Jumat, 12 November 2010

emotion eater chp.8

CHAPTER 8


Helen

Ia duduk di kasurnya, mengingat-ingat kejadian di ruang batu kemarin. Ingatannya

terasa samar dan berkabut karena mantra Louie. Namun samar ia dapat mengingat nama
pembunuh Lania dan Luke: Arthur dan Douglass. Dan ia yakin ingatan ini tak salah
karena memang Arthur dan Douglass amat sering mencoba membunuh Lanny dan Luke.

Helen menggigit bibirnya. Ia sudah berjanji pada Gregor, dulu, untuk tidak bertindak
bodoh tanpa izin darinya. Tapi ia juga sudah bersumpah untuk membalaskan kematian
kedua sahabatnya itu. Walaupun mereka kini telah lahir kembali dalam sosok yang
berbeda, ia tetap merasa harus membalas dendamnya, memenuhi sumpahnya.

Tapi bagaimana dengan janjinya pada Gregor? Ia tak bisa begitu saja melanggar
janjinya, ia tahu itu... tapi ia juga tak mau melanggar sumpahnya, apalagi setelah
mendapat informasi siapa pembunuh kedua sahabatnya itu dulu.

Ia merasa bingung. Kesadaran untuk tidak melanggar janji berperang dengan hasrat
untuk membalas dendam. Akal sehatnya memperingatkannya untuk memenuhi janjinya pada
Gregor dan melupakan dendamnya pada Arthur dan Douglass, begitu pula instingnya
untuk bertahan, mengingat kekuatan Arthur dan Douglass yang begitu besar tanpa harus
digabung, yang pasti akan bisa merontokkannya semudah mengangkat tangan. Namun hati
kecilnya mendesaknya untuk membalas dendam, jantungnya berdetak cepat dengan
bersemangat, dipicu keinginan untuk bertarung.

Helen bimbang. Mana yang harus dipilihnya, janjinya pada Gregor atau sumpahnya pada
Lanny dan Luke?

Ia memandang gelang lengan peraknya, menatap lekat batunya...

Ia mengangguk. Ia sudah mengambil keputusan.

*

Aku terbangun kaget mendengar pintu kamarku digedor sedemikian keras. Aku mengeluh
pelan. Aduh, aku kurang tidur dan kelelahan karena seharian berlatih sihir, kenapa
aku tidak diberi waktu tidur lebih lama? Aku menatap jam wekerku yang sudah
kumatikan tadi, sebelum aku lalu tidur lagi dengan bandel. Jam enam. Biasanya jam
lima wekerku menjerit membangunkanku, lalu kumatikan dan aku tidur lagi sampai jam
setengah tujuh, lalu makan pagi dan segalam macam.

Pintu kamarku digedor lagi. Keras-keras. Aku mengeluh dan membuka pintu sambil
menguap.

“Lianne! Kau melihat Helen?” tanya Louie, tampak panik. Di belakangnya Gregor tampak
gelisah, menyeret Lucas yang tampak mengantuk ke sampingnya.

“Hah? Helen? Tidak. Ada masalah apa?” tanyaku heran.

Louie mengerang keras. Ia tampak frustasi. Ia mengaduk rambutnya, mengacak-acaknya
sampai berantakan tak keruan.

“Hei, Louie, bisakah kau menjelaskannya padaku? Helen kenapa?”

Louie memandangku tajam, lalu berucap, “Dia hilang.”

Kantukku menguap hilang seketika. “Tunggu, kau bilang hilang?”

Louie mengangguk dengan muram, kehampaan melingkupi dirinya seperti awan mendung.
“Saat aku dan Gregor mengecek kamarnya pagi tadi, dia sudah tidak ada. Ada pesan ini
tertinggal di meja riasnya,” Louie mengacungkan selembar kertas, “tapi selain itu
sama sekali tak ada kabar.”

Aku menyambar kertas itu dari jemari Louie, membacanya cepat.


Kepada teman-teman semuanya,
Saat kalian membaca surat ini aku mungkin sudah jauh dari rumah. Aku memutuskan untuk membalaskan kematian Lanny dan Luke, aku akan membalas dendamku pada Arthur
dan Douglass. Aku minta maaf kalau aku membuat kalian merasa khawatir, tapi aku
sudah tak tahan lagi harus memendam marahku seperti ini. Maafkan aku.

Kuminta, jangan mencoba untuk mencariku karena saat kalian menemukanku, mungkin aku
sudah berada di tempat mereka yang mati berada. Kalau aku berhasil membunuh Arthur
dan Douglass sebelum mereka membunuhku, aku pasti akan langsung pulang, aku janji.

N.B: untuk Gregor, maaf karena aku melanggar janjiku.

N.B 2: tolong jaga Lena supaya dia tidak mencariku. Kurung saja kalau mau, dia
terlalu sulit diatur.

Sampai jumpa.

Helen


Aku langsung merasa lemas begitu surat itu selesai kubaca. Helen bodoh, apa
dipikirnya Arthur dan Douglass bisa dibunuh semudah itu? Dia melakukan permainan,
dan dalam permainan ini musuhnya adalah maut. Apa dia tidak menyadari hal itu? Apa
dia mau mati muda? Dia seharusnya tahu kalau tindakannya ini bodoh. Seharusnya dia
tidak melakukan ini!

“Aku sudah mencoba mencarinya dan menariknya kembali ke sini dengan sihirku, tapi
dia menggunakan tameng sihir sehingga sihirku tak bisa mencapainya,” kata Gregor
dengan ekspresi cemas. “Dia benar-benar sudah mempersiapkan semuanya. Hei, Lucas,
bangun, sampai kapan kau mau tidur?”

Louie menghampiri Lucas dan mendecakkan lidah dengan kesal. “Ini sihir Helen. Kurasa
Lucas memergokinya hendak kabur, lalu Helen menyihirnya tidur sehingga ia bisa kabur
dengan leluasa. Kadang anak itu merepotkan sekali. Percuma kau mencoba
membangunkannya, dia tidak akan bangun sampai setidaknya siang ini.”

Aku menepuk dahi dengan kesal. Helen ini, sampai kapan dia mau membuat repot orang?
Sampai batas apa? Apa dia tidak memikirkan repotnya kami ini? Walaupun dia bilang
‘jangan mencariku’, tapi mana mungkin kami membiarkannya begitu saja?

“Lianne, tolong!”

Aku mengerjap. “E... ada yang minta tolong barusan?”

Louie dan Gregor memandangku heran. “Tidak ada yang bicara, Lianne. Kau masih tidur,
ya?”

“Lianne! Tolong, kumohon, tolong aku!”

“Tuh, ada yang minta tolong! Masa suara sebesar itu kalian tidak dengar?” tanyaku
pada Louie dan Gregor.

“Tapi memang tak ada yang bi...” kata-kata Louie terputus. Ia mengerutkan kening,
berpikir dengan serius. “Lianne, coba kenali suaranya. Suara siapa itu?”

Aku mundur selangkah dengan bingung. “Tunggu... kalian tidak bisa mendengarnya?”

“Jangan banyak tanya, kenali saja suara siapa!”

“Lianne, tolong aku! Aku bisa mati, tolong!”

Aku tersentak. “Helen...”

“Apa katanya?” tanya Louie tanpa buang waktu.

Aku menatapnya bingung. “Dia – dia bilang tolong...”

“Lianne!!! Kumohon tolong aku!”

Secara refleks aku menyahut, “Helen! Kau di mana?!”

“Di markas Arthur dan Douglass... oh, aku melakukan kesalahan dengan menantang
mereka, sekarang mereka menyekapku! Mereka tahu aku punya kemampuan untuk bicara
dengan orang yang kupilih dalam kepala orang itu sendiri, walau jaraknya jauh
sekalipun, sekarang mereka menyekapku, kumohon tolong aku!”

“Aku akan segera ke sana, Helen, aku janji, dan...”

“Tidak! Jangan ke sini! Ini jebakan mereka!”

“Tapi tadi kau bilang...”

“Itu jebakan, jangan...”

Aku berpaling pada Louie dan Gregor. “Helen dalam bahaya, kita harus
menyelamatkannnya. Dia ada di markas Arthur dan Douglass, dia disekap, kita harus
menyelamatkannya.”

“Kami akan melakukannya,” kata Gregor yakin.

“Aku ikut! Aku tak bisa diam menunggu begitu saja!” pintaku pada mereka.

Louie menggeleng. “Tidak, maaf. Kami tak bisa membiarkan kau ikut. Kaulah incaran
mereka. Biar kami berdua saja yang menyelamatkan Helen.”

“Tapi...”

“Percayakanlah ini pada kami. Kau di sini saja, jagalah Lucas. Dia jauh lebih
membutuhkan itu.”

“Aku harus...”

“Jangan. Tetaplah di sini. Kami janji kami akan membawa pulang Helen. Dan sebagai
gantinya, berjanjilah kau akan tetap di sini, menjaga Lucas. Janji?”

Aku memandang Louie dengan bimbang. Akhirnya aku mengangguk. Tapi untuk meyakinkan
diri, aku menyodorkan kelingkingku.

Louie mengerjapkan mata. Ia tersenyum dan mengaitkan kelingkingnya dengan
kelingkingku.

“Aku akan membawa pulang Helen. Aku janji.”

Aku mengangguk.

Angin berhembus kencang, entah dari mana. Karena kuatnya angin yang berhembus, aku
memejamkan mata untuk melindungi mata dai terpaan angin.

Amukan angin kembali mereda. Aku membuka mata perlahan.

Louie dan Gregor sudah tak ada lagi di sana.

*

Helen

Helen terbatuk keras, memuntahkan darah dari mulutnya. Kemampuan Arthur untuk
merasuki dan mengeksploitasi tubuh orang begitu kuat, ia nyaris tak dapat melawan
tadi. Semoga saja Lianne tidak berpikir untuk mengejarnya kemari...

Tendangan mendarat di perutnya, ia terlempar ke belakang diiringi pekik kesakitan.

“Gadis bodoh... kenapa kau melawan tadi?!” bentak Arthur marah.

Helen membisu. Ia hanya terbatuk-batuk karena kesakitan. Nafasnya kacau, ia bahkan
sulit mengambil nafas.

“Kenapa...” bisik Helen pelan, “kenapa kalian terus berusaha membunuh Lianne dan
Lucas? Dulu kalian sudah membunuh Lanny dan Luke, kenapa sekarang kalian berniat
membunuh Lianne dan Lucas?”

Arthur dan Douglass tidak menjawab.

Terdengar suara kaca pecah, dan di tengah ruangan Gregor dan Louie muncul.

“Jadi kalian tidak membawa Sang Putri dan Ksatria bersama kalian, ya?” tanya
Douglass dengan nada santai.

“Mana mungkin kami membawa mereka ke kandang macan?” tanya Louie datar. Diam-diam
Helen merasa lega karena tadi ia menyihir tidur Lucas. Pasti anak itu sekarang masih
berbaring di kasur, atau setidaknya merasa mengantuk berat. Paling tidak Lucas tak
akan bisa ke sini. Untunglah Louie dan Gregor tidak datang bersama Lianne.

“Kandang macan? Perumpamaan yang bagus. Tapi tak sebagus itu,” kata Arthur, lebih
datar lagi.

“Memangnya kau mau perumpamaan apa lagi? Kandang buaya?” tanya Gregor tenang.

Douglass tertawa. “Walau begitu harus kuakui kalau kalian begitu berani, datang ke
‘kandang macan’ kalian ini. Apa kalian tidak takut kami cabik-cabik layaknya seekor
rusa yang dikeroyok macan? Beritahu aku, kawan lama, apa tujuan kalian datang ke
sini?”

“Tak ada tujuan macam-macam,” kata Louie tenang, “Kami hanya ingin menjemput teman.
Bisakah kalian melepaskan teman kami sekarang? Kami sendiri hendak memberinya
pelajaran, terus terang.”

“Memberi pelajaran?” tanya Douglass. “Ck, ck, ck, sungguh malang nasibmu, teman. Apa
kau tidak muak harus bersama dengan dua Emotion Eater bodoh ini?”

Douglass mengangkat dagu Helen, menatapnya tepat di manik mata. Helen memalingkan
wajah dan memejamkan mata, menolak menatap mata Douglass. Ia tak mau menjadi korban
sihir lain lagi.

“Sayang sekali, sayang sekali,” kata Douglass lagi, masih memegangi dagu Helen
dengan lembut. “Padahal kau punya kemampuan yang hebat. Kenapa tidak bergabung
dengan kami saja, manis?”

Mendengar ajakan ini, darah Helen menggelegak. Ia langsung melompat berdiri dan
melontarkan Douglass ke seberang ruangan dengan sihirnya.

“Jangan pernah berani-benari memanggilku manis, Vampir. Dan asal kau tahu saja, aku
lebih baik mati daripada bergabung dengan sampah seperti kalian,” desis Helen penuh
ancaman.

Douglass bangkit berdiri, matanya dipenuhi amarah. “Kau telah membeli tiket
kematianmu sendiri, Helena, tak sadarkah kau?”

Helen mengangkat wajahnya dengan berani. “Aku tahu dan aku tidak peduli. Kau mau membunuhku? Oke, cepat lakukan sekarang. Asal kau tahu saja, lebih baik aku mati dari pada harus bergabung dengan orang-orang seperti kalian.”

Louie bergerak, jemarinya membuat tanda di udara, dan dalam waktu sedetik semua
benda di ruangan itu lenyap digantikan api membara yang bergerak menyerang Arthur
dan Douglass.

Dengan cepat Arthur dan Douglass bereaksi, membalas serangan Louie. Semua api padam
diiringi bunyi mendesis dan sulur-sulur mantra berwarna ungu gelap dan hitam pekat
meluncur ke arah Louie, hendak mencekiknya. Secepat kilat Louie membuat perisai
sihir, tapi ia lengah. Ia diserang dari belakang, mantra menghantamnya dengan
kekuatan palu godam yang diayunkan sekuat tenaga.

Louie berteriak kesakitan, ia terjatuh tanpa gerak. Secepat kilat Helen dan Gregor
mendekatinya dan mendapati kalau kawan mereka pingsan dihantam mantra.

Namun pertarungan itu kini berubah menjadi dua lawan dua. Sekuat tenaga Helen dan
Gregor melawan, namun kekuatan Arthur dan Douglass terlalu besar untuk mereka
tanggung sendiri. Ketidak mampuan Louie ikut serta dalam kancah pertempuran sangat
merepotkan mereka karena di antara mereka bertiga kemampuan dan kekuatan Louie-lah
yang paling besar.

Pertarungan itu mulai tampak perbedaannya, walau di awal tampak seimbang. Tenaga
Helen sudah terkuras saat ia mencoba melawan Arthur, dan Gregor tidak memiliki
pengalaman bertarung yang baik sehingga ia sering merasa kebingungan oleh segala
taktik dan tipuan lawannya. Sebaliknya, Arthur dan Douglass masih tampak segar,
mereka sudah terbiasa bertarung, dan tenaga mereka masih berada dalam taraf penuh.
Kalaupun tidak penuh, hanya berkurang sedikit. Jelas pertarungan ini tidak seimbang,
dan sayangnya Helen dan Gregor berada dalam posisi kurang menguntungkan.

Namun Helen dan Gregor memiliki kelebihan: mereka bekerja sama jauh lebih baik dari
Arthur dan Douglass, walau lawan mereka sudah bekerja sama jauh lebih lama dari
mereka. Bersama-sama mereka membentuk barikade yang terlihat seakan sudah
direncanakan matang-matang sejak jauh hari: Helen menyerang, Gregor melindungi.
Selain itu mereka juga sudah menggabungkan kekuatan untuk membuat perlindungan
khusus bagi Louie yang masih belum sadar, sehingga kawan mereka itu aman dari
kemungkinan serangan lawan mereka.

Helen menembakkan panah dan peluru api. Dalam hati ia berdoa, semoga kekuatan panah
dan peluru itu cukup kuat. Sepertinya doanya dikabulkan karena Arthur dan Douglass
tampak kocar-kacir mencari perlindungan sejenak. Ia menembakkan lebih banyak panah
dan peluru api.

Arthur membalas serangannya, semua panah dan peluru api berubah menjadi air, yang
dalam bentuk ombak menyerangnya dengan ganas.

Gregor menyumpah, membuat perlindungan bagi mereka berdua, sementara Helen
membekukan air yang menyerang mereka. Namun Douglass menggunakan es lain untuk
menombaknya, dan Gregor membuat benteng es perlindungan lain. Helen segera membuat
jutaan kristal es berbentuk panah dan tobak, atau setidaknya pecahan berujung tajam.
Ia melontarkan semua peluru es itu, tepat saat persediaan esnya yang lain menjelma
menjadi debu.

Ia menghindari serangan es yang melesat ke arahnya, namun tak ayal pipi kirinya
tergores es hingga berdarah. Gregor menyumpah lagi dan menyerang. Ia membuat semua
debu yang tadinya es itu menyerang Arthur dan Douglass.

Sementara itu Helen menciptakan tornado di ruangan itu, namun sepertinya serangan
itu sama sekali tak berpengaruh untuk kedua musuhnya. Keduanya malah menyeringai dan
berkata,

“Tertipu.”

Tiba-tiba Helen disergap dari belakang, lehernya terancam sebilah pisau berkilat
yang terlihat amat tajam. Di saat bersamaan Gregor juga menyergap Arthur, mengancam
leher lelaki itu dengan belati perak yang dipegangnya.

“Kini posisi kita sama,” kata Douglass yang memiting Helen sehingga ia tidak bisa
bergerak sedikitpun. Tiruannya di dekat Arthur lenyap menjadi debu.

“Lepaskan temanku,” kata Gregor dalam desis rendah mengancam.

“Lepaskan kawanku terlebih dulu,” balas Douglass dengan suara yang terdengar jauh
lebih mengancam lagi.

Helen tak berniat bicara, lehernya dalam bahaya. Ia menelan ludah dengan gugup dan
ketakutan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak gemetaran.

Tiba-tiba pisau Douglass bergerak, merusak gelang lengan peraknya, memecahkan
moonstone miliknya hingga berubah menjadi kepingan tak berharga. Helen memekik kaget.

Kekuatan yang selama ini menyertainya menguap lenyap, ia kelelahan. Batu sihirnya
telah dirusak, ia tak dapat lagi menyihir, setidaknya untuk sementara waktu. Ia
terpuruk lemas, jatuh dalam pelukan Douglass tanpa daya.

“Kini kawan kita yang cantik ini tak akan bisa menyihir lagi, setidaknya untuk
sementara waktu. Kalau kau tidak segera membebaskan Arthur, nasibnya mungkin akan
lebih buruk dari sekedar tidak dapat menyihir. Lepaskan dia,” ancam Douglass, Helen
bisa melihat kilatan berbahaya di mata hitamnya yang gelap kelam seperti langit
malam paling gelap.

Gregor tampak bimbang. Helen bisa melihat senyum licik mengembang di bibir Arthur.
Kebenciannya menguasainya, namun ia tak dapat bergerak. Mungkin Douglass telah
memantrainya, entahlah.

Melihat Gregor bimbang, Douglass menyayat lengan kanan Helen, tepat di tempat gelang
lengannya tadi berada. Helen menjerit kesakitan.

“Lepaskan dia,” ancam Douglass lagi.

Gregor tampak kebingungan. Lagi-lagi, melihat Gregor seperti itu, Douglass mengambil
cara kasar. Sekali lagi pisaunya melesat, kali ini menusuk lengan kiri Helen.
Kesakitan, Helen menjerit keras-keras. Panjang dan melengking, sarat kesakitan dan
kesedihan, keputusasaan dan ketakutan. Kini nafasnya mulai terengah, susah payah ia
menahan sakit di tubuhnya akibat serangan barbar dari Douglass.

“Katakan saja apa keputusanmu, Gregor. Lepaskan temanku atau tidak? Kalau tidak,
mungkin si manis ini akan menderita luka yang lebih parah,” katanya tenang,
mendekatkan wajahnya ke wajah Helen. Helen bisa menghirup bau samar alkohol dari
nafas Vampir itu, dan merasakan ketakutan makin menguasainya. Ia berusaha meronta,
namun tubuhnya tak bisa digerakkan.

Gregor masih tampak bimbang.

Douglass kembali mengayunkan pisaunya, kali ini menikam perut Helen.

Tak kuasa menahan sakitnya, Helen menjerit lagi. Jauh lebih keras dari sebelumnya,
lebih melengking, sarat kesakitan dan penderitaan.

Helen menjerit selama tiga menit penuh, dalam kesakitannya yang penuh derita. Ia
terisak kesakitan, pisau Douglass masih menancap di perutnya.

“Bagaimana, Gregor?”

Gregor melepaskan Arthur, tampak menyesal. Dengan penuh kemenangan Douglass mencabut
pisau dari perut Helen, yang langsung menjerit lagi karena rasa sakit yang menyiksa.
Helen berbaring meringkuk, bermandikan darah, terisak tanpa suara karena kesakitan.

Namun Arthur menyumpah marah.

Tiba-tiba Douglass terlotar ke seberang ruangan, energi sihir memercik ke mana-mana,
tampak seperti petir menyambar-nyambar berwarna biru terang.

Helen menoleh dan menyadari kalau Louie telah sadar, dan baru saja melontarkan
Douglass ke seberang. Ia masih terisak kesakitan, namun gelombang sukacita karena
mendapat bantuan tak dapat ditahannya.

Helen berdiri perlahan, dibantu Gregor. Louie segera menarik mereka berdua ke
sampingnya, menjentikkan jemari dan angin mulai bergulung di sekitar mereka. Bersiap menghadapi entakan saat meninggalkan tempat itu, Helen melihat Douglass melempar
sesuatu ke arah Louie...

Pisau itu!!!

Secepat kilat, Helen berdiri di depan Louie, siap menjadi tameng baginya.
Sepersekian detik sebelum ia, Louie dan Gregor meninggalkan tempat itu, pisau itu
menancap di...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar