Selasa, 23 November 2010

CHAPTER 9: DAPHNE’S TURN

Aku memeluk lutut, terisak pelan. Aku benci situasiku. Terkurung, tak berdaya, hanya bisa diam dan tak melakukan apapun. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?

Suara berisik dari luar sel. Aku menoleh dengan mata sembab. Ada apa di luar?

Gyle.

Gyle. Gyle datang. Masuk ke dalam selku. Aku segera mengeraskan rahang dan
menatapnya dengan pandang menantang.

Gyle tersenyum jahat. “Waktunya untuk mengeluarkan Kepingan Waktu dari tubuhmu.”

Aku menatapnya tajam. “Bagaimana kalau aku menolak?”

“Maka aku akan melakukannya dengan paksa.”

Aku memandanginya dengan marah. “Lakukan saja! Kau pikir aku peduli?! Kau sudah
menyerang rumahku. Kau sudah tahu kalau aku punya kekebalan. Tak ada gunanya
berusaha menyakitiku secara sihir. Menyakitiku secara fisik hanya akan membuatku
mengamuk.”

Gyle menyeringai padaku. “Kau harus tahu kalau kekebalanmu tak mempan pada segala
jenis sihir. Kekebalanmu tak akan melindungimu dari Pengguna Senjata. Kekebalanmu
juga tak akan melindungimu dari seorang Pencuri Sihir.”

Tanpa bisa kucegah, ia memegangi kepalaku dengan kuat. Aku memekik kaget.

“Kuambil kekebalanmu,” kata Gyle dengan suara serak.

Mataku melebar. Aliran listrik seakan mengaliri seluruh tubuhku. Menggetarkan tulang-
tulangku, menghanguskan dagingku, menghentikan kerja jantungku.

Detik berikutnya segala kembali normal, kecuali bahwa aku merasa seluruh tubuhku tak
bisa digerakkan. Sakit. Lemas. Aku tak bisa melakukan apapun.

“Apa…”

Gyle tersenyum manis padaku. Manis, tapi mengerikan. Jenis senyuman yang membuatmu
merasa yakin kalau orang yang memberimu senyuman itu akan segera menghabisi nyawamu
segera setelah senyum itu menghilang. Aku merinding, tapi tetap memandangnya
waspada. Bahkan, mulai panik.

“Kini telah tiba saatnya untuk membuktikannya…”

Aku memandang Gyle bingung. Apa? Membuktikan apa? Aku mau diapakan? Tolong!

Gyle melangkah mundur beberapa langkah, lalu mengangkat kedua tangannya.

“Apakah kekebalanmu sudah berhasil kucuri?” tanya Gyle. “Mari kita lihat.”

Bagaikan orang yang memainkan marionette, Gyle menggerakkan jemarinya. Dan bagai
sebuah boneka tali tak berdaya, aku mengikuti gerakan jemarinya.

Aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya bisa membiarkan tubuhku dikendalikan. Aku
ingin melawan, tapi aku tahu itu percuma. Tanpa kekebalanku, segalanya percuma.

Gyle menarikku ke sisinya, lalu menurunkan tangannya. Seluruh tubuhku luruh jatuh,
tak mampu lagi bergerak. Gyle tersenyum kejam.

“Aku memang berhasil,” kata Gyle puas. “Sekarang, Kepingan Waktu.”

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku pasti tamat. Aku akan mati. Tapi aku belum mau
mati!

“Kau…” aku menelan ludah. “Kau tak akan membunuhku! Tak akan berhasil membunuhku!
Tidak sekarang! Aku tak akan mati sebelum mendapatkan Jason kembali!”

Gyle tersenyum makin lebar. “Kata-akatamu bukanlah masalah bagiku. Kata-katamu tak
akan menimbulkan masalah apapun bagiku. Begitu pula perbuatanmu. Tapi apa yang
kulakukan, apa yang kukatakan, apa yang kuperbuat, mungkin bisa menjadi masalah
bagimu…”

Gyle mengangkat tangannya, dan di sana tergenggam sebilah belati panjang. Matanya
menatap titik di mana jantungku berada, siap menusukkan belati itu di sana. Aku
menutup mata. Aku akan mati…

BRUAKKK!!!

Aku mengintip dari sela-sela bulu mataku. Apa yang terjadi? Suara apa itu? Dan… oh
astaga. Aku masih hidup? Aku masih hidup! Aku masih hidup!!!

Pintu jeruji sel kini tampak bertebaran tak jelas di lantai batu yang dingin. Di
sana, di antara kepulan debu yang beterbangan, berdiri seorang pemuda. Jason?

Bukan. Bukan Jason. Rambut merah tuanya berbeda dengan rambut cokelat Jason. Mata
kelabunya berbeda dengan mata hitam Jason. Tapi keduanya memiliki persamaan. Aku
bisa merasakan adanya aura hangat melindungi yang selalu kurasakan saat bersama
Jason.

Mata Gyle melebar menatap pemuda itu. “Kau – “

Pemuda itu memotongnya. “Gyle, diam. Sudah cukup kau melakukan semua ini. Jangan
lukai dia.”

Gyle menyeringai lebar. Seringai jahat, namun tampak sedikit panik. “Hebat, Argus.
Amat hebat. Jadi akhirnya kau memutuskan untuk menggunakan kemampuan curian?”

Pemuda itu, Argus, menatap Gyle dengan mata berkilat. “Tak semudah itu.”

Dalam gerakan yang begitu cepat hingga aku kesulitan mengikutinya dengan mata, Argus
melesat ke arah Gyle dan menyentuh dahinya, lalu berteriak,

“Kuambil kembali kekebalan ini, dan kukembalikan kepada dia yang mempunyainya!”

Gyle terjatuh diiringi teriak marah. Aku merasakan kekuatanku kembali. Aku menatap
Argus dengan bingung. Dia… dia jelas bukan anak buah Gyle. Tapi kenapa dia
menolongku? Dia jelas tak punya alasan untuk membantuku.

“Siapa kau?”

Dia tersenyum. “Aku Argus.”

Aku tersenyum ragu. “Um… Daphne.”

“Nama yang bagus,” katanya. “Sekarang yang terpenting adalah keluar dari tempat ini.
Ayo.”

Argus menarikku berdiri dan dengan segera kami berdua berlari melintasi lorong-
lorong gelap yang tak bisa kupahami polanya. Aneh. Argus tampak amat mengenal tempat
ini. Ia mengambil tiap langkah, berbelok di tiap lorong dengan yakin dan mantap.
Seakan dia tumbuh di tempat ini, seakan ia amat mengerti tempat ini.

Kami berpapasan dengan Jason.

“Jason – “

Argus membekap mulutku. “Saat ini dia bukan Jason yang kaukenal. Diamlah.”

Jason menatap kami dengan pandang dingin. Argus mengambil langkah ke lorong di
sebelah kami, menghindari Jason, dan kembali berlari. Jason tak mengejar.

“Jason…”

“Jangan katakan apapun. Ayo.”

Aku menunduk sambil berlari. Aku harus mematikan hatiku untuk itu. Sakit. Aku ingin
Jason kembali seperti semula. Tapi aku tahu untuk sementara itu tak mungkin.

*

“Laurel!”

Laurel menatapku dengan tatap lega. “Daphne! Kau baik-baik saja! Kupikir kau akan
mati, ramalannya menunjukkan kartu The Death! Kupikir kau benar-benar…”

Aku menyetop kata-katanya. “Bukannya kartu The Death tidak selalu berarti kematian?”

“Tadi hasil ramalan untukmu artinya itu.”

Calypso memotong percakapan kami. “Stop dulu untuk itu. Sekarang…”

Erato segera memotong kata-kata Calypso. “Daph! Siapa dia?”

Aku menatap ke arah yang ditunjuk Erato. “Oh, dia? Dia Argus. Tadi dia membantuku
kabur dari Gyle.”

Laurel menoleh pada Argus. Lalu terdiam.

“Laurel?”

Mendadak ekspresi Laurel berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya berkilat
marah. Ia menatap Argus dengan ekspresi siap membunuh.

“Pengkhianat,” katanya serak. “Pengkhianat! Kau… kau membunuh keluargamu sendiri…
Kau… kau…”

James memotong kalimat Laurel. “Apa yang kaulakukan di sini, Argus? Keberadaanmu tak
dibutuhkan. Tak ada yang membutuhkan pengkhianat sepertimu.”

Argus menatap James lekat. “Aku sudah melakukan kesalahan dengan menyerahkan kedua
orangtuamu pada Gyle. Tapi aku tak akan melakukannya lagi. Berikan aku satu
kesempatan lagi.”

“Kesempatan?!” jerit Laurel, sarat kemarahan. “Kesempatan, setelah apa yang
kaulakukan pada orangtua kami?! Jangan bermimpi! Kau hanyalah pengkhianat!”

Ekspresi Argus mengeruh. “Tolong. Aku tak bermaksud melakukan itu. Aku tak mengira
Gyle jahat. Kalian sudah tahu itu. Maafkan kesalahanku. Berikan padaku satu
kesempatan lain.”

James menatap Argus lagi, tapi tak mengatakan apapun. Keheningan yang merisaukan
terjadi. Bahkan Ares yang paling sembarangan bicarapun tak mengatakan apapun. Ini
sudah berubah menjadi masalah pribadi. Tak ada satupun yang berbicara. Tak ada
satupun yang ingin terlibat dalam permasalahan ini.

“Baiklah,” kata James akhirnya. “Tapi hanya satu.”

Dengan segera Argus berubah lega. “Terima kasih. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.
Aku…”

James berbalik menjauhi Argus. Argus tak berusaha menyetopnya maupun melanjutkan
kata-katanya.

“Jadi,” katanya akhirnya, “bisakah kita mulai dengan perkenalan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar