Rabu, 17 November 2010

CHAPTER 1: DAPHNE’S TURN

“Chucco – chucco – chucco – chuc – “

BRAK!

Aku menatap jam itu dengan tatap mengantuk. Bunyi ‘chucco’ itu selalu membuatku
merasa sedikit kesal. Aku masih ingin tidur.

“Daphne!” seru kakakku dari bawah. “Bangun! Jangan sampai kau terlambat sekolah!”

“Jason, jangan cerewet!” seruku balik, masih agak mengantuk. “Astaga. Tunggu,
sebentar lagi aku bangun.”

“Ya, ya, ya, asal jangan lama-lama saja,” omel Jason.

“Jason!” pekikku kesal. “Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan?! Cerewet
sekali kau ini!”

“Kalau begitu cepat!” sergah Jason.

Aku menutup wajahku dengan tangan, lalu bangun dari kasur dengan malas-malasan.

*

“Turun.”

“Hah? Di sini? Ini kan masih di depan sekali!”

“Ya memang di sini. Memangnya di mana lagi? Cepat turun!”

“Jasonnn! Jahat kau! Masa kau tidak mau membawa adik sendiri ke sekolah, padahal
sekolahnya sama?”

“Ini hari pertamamu di sekolah, Daph. Kau tak tahu bagaimana aku di sekolah. Kalau
anak-anak itu melihat kita seperti ini kau bisa habis!”

“Aku tak peduli! Ini masih jauh sekali dari sekolah!”

“Oh, baiklah! Tapi kalau nanti kau sampai ada masalah, aku tak mau memanggungnya,
mengerti?”

“Ngerti!”

Dan aku segera menyesali perbuatanku, keputusanku.

Aku menginjakkan kakiku di tanah, turun dari motor Jason. Seketika aku langsung
merasakan pandangan semua orang yang tertancap padaku.

“Eh… Jason?”

“Apa?”

“Ini hanya perasaanku saja atau memang semua orang menatap kita?”

“Itu memang benar. Karena inilah aku tidak mau kau ikut bersamaku.”

“Kenapa?”

“Karena…”

“JASON!”

Jason memandangku dengan tatap malas bercampur putus asa dan setengah jijik, sambil
menunjuk gadis yang bergelantungan di punggungnya dan membisikkan ‘karena ini’ tanpa
suara. Aku hanya mengerjap karena kaget.

“Jason! Kenapa kemarin aku telepon tidak diangkat? Aku kan rindu padamu! Omong-
omong, siapa, gadis ini? Cantik sih, tapi tidak pantas bersanding denganmu. Aku
lebih pantas, kan?”

Aku mengernyitkan dahi. Apaan perempuan ini? Gaya secentil ini, sepede ini, kenapa
dia bisa berani-berani menyebut orang tak pantas bersanding dengan kakaknya sendiri?

Jason mendesah malas. “Calypso.”

“Apa?”

Jason melepaskan diri dari pelukan gadis itu – Calypso. “Ada sesuatu yang perlu
kuberitahukan padamu. Tolong berhenti mengikutiku, oke? Aku sudah bersama
seseorang,” Jason merangkulku dan memberikan isyarat mata padaku, “jadi, maaf.”

Mata Calypso melebar. “Apa? Jason, tapi…”

“Ayo, Manis,” ajak Jason sambil merangkulku lagi dengan satu tangan, tangan lainnya
membawa motornya.

“Dengan senang hati, Sayang,” kataku mesra lalu memeluk lehernya, kemudian berjalan
menemaninya ke parkiran motor diiringi tatap tak percaya Calypso. Diam-diam aku dan
Jason tertawa terbahak-bahak dalam hati. Andai Calypso tahu kebenarannya…

*

“Daphne!”

Aku menoleh dan tertawa melihat Jason. “Huahahahahahaha!!!”, dan Jason ikut terbahak
keras bersamaku.

“Kau lihat wajahnya tadi?” tanya Jason di sela tawanya.

“Kau dengar nada suaranya tadi?” tanyaku balik.

“Memuaskan sekali rasanya bisa mengerjai orang!”

Kami tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Tak menyadari kalau ada orang yang
mendekati kami.

“Jason!”

Masih setengah tertawa, Jason menoleh. Begitu juga aku.

Calypso.

“Jelaskan padaku apa maksud perkataanmu tadi itu!” tuntutnya galak.

“Oh, please,” kataku geli. “Kau bahkan tak punya hubungan apapun dengannya.”

Calypso melotot ke arahku, yang hanya membuatku merasa makin geli dan terbahak makin
keras.

“Kau benar-benar menginginkan penjelasan?” tanya Jason.

“Tentu saja!” seru Calypso.

“Aku adiknya,” kataku di sela tawaku.

“Apa?” Calypso tampak amat kaget. Raut wajahnya yang seperti itu membuatku dan Jason
tertawa lagi.

“Oh, please, stop!” seruku terengah, tapi kami masih juga terbahak keras sampai-
sampai teman sekelasku menatap kami berdua seakan kami orang gila.

“Ya, dia adikku,” kata Jason menyetujui. “Sudah lama aku tidak iseng, jadi kupikir
kulakukan saja tadi.”

Calypso menggembungkan pipinya lalu pergi sambil menghentakkan kakinya.

Membuatku dan Jason terbahak lagi.

*

“… jadi bila x dijadikan persamaan dengan y…”

Aku menguap pelan. Mengesalkan. Ini hanya membuatku mengantuk. Pelajaran tak
berguna, matematika ini. Kenapa harus ada pelajaran ini di dunia ini?

“Dan, Daphne – “

Aku merasakan perutku mulai seperti diaduk-aduk saat guruku memanggilku. Tapi
mendadak yang sakit bukan hanya perutku, tapi sekujur tubuhku. Pandanganku berkunang-
kunang dan rasa sakit menyergap tubuhku. Aku tak lagi bisa merasakannya. Aku
menjerit.

“Daphne…?” guruku tampak kaget dan bingung.

Rasa sakit itu lenyap secepat datangnya, tapi ternyata aku sudah berbaring di lantai
kelasku dalam posisi bergelung seperti anak kucing. Nafasku terengah tak keruan,
keringat dingin mengalir di pelipisku.

“Daph?” panggil Thalia, teman sekelasku. “Daph, kau baik-baik saja?”

“Entahlah…”

“Wajahmu pucat sekali,” kata Theo.

“Benarkah?”

“Pak,” panggil Thalia, “bolehkah saya mengantar Daphne ke ruang kesehatan?”

“Ya,” kata guruku, kini kekhawatiran murni muncul di wajahnya. “Ya, ya. ya. bawalah
dia ke ruang kesehatan. Dia jelas tak sehat.”

Aku tak melihat alasan untuk membantahnya, sayangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar