Jumat, 12 November 2010

emotion eater chp.9

CHAPTER 9

Aku mendengar suara amukan angin. Aku berpandangan sesaat dengan Lucas yang sudah
sadar, lalu dengan segera kami berlari ke hall, tempat suara itu paling keras
terdengar.

“Louie! Gregor! Oh, astaga... HELEN!!!”

Aku benar-benar tak mampu menahan kaget melihat kondisi Helen. Penuh luka dan
bersimbah darah.

Aku segera berlari ke arahnya, diikuti Lucas. Melihat ada pisau tertancap di
tubuhnya, aku memekik.

“Helen! Helen!” panggilku panik saat melihat matanya terpejam rapat.

Ia membuka matanya. Lalu dengan lemah, dengan nafas terengah tak keruan, ia
berbisik, “Maaf...”

Ia menutup mata dan mengembuskan nafasnya dalam desahan panjang.

Aku membeku, menatapnya lekat. Walau begitu aku tahu, mata itu tak akan pernah
terbuka lagi, dan mulutnya tak akan melontarkan sapaan bagiku lagi.

“Dia tertusuk oleh pisau ini,” kata Louie, menunjuk bagian kiri dada Helen, “oleh
Douglass. Ia berusaha melindungiku. Aku minta maaf.”

Aku mencabut pisau itu dari dada Helen, meremas bagian tajamnya hingga tanganku
berdarah. Tak ada yang mencoba menghentikanku.

Aku merasakan kemarahan menguasaiku. Airmataku mulai menggenang, bukan dalam
kesedihan, melainkan dalam kemarahan. Aku mendesis marah, membanting pisau yang kini
berlumuran darah Helen dan darahku sendiri dengan geram.

“Louie,” panggilku, aku terkejut menyadari suaraku terdengar tenang padahal darahku
menggelegak dalam kemarahan.

Louie memandangku dengan tatap bertanya.

Aku memandangnya serius. “Aku ingin membalaskan kematian Helen.”

Tak ada yang bicara, walau Gregor tampak kaget dan tak percaya.

“Karena itu...” aku menjilat bibir, menenangkan diri. “Karena itu, tolong ajari aku.
Aku tak peduli latihan yang kauberikan menjadi ajang pembantaian bagiku, yang
penting tujuanku bisa tercapai. Kau boleh membantaiku kalau mau, selama ini bisa
menjadikanku siap untuk membalas dendam. Tolong.”

Louie memandangku hampa, lalu mengangguk.

*

Aku terlempar jauh dan terbatuk keras. Melihat api bergulung-gulung hendak menyergapku, aku segera membentuk perisai, mengurung diri dalam bola perlindunganku
sendiri.

Sial. Louie serius sekali.

Begitu api menghilang, aku menyerang Louie dengan jutaan pecahan kaca yang melesat
cepat, mengincar matanya. Tapi dengan mudah Louie melenyapkannya, memupuskan
harapanku untuk menang.

Aku bersiul untuk mengendalikan angin, menyerang Louie dengan angin topan yang
menggila.

Pada awalnya kukira berhasil, tapi tidak. Louie terlalu kuat. Dia bisa bertahan dari
anginku.

Aku mendesis kesal. Aku baru saja ingin menyerang Louie lagi saat terdengar suara
benda retak.

Dari gelang lenganku.

Semua gerakan terhenti. Rupanya suara itu begitu keras hingga bahkan Lucas yang
menonton menengadahkan kepala dengan bingung dan heran.

Aku menatap gelang lenganku dengan waswas. Kulepaskan gelang itu dan kuamati
baik-baik.

“Gelangku...” bisikku tak percaya.

Batunya telah retak.

*


“Mungkin karena bukan amber,” kata Gregor sambil menatap gelangku.

“Jadi karena bukan batu sihir sejatinya, maka retak karena tidak kuat menahan
tekanan kekuatan sihir Lianne?” tanya Lucas tenang.

“Kurasa begitu. Kalau begini latihan sihirnya terpaksa ditunda sampai dia mendapat
amber,” kata Louie hampa.

“Hei, kalau begini bagaimana aku bisa latihan lagi?” tanyaku bingung.

“Maaf, Lianne. Untuk sementara, setidaknya sampai kau mendapat amber, kau tidak bisa
berlatih sihir dulu.”

Aku memandanginya tak percaya. “Tapi bukankah dulu kau bilang kekuatan sihir itu ada
pada diri sendiri? Batu sihir hanya menyokong kekuatan sihir dengan tenaga cadangan,
bukan? Kalau begitu, bukankah seharusnya aku masih bisa menyihir?”

Louie menggeleng. “Kalau seseorang sudah memiliki batu sihir dan batu itu rusak,
kekuatan sihirnya otomatis juga tidak bisa digunakan untuk sementara waktu.
Setidaknya sampai dia mendapat batu baru.”

“Kalau begitu boleh aku mengambil batu lagi?”

Gregor menggeleng. “Tidak, maaf. Seseorang hanya boleh mengambil batu dua kali dalam
hidupnya, atau fatal akibatnya. Batu kedua yang kaupilih haruslah amber. Sedangkan

kau sendiri tahu kalau aku tak punya amber. Maaf.”

“Sebenarnya batumu belum rusak benar, jadi kau masih bisa menyihir.”

Aku menatap Louie dengan kaget. “Kenapa tidak bilang dari tadi?!”

“Tapi berhubung sudah retak,” lanjut Louie seakan tidak pernah kuinterupsi, “hanya
sekali menyihir saja akan membuat batu itu pecah berkeping-keping, yang berarti
rusak total dan tidak bisa dipakai lagi. Itu artinya kau tidak boleh menyihir lagi,
kecuali kalau kau benar-benar berada dalam keadaan darurat yang mengharuskanmu
memakai sihir untuk bertahan hidup.”

Aku menenggelamkan wajah di telapak tanganku. Kalau begini caranya kapan aku bisa
membalas dendam pada Arthur dan Douglass?

Louie mendesah. “Kalau begini sudah tak ada cara lain. Dia harus secepatnya pergi ke
negeri Emotion Eater. Kalau sampai kita diserang di sini dan dia tidak bisa
menyihir, tamat riwayatnya.”

Gregor mengangguk. “Dia harus secepatnya bertemu dengan si Penjaga Batu.”

“Dan mengambil amber.”

Aku dan Lucas berpandangan. Sepertinya hari-hari tenang di sini sebentar lagi akan
berakhir.

Louie mengangguk. “Oke, kalau begitu kita bertiga berangkat besok.”

“Hanya bertiga?”

“Sejak awal sebenarnya yang ada juga hanya kita bertiga, bukan?”

“Tapi...”

“Memangnya kalian mau mengajak siapa? Lena? Gregor harus tetap di sini, ini
rumahnya. Gerrald adalah kepala pelayan di sini. Sisanya adalah pelayan dan semuanya
tidak bisa sihir. Lalu kalian mau mengajak siapa lagi?”

Tepat sasaran. Tidak bisa mengelak lagi, akhirnya aku dan Lucas mengangguk.

“Lalu... kita berangkat besok?”

“Ya. Memang harus secepatnya. Sebelum musuh kita yang merepotkan itu mengetahui
kalau kita pergi,” kata Louie, muncul kedutan di pelipisnya. Sepertinya dia marah
sekali pada Arthur dan Douglass. Karena kematian Helenkah? Entahlah.

“Sebenarnya kalian belum siap keluar,” kata Gregor, tampak bimbang. “Kalian masih
butuh pelatihan dan persiapa untuk mempertahankan diri kalau ada sesuatu yang
mengancam kalian. Sihir kalian masih terlalu mudah dilacak, aura sihirnya mudah
terbaca. Kalian belum belajar bagaimana cara menyembunyikannya.”

“Aku akan mengajari cara menyembunyikan aura sihir mereka di perjalanan,” kata Louie
sambil berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. “Cara-cara itu nyaris tidak
memerlukan sihir sama sekali, batu sihir Lianne takkan terbebani.”

Aku menunduk, memandangi gelang lenganku yang tadi kulepas. Hari-hari santai dan
tenang (kalau santai berarti sangat banyak berlatih tanpa istirahat, ya, di sini
amat santai.) di rumah ini tak akan pernah kualami lagi.

*

Aku menatap rumah Gregor lagi. Rumah ini masih tetap terlihat sama: besar, megah,
agung, nyaman, namun dari luar tampak agak mengancam.

“Kami berangkat,” kata Louie, mengajak aku dan Lucas bergegas.

“Tunggu, Lianne.”

Aku menoleh. “Gregor? Ada apa?”

Gregor memberikan seuntai kalung padaku. Tapi ada sesuatu yang lain pada kalung itu.
Seakan ada aura yang terasa melindungi terpancar darinya. Hanya seuntai rantai perak
dan liontin oval emas murni, di tengahnya ada sebentuk kaca yang melengkung, dalam
kaca lengkung itu ada butiran pasir keemasan yang berkilau memantulkan cahaya
mentari pagi. Aku menatap liontin itu, dan kulihat ada ukiran rowan di sana, samar,
dan di sekeliling rowan itu ada ukiran sulur anggur dan ivy, satu di sisi kanan,
satu di sisi kiri.

“Ini amulet. Dia akan melindungimu dari segala macam sihir yang menyerangmu,
setidaknya itu akan membuatmu mengurangi pemakaian sihirmu,” jelas Gregor sambil
menyorongkan benda itu kepadaku.

“EH?!” pekikku kaget. “Jangan berikan padaku! Ini benda berharga, kan?”

“Tapi ini memang milikmu. Sudah kusimpan bertahun-tahun lamanya untuk kuberikan pada
sang Putri. Ini memang milikmu. Dulu aku tidak sempat memberikannya pada Lania
karena ia sudah tewas terlebih dahulu. Kaulah pemiliknya sekarang.”

“Tapi...”

“Aku memaksa,” kata Gregor sambil memakaikan benda itu di leherku.

Pasirnya tampak bercahaya sesaat, lalu normal kembali.

“Ah,” kata Gregor puas. “Campuran dari semua pasir di gurun seluruh dunia itu
bercahaya. Itu artinya kau memang pemilik sah dari amulet ini.”

Aku melotot memandangnya tak percaya. “Gurun seluruh dunia?”

“Gurun pasir. Sebut saja semuanya, Sahara, Gobi, semua ada di dalam amuletmu.”

Aku menatap benda itu dengan tatap tak percaya. Woah, benda sekecil ini ternyata
memiliki benda semenakjubkan pasir seluruh padang pasir itu... Tapi apa kemampuannya
sebagus penampilannya?

“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” kata Gregor, terkekeh senang. Ia menembakkan peluru
cahaya ke arahku.

“Wua!”

Saat kukira peluru cahaya itu akan menghantamku, yang terjadi ternyata justru malah
peluru cahaya itu terhisap ke dalam pasir di liontinku, membuat semua butir pasir
bercahaya keemasan sesaat.

“Eh...?”

“Itu kegunaannya,” kata Gregor santai. “Selain itu amulet juga berguna untuk
menghalau hal-hal jahat seperti guna-guna dan sejenisnya. Sangat berguna.”

Aku menelengkan kepala. Amulet atau talisman dia bilang tadi?

“Sekarang, berangkatlah,” perintah Gregor. “Aku tak akan menahan kalian lebih lama
lagi. Satu pesan untukmu, Lianne, jangan pernah lepaskan benda itu dari lehermu.
Selamat jalan, hati-hati.”

Aku menatapnya sementara kakiku mulai melangkah, sebentuk senyum kecil mulai
terbentuk di bibirku.

“Sampai jumpa,” ucapku sambil melangkah menjauhi rumah Gregor.

*

Lagi-lagi seperti ini: berjalan seharian, istirahat sedikit, jalan lagi, makan di bawah pohon, tidur beralaskan daun-daun gugur, kelelahan dan kotor. Kehidupan yang
dengan amat senang hati kutinggalkan saat sampai di rumah Gregor, sekaligus
kehidupan yang dengan amat terpaksa harus kujalani lagi walau enggan.

Aku memanjat sebatang pohon berdahan rendah, dengan lincah naik sampai ke puncaknya,
mengawasi sekitar.

“Louie!” panggilku dengan kaget, tak percaya pada apa yang kulihat. “Kita pergi ke
arah mana?”

“Ke sana,” kata Louie sambil menunjuk ke satu arah.

Aku memekik tak percaya. “Louie! Kau pasti bercanda. Itu kan hutan yang baru saja
terbakar!”

“Yep,” kata Louie santai, “dan tempat seperti itulah yang paling tepat untuk
berlatih menyembunyikan aura sihir kalian.”

Aku langsung lemas. “Kenapa? Kenapa di tempat suram seperti itu?”

“Karena kalau di sana aku bisa menyelubungi kita bertiga dengan sihir ilusi, supaya
semua orang yang melihat kita hanya akan melihat tiga batang tunggul pohon tak
berharga. Kalau di sini ada terlalu banyak pohon, aku tak bisa membuat ilusi dengan
baik.”

“Tidak ada pilihan lain, ya?” tanya Lucas, tampak sedih (kesedihan yang dibuat-buat,
dari wajahnya aku tahu kalau sebenarnya dia marah). “Apa kami bisa memilih tempat
lain?”

“Tidak.”

“Sudah kuduga.”

“Kapan kita mulai pelatihan itu?”

“Besok.”

“Aww, sungguh menyenangkan,” keluhku kesal, menyindir Louie. Tapi sepertinya
sindiran itu tidak kena. Dia malah dengan santainya menyihir api dan mulai memasak
makanan yang dibawanya dari rumah Gregor.

Cuek sekali orang ini. Andai saja aku punya kesempatan dan alasan untuk menjitak
kepalanya sampai benjol...

*

Kesuraman itu seakan tak ada ujungnya. Rusak, terbakar. Bagian yang tak terbakar tampak kering dan tandus. Sungguh menyedihkan.

Di sudut yang bisa dibilang salah satu yang tertidak tandus, Louie duduk di rumput
kering.

“Di sini, duduklah,” katanya sambil menepuk rumput kering di sebelahnya. “Duduk
melingkar. Ini akan mudah dilatih kalau kita duduk. Nanti kalau kalian sudah lebih
bisa, baru kita latihan sambil berdiri.”

Tanpa mau repot-repot bertanya, aku dan Lucas menuruti perintah Louie.

Louie mulai berpidato panjang lebar, menjelaskan tentang aura ini. Aura adalah
sejenis zat tak kasatmata, hanya bisa dilihat seseorang yang memiliki kemampuan
‘melihat’. Ia berbentuk pendaran cahaya yang menyelubungi seseorang, memiliki warna
yang indah. Ada yang merupakan campuran dari banyak warna, ada yang hanya merupakan
satu warna tunggal.Aura bersifat melindungi pemiliknya, dan kadang berpengaruh pada
kesehatan pemiliknya. Contohnya adalah saat seseorang terkena sakit kepala, bisa
jadi karena auranya sedikit ‘bermasalah’. Tentu masalah ini maksudnya masalah
ringan. Kalau seseorang mati, auranya akan meredup perlahan dan hilang sama sekali
setelah beberapa saat. Louie mengatakan kalau aku dan Lucas seharusnya memiliki satu
warna aura tunggal, karena dalam legenda disebutkan seperti itu. Dan dalam legenda
juga, disebutkan bahwa aura satu warna memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari
aura campuran warna, karena aura satu warna berarti aura murni, yang amat sulit
ditemukan di dunia dewasa ini.

Louie juga menjelaskan bahwa saat seseorang menyihir, di sihirnya akan ada jejak
aura itu, baik berupa warna maupun aroma. Setiap orang memiliki warna dan aroma aura
yang berbeda, karena itu saat kami menyihir, orang yang mengerti jejak aroma dan
warna aura itu akan tahu siapa yang menyihir. Untuk itu kami harus belajar untuk
menyembunyikan warna dan aroma itu.

“Untuk tahu apa warna dan aroma aura kalian, aku harus memicu aura kalian terlihat
oleh mata orang-orang yang tidak dikaruniai kemampuan ‘melihat’, dan kalian harus
menyembunyikannya. Aku tak akan bilang caranya, saat aura itu terlihat dan tercium,
kalian akan tahu, entah bagaimanapun caranya, untuk menyembunyikan jejak aura
kalian. Kalau kalian gagal, aku yang akan menyembunyikannya. Kita akan terus mencoba
sampai bisa,” kata Louie sambil meletakkan tangan di bahuku dan bahu Lucas.

“Siap? Sekarang.”

Louie mendecakkan licah dan bersiul pendek, dan tiba-tiba pendaran cahaya menutup
tubuhku dan Lucas. Cahaya yang menutup tubuh Lucas berwarna merah jasper, yang
menutupku sewarna batu amber. Wangi manis permen cokelat dan honeysuckle memenuhi
hidungku, bercampur dengan manis. Entah bagaimana, secara refleks aku menyiulkan
nada tinggi jernih, nada yang bahkan lalu aku sendiri bingung nada apa itu.

Cahaya jingga dan merah itu menghilang. Louie menatap kami dengan senyum tenang,
kehampaan tersingkir dari matanya.

“Merah jasper, permen cokelat,” katanya sambil menunjuk Lucas, lalu menunjukku dan
berkata, “Jingga amber, honeysuckle.”

Ia menatap tangannya, tangan kirinya yang tadi berada di pundakku tampak berwarna
seperti amber, sedangkan tangan kanannya, yang tadi berada di pundak Lucas, berwarna
merah jasper. Dari situ tercium aroma manis permen cokelat dan bunga honeysuckle. Ia
menjilat seujung jarinya, di kedua tangannya, dan warna serta aroma itu menghilang.

“Sekarang, kita coba kalau hanya satu-satu,” kata Louie santai. “Lianne, kau duluan.”

Aku memejamkan mata dengan santai, bersiap mencium aroma bunga itu lagi.

“Sekarang.”

Cahaya sewarna amber terlihat, wangi bunga tercium. Namun sekarang aku malah
bingung: apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingat bagaimana aku menyembunyikan
jejak auraku tadi.

Louie menebaskan tangan di depan wajahku, warna dan aroma menghilang.

“Lianne, konsentrasi. Coba kita ulangi lagi.”

Sekali lagi aku mencoba. Sama saja, yang ada malah aku bingung dan tak bisa
mengingat apa yang kulakukan tadi saat aku berhasil menyembunyikan jejak auraku.

Berkali-kali aku mencoba, tapi hasilnya nol besar. Louie tampak kesal. Kalau dia
manusia biasa dia pasti sudah meledak dari tadi-tadi.

“Sudahlah, stop dulu. Mungkin istirahat sebentar bisa membuatmu ingat apa yang
kaulakukan tadi. Lucas, cobalah,” kata louie, dengan sikap yang jelas menunjukkan
kalau sebenarnya dia putus asa. Aku agak senang melihat wajahnya itu (dasar memang
bandel), walau aku bingung kenapa aku tidak bisa menyembunyikan jejak auraku.

Lucas juga sama saja. Dia tak bisa melakukannya. Aku sih santai saja, toh aku bisa
menikmati wangi permen cokelat seharian kalau mau. Wanginya enak. Sayang sekali
Louie tidak terlalu menyukai wanginya. Dia lebih suka kopi.

Louie mengerang kesal karena entah karena alasan apa aku dan Lucas tidak bisa
menyembunyikan jejak aura kami lagi. Tetapi kenapa saat aura kami terlihat bersamaan
tadi kami bisa melakukannya?

Lalu, jawabannya muncul begitu saja, secara tidak sengaja.

Saat itu Lucas sedang mencobanya. Aku yang memilih berjalan-jalan sedikit,
tersandung dan jatuh, jemariku menyentuh auranya. Lalu secara tiba-tiba aku
menyiulkan nada tinggi yang tadi kusiulkan saat kami berlatih bersama, dan jejak
aura Lucas menghilang, tepatnya tersembunyi.

“Eh...”

“Kenapa bisa...?”

Louie terperangah, menatapku dan Lucas tak percaya.

“Aku tahu kenapa,” kata Louie, terdengar takjub. “Kalian tidak bisa menyembunyikan
jejak aura kalian sendiri, tapi kalian menyembunyikan jejak aura teman kalian.”

Aku mengerutkan dahi. “Maksudmu?”

“Kau tidak bisa menyembunyikan jejak auramu, Lianne, karena kau hanya bisa
menyembunyikan jejak aura lucas. Dan Lucas juga begitu, tidak bisa menyembunyikan
jejak aura sendiri, melainkan menyembunyikan jejak aura Lianne. Konsepnya terbalik.
Ini sedikit merepotkan, tapi setidaknya ada penjelasan untuk ini.”

Aku menelengkan kepala, bingung.

“Kurasa ini agak aneh,” gumam Lucas bingung.

“Tapi masuk akal, ini menjelaskan kenapa kalian tidak bisa menyembunyikan jejak aura
kalian sendiri,” kata Louie, tampak penuh semangat.

“Yah, tapi...”

Kata-kataku terpotong kata-kata Louie. “Kalau kalian tidak percaya, kita buktikan
sekali lagi saja.”

Tangannya diletakkan di bahuku dan aku kembali terbungkus cahaya sewarna amber,
tercium wangi bunga honeysuckle di udara.

Louie menyambar tangan Lucas dan meletakkannya di kepalaku. Lucas, tampaknya secara
refleks, menyiulkan nada tinggi berbeda, dan jejak auraku menghilang tanpa bekas.

“Whoa,” Louie tampak kagum. “Tak hanya menyembunyikan jejak auranya, kalian bahkan
meredupkan aura yang lain untuk beberapa saat sehingga aura kalian nyaris tak bisa
dideteksi. Hebat.”

Aku berpandangan dengan Lucas. Kenapa sepertinya kami selalu tak dapat dipisahkan?
Setiap kekuatan kami berhubungan, sepertinya. Ini. Dan juga legenda itu.
Mengherankan sekali betapa nasib bisa mempermainkanmu, bukan?

*

Aku menatap langit yang tampak kemerahan. Senja menyapaku seperti teman lama. Sebentar lagi matahari akan terbenam, malam akan beranjak.

Aku duduk di tanah hutan, beralaskan daun-daun yang gugur, bersama dengan Lucas,
menunggu Louie kembali membawa air.

“Ke mana dia sebenarnya?” gerutu Lucas dengan kesal.

“Lama sekali. Apa dia tersesat? Bukankah dia bilang dia amat mengenal hutan ini?”
tambahku, sama kesalnya.

“Biar kucari dia,” kata lucas, bangkit berdiri dengan tenang.

“Hati-hati. Cepatlah kembali,” kataku sambil menatap punggungnya sementara ia
melangkah pergi.

Aku menatap semburat jingga di langit sambil menunggu mereka kembali. Sepertinya
langit tampak paling indah saat senja hari, setidaknya menurut pendapatku. Aku suka
melihat langit menjadi merah seperti darah, awan tampak menggumpal seperti permen
kapas, kadang berupa benang-benang kusut di langit. Tampak amat menarik. Aku
menyesal tidak membawa kamera. Ini pasti akan tampak indah sekali kalau difoto.

Aku mendengar suara keresak dedaunan.

“Lucas?” panggilku, menoleh. Diam-diam aku merasa heran. Cepat sekali dia kembali.
Atau itu Louie?

Semak-semak tersibak, menampakkan sosok yang ada di baliknya. Aku membelalakkan mata
kaget, menjerit, tapi mulutku dibekap dari belakang. Walau begitu jeritanku sempat
terdengar, sedetik, cukup keras. Semoga saja Lucas dan Louie mendengarnya.

Mataku melebar ngeri. Orang itu... kenapa dia ada di sini? pikirku sambil meronta
keras.

Detik berikutnya kegelapan menutupku dan aku tak dapat lagi mengingat apapun. Aku
hanya sempat menyadari satu hal, yaitu...

Aku diculik.

*

Lucas

Lucas melangkah mendekati suara sungai mengalir. Ia yakin Louie pasti masih di sana.

Ia menyibakkan semak-semak yang menutupi jalannya, mengernyit menahan sakit ketika
ada duri dari semak yang menusuk tangannya.

Ia terbelalak kaget.

“Louie!”

Ia segera melepaskan tangan Louie yang terikat dengan kuat, melepas sumbat mulutnya
dan melepas ikatan tali di kakinya.

“Kenapa kau di sini?!” bentak Louie tiba-tiba.

“Inikah rasa terima kasihmu?” balas Lucas. “Setelah kulepaskan dari ikatan, kau
membentakku. Kenapa kau bisa diikat begini?”

“Ini jebakan!” seru Louie, bangkit berdiri dan mulai berlari. Dengan bingung Lucas
mengikutinya. “Ini jebakan, Arthur dan Douglass! Apa kautinggalkan Lianne
sendirian?!”

“Eh? Iya, tapi kukira dia akan baik-baik saja. Mereka tidak mengetahui jejak aura
Lianne kan?”

Louie menyumpah, kehampaannya menghilang. Mereka masih berlari di hutan, mencari
Lianne.

“Kalau begini bisa-bisa Arthur dan Douglass membawanya!” seru Louie sambil berlari,
di sela engahan nafasnya.

“Apa?!”

“Tapi tetap saja! sekarang ini Lianne tidak dapat menggunakan sihirnya untuk
sementara! Kita harus memeriksanya!”

Terdengar suara jeritan. Hanya sedetik. Pendek, tapi panik dan ketakutan terdengar
jelas di dalamnya.

Itu suara Lianne! Lucas dan louie segera mempercepat lari mereka.

Lucas menyibakkan semak yang menghalangi, ia sampai ke tempat Lianne lebih dulu
dibanding Louie.

Ia berteriak tak percaya. “Lianne!!!”

Lianne sudah hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar