah, sudahlah!”

Theo menyibakkan rambut Daphne lagi. “Whoa! Tato yang bagus, Daph. Di mana kau
membuatnya? Aku juga mau!”

Aku memelototi Theo dan dia segera mengubah kalimatnya.

“Ups, maksudku… urm, di mana? Mungkin yang membuat tahu apa arti tato itu…”

Daphne menggeleng. “Dia tak tahu. Saat melihat tato ini aku langsung merasa jatuh
cinta, karena itu aku segera menanyakan pada pembuat tatonya apa arti tato ini. Tapi
dia tak tahu. Dia hanya bilang dia mendapatkannya dari seorang pengelana tua. Hanya
itu.”

James mengangkat bahu. “Masalah yang sedikit merepotkan.”

“Sangat,” ralat Laurel.

“Hebat,” kata Thalia. “Tato ini keren sekali… yang membuatnya pasti berbakat.”

“Dan cerdas,” timpal Calypso. “Kalau tidak tak akan jadi sebagus ini.”

“Aku ingin tahu, apa orang itu bisa membuatkanku tato sayap abstrak,” kata Erato
dengan mata menerawang.

“Dasar tukang mimpi,” ejek Theo.

“Dan hiu untukmu, Theo.”

“Oh. Baiklah. Kutarik kata-kataku.”

Thalia tertawa. “Kalian ini. Sekarang bukan saatnya bicara tentang tato, bukan?”

“Memang bukan,” jawab Erato dan Theo bersamaan.

“Apa ini, ribut-ribut…?”

Aku menoleh. Seorang pemuda berambut merah acak-acakan menatap kami semua dengan
pandang kesal dan mengantuk. Argus.

“Bangun juga kau akhirnya, Argus,” kata Daphne.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Argus lagi.

“Bukan apa-apa,” jawab James ketus. “Hanya masalah Kepingan Waktu.”

“Kepingan Waktu bukan ‘hanya’,” kata Laurel. “Kita harus melepaskannya dari tengkuk
Daphne.”

“Caranya?”

“Gabungkan kekuatan kita semua,” kata Laurel mantap. “Dan kita akan melepaskan tato itu.”

CHAPTER 9: DAPHNE’S TURN

Aku memeluk lutut, terisak pelan. Aku benci situasiku. Terkurung, tak berdaya, hanya bisa diam dan tak melakukan apapun. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?

Suara berisik dari luar sel. Aku menoleh dengan mata sembab. Ada apa di luar?

Gyle.

Gyle. Gyle datang. Masuk ke dalam selku. Aku segera mengeraskan rahang dan
menatapnya dengan pandang menantang.

Gyle tersenyum jahat. “Waktunya untuk mengeluarkan Kepingan Waktu dari tubuhmu.”

Aku menatapnya tajam. “Bagaimana kalau aku menolak?”

“Maka aku akan melakukannya dengan paksa.”

Aku memandanginya dengan marah. “Lakukan saja! Kau pikir aku peduli?! Kau sudah
menyerang rumahku. Kau sudah tahu kalau aku punya kekebalan. Tak ada gunanya
berusaha menyakitiku secara sihir. Menyakitiku secara fisik hanya akan membuatku
mengamuk.”

Gyle menyeringai padaku. “Kau harus tahu kalau kekebalanmu tak mempan pada segala
jenis sihir. Kekebalanmu tak akan melindungimu dari Pengguna Senjata. Kekebalanmu
juga tak akan melindungimu dari seorang Pencuri Sihir.”

Tanpa bisa kucegah, ia memegangi kepalaku dengan kuat. Aku memekik kaget.

“Kuambil kekebalanmu,” kata Gyle dengan suara serak.

Mataku melebar. Aliran listrik seakan mengaliri seluruh tubuhku. Menggetarkan tulang-
tulangku, menghanguskan dagingku, menghentikan kerja jantungku.

Detik berikutnya segala kembali normal, kecuali bahwa aku merasa seluruh tubuhku tak
bisa digerakkan. Sakit. Lemas. Aku tak bisa melakukan apapun.

“Apa…”

Gyle tersenyum manis padaku. Manis, tapi mengerikan. Jenis senyuman yang membuatmu
merasa yakin kalau orang yang memberimu senyuman itu akan segera menghabisi nyawamu
segera setelah senyum itu menghilang. Aku merinding, tapi tetap memandangnya
waspada. Bahkan, mulai panik.

“Kini telah tiba saatnya untuk membuktikannya…”

Aku memandang Gyle bingung. Apa? Membuktikan apa? Aku mau diapakan? Tolong!

Gyle melangkah mundur beberapa langkah, lalu mengangkat kedua tangannya.

“Apakah kekebalanmu sudah berhasil kucuri?” tanya Gyle. “Mari kita lihat.”

Bagaikan orang yang memainkan marionette, Gyle menggerakkan jemarinya. Dan bagai
sebuah boneka tali tak berdaya, aku mengikuti gerakan jemarinya.

Aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya bisa membiarkan tubuhku dikendalikan. Aku
ingin melawan, tapi aku tahu itu percuma. Tanpa kekebalanku, segalanya percuma.

Gyle menarikku ke sisinya, lalu menurunkan tangannya. Seluruh tubuhku luruh jatuh,
tak mampu lagi bergerak. Gyle tersenyum kejam.

“Aku memang berhasil,” kata Gyle puas. “Sekarang, Kepingan Waktu.”

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku pasti tamat. Aku akan mati. Tapi aku belum mau
mati!

“Kau…” aku menelan ludah. “Kau tak akan membunuhku! Tak akan berhasil membunuhku!
Tidak sekarang! Aku tak akan mati sebelum mendapatkan Jason kembali!”

Gyle tersenyum makin lebar. “Kata-akatamu bukanlah masalah bagiku. Kata-katamu tak
akan menimbulkan masalah apapun bagiku. Begitu pula perbuatanmu. Tapi apa yang
kulakukan, apa yang kukatakan, apa yang kuperbuat, mungkin bisa menjadi masalah
bagimu…”

Gyle mengangkat tangannya, dan di sana tergenggam sebilah belati panjang. Matanya
menatap titik di mana jantungku berada, siap menusukkan belati itu di sana. Aku
menutup mata. Aku akan mati…

BRUAKKK!!!

Aku mengintip dari sela-sela bulu mataku. Apa yang terjadi? Suara apa itu? Dan… oh
astaga. Aku masih hidup? Aku masih hidup! Aku masih hidup!!!

Pintu jeruji sel kini tampak bertebaran tak jelas di lantai batu yang dingin. Di
sana, di antara kepulan debu yang beterbangan, berdiri seorang pemuda. Jason?

Bukan. Bukan Jason. Rambut merah tuanya berbeda dengan rambut cokelat Jason. Mata
kelabunya berbeda dengan mata hitam Jason. Tapi keduanya memiliki persamaan. Aku
bisa merasakan adanya aura hangat melindungi yang selalu kurasakan saat bersama
Jason.

Mata Gyle melebar menatap pemuda itu. “Kau – “

Pemuda itu memotongnya. “Gyle, diam. Sudah cukup kau melakukan semua ini. Jangan
lukai dia.”

Gyle menyeringai lebar. Seringai jahat, namun tampak sedikit panik. “Hebat, Argus.
Amat hebat. Jadi akhirnya kau memutuskan untuk menggunakan kemampuan curian?”

Pemuda itu, Argus, menatap Gyle dengan mata berkilat. “Tak semudah itu.”

Dalam gerakan yang begitu cepat hingga aku kesulitan mengikutinya dengan mata, Argus
melesat ke arah Gyle dan menyentuh dahinya, lalu berteriak,

“Kuambil kembali kekebalan ini, dan kukembalikan kepada dia yang mempunyainya!”

Gyle terjatuh diiringi teriak marah. Aku merasakan kekuatanku kembali. Aku menatap
Argus dengan bingung. Dia… dia jelas bukan anak buah Gyle. Tapi kenapa dia
menolongku? Dia jelas tak punya alasan untuk membantuku.

“Siapa kau?”

Dia tersenyum. “Aku Argus.”

Aku tersenyum ragu. “Um… Daphne.”

“Nama yang bagus,” katanya. “Sekarang yang terpenting adalah keluar dari tempat ini.
Ayo.”

Argus menarikku berdiri dan dengan segera kami berdua berlari melintasi lorong-
lorong gelap yang tak bisa kupahami polanya. Aneh. Argus tampak amat mengenal tempat
ini. Ia mengambil tiap langkah, berbelok di tiap lorong dengan yakin dan mantap.
Seakan dia tumbuh di tempat ini, seakan ia amat mengerti tempat ini.

Kami berpapasan dengan Jason.

“Jason – “

Argus membekap mulutku. “Saat ini dia bukan Jason yang kaukenal. Diamlah.”

Jason menatap kami dengan pandang dingin. Argus mengambil langkah ke lorong di
sebelah kami, menghindari Jason, dan kembali berlari. Jason tak mengejar.

“Jason…”

“Jangan katakan apapun. Ayo.”

Aku menunduk sambil berlari. Aku harus mematikan hatiku untuk itu. Sakit. Aku ingin
Jason kembali seperti semula. Tapi aku tahu untuk sementara itu tak mungkin.

*

“Laurel!”

Laurel menatapku dengan tatap lega. “Daphne! Kau baik-baik saja! Kupikir kau akan
mati, ramalannya menunjukkan kartu The Death! Kupikir kau benar-benar…”

Aku menyetop kata-katanya. “Bukannya kartu The Death tidak selalu berarti kematian?”

“Tadi hasil ramalan untukmu artinya itu.”

Calypso memotong percakapan kami. “Stop dulu untuk itu. Sekarang…”

Erato segera memotong kata-kata Calypso. “Daph! Siapa dia?”

Aku menatap ke arah yang ditunjuk Erato. “Oh, dia? Dia Argus. Tadi dia membantuku
kabur dari Gyle.”

Laurel menoleh pada Argus. Lalu terdiam.

“Laurel?”

Mendadak ekspresi Laurel berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya berkilat
marah. Ia menatap Argus dengan ekspresi siap membunuh.

“Pengkhianat,” katanya serak. “Pengkhianat! Kau… kau membunuh keluargamu sendiri…
Kau… kau…”

James memotong kalimat Laurel. “Apa yang kaulakukan di sini, Argus? Keberadaanmu tak
dibutuhkan. Tak ada yang membutuhkan pengkhianat sepertimu.”

Argus menatap James lekat. “Aku sudah melakukan kesalahan dengan menyerahkan kedua
orangtuamu pada Gyle. Tapi aku tak akan melakukannya lagi. Berikan aku satu
kesempatan lagi.”

“Kesempatan?!” jerit Laurel, sarat kemarahan. “Kesempatan, setelah apa yang
kaulakukan pada orangtua kami?! Jangan bermimpi! Kau hanyalah pengkhianat!”

Ekspresi Argus mengeruh. “Tolong. Aku tak bermaksud melakukan itu. Aku tak mengira
Gyle jahat. Kalian sudah tahu itu. Maafkan kesalahanku. Berikan padaku satu
kesempatan lain.”

James menatap Argus lagi, tapi tak mengatakan apapun. Keheningan yang merisaukan
terjadi. Bahkan Ares yang paling sembarangan bicarapun tak mengatakan apapun. Ini
sudah berubah menjadi masalah pribadi. Tak ada satupun yang berbicara. Tak ada
satupun yang ingin terlibat dalam permasalahan ini.

“Baiklah,” kata James akhirnya. “Tapi hanya satu.”

Dengan segera Argus berubah lega. “Terima kasih. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.
Aku…”

James berbalik menjauhi Argus. Argus tak berusaha menyetopnya maupun melanjutkan
kata-katanya.

“Jadi,” katanya akhirnya, “bisakah kita mulai dengan perkenalan?”

Senin, 22 November 2010

CHAPTER 8: LAUREL’S TURN

Laurel terbangun dengan kepala berdenyut-denyut. James ada di sampingnya, tengah memijat-mijat kepalanya sendiri.

“Gyle sial,” kata James kesal. “Kemampuan curian dia pakai. Kenapa dia bisa
menguasai kemampuan itu seperti itu? Sial, kepalaku sakit!”

“Masalah itu belakangan saja,” kata Thalia. “Mana Daphne?”

Tak ada yang menjawab.

*

“Kenapa pakai kartu tarot?” tanya Calypso tak paham. “Kenapa tidak melihat ke masa
depan secara langsung saja?”

“Mendapat visi tidak semudah yang kaukira,” jawab Laurel. “Kau bisa mendapat
visi-visi tak jelas secara mendadak, tapi untuk mendapatkan visi secara jelas butuh
cara-cara tertentu. Ramalan bola kristal, kartu tarot, garis tangan, semuanya
membantu.”

“Lalu kenapa memilih tarot?”

Laurel mengangkat bahu. “Masalah selera.”

Setelah beberapa saat, wajah Laurel memucat. Isi ramalan itu tidak bagus. Malah
lebih cocok dibilang buruk. Amat buruk. Tapi ia tidak boleh membuat teman-temannya
cemas. Sekarang yang penting Daphne harus diselamatkan dulu.

“Apa isi ramalannya?” tanya Erato.

Laurel tak menjawab. “James, kau tahu di mana markas Gyle?”

“Kastil itu? Ya, aku tahu. Kenapa?”

“Kita harus ke sana. Ayo.”

Dengan segera, Laurel, James, Theo, Thalia, Erato, Calypso, dan juga Ares bergegas
pergi meninggalkan rumah Daphne dan Jason, meninggalkan kartu tarot di meja makan di
sana.

Kartu The Death.

CHAPTER 7: DAPHNE’S TURN

“Bagiku itu berarti pernyataan perang.”

Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kata-kata Jason. Makin mengerikan lagi
saat aku melihatnya memukul Laurel sampai ia terlempar ke seberang ruangan. Aku
merasa ingin menangis. Sejak kapan kakakku berubah barbar begini?

“Daphne! Menghindar, cepat!” seru Ares. Aku menunduk, Theo menarikku ke seberang
ruangan.

Pisau roti di tangan Ares entah bagaimana berubah menjadi pedang falchion, gagah dan
tampak pas di tangannya. Tangan Jason bergerak mengambil sebilah belati dari balik
pakaiannya, dan belati itu berubah menjadi sebilah scimitar anggun, panjang dan
mengancam. Kedua pedang itu tampak indah, gagah, anggun, kuat, tapi juga mengancam
dan mengerikan di saat bersamaan.

Seketika rumahku menjadi kapal pecah. Keributan di mana-mana. Yang kekuatannya tak
memungkinkan untuk menjadi petarung berusaha menutupiku dari jangkauan Jason. Yang
kekuatannya memungkinkan untuk bertarung segera menyerang Jason. Theo dan Ares
segera menyerang, Erato meniup flutenya dengan nada-nada yang membuat pendengarnya
sakit kepala berat (kecuali aku), tapi tak ada yang mempan bagi Jason. Memang
gerakannya jadi melambat setelah mendengar bunyi flute Erato, tapi dia tetap
menyerang. Dia begitu kuat. Cepat. Mengerikan di saat bersamaan. Mengapa dia bisa
jadi begini kuat?

“Hyaaa, Jason!” seru Calypso. “Maju terus!”

James memukul kepalanya. “Kalau dia maju betulan kita bisa mati, sadar tidak?”

“Oh iya, maaf,” kata Calypso. “Theo, Ares, Erato, hajar dia!”

“Kenapa kau tidak ikut maju juga?” tanyaku heran.

“Dia ada dalam pengaruh mantra, menghipnotisnya akan menjadi sulit,” jawab Calypso.
“Lagipula, mana bisa aku menghipnotis kakakmu? Dia terlalu keren untuk dihentikan.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala takjub. Situasi seperti ini dan dia masih memikirkan
betapa kerennya kakakku? Dasar perempuan sinting. Apa dia mau mati muda?

Mendadak Jason seperti mendapat tambahan tenaga. Theo yang tak membawa senjata
apapun dengan mudah dilontarkan ke seberang ruangan. Thalia secara refleks segera
berlari ke arahnya dan mengobati luka-lukanya.

Erato segera meningkatkan kecepatan permainan musiknya. Nada-nada yang keluar kini
bertambah kuat sehingga semua orang jatuh berlutut, memegangi kepala. Bahkan aku
sendiri mulai merasa pusing mendengar suara flutenya itu. Tapi Jason menendang kaki
Erato sehingga permainannya terhenti, ia terjatuh. Erato menjerit kesakitan dan
mengangkat flutenya lagi, tapi Jason menendang flutenya menjauh, lalu memukul
tengkuk Erato keras. Diiringi jerit kaget semua orang kecuali Jason, Erato terjatuh
dalam ketidaksadaran.

Kini hanya Ares yang tersisa. Kemampuan yang sama jelas membuat mereka punya
kemungkinan menang sama. Kecuali kalau Jason sudah mengetahui apa kemampuannya yang
satunya dan menggunakannya untuk mengalahkan Ares.

“Percuma menghindar,” kata Jason pada Ares. “Aku tahu apa yang kaupikirkan.”

Dan, Jason menghajar Ares. Tak sedikitpun kesempatan diberikan. Jason seakan bisa
mengetahui semua isi pikiran Ares. Tiap kali Ares menghindar, selalu ada tonjokan
atau tendangan menantinya. Tak sekalipun dia bisa lolos. Tak pernah.

Semua orang menonton diiringi suara teriakan dan jeritan. Akulah satu-satunya yang
menonton dalam diam. Aku terlalu kaget dan takut untuk bersuara. Jason begitu
berubah. Sejak kapan ia jadi kejam seperti ini? Sejak kapan ia jadi haus darah? Aku
tak tahu mengapa, aku tak tahu apa sebabnya, tapi aku tak mau melihatnya seperti ini
terus. Aku ingin dia kembali ke asalnya. Aku ingin dia kembali menjadi Jason yang
baik, pengertian, perhatian, Jason yang dulu. Jason yang selalu cerewet soal masalah
bangun tidurku, Jason yang sering mengajakku mengerjai orang-orang, Jason yang dulu.

Aku menunduk dalam-dalam, mengurung diri dalam diam di antara keributan di
sekelilingku. Jason harus kembali seperti dulu. Tapi bagaimana? Dia terlalu…

“Daphne! Awas!”

Aku mendongak kaget dan mendapati Jason sudah berdiri di depanku dengan pedang
terangkat tinggi. Aku menjerit dan berlari kabur, menempelkan punggung di tembok.

“Jason! Kenapa?” seruku setengah mengisak.

Jason melangkah mendekatiku, tapi pedangnya tak terangkat. Aku semakin merapatkan
punggungku pada tembok. Tak ada lagi ruang untuk lari sekarang.

“Ini tugas,” katanya.

Aku memandanginya dengan bingung, segala pertanyaan tercampur aduk di benakku.

“Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu,” kata Jason mendadak, walau aku tak mengatakan
pertanyaanku, tak satupun. “Setidaknya, tidak sekarang. Mungkin di masa depan.”

Aku memandangi Jason sedih. “Apa tujuanmu kemari? Membunuhku?”

Jason tak menjawab. Ia memegangi kepalanya dengan satu tangan, tapi tak ada ekspresi
apapun di wajahnya. Ia hanya memandangiku.

“Cukup.”

Tubuh Jason menegang sesaat sebelum ia berbalik dan menatap pintu. “Schurke…”

“Kau tahu apa tugasmu, bukan, Jason?” tanya lelaki yang dipanggil Jason sebagai
‘Schurke’ itu dingin. Aneh bukankah dalam bahasa Jerman ‘schurke’ berarti tokoh
jahat, antagonis? Orangtua macam apa yang memberi anaknya nama seperti itu? Atau…
oh, kurasa aku paham sekarang. Dia hanya memakai nama samaran.

Laurel dan James, sama seperti Jason, menegang saat mendengar suara lelaki itu.

“Seharusnya aku sudah tahu,” desis Laurel. “Seharusnya aku sudah tahu kalau itu kau…”

Lelaki itu menatap Laurel dan tertawa. “Laurel, manisku. Sudah lama kita tak
bertemu. Dan James! Kau jelas sudah tumbuh, nak.”

“Jangan bicara seakan-akan kau ayah kami!” seru Laurel, kemarahan berkobar di
sekelilingnya.

“Tapi aku memang keluarga kalian, bukan?” tanya lelaki itu.

“Oh, ya, tentu saja, paman,” kata James. “Bagaimana mungkin kami bisa menerima
pengkhianat waktu di antara keluarga penjaga waktu? Terutama Laurel, saat kau nyaris
membunuhnya dulu. Hanya demi menguasai Kolam Waktu.”

Laurel memeluk tasnya erat. “Kami tak akan bisa memaafkan pengkhianat waktu
sepertimu. Tak mungkin. Terima saja, Gyle, kau tak pantas menyandang nama keluarga
kita!”

Gyle memandangi Laurel dengan pandang dingin. “Bicaralah semaumu, Laurel. Darah
penjaga waktu tetap mengalir di tubuhku.”

Laurel gemetaran karena marah, air mata kemarahan menggenang di matanya. Tak sanggup
mengatakan apapun, ia memeluk tasnya makin erat.

“Dan di dalam tas itu ada Jam Pasir Waktu, bukan?” tanya Gyle lagi.

Tubuh Laurel menegang lagi. Ia menatap Gyle dengan pandang tak percaya.

“Bisakah kau memberikan benda itu padaku?” tanya Gyle pada Laurel. Laurel menggeleng
kuat-kuat.

“Laurel?”

Laurel menatap mata Gyle dengan tatap menantang, tapi ada sesuatu dalam mata Gyle
yang aneh. Memaksa Laurel. Laurel mulai gemetaran, pandangannya tak lagi terfokus.

“Berikan benda itu padaku, Laurel,” perintah Gyle dengan nada dingin. Laurel
gemetaran makin hebat, tapi lalu luluh. Ia berjalan pelan, nyaris seperti berjalan
dalam tidur, hendak menyerahkan tas itu pada Gyle.

“Laurel!” panggil James. Ia menarik Laurel ke belakang sehingga Laurel terjatuh dan
menjadikan dirinya tameng antara Gyle dan Laurel. Ia menatap Gyle dengan galak.

“Jangan,” desisnya penuh ancaman, “kau berani-berani menggunakan kemampuanmu itu
pada adikku!”

Aku merasa sedih. Seharusnya Jason bisa berlaku seperti James. Mereka satu yang
terpecah menjadi dua, mereka tipikal. Jason…

“Sayang sekali, James. Tapi aku tak lagi beminat pada adikmu.”

Gyle berpaling padaku. Aku merapatkan punggungku pada tembok lagi. “Apa yang kau
mau?” bisikku.

“Kepingan Waktu.”

“Sayangnya aku tak bisa memberikannya padamu.”

“Aku tahu. Karena itu aku akan membunuhmu sebelum aku mengambilnya.”

Aku menegang. Apakah kematian memang satu-satunya jalan untuk mendapatkan benda itu?
Tak bisakah mengeluarkan benda itu dari tubuhku tanpa mengorbankan nyawa siapapun?

Mendadak rasa sakit itu menyiksaku lagi. Aku menjerit keras-keras. Rasa sakit yang
diakibatkan Kepingan Waktu itu serasa menyiksa seluruh tubuhku. Aku menjerit
kesakitan, memaki keras dalam hati. Sial. Kenapa di saat begini…

Tubuhku kehilangan keseimbangan, terjatuh ke depan, tepat ke lengan Gyle yang sudah
menunggu. Aku menahan diri, menahan jeritku supaya tidak meluncur keluar. Seluruh
tubuhku gemetaran karena rasa sakit yang harus kutahan itu.

“Daphne!”

Aku memandangi Jason dengan tatap penuh permohonan. Tolong. Jason, tolong. Kenapa
dia tidak bergerak untuk menolongku? Ada sesuatu dalam matanya yang tampak ingin
melakukan sesuatu, sekaligus takut untuk melakukannya.

Akhirnya, Jason memalingkan muka dariku. Seakan dia benar-benar tak peduli padaku.

Rasa sakit itu sudah menghilang. Kini aku dihantam rasa sakit lain. aku tak
menyangka kakakku sendiri akan membuangku seperti ini. Penolakan Jason untuk
membantuku seakan memadamkan harapanku yang terakhir. Kenapa dia tak juga sadar?

“Kau akan mengingatku, Jason,” bisikku pelan. “Kau akan sadar siapa aku. Kau akan
sadar apa yang sedang kaulakukan. Kumohon, ingat aku! Sadar, siapa aku! Jason!
Sekarang!”

Mendadak tubuh Jason menegang lagi. Tangannya mencengkram kepalanya seakan menahan
sakit. Di matanya tampak kilatan-kilatan gambar seakan dia kembali mengingat
segalanya. Tapi apa dia memang ingat?

Jason jatuh berlutut, mengerang pelan. Semua mata memandanginya dengan bingung. Mata
Gyle memandangnya dengan marah. Jason seakan tak menyadari apa yang terjadi di
sekitarnya.

James jatuh terduduk. “Dia mengingat semuanya.”

Jason mendongak dan memandang Gyle. “Ya. Aku ingat sekarang.”

Gyle menggeram marah dan melempar tubuhku ke samping. Aku memekik, Theo dan Thalia
menolongku untuk berdiri kembali.

“Jadi kau sudah mengingatnya lagi?” tanya Gyle. “Semuanya? Kurasa aku meremehkanmu,
Jason. Aku mugkin memang tak akan bisa menyihirmu. Tapi apakah kau memang sebaik
itu?”

Jason mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Gyle mengerucutkan bibir dan mulai bersiul. Mula-mula pelan, lama kelamaan menjadi keras. Nada-nada siulannya membangkitkan rasa kantuk semua orang, bahkan juga aku sendiri. Mungkin karena aku sudah lelah untuk menahan sakit dari Kepingan Waktu itu.

Laurel, yang sudah terbangun, mulai memekik. “Jangan! Gyle, hentikan! Jangan gunakan kemampuan curian, kau – “

Gyle memandangnya tajam, intensitas siulannya makin tinggi. Aku bisa merasakan bahwa siulan itu kini ditujukan khusus pada Laurel. Laurel menggumam setengah memprotes
sesaat, lalu matanya menutup dan ia terjatuh dalam tidur.

Merasakan siulan ini, entah bagaimana aku bisa tahu kalau semua teman-temanku bisa
terus tertidur amat lama sampai Gyle menyiulkan nada untuk membangunkan mereka lagi.
Aku tak bisa membiarkannya. Dia harus dihentikan!

“He – hentikan!” seruku. “Jangan lakukan ini! Bawa aku kalau kau mau, tapi jangan
lakukan apapun pada teman-temanku!”

Siulan Gyle berakhir dalam nada tinggi mendecit yang tak harmonis dengan nada
sebelumnya, lalu ia menatapku dengan tajam. “Kau mau mengorbankan drimu sendiri agar
semua temanmu selamat? Kau ini bodoh atau terlalu naif? Tak semua orang sebaik yang
kau kira.”

Aku tak menjawab. Aku menatap Gyle dengan penuh kesungguhan.

Gyle menyeringai lebar. “Kau serius.”

Aku tak menjawab.

“Baiklah kalau begitu,” kata Gyle lagi, “ikutlah denganku.”

Gyle menarikku ke sisinya dan mulai memudar. Tubuhku ikut memudar bersama dengannya.
Aku menarik nafas tertahan. Apa ini? Ke mana dia akan membawaku?

“Daph!”

Aku menoleh kaget. “Jason, jangan ikut!”

Terlambat. Jason sudah mencengkram lenganku dan juga memudar. Sedetik kemudian,
diiringi teriak panik semua teman-teman kami, aku dan Jason menghilang bersama
dengan Gyle.

*

Aku terbatuk-batuk. “Perjalanan apaan tadi itu? Sama sekali tak bisa dibilang mulus!
Itu perjalanan paling mengerikan yang pernah kualami!”

“Diam!” bentak Gyle. Aku memandangnya dengan tatap benci, lalu memalingkan wajah.
Apa yang bisa kuperbuat? Jason ada di sini, Gyle punya kartu asnya. Kalau aku
melawan, Jason bisa disihir lagi.

“Jadi, Jason,” kata Gyle, “kau sudah ingat, hm? Apa bedanya? Kau tetap akan lupa
lagi, bukan?”

Terdengar suara nafas tertahan. Aku menoleh kaget dan memekik. “Jangan – “

Terlambat.

Jari telunjuk Gyle telah menyentuh dahi Jason. Mata Jason tampak berkabut sejenak,
dan setelah beberapa saat, ketika matanya sudah jernih kembali, sinar hangat dan
cemas yang tadinya ada di sana menghilang. Hanya ada dingin dan tak peduli.

Aku mendesah sedih. “Jason…”

“Bawa dia ke dalam,” perintah Gyle pada Jason.

*

“Turunkan aku! Turunkan! Aku bisa jalan sendiri, kenapa kau terus menggendongku
seperti ini, memalukan, ayo turunkan aku…”

BRAK!

“Aduh!”

Jason berbalik sementara aku mengaduh-aduh karena dijatuhkan di lantai yang keras.
Dalam sel bawah tanah, pula! Gyle mengerikan, ternyata dia punya kastil.

“Jason!” seruku saat Jason hampir meninggalkanku. “Jason!”

Jason tak peduli. Tak menoleh. Aku menggigit bibir. Aku harus melakukan sesuatu…

“Kakak!” seruku akhirnya.

Jason berhenti. Ia menoleh padaku, matanya tampak kaget. Tapi ia lalu berbalik
kembali dan pergi meninggalkanku.

“JASON!!!”

Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 6: JASON’S TURN

Dahi Schurke mengerut. “Kau punya dua kemampuan,” katanya.

“Hah?” aku menoleh padanya, menghentikan pekerjaanku untuk menyortir beberapa
dokumen Schurke.

“Kau punya dua kemampuan, bukan hanya Pengguna Senjata,” kata Schurke. “Kau spesial,
Jason. Tapi masalahnya, kemampuanmu yang satunya itu apa?”

Aku menggeleng bingung. “Entahlah, aku tak tahu.”

Schurke memandangiku dengan serius. “Kemampuan itu biasanya berhubungan langsung
dengan panca inderamu. Apa kau pernah mendengar sesuatu yang aneh? Atau melihat
hal-hal yang tak masuk akal?”

Aku mengerutkan dahi. “Yah… beberapa kali.”

“Detilnya?”

Aku mengangkat bahu. “Suara-suara. Seakan mengatakan padaku isi pikiran orang-orang.
Dan penglihata-penglihatan aneh. Seakan memberitahuku apa yang sedang dibayangkan
atau diingat-ingat seseorang.”

“Misalnya?”

Aku memejamkan mata. “Kau sedang memikirkan tentang kemampuanku. Juga tentang
sesuatu yang kausebut… Kepingan Waktu.”

Schurke tersenyum puas. “Tepat sekali. Pembaca Pikiran. Hebat.”

Aku mengangkat bahu. “Lebih cocok disebut ‘Pendengar Pikiran’, sebenarnya.”

Schurke tersenyum. “Memang itu namanya.”

Ia menutup matanya. “Apa hanya itu yang kaudengar tadi? Atau kau masih
menyembunyikan suatu rahasia untuk mengejutkanku?”

Aku menggeleng. “Bukan untuk mengejutkanmu, tapi ya. Masih ada satu lagi.”

“Apa itu?”

“Seorang gadis bernama Daphne.”

Aku mendengar suara-suara pikiran Schurke berkelebat di sekelilingku. Sementara itu,
Schurke tampak menegang.

‘Aku sudah menyembunyikan ingatannya.’

‘Dia tak mungin secepat itu ingat.’

‘Aku harus menyembunyikan ingatannya lagi. Sebelum dia berbalik melawanku.’

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tapi lalu segala gambaran mengerikan muncul di
kepalaku. Bukannya mengerikan, tapi aneh. Aku melihat kelebatan-kelebatan bayangan
seorang gadis. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya, tapi ia tampak begitu familier.
Nama dan suara mulai tercampur di benakku. Daphne. Itu nama gadis itu. Lalu segala
macam fakta dan kebenaran bermunculan mengikuti nama itu. Daphne adikku. Aku pergi
meninggalkannya untuk Schurke. Astaga, apa yang kulakukan? Aku harus pulang, Daphne
pasti kebingungan. Tapi Schurke…

“…!!!”

Aku terjatuh di lututku. Kepalaku terasa sakit. Ledakan memori berseliweran di
kepalaku, dan semuanya tentang Daphne. Seakan memoriku yang tersembunyi oleh mantra
Schurke kini berusaha untuk mempengaruhiku.

“Jason?” panggil Schurke, nadanya curiga.

“…rgh!”

Segalanya menjadi jelas, bagai tirai yang tersibak. Schurke memantraiku, memaksaku
untuk bersumpah setia padanya. Lalu memanipulasi ingatanku, menyingkirkan Daphne
dari pikiranku. Hanya untuk membuatku menjadi salah satu prajuritnya. Demi
mendapatkan Kepingan Waktu dalam tubuh Daphne. Untuk kepentingannya sendiri.

Aku harus kembali pada Daphne. Aku harus memperingatkannya. Tapi bagaimana? Kalau
Schurke tahu aku sudah mematahkan mantranya, dia akan marah besar. Yang ada malah
aku akan dimantrai lagi. Percuma saja.

“Jason!”

“…kh…”

Schurke menatapku tajam. “Kau sudah mengingatnya lagi, bukan?”

Aku hanya diam, memegangi kepalaku dengan satu tangan, nafas terengah menahan sakit.
Pedang dari Schurke tergeletak begitu saja di sebelahku. Tapi bahkan tanpa kata-kata
sekalipun, Schurke tahu jawabannya adalah ‘ya’. Ia mendesis marah dan menendang
perutku.

Aku terlontar ke belakang, tapi tetap diam. Bahkan teriakan sekalipun tak muncul
dari mulutku. Aku hanya memandangi Schurke dengan tatap menantang.

Lalu, Schurke melakukannya lagi.

Tangannya melesat, jari telunjuknya menyentuh dahiku.

Lagi-lagi ingatanku tentang Daphne kembali disembunyikan. Aku tak lagi berniat
melawan, aku tak mau kehilangan memoriku begitu cepat. Tapi kini proses itu
dibarengi dengan rasa sakit luar biasa. Di kepala. Seakan kepalaku akan meledak
karena sihir Schurke. Aku berteriak kesakitan.

“Prosesnya selesai,” kata Schurke akhirnya. Aku terjatuh.

“Kau lelah, Jason?” tanya Schurke. “Tidurlah yang nyenyak. Aku punya tugas untukmu.”

Aku terjatuh dalam ketidaksadaran, sama seperti perintahnya.

*

Bayangan seorang gadis tampak di depanku. Ia memunggungiku, dan ia sedang menangis.
Aku mendekatinya dan menepuk bahunya. “Hei.”

Gadis itu menoleh. “Jason?” isaknya, matanya tampak berkaca-kaca.

Gadis itu tampak begitu familier. Aku merasa seakan terikat dengannya dengan suatu
alasan yang tak kuketahui. Sebuah nama muncul di kepalaku.

“Daphne…?”

Gadis itu menatapku dengan matanya yang basah. “Kenapa kau pergi?” tanyanya. Lalu tubuhnya memudar dan lenyap.

*

Aku membuka mata. Sungguh mimpi yang aneh.

“Urgh…!”

Schurke menatapku dengan pandang dingin. Aku menelan ludah. Baru kali ini dia
menatapku dengan pandangan siap membunuh seperti itu. Mengerikan.

“Schurke…?”

Mendadak ia tersenyum ramah, kesan dinginnya menghilang. Sebuah suara menyelinap
masuk ke benakku.

‘Mantraku berhasil.’

“Eh?”

“Berdiri, Jason,” perintah Schurke. “Ada tugas untukmu.”

*

Aku menatap rumah itu lekat. Tak ada sesuatu yang spesial dari rumah ini. Hanya rumah biasa dengan kebun yang terawat dan rapi, halaman dan teras yang bersih. Tak lebih. Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang familier dari rumah ini?
Mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang penting dan mengikat, menghubungkanku
dengan sesuatu dari rumah ini.

“Jason,” panggil Schurke. Aku menoleh padanya. Ia menyodorkan secarik kertas padaku.
Pada kertas itu ada gambar sketsa wajah seorang gadis… Gadis yang ada di mimpiku,
Daphne. Aku memandangi gambar itu lekat, kaget. Apa dia ada hubungannya dengan semua
ini?

“Gadis ini bernama Daphne. Kau harus membunuhnya, Jason, dan bawa mayatnya padaku,”
kata Schurke. Aku memandangnya kaget, berharap dia bercanda. Tapi sayangnya dia
serius.

“Kau dengar kataku,” kata Schurke lagi. “Bunuh dia dan bawa padaku.”

“Kenapa harus membunuhnya?” tanyaku. “Bagaimana kalau aku tak bisa melakukannya?”

Schurke tersenyum. “Kalau begitu, pingsankan dia. Bawa padaku. Pekerjaan selanjutnya
biar kulakukan sendiri.”

Aku masih ragu. Aku merasa tak boleh membunuh gadis itu. Aku merasa ada ikatan yang
menghubungkanku dengannya. Pikiran, hanya pikiran, untuk membunuhnyapun membuatku
merasa bersalah. Tapi kenapa?

Mendadak aku merasakan hawa dingin di belakang punggungku. Aku menoleh ke belakang.
Di sana Schurke memandangiku dengan tatap dingin membekukan. Aku menelan ludah.
Kenapa dia bisa tampak semengerikan itu?

“Buang kelemahanmu, Jason,” kata Schurke.”Kalau kau masih ingin menjadi prajuritku,
buang kelemahanmu. Singkirkan perasaan-perasaan tak berguna. Yang harus kaulakukan
hanyalah mengikuti perintahku. Kau mengerti?”

Aku mengangguk, tapi tetap menatap rumah itu dengan ragu. Haruskah aku melakukan ini?

Jari telunjuk Schurke menyentuh dahiku, dan segala keraguanku sirna. Aku harus
melakukan ini. Aku tak punya pilihan, dan aku akan melakukannya. Bukan demi aku
sendiri. Demi Schurke. Ini perintahnya. Aku harus menaatinya.

“Lakukan, Jason,” perintah Schurke. “Sekarang.”

Aku memandangi pintu rumah itu dan melangkah ke sana.

Selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Kuhitung tiap langkahnya sampai ke pintu. Pada
akhirnya, aku mencapai pintu pada hitungan tujuh belas langkah.

Aku menendang pintu itu hingga terbuka. Delapan orang ada di dalam ruangan di balik
pintu ini. Lima perempuan dan tiga laki-laki, dan salah satu dari ketiga gadis itu...

Bingo.

Dia di sana.

Duduk diapit seorang gadis yang tampak amat mirip dengannya dan seorang pemuda yang
sedang memainkan pisau roti di tangannya.

“Jason…” panggil gadis itu, Daphne.

“Aku harus membawamu,” kataku padanya.

“Ke mana?”

“Pada Schurke.”

Keningnya berkerut. “Apa?”

Gadis yang tampak amat mirip dengannya menatapku tajam. “Apa dia bosmu?”

Aku mengangguk tanpa suara.

“Maka aku tak akan mengizinkanmu untuk membawanya,” kata gadis itu dengan tatap
dingin padaku.

“Bagiku itu berarti pernyataan perang.”

Dan segalanya berubah tak terkontrol.

CHAPTER 5: DAPHNE’S TURN

Aku keluar dari kamarku. “Jason?”

Tak ada jawaban. Seperti sebelumnya, saat Jason mulai menjadi aneh. Aku merasa
bingung. Ada apa sebenarnya dengannya? Sehari dia normal, hari berikutnya dia
sedingin es. Seakan ada saklar yang mengatur emosi dan kepribadiannya sehari-hari.
Aneh.

“Jason!” panggilku lagi. “Hei, Jason!”

Aku melangkah menuju kamar Jason dan membuka pintunya. Tepat seperti dugaanku, tak
terkunci. Tapi Jason tak ada di sana.

Aku mulai merasa cemas. Ada apa sebenarnya? Jason terus menerus berubah aneh. Dan
sekarang mendadak dia menghilang, padahal kemarin dia tampak normal kembali. Ada apa
sebenarnya?

Aku mengeluarkan ponselku dan kontong dan mencoba menghubungi ponsel Jason. Dari
kamar, terdengar lagu Big Bang, Red Sunset. Aku mulai melacak di mana ponsel Jason.
Di kasurnya.

Aku mulai merasa panik. Dia tak ada di kamarnya, dan saat kupanggil dia tak
menjawab. Tak mungkin dia pergi karena dia tak pamit dulu padaku. Ini seakan
melanggar semua kebiasaannya.

Aku mulai berkeliling rumah sambil memanggil-manggil nama Jason. Sama sekali tak ada
jawaban. Itu berarti dia tak ada di rumah. Dia pergi keluar. Tapi ke mana? Dia
selalu membawa ponselnya ke mana-mana dan sekarang mendadak ia meninggalkan
ponselnya begitu saja di rumah. Tak adanya jawaban dan keberadaannya di rumah
membuatku merasa panik. Aku selalu benci berada dalam rumah sendirian. Dan sekarang
aku sendirian.

Ini hari Minggu. Kemungkinan Jason pergi keluar rumah besar sekali. Tapi ke mana?
Mendadak ia melanggar semua kebiasaannya selama ini. Ia pergi tanpa pamit. Ia pergi
tanpa membawa ponselnya. Ia membiarkanku di rumah sendirian. Apa yang sebenarnya
terjadi pada Jason?

Bel berbunyi. Aku segera berlari untuk membuka pintu, berharap bahwa itu Jason. Tapi
bukan Jason yang menjumpaiku di depan rumahku, melainkan Calypso.

“Calypso?” kataku kaget.

Calypso mengangguk. “Boleh aku masuk?”

Aku segera mundur dan membiarkan Calypso masuk. Tanpa tedeng aling-aling, ia
bertanya, “Mana Jason?”

Aku tak menjawab. Aku menunduk.

“Daphne?” tanya Calypso bingung.

“Jason hilang,” bisikku pelan.

Calypso mengerutkan dahi. “Apa maksudmu hilang?”

Aku menatap Calypso. “Hilang. Tak ada. Aku sudah mencarinya. Aku sudah mencoba
mengontak ponselnya, tapi ia meninggalkannya. Dia tak ada di manapun di rumah ini.
Tak terlacak. Percuma saja kau mencarinya di sini, dia tak ada.”

Mata Calypso melebar, dia membuka mulutnya untuk memprotes, tapi lalu pintu rumahku
diketuk. Aku menjulurkan kepala ke luar.

“Thalia, Theo, Erato?” kataku. “Ada apa?”

Kening Thalia berkerut. “Tanya ‘ada apa’? Bukannya kau sendiri yang memanggil kami
ke sini? Kau sakit, ya?”

Calypso menjentikkan jemari. “Nah, itu dia. Aku ke sini karena aku ingin mencari
Jason. Karena dia memanggilku ke sini. Jangan bercanda lagi, Daphne, ke mana dia?”

Aku berdecak. “Calypso, aku sudah bilang aku tidak tahu di mana dia.”

Mendadak terdengar suara pintu diketuk lagi. Aku mengerang. “Kenapa hari ini ada
banyak sekali tamu? Ya, siapa?”

Ares, tetanggaku sekaligus teman sekelas Jason, masuk. “Hei. Ada yang tahu di mana
Jason? Tadi pagi ia memanggilku ke sini.”

Aku mengerjap bingung. Kalau memang Jason memanggil Calypso dan Ares, kenapa dia
menghilang? Kenapa dia pergi? Aku mulai merasa pusing. Aku kebingungan. Jason
benar-benar aneh. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini. Ada apa sebenarnya
padanya?

Angin berhembus keras masuk ke rumah, dan muncul dua bayangan kabur di ruang tamu
rumahku. Kemudian, membentuk sosok Laurel dan seorang pemuda yang tampak amat mirip
dengan Jason sekaligus amat berbeda dengannya.

“Maaf,” kata Laurel. “Kamilah yang memanggil kalian ke sini.”

“Laurel!” seruku panik. “Jason hilang! Dia tak ada di manapun!”

Laurel mengangguk. “Ya, aku sudah tahu. Waktu memberi tahuku.”

“Hei,” kata Theo setengah memprotes, “percakapan apa ini sebenarnya? Bisakah kalian
menjelaskan ini padaku?”

“Pada kami,” ralat Erato.

“Ya, pada kami,” sambar Theo refleks.

Sementara itu, Calypso menatap pemuda yang tampak amat mirip dengan Jason itu.
“Jason?” katanya pelan.

Pemuda itu menatap Calypso sejenak, lalu bergerak untuk menutup pintu. “Sebaiknya
kita bicarakan ini semua di dalam. Ini semua. Ayo.”

*

“Darah sihir…?”

Laurel mengangguk. “Ya. Dalam nadi kalian semua mengalir darah sihir. Jangan
melawannya, terimalah nasib itu. Kemampuan kalian mungkin adalah yang paling jarang
ditemukan.”

“Lalu kenapa kalian bisa tampak amat mirip dengan Daphne dan Jason?” tanya Thalia.
“Kalian bukan pemilik sihir jenis… yah, peniru, kan?”

“Pertama-tama, aku tanya dulu kalian,” kata si pemuda yang amat mirip Jason, kakak
Laurel, James. “Kalian percaya sihir?”

Aku mengangguk mantap. Segera semua temanku mengikuti contohku.

“Baiklah,” kata James lagi. “Kalau begitu mudah. Lanjutkan, Laurel.”

“Kami bisa amat mirip dengan Jason dan Daphne karena kami bukan dua individu
berbeda, namun di saat bersamaat juga berbeda,” kata Laurel. “Kami adalah satu yang
terpecah menjadi dua. Aku dan Daphne sebetulnya adalah satu. Aku pecahannya. Dia
pecahanku. Sesungguhnya kami satu. Begitu pula dengan Jason dan James. Dan
kemungkinan sihir yang kami kuasai juga sama, walaupun kemungkinan sihir kami
berbeda juga besar.”

“Sihir… apa?” tanya Erato kurang paham.

“Aku memiliki sihir Penatap Masa Depan,” kata Laurel. “James adalah seorang
Pengelana Waktu. Tapi aku tak tahu sihir Daphne. Belum. Masa depan begitu kompleks
sehingga aku sendiripun merasa bingung, apakah penglihatanku itu benar atau tidak.”

“Lalu sihir kami?” tanya Calypso.

“Ada banyak aliran sihir,” kata James. “Kalian harus mencari tahu sendiri.”

“Caranya?”

James menatapku. “Rasanya aku punya dugaan apa kemampuanmu, Daph,” katanya,
mengingatkanku pada Jason. Caranya memanggilku sama dengan cara Jason. “Aku akan
mencoba berkelana ke masa depan. Cobalah untuk mencegahnya.”

“Eh? Tapi – “

“Coba saja,” kata James dan menarikku ke sisinya. Aku bisa merasakan aliran waktu
bergetar di sekelilingnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku tak mau pergi dari
masaku! Aku tak mau berkelana waktu! Aku tak mau pergi!

Dan, James berhenti.

“Benar dugaanku,” kata James sambil meleaspanku. “Penangkal. Penghalau. Hampir semua
jenis sihir bisa kautangkal dengan kekuatanmu ini. Selamat, Daph, kau pemilik sihir
yang langka.”

“Tapi dia punya dua,” protes Laurel. “Aku telah melihat ada berapa kemampuannya,
tapi aku tak tahu apa saja. Apa yang satunya?”

Aku mengangkat bahu. “Yang satunya belakangan saja. Bagaimana dengan yang lain?”

“Apa saja,” kata Ares, tampak nyaris tak peduli. “Yang jelas kita tahu kita punya
sihir.”

“Ares,” tegurku kesal.

“Apa?” tanya Ares tak acuh sambil mengambil pisau roti di meja dan memainkannya.
Mendadak cahaya kebiruan menyelimuti dirinya. Saat cahaya itu menghilang, ia terdiam
menatap tangannya.

“Apa itu tadi?”

“Pengguna Senjata,” kata James. “Termasuk langka. Jarang ditemui. Sulit dicari. Kau
bisa mejadi prajurit yang ama baik, Ares. Kemampuanmu itu membuatmu bisa memakai
hampir semua jenis senjata di dunia. Pedang, tombak, panah, semuanya.”

Ares bersiul. “Kemampuan yang pasti diincar semua laki-laki, ya?”

“Tak semua,” kata James. “Aku lebih suka berkelana ke masa lalu.”

“Bukan masa depan?” tanya Erato.

“Masa depan sebaiknya dijadikan rahasia. Masa depan bersifat labil dan mudah
berubah. Aku lebih memilih untuk menjadikan masa depan sebagai misteri sampai masa
depan itu berubah menjadi masa kini.”

“Keputusan bijak,” kata Laurel. “Masa depan memang sebaiknya tidak diusik.”

“Aku penasaran, apa kekuatanku sebenarnya,” kata Calypso, ada sinar penasaran di matanya.

“Hipnotis?” usul James, cukup ekstrem. “Hanya dengan perantara mata. Bukan jenis
yang harus menggunakan pendulum. Pesulap-pesulap itu sama sekali tak punya kemampuan
sihir untuk menghipnotis, kau tahu. Penghipnotis sejati tak akan membutuhkan
alat-alat seperti pendulum dan semacam itu.”

Calypso menatap mata Theo dalam-dalam. “Seperti misalnya… ini?” tanyanya, lalu
menjentikkan jemarinya. Mendadak Theo menyambar pisau dari tangan Ares dan
melemparnya pada James. James segera menunduk menghindar dengan sigap, dan pisau itu
melesat ke ujung ruangan.

“Ya,” kata James pelan. “Persis seperti itu.”

Calypso menjentikkan jemarinya lagi, Theo menjatuhkan kepala di bahu Ares. “Ada apa?
Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku terasa lemas?” tanyanya beruntun.

Ares menepuk-nepuk kepala Theo seperti seorang tuan menepuk kepala anjingnya. “Tak
apa. kau hanya baru saja dijadikan korban hipnotis. Bukan hal besar, kau tahu. Dan
hanya berlangsung selama beberapa detik. Santai saja.”

Theo menatap Ares dengan bingung dan tak percaya. “Aku baru saja menjadi apa?”

“Apakah alat musik bisa menjadi perantara sihir?” tanya Erato.

“Ya, bisa,” jawab Laurel.

“Ah,” kata Erato dengan gaya polos. “Itu menjelaskan kemampuan anehku,” katanya lagi
sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan flute kesayangannya. Ia segera mulai
meniupnya.

Nada-nada lembut mengisi udara, memenuhinya dengan nada manis yang membuat
pendengarnya mengantuk. Yah, setidaknya semuanya selain Erato sendiri dan aku. Erato
berhenti memainkan flutenya dan mengibaskan rambutnya. Ia mengguncang tubuh Thalia
dan Theo yang ada di dekatnya, aku mengguncang bahu Laurel dan James, lalu
mengguncang tangan Ares. Semuanya tampak mengantuk berat.

“Kalian hanya mendapatkan rasa kantuk,” kata Erato. “Dulu aku pernah sampai membuat
kacamata guru les yang paling kubenci pecah.”

“Tapi kau terlalu repot, menggunakan alat musik seperti itu,” kata Laurel sambil
mengusap matanya. “Siulan sebenarnya sudah cukup.”

“Selama ini aku belum pernah mencobanya, mungkin lain kali,” kata Erato.

“Yang jelas jangan sekarang,” kata Thalia.

“Kau sendiri, apa kemampuanmu?” tanyaku pada Thalia.

Thalia mengangkat bahu. “Entahlah. Belum tahu.”

“Bidang apa yang paling kaukuasai?” tanya Laurel pada Thalia.

“Pengobatan?”

“Kalau begitu mari kita coba,” kata Ares lalu mengambil sebilah pisau roti lain dari
meja dan menyambar tangan kanan Theo, lalu menggoreskannya sampai berdarah. Theo
berteriak, lebih karena protes daripada kesakitan.

“Kenapa tidak gunakan tanganmu sendiri?” tanya Theo kesal.

Ares mengangkat bahu dengan gaya tak acuh. “Sejak tadi kau sudah jadi kelinci
percobaan, jadi kupikir tak apa.”

Theo menatapku dengan bingung. “Memangnya aku sudah jadi korban sihir apa saja?”

Aku memasang wajah kalem. “Daripada itu, lebih baik obati dulu lukamu,” kataku.

“Ini sih dijilat saja sembuh,” kata Theo sambail menatap lukanya.

“Masa, sih?” kata Thalia tak percaya, lalu menarik tangan Theo dan menjilat lukanya.
Seketika, luka di tangan Theo menutup.

“Penyembuh,” kata James mengambil kesimpulan.

“Lalu Theo?” tanya Erato.

Theo mengangkat bahu. “Tak ada yang tahu, tidak bahkan aku sendiri.”

“Dalam hal apa kau merasa paling baik saat bekerja?” tanya Laurel.

“Ekonomi,” jawab Theo, Erato, Thalia dan aku bersamaan.

James menggeleng-geleng. “Jelas bukan salah satu jenis sihir. Ada yang lain?”

Theo mengerutkan dahi. “Entahlah… aku tak tahu.”

James mendesah. “Mungkin jenis ini,” katanya, lalu mengambil segelas air dari meja.
Ia menyodorkannya pada Theo.

“Apa?” tanya Theo bingung.

“Cobalah untuk menyatu dengan airnya,” perintah James.

“Hah?”

“Coba saja.”

Theo menatap air dalam gelas itu dengan tatap serius. Ia memandanginya terus-menerus
selama tiga menit, lalu ia mengangkat tangan untuk menyentuh permukaannya. Lalu ia
menutup matanya. Menghembuskan nafas panjang. Seiring dengan berhembusnya nafasnya,
ia tampak memudar dan menyatu dengan air dalam gelas itu.

“Wow,” kata Ares takjub.

“Memang ‘wow’,” kata James, lalu menuang airnya ke lantai. Sosok Theo kembali
mewujud di sana.

“Kemampuanmu adalah bisa menyatu dan mengendalikan elemen,” kata James. “Hanya yang
murni dan bukan buatan manusia, kecuali udara. Tanah, batu, air, bisa, tapi batu
bata, imitasi, yang sudah buatan manusia, tak bisa menyatu denganmu dan
kaukendalikan.”

Theo tak mampu berkata-kata. Ia sendiri tampak tak percaya dengan kemampuannya itu.

“Berarti tinggal kemampuan kedua Daphne,” kata Calypso. “Hei, Daph, tatap mataku.
Sekarang beritahu aku apa kemampuanmu yang satu lagi.”

Aku memandanginya datar. “Calypso, aku bisa menangkal sihirmu. Aku belum tahu
kemampuanku yang satunya.”

“Tak kusangka kau sebodoh itu, Calypso,” ejek Ares. “Kau tahu kalau Daphne bisa
menangkal sihirmu, tapi kau tetap menggunakan sihirmu. Bodoh.”

Calypso berbalik menghadapinya dengan sorot mata berapi-api. “Barusan kau bilang
apa?”

“Aku bilang kau bodoh.”

“Perlu kau ketahui, Ares, kau sendirilah yang bodoh! Kau – “

“Stop!” seruku kesal, walau aku tahu mereka tak akan berhenti karena mereka bukan
jenis orang yang mudah peduli terhadap orang lain. “Kalian bertengkar seperti anak
kecil! Bisakah kalian dewasa sedikit? Kalian tidak akan bertengkar, tidak sekarang,
tidak di sini!”

Calypso dan Ares berbalik padaku, lalu menanmpakkan ekspresi meminta maaf.

Laurel tertawa. “Kita sudah tahu apa kemampuan Daphne yang satu lagi. Memanipulasi
masa depan! Lihat bagaimana tadi dia menyetop mereka. Padahal menurut penglihatanku
mereka akan terlibat dalam pertengkaran besar.”

“Lalu bagaimana dengan Jason?” tanya Calypso.

Ekspresi Laurel berubah keruh. “Dia punya dua kemampuan seperti Daphne. Yang satu
adalah Pengguna Senjata, sama seperti Ares. Yang satunya belum diketahui. Tapi akan.”

“Tapi di mana dia sekarang?” tanya Erato.

Ekspresi Laurel bertambah keruh. “Itu adalah hal tersulit. Pertama-tama, ada sesuatu
yang perlu kalian ketahui. Dalam tubuh Daphne tersimpan Kepingan Waktu, kepingan
masa depan. Ada seseorang, musuh kami, musuh kita, yang mengincarnya – “

“Tunggu,” potong Calypso. “Kenapa kami ikut dihitung?”

Laurel mengabaikan Calypso dan melanjutkan penjelasannya. “ – dan ia membawa Jason
yang, mungkin, sudah dipengaruhi, atau dipaksa bersumpah setia, untuk menjadi salah
satu anteknya.”

Aku hanya diam. Jason…

“Dan sekarang dia ada di tangan musuh kita,” kata Laurel lagi. “Kalian ingin membawa
Jason kembali, bukan? Maka kalian harus bekerja sama. Orang yang membawa Jason bukan
orang sembarangan. Dia kuat. Dia punya sihir. Dia bisa mencuri sihir kalian. Dia
bisa menggunakan sihir curiannya. Mengalahkannya akan menjadi sangat sulit kalau
hanya sendiri.”

Keheningan menyesakkan memenuhi udara. Tak ada yang bicara. Semua saling memandang
satu sama lain. Hanya diam tanpa kata.

“Berarti kita harus menariknya kembali kepada kita?” tanya Ares.

“Ya,” kata James. “Sebelum ia tenggelam terlalu dalam dalam kekuatan orang itu dan
tak bisa diselamatkan lagi. Makin cepat makin baik.”

“Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanya Ares. “Aku bergabung.”

“Aku tak akan membiarkan temanku sendirian,” kata Erato. “Aku juga ikut.”

“Begitu juga denganku,” kata Theo, nyengir lebar dengan bersemangat.

“Akupun akan ikut,” kata Thalia.

“Aku pasti akan membawa Jason kembali!” kata Calypso penuh tekad. “Aku tak akan bisa
hidup tanpanya!”

“Kau sadar kau mengatakan itu tepat di depan batang hidung adiknya?” tanyaku.

“Lalu bagaimana kita mendapatkannya kembali?” tanya Theo. “Tunggu. Mungkin sebaiknya
begini. Bagaimana kita bisa bertemu dengannya? Kalau melihat dari situasi dan
kondisi sekarang, sepertinya kemungkinan kita bisa bertemu Jason kecil sekali.”

“Oh, justru sebaliknya,” kata Laurel. “Sangat besar. Musuh kita menjadikannya
sebagai pion, dan sudah pasti Jason akan dikirim pada kita untuk melaksanakan suatu
tugas. Mungkin menculik Daphne. Ataau membunuh dan mengeluarkan Kepingan Waktu dari
tubuhnya.”

Aku mengerang. “Kenapa sepertinya aku mendapat resiko terbesar di sini?”

“Karena kepingan waktu dalam tubuhmu,” jawab Laurel.

“Diam, kalian,” kata James mendadak, tampak serius. “Aku merasakan Jason mendekat.”

CHAPTER 4: JASON’S TURN

Aku melangkah keluar dari kamar Daphne dengan perasaan campur aduk. Cemas, marah, kalut. Schurke berdiri di sana, bersandar di dinding, seperti biasa sedang makan apel. Aku menatapnya dengan marah.

“Jadi,” katanya tenang, “bagaimana keadaan adikmu?”

Aku mengeraskan rahang. “Kau bilang dia tak akan kesakitan lagi. Kau bilang kau akan
membatu mengeluarkan benda itu dari tubuhnya dan dia tak akan kesakitan lagi.”

“Oh,” kata Schurke tenang, “memangnya isi perjanjian kita begitu, ya?”

Aku hanya diam dan memandanginya dengan tatap menuduh.

“Kau sudah bersumpah setia padaku, Jason,” kata Schurke lagi. “Tak ada gunanya
membantahku sekarang. Kau sudah menjadi milikku.”

Aku membuka muut untuk protes, tapi tak bisa mengeluarkan barang sepatah katapun.
Aku menutup mulutku lagi dengan marah.

“Aku tak akan bersumpah padamu kalau seperti ini jadinya,” desisku marah. Aku
mengertakkan gigi dengan kesal.

Schurke menatapku dengan pandang masam. “Kau sudah bersumpah, Jason.”

“Ya, lalu?” tantangku.

“Itu berarti kau sepenuhnya milikku.”

Schurke menempelkan telunjuknya ke dahiku, dan sengatan rasa sakit menyerangku. Aku
berteriak kesakitan.

“Seperti itulah yang akan terjadi kalau kau menentangku,” kata Schurke dingin.

“Tapi kau sudah berjanji!” seruku tersengal. “Kau bilang dia tak akan sakit lagi!”

Schurke mendecakkan lidahnya. “Kau perlu mantra, sepertinya.”

Ia menempelkan jari telunjuknya di dahiku lagi. Tapi kini tak ada rasa sakit. Aku
menatap Schurke dengan bingung, dan memandangnya langsung ke matanya.

Kesalahan besar, kau tahu.

Ada sesuatu dalam mata Schurke yang membuatku merasa aneh. Seakan ingatanku tentang
Daphne disedot keluar dari pikiranku, dan semakin aku berusaha mengingat, semakin
aku berusaha melawan, semakin cepat ingatan itu menghilang. Aku kehilangan rasa
simpatiku terhadap Daphne, lupa kalau dia adikku. Kini bagiku dia bukan siapa-siapa
lagi. Bagiku ia hanya sampah yang menghalangi jalan Schurke, masterku. Dan aku tahu
yang harus kulakukan dari sekarang hanyalah satu, yakni melayani Schurke, mematuhi
tiap perintahnya.

Schurke menarik tangannya kembali, dan aku terduduk lemas di lantai. Schurke
tersenyum lembut padaku.

“Ikutlah denganku, Jason,” katanya. “Aku punya tugas penting bagimu.”

Aku mengangguk patuh.

*

Schurke membawaku ke suaru tempat aneh. Semacam gua tapi dilengkapi segala peralatan
modern. Listrik? Ada. Lampu? Yah, kalau ada listrik jelas ada lampu. TV? Radio?
Komputer? Semuanya lengkap! Bahkan ACpun juga ada di sini.

Schurke tersenyum melihat ketakjubanku. “Kemarilah,” katanya, lalu memimpinku
melewati sejumlah lorong dan membuka sebuah pintu.

“Ini kantorku,” kata Schurke. “Markasku. Semua yang kubutuhkan ada di sini.
Semuanya… kecuali prajurit terpercaya.”

Aku menatap Schurke dengan bingung.

“Aku bisa merasakan darah sihir mengalir di nadi-nadimu,” kata Schurke lagi. “Aku
perlu mengetahui apa jenis sihirmu. Kau mau bekerja sama?”

“Dengan senang hati,” jawabku.

Schurke menyodorkan sebilah pedang padaku. “Ayunkan.”

Aku menuruti perintahnya. Beberapa detik setelah aku mengayunkan pedang itu, muncul
sinar keemasan yang membungkus tubuhku dan pedang itu. Setelah beberapa saat, sinar
keemasan itu menghilang.

“Ya,” Schurke mengangguk puas. “Seperti dugaanku, kau memang Pengguna Senjata.
Aliran sihir yang cukup langka, namun kuat. Kemampuan ini akan membuatmu menjadi
prajurit yang amat baik buatku, Jason.”

Aku merasakan semangat menggebu-gebu dalam tubuhku. Akankah Schurke mengutusku
menjadi prajuritnya? Akan menjadi suatu kebanggaan bagiku bila ia memang
mengangkatku menjadi prajuritnya.

“Kau janji kau akan menjadi prajurit yang baik bagiku?” tanya Schurke padaku.

Aku tersenyum lebar. “Ya, aku janji.”

Schurke tersenyum puas. “Kalau begitu, mulai sekarang kau adalah prajuritku yang terpercaya.”

CHAPTER 3: DAPHNE’S TURN

“Jason!”

Tak ada jawaban. Aku berkacak pinggang di depan pintu rumahku, lalu mencoba
membukanya. Rupanya tidak dikunci. Aku masuk dengan perasaan bingung dan heran.
Tumben Jason ceroboh. Biasanya dia sangat telaten.

“Jason!” panggilku lagi. “Hei, Jason! Di mana kau sebenarnya? Aku sudah membawakan
lasagna pesananmu, kau mau makan siang tidak?”

Masih tak ada jawaban. Dengan heran aku melepaskan tasku dan melemparnya ke sofa,
lalu menaiki tangga ke kamar Jason. Apa dia ketiduran?

Aku mengetuk pintu kamar Jason. “Jason?” panggilku. Tak ada jawaban. Berkali-kali
pintunya kuketuk dan namanya kupanggil, tapi tetap saja nihil. Merasa kesal, aku
mencoba membuka kamarnya, berharap bahwa Jason tidak menguncinya.

Tepat seperti harapanku, pintu itu terbuka. Aku masuk dan memekikkan nama Jason.

Kakakku itu terbaring di lantai, tak bergerak. Matanya terpejam rapat seakan ia
sedang tertidur, tapi aku tahu pasti ia tak tidur. Mana mungkin Jason tidur di
lantai? Dan tak mungkin dia jatuh dari kasur, sikap tidurnya itu tenang sekali.
Sekali tertidur, posisinya tak akan berubah lagi sampai bangun.

Aku mengguncang bahu Jason. “Jason! Hei! Bangun!”

Jason mengerang dan membuka mata. “Apa…?”

“Jason!” kataku lega. “Astaga, kupikir kau – “

“Sedang apa kau di kamarku?” tanya Jason memotong ucapanku dengan kasar.

“Hah…?” aku hanya mampu melongo.

“Kenapa kau di kamarku?” tanya Jason lagi, lebih kasar dari sebelumnya.

“Eh – itu karena aku berulang kali memanggilmu tapi kau tidak menjawab, jadi aku – “

“Tak ada yang perlu kaucemaskan dariku,” potong Jason lagi. “Sana keluar.”

“Eh! Tunggu dulu! Kau tak mau makan siang? Aku sudah membelikanmu lasagna yang kau
pesan tadi, dan – “

“Ambil saja semuanya!”

Jason mendorongku keluar kamar dan membanting pintunya tepat di depan hidungku. Aku
merasa benar-benar bingung. Sejak kapan Jason berubah kasar seperti itu? Aneh.
Biasanya dia lebih lembut dan pengertian. Seperti ada sesuatu yang membuatnya marah
besar, atau seperti ada seseorang yang baru saja mencuci otaknya…

Aku mengangkat bahu. Yah, lihat saja sisi positifnya. Aku punya makan siang lebih
untuk hari ini, bahkan mungkin bisa untuk makan malam juga.

*

Jason hanya duduk diam di depanku. Tak mengatakan apapun. Tak bicara sedikitpun.
Kakakku itu entah bagaimana bisa jadi amat mengerikan. Biasanya tiap kali makan
malam, walau hanya berdua begini dia tetap mengajak bicara. Sekarang? Entah
bagaimana ia bisa menjadi kakak sombong mengerikan.

“Jason,” panggilku, “apa kau punya masalah? Tidak biasanya kau hanya diam seperti
ini. Dengan Calypso?”

Jason mendengus. Hanya itu.

“Jason! Jawab!”

Jason tetap tak bicara.

Aku mendesah. “Omong-omong, aku perlu meminta tolong. Teman-temanku ingin aku ikut
kegiatan pecinta alam. Nanti akan ada kegiatan seperti mendaki gunung, panjat
tebing, hiking dan macam-macam lagi. Biasakah kau membantuku meminta izin pada ayah
dan ibu?”

Jason menatapku tajam. “Tidak. Menurutku malah sebaiknya kau tidak ikut kegiatan
seperti itu.”

Aku menatapnya tak percaya. “Kenapa?”

“Ada terlalu banyak bahaya,” jawab Jason singkat seaka itu bisa menjelaskan semuanya.

“Tapi aku sudah besar! Aku bisa menjaga diri sendiri!” protesku kesal.

Tapi jason tetap menggeleng. “Ada waktunya kau harus mendengarkan ucapan yang lebih
tua darimu, Daphne,” katanya lalu meninggalkan meja.

Aku merasa amat marah. Mengapa Jason bisa seenaknya melarangku melakukan apa yang
ingin kulakukan? Memangnya dia itu siapa? dia hanya kakakku, tak lebih! Aku membuka
mulut untuk memprotes lagi.

Tapi yang keluar dari mulutku bukan teriakan protes, tapi jerit kesakitan.

Terjadi lagi. Seluruh tubuhku terasa amat sakit, seakan ditusuki ribuan jarum.
Pandanganku berkunang-kunang, segalanya tampak buram dan tak jelas. Aku terjatuh,
berbaring di lantai, berguling dalam posisi janin. Kesakitan.

“Hentikan!” jeritku kesakitan. “Hentikan! Sakit! Ini lebih sakit dari yang dulu…
AAAKH!!!”

“Daphne!”

Aku terus menjerit kesakitan. Jason terus berusaha menenangkanku. Tapi tak
sedikitpun ia berhasil. Rasa sakit yang menyiksaku membuatku terus mencakar-cakar
udara dan menjerit-jerit. Aku terlalu kesakitan.

Mendadak, rasa sakit itu menghilang. Aku berbaring telentang, terengah-engah,
berkeringat dingin. Jason ada di atasku, pipinya dipenuhi bekas cakaran, jelas
perbuatanku.

“Apa,” katanya marah sekaligus kaget, “yang kaupikir kaulakukan?”

Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya sedih. “Sakit,” bisikku pelan.

Jason mendesah dan mengangkat tubuhku, menggotongku di bahunya. “Kau harus bersyukur
kau lebih ringan dari kelihatannya, Daph. Kau harus beristirahat. Jangan membuatku
marah lagi.”

Aku hanya diam. Jason berubah seperti angin berganti arah. Tadi ia sedingin es, dan
sekarang ia kembali ke karakternya yang biasanya. Aku tahu ada sesuatu yang salah
pada Jason, tapi apa?

*

“Sekarang,” kata Jason dengan lengan tersilang di depan dada, “jelaskan padaku apa
penyebab kau menjerit-jerit dan bergulingan di lantai seperti itu.”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Sulit menjelaskannya, Jas. Yang aku tahu
hanyalah tubuhku begitu sakit seperti ditusuki ribuan jarum, dan… ada sesuatu di
dalam tubuhku yang rasanya seperti memberontak meminta keluar.”

Sejenak, Jason tampak kaget. Datik berikutnya ekspresi cemas menyelimuti wajahnya.
“Kau yakin kau tak perlu dokter?”

“Tak perlu,” kataku tegas.

Jason menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Sekarang
istirahatlah. Pastikan kau sehat dulu sebelum masuk sekolah. Mengerti?”

Aku mengangguk mantap, lalu menggulung tubuhku di kasur. Jason mematikan lampu
kamarku dan melangkah keluar.

Sedangkan aku sendiri tertidur.

*

Kegelapan tampak di sekelilingku. Aku tak bisa melihat apapun. Tapi sedikit demi
sedikit muncul cahaya… cahaya apa?

Aku berjalan mendekat ke sumber cahaya. Sumber cahaya itu… seorang gadis. Gadis itu
sedang berdiri memunggungiku, tak terlihat seperti apa wajahnya. Rambutnya panjang
dan indah, dan dari belakang ia tampak amat mirip denganku.

“Aku tahu kau pasti akan datang,” kata gadis itu.

Aku terpaku kaget. “Apa?”

“Daphne, aku tahu kau akan datang,” kata gadis itu lalu berbalik. Ia tampak amat
mirip denganku… dia aku!

“Kau… kau…” aku kehilangan kata-kata.

“Aku Laurel,” kata gadis itu. “Aku dan kau adalah orang yang berbeda, tapi sekaligus
juga adalah orang yang sama. Kita sesungguhnya adalah satu, namun terpecah menjadi
dua. Aku adalah pecahanmu. Tapi aku hidup di masa lalu, dan kau di masa depan.”

Aku tak mampu berkata-kata.

“Benarkah…?”

Laurel mengangguk. “Kau mungkin tak percaya, tapi itulah kebenarannya. Ada sesuatu
yang perlu kauketahui.”

Aku menatapnya. Aku baru kali ini melihatnya, bertemu dengannya, tapi aku merasakan
adanya ikatan antara aku dan dia, seperti pada aku dan Jason sebagai kakak-adik,
tapi berbeda. Ikatan ini terasa berbeda jauh, tapi sama kuat. Mungkin malah lebih
kuat. Aku juga merasa harus percaya padanya. Laurel… entah mengapa aku yakin dia
memang pecahanku.

“Aku percaya padamu,” kataku. “Hal apa yang perlu kuketahui?”

“Ada sesuatu di dalam tubuhmu yang memberontak,” kata Laurel. “Benda sihir yang amat
kuat, yang diincar semua orang yang berambisi untuk mengacaukan waktu. Dalam tubuhmu
tersimpan sekeping Keping Waktu.”

Aku menatapnya bingung.

“Waktu amatlah kompleks,” kata Laurel lagi. “Saat ini, eaktu yang sudah berlalu,
masa yang akan datang, semuanya kompleks. Di dalam tubuhmu tersimpan Keping Waktu
yang menyimpan waktu masa depan. Waktu yan diincar oleh hampir semua orang, tempat
di mana mereka bisa memanipulasi segalanya untuk menjadikan mereka berkuasa. Masa
lalu bersifat lebih monoton, sesuatu yang sudah terjadi tak bisa kauubah begitu
saja. Kalau kau ingin mengubahnya, butuh kekuatan yang besar serta benda sihir yang
menyimpan mwaktu di masa yang ingin kauubah sejarahnya. Sedangkan waktu ini adalah
waktu yang sedang berjalan, dan apa yang sedang berjalan kadang bisa lebih berbahaya
daripada waktu yang akan datang maupun waktu yang sudah lalu. Tapi waktu adalah
sesuatu yang tak bisa diprediksi.

“Aku perlu meminta maaf padamu, Daphne. Akulah yang sudah mengirim Keping Waktu
padamu, menyembunyikannya dalam tubuhmu. Dan Keping Waktu itulah yang membuatmu
banyak kesakitan belakangan ini. Aku terpaksa mengirimkannya ke dalam tubuhmu agar
orang yang menginginkannya tak bisa mendapatkannya lagi. Tapi tak kusangka mereka
memiliki Pengelana Waktu di sisi mereka. Mereka sulit dirontokkan.”

Aku menatap Laurel. Semakin lama aku semakin bingung. “Pengelana Waktu?”

Laurel mengangguk. “Ada beberapa orang yang menguasai sihir. Dan amat jarang ada
orang yang bisa menjelajah segala dimensi waktu. Tapi di sisi musuhku ada orang yang
mampu melakukannya. Kau diincar, Daphne. Rasa sakit yang selama ini kaurasakan
adalah efek samping dari mantra yang mereka gunakan untuk mengeluarkan Keping Waktu
dari tubuhmu. Kita harus mengeluarkannya lebih dulu dari musuh kita. Atau mungkin
mereka akan membunuhmu terlebih dahulu.”

Aku menatap Laurel. “Tapi bagaimana caranya?”

Laurel balas menatapku. “Aku akan pergi ke waktumu. Cari sebanyak mungkin pemilik
sihir di sekitarmu. Satu adalah kakakmu sendiri, tapi kau harus mencari yang lain.”

Aku menatap benda dalam pelukan Laurel. Jam pasir yang berkilau kebiruan. “Laurel,
itu…”

Laurel tersenyum. “Aku akan ke tempatmu dengan membawa seorang bantuan, Daphne. Ia
adalah seorang Pengelana Waktu. Mudah baginya untuk berkelana ke masa depan dengan
membawaku.”

Mendadak, Laurel menatapku dengan pandang setengah panik. “Kakakku adalah pecahan
kakakmu. Dan ia merasakan sesuatu yang jahat menguasai kakakmu! Bangun, Daphne!
Selamatkan kakakmu! Musuh kita mungkin ingin menariknya ke sisi mereka untuk
emnjatuhkanmu!”

Dan aku terbangun.

Rabu, 17 November 2010

CHAPTER 2: JASON’S TURN

“Kau jelas kenapa-kenapa.”

“Tapi aku baik-baik saja.”

“Tidak. Wajahmu pucat, kau berkeringat dingin, dan kau bahkan nyaris tak mampu
berjalan dengan baik. Kau yakin kau tidak mengkonsumsi narkotika?”

“JASON!”

“Oke, Daph. Santai saja. Aku hanya bercanda. Sebaiknya kau istirahat.”

“Tapi – “

“Daphne. Patuhlah sedikit padaku, oke?”

Daphne menatapku sejenak, tapi akhirnya ia menangguk.

Aku berjalan keluar kamarnya, mematikan lampu kamarnya sebelum menutup pintu. Lalu
aku berjalan menuju kamarku sendiri.

Begitu membuka pintu kamarku, aku tahu ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang
berbeda dari biasanya. Aroma? Bukan. Tampang? Jelas sama dengan biasanya. Apanya
yang salah?

Aku melangkah masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu menutup di belakangku. Aku
menjatuhkan diri di kasur. Tepat saat itu aku mendengar suara itu.

“Aku sudah lama menunggumu.”

Aku segera melompat berdiri dengan kaget. Aku menemukan ada seorang laki-laki di
situ, bersandar di pintuku. Satu tangannya membawa apel. Ia menggigitnya.

“Siapa kau?” tanyaku. “Dari mana kau masuk – dan kapan?”

“Bagiku yang penting hanya pertanyaan pertama,” kata pria itu sambil memandangi
apelnya, mengelapnya di bajunya, lalu menggigitnya lagi.

“Kalau begitu bisakah kau menjawabnya?” tanyaku setengah kesal. Orang ini
sembarangan masuk ke rumah orang, asal makan begitu saja, tak memperkenalkan diri,
lagi.

“Kau bisa memanggilku Schurke.”

Aku terbatuk kecil. “Schurke?”

“Kau tidak salah dengar.”

“Baiklah,” kataku. ‘Schurke’? Nama macam apa itu? Kurasa nanti aku harus
berpetualang dengan Google di bawah. “Jadi, apa tujuanmu ke sini?”

Schurke menggigit apelnya lagi. “Mengajukan penawaran.”

Aku mengernyitkan dahi. “Penawaran?”

“Benar,” katanya sembari mengunyah apelnya. “Kau tahu, adikmu bukan sakit biasa. Dia
sakit karena ada sesuatu dari tubuhnya, sesuatu dari masa lalu yang dikirimkan
padanya, mulai memberontak.”

“Whoa, whoa, whoa,” aku menggeleng. “Tunggu, teman. Kau bilang sesuatu dari masa
lalu?”

“Benar.”

“Jadi benda itu dikirim dengan mesin waktu lalu entah bagaimana bisa masuk ke tubuh
Daphne?”

“Tidak persis seperti itu, tapi, yah… kira-kira begitu.”

Wajahku langsung berubah datar. “Maaf, tapi aku tidak bisa mempercayaimu. Bisakah
sekarang kau berhenti menggangguku?”

Schurke menatapku tajam. “Kalau kau tak percaya, buktikan sendiri. Kau akan melihat
bahwa yang kukatakan benar.”

Setelah itu Schurke berubah menjadi serpihan abu yang mengotori lantai kamarku. Aku
memaki kesal. Aku terpaksa harus membersihkan kamarku sekarang. Dasar Daphne, kenapa
dia sakitnya sekarang? Kenapa tidak besok-besok saja? Kalau dia sehat aku bisa
menyuruhnya membersihkan kamarku sekarang.

*

“Daphne!” seruku kesal. “Kenapa kau selalu sulit dibangunkan di pagi hari? Kau mau
terlambat?”

“Tidak…” jawab Daphne dengan suara mengantuk. “Tapi aku masih ingin tidur…”

“Kalau kau tidur lagi, kutinggalkan kau di rumah. Biar kau berangkat jalan kai atau
naik sepeda saja,” ancamku padanya.

Daphne segera duduk di kasurnya, tapi wajahnya cemberut. Ia menatapku kesal.

“Kalau kau tidak mau terlambat, bangun sekarang juga,” kataku sambil melangkah pergi.

Aku duduk diam di meja makan, mengunyah roti isi. Menunggu Daphne. Ancaman yang
kukatakan hanya sekedar ancaman kosong. Tak mungkin aku meninggalkan adikku di rumah
sendirian, apalagi kedua orangtua kerja dinas di luar kota. Kalau dia sampai kenapa-
kenapa, orangtuaku bisa jadi sangat marah terhadapku.

Mendadak terdengar suara jeritan Daphne dari kamarnya. Kaget, aku segera berlari ke
sana. Di sana, Daphne sudah siap dengan seragamnya, rambut tersisir rapi lengkap
dengan pita kesayangannya (kenapa dia suka mengenakan pita? Yuck!) tapi ia bergelung
di lantai seperti anak kucing. Dengan panik aku segera menghampirinya dan
mengguncang tubuhnya pelan.

“Daph!” panggilku. “Daph, kau tak apa?”

Daph menoleh padaku, wajahnya tampak sepucat kertas. “Ya,” jawabnya lemah. “Aku
sudah tidak apa-apa sekarang.”

“Memangnya tadi kau kenapa?” tanyaku.

“Tubuhku serasa sakit sekali,” katanya sambil duduk. “Seperti ditusuki ribuan jarum.
Sakit. Tapi sekarang aku sudah tak apa.”

“Mungkin sebaiknya kau tidak masuk sekolah hari ini.”

Daphne menggeleng keras kepala. “Ada tes hari ini. Aku tidak mau semalam aku belajar
dengan percuma. Aku sudah tak apa.”

“Kau yakin?”

Daphne mengangguk keras kepala. Melihat kekeras kepalaannya itu, aku tahu aku hanya
bisa menurut pada kehendaknya untuk menjadi anak rajin. Kadang dia bisa menjadi amat
keras kepala.

Mendadak, saat Daphne mengernyit kesakitan saat berdiri, aku sadar kalau apa yang
dikatakan Schurke semalam itu benar. Kalau memang benar begitu, aku hanya punya satu
pilihan; menerima penawarannya. Aku tak mau adikku terluka.

*

Daphne ada kegiatan tambahan di sekolah. Baguslah. Dengan begitu aku punya waktu
ekstra untuk bicara dengan Schurke.

Ada beberapa hal yang kutemukan aneh pada Schurke. Pertama, namanya. Dalam bahasa
Jerman, schurke berarti tokoh jahat, antagonis. Pilihan nama yang aneh untuk seorang
anak, kalau itu memang nama aslinya. Kedua, matanya. Warna mata kanannya berbeda
dengan mata kirinya. Mata kanannya berwarna biru. Yang kiri berwarna hijau. Ketiga,
kemampuannya. Aku heran aku tidak langsung menyadarinya kemarin, tapi bagaimana bisa
seorang manusia lenyap menjadi abu seperti itu?

Aku masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya. Kali ini, Schurke tengah berbaring
miring dengan santai di ranjangku.

“Bisakah kau turun dari ranjangku?” tanyaku.

“Tidak.”

Aku mendengus. “Baiklah. Terserah.”

“Jadi,” kata Schurke, mengeluarkan apel dari kantongnya (apa dia selalu membawa apel
ke mana-mana?) dan mengelapnya dengan bajunya, lalu menggigitnya. “Kau sudah
pikirkan penawaranku?”

Aku duduk di meja belajarku. “Aku sudah melihat kesakitannya.”

“Ya…?” pancing Schurke. “Lalu?”

“Aku perlu mendengar penawaran apa yang kau tawarkan padaku.”

“Jadi,” Schurke menelan apelnya, lalu menggigitnya lagi. “kau bersumpah setia
padaku. Hidupmu menjadi milikku. Aku akan membantu mengeluarkan benda itu dari tubuh
adikmu. Dia tak akan merasa kesakitan. Lalu berikan benda itu padaku. Selesai.”

Aku menatap Schurke ragu. “Begitu saja?”

Schurke menelan dan mengangguk. “Begitu saja.”

“Dan tak akan ada kesakitan lagi bagi adikku?”

“Benar. Jadi, bagaimana? Deal?”

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Tak ada yang tampak aneh dalam perjanjian
itu, tapi entah bagaimana ada yang terasa aneh. Pandangan Schurke padaku terasa
aneh… atau tidak? Entahlah, mungkin hanya pikiranku saja. “Deal.”

Schurke tersenyum puas dan menyentuh dahiku dengan jari telunjuknya. “Dengan ini,
kunyatakan kau, Jason, sebagai salah satu prajuritku yang terpercaya. Apa kau
menerimanya?”

“Aku menerimanya,” kataku nyaris tanpa sadar.

Schurke menarik tangannya kembali.

“Daph tak akan merasa sakit lagi, bukan?” tanyaku memastikan.

Schurke tersenyum lagi dan mengangguk.

Setelah itu, ada ombak-ombak cahaya dan angin yang menerpaku, dan dunia berubah
gelap.

CHAPTER 1: DAPHNE’S TURN

“Chucco – chucco – chucco – chuc – “

BRAK!

Aku menatap jam itu dengan tatap mengantuk. Bunyi ‘chucco’ itu selalu membuatku
merasa sedikit kesal. Aku masih ingin tidur.

“Daphne!” seru kakakku dari bawah. “Bangun! Jangan sampai kau terlambat sekolah!”

“Jason, jangan cerewet!” seruku balik, masih agak mengantuk. “Astaga. Tunggu,
sebentar lagi aku bangun.”

“Ya, ya, ya, asal jangan lama-lama saja,” omel Jason.

“Jason!” pekikku kesal. “Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan?! Cerewet
sekali kau ini!”

“Kalau begitu cepat!” sergah Jason.

Aku menutup wajahku dengan tangan, lalu bangun dari kasur dengan malas-malasan.

*

“Turun.”

“Hah? Di sini? Ini kan masih di depan sekali!”

“Ya memang di sini. Memangnya di mana lagi? Cepat turun!”

“Jasonnn! Jahat kau! Masa kau tidak mau membawa adik sendiri ke sekolah, padahal
sekolahnya sama?”

“Ini hari pertamamu di sekolah, Daph. Kau tak tahu bagaimana aku di sekolah. Kalau
anak-anak itu melihat kita seperti ini kau bisa habis!”

“Aku tak peduli! Ini masih jauh sekali dari sekolah!”

“Oh, baiklah! Tapi kalau nanti kau sampai ada masalah, aku tak mau memanggungnya,
mengerti?”

“Ngerti!”

Dan aku segera menyesali perbuatanku, keputusanku.

Aku menginjakkan kakiku di tanah, turun dari motor Jason. Seketika aku langsung
merasakan pandangan semua orang yang tertancap padaku.

“Eh… Jason?”

“Apa?”

“Ini hanya perasaanku saja atau memang semua orang menatap kita?”

“Itu memang benar. Karena inilah aku tidak mau kau ikut bersamaku.”

“Kenapa?”

“Karena…”

“JASON!”

Jason memandangku dengan tatap malas bercampur putus asa dan setengah jijik, sambil
menunjuk gadis yang bergelantungan di punggungnya dan membisikkan ‘karena ini’ tanpa
suara. Aku hanya mengerjap karena kaget.

“Jason! Kenapa kemarin aku telepon tidak diangkat? Aku kan rindu padamu! Omong-
omong, siapa, gadis ini? Cantik sih, tapi tidak pantas bersanding denganmu. Aku
lebih pantas, kan?”

Aku mengernyitkan dahi. Apaan perempuan ini? Gaya secentil ini, sepede ini, kenapa
dia bisa berani-berani menyebut orang tak pantas bersanding dengan kakaknya sendiri?

Jason mendesah malas. “Calypso.”

“Apa?”

Jason melepaskan diri dari pelukan gadis itu – Calypso. “Ada sesuatu yang perlu
kuberitahukan padamu. Tolong berhenti mengikutiku, oke? Aku sudah bersama
seseorang,” Jason merangkulku dan memberikan isyarat mata padaku, “jadi, maaf.”

Mata Calypso melebar. “Apa? Jason, tapi…”

“Ayo, Manis,” ajak Jason sambil merangkulku lagi dengan satu tangan, tangan lainnya
membawa motornya.

“Dengan senang hati, Sayang,” kataku mesra lalu memeluk lehernya, kemudian berjalan
menemaninya ke parkiran motor diiringi tatap tak percaya Calypso. Diam-diam aku dan
Jason tertawa terbahak-bahak dalam hati. Andai Calypso tahu kebenarannya…

*

“Daphne!”

Aku menoleh dan tertawa melihat Jason. “Huahahahahahaha!!!”, dan Jason ikut terbahak
keras bersamaku.

“Kau lihat wajahnya tadi?” tanya Jason di sela tawanya.

“Kau dengar nada suaranya tadi?” tanyaku balik.

“Memuaskan sekali rasanya bisa mengerjai orang!”

Kami tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Tak menyadari kalau ada orang yang
mendekati kami.

“Jason!”

Masih setengah tertawa, Jason menoleh. Begitu juga aku.

Calypso.

“Jelaskan padaku apa maksud perkataanmu tadi itu!” tuntutnya galak.

“Oh, please,” kataku geli. “Kau bahkan tak punya hubungan apapun dengannya.”

Calypso melotot ke arahku, yang hanya membuatku merasa makin geli dan terbahak makin
keras.

“Kau benar-benar menginginkan penjelasan?” tanya Jason.

“Tentu saja!” seru Calypso.

“Aku adiknya,” kataku di sela tawaku.

“Apa?” Calypso tampak amat kaget. Raut wajahnya yang seperti itu membuatku dan Jason
tertawa lagi.

“Oh, please, stop!” seruku terengah, tapi kami masih juga terbahak keras sampai-
sampai teman sekelasku menatap kami berdua seakan kami orang gila.

“Ya, dia adikku,” kata Jason menyetujui. “Sudah lama aku tidak iseng, jadi kupikir
kulakukan saja tadi.”

Calypso menggembungkan pipinya lalu pergi sambil menghentakkan kakinya.

Membuatku dan Jason terbahak lagi.

*

“… jadi bila x dijadikan persamaan dengan y…”

Aku menguap pelan. Mengesalkan. Ini hanya membuatku mengantuk. Pelajaran tak
berguna, matematika ini. Kenapa harus ada pelajaran ini di dunia ini?

“Dan, Daphne – “

Aku merasakan perutku mulai seperti diaduk-aduk saat guruku memanggilku. Tapi
mendadak yang sakit bukan hanya perutku, tapi sekujur tubuhku. Pandanganku berkunang-
kunang dan rasa sakit menyergap tubuhku. Aku tak lagi bisa merasakannya. Aku
menjerit.

“Daphne…?” guruku tampak kaget dan bingung.

Rasa sakit itu lenyap secepat datangnya, tapi ternyata aku sudah berbaring di lantai
kelasku dalam posisi bergelung seperti anak kucing. Nafasku terengah tak keruan,
keringat dingin mengalir di pelipisku.

“Daph?” panggil Thalia, teman sekelasku. “Daph, kau baik-baik saja?”

“Entahlah…”

“Wajahmu pucat sekali,” kata Theo.

“Benarkah?”

“Pak,” panggil Thalia, “bolehkah saya mengantar Daphne ke ruang kesehatan?”

“Ya,” kata guruku, kini kekhawatiran murni muncul di wajahnya. “Ya, ya. ya. bawalah
dia ke ruang kesehatan. Dia jelas tak sehat.”

Aku tak melihat alasan untuk membantahnya, sayangnya.