Minggu, 07 November 2010

emotion eater chp.3

CHAPTER 3

“Siapa kau?”

Aku memandang perempuan itu. Dia tampak familier. Sepertinya aku mengenalnya. Tapi
siapa?

“Aku adalah aku. Aku ada untuk menyelamatkan dirimu.”

Aku mengerutkan kening. Wajahnya tak terlihat. Tapi aku bisa melihat gaun putih yang
dikenakannya, tampak indah namun mengancam bila didekati.

“Menyelamatkanku?”

“Ya. Aku adalah aku. Tapi aku dan kau... kita sama. Kita adalah satu.”

“Satu? Bagaimana bisa?”

“Karena kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Sekaligus aku adalah aku dan kau adalah
kau. Kita tetap satu, biar bagaimanapun juga.”

“Apa maksudmu?”

“Kau akan tahu apa. Tapi ingatlah: kita adalah satu.”

*

Aku mengusap mata. Mimpi apaan itu? Membingungkan. Apa maksud perempuan itu? Siapa
dia? Apa maksudnya satu, dia adalah dia sekaligus dia adalah aku? Dan aku adalah aku
sekaligus aku adalah dia?

“Lianne? Kau sudah bangun?”

Aku menoleh. Lucas menatapku sambil tersenyum ramah.

“Kau sudah lihat sendiri aku bangun. Ada apa? Aku sudah hafal wajahmu it. Kalau kau
senyum-senyum seperti itu, pasti mau minta tolong sesuatu.”

Lucas tertawa malu. “Kau sudah hafal kebiasannku, ya? Ini giliranmu memasak sarapan.”

Aku bangkit berdiri dan menggeliat. “Kau tahu aku tidak pintar memasak.”

“Tapi kau butuh makan. Sana masak.”

Aku mendesah kecil. “Dasar bandit. Ya, aku masak.”

*

Aku memandang kegelapan di depanku. Bagian hutan ini begitu rimbun. Menyeramkan sekali.

“Ini bukan jebakan Douglass dan Arthur lagi, kan?” tanyaku, suaraku bergetar.

“Bukan, dan biarkan aku mengambil ketakutanmu,” kata Louie sambil memandang hampa
kegelapan hutan. “Mereka tidak akan memakai trik yang sama dua kali, sejauh
pengalamanku. Seharusnya mereka tetap begitu.”

“Baiklah,” kata Lucas sambil memejamkan mata. “Lalu kenapa kita harus lewat jalan
ini?”

“Karena kita mengambil jalan memutar.”

“Dan itu tepatnya karena...?”

“Bila kita memakai rute awal, pasti Arthur dan Douglass sudah memasang jebakan lain.
Jadi menurutku paling aman kalau kita mengambil jalan memutar.”

Aku mendesah. “Berarti perjalanan yang makin panjang.”

“Maaf. Tapi ini satu-satunya cara. Kalian harus ke negeriku supaya aman. Di sana
kalian akan dilatih supaya bisa mengendalikan kekuatan sihir dan kemampuan kalian
yang sebenarnya. Dengan begitu kalian akan aman dari ancaman orang-orang seperti
Arthur dan Douglass. Kalau kubiarkan kalian begitu saja, kalian pasti sudah jadi
mayat sekarang, sebab Arthur dan Douglass hanya menginginkan kekuatan kalian, itu
berarti tubuh hilang juga bukan masalah.”

Aku memandangnya lekat. “Apa sebenarnya kekuatan yang diinginkan mereka?”

Louie mendadak tampak lemah. “Aku tak bisa menjelaskannya pada kalian,” bisiknya
pelan. “Hanya si penjaga yang bisa melakukannya. Ada mantra yang membuat kami yang
bukan penjaga kehilangan kekuatan saat kami ingin menjelaskan tentangnya. Hanya
penjaga yang tidak termakan mantra itu.”

“Kalau diteruskan bagaimana?” tanya Lucas.

Louie menelan ludah. “Paling parah biasanya hanya sampai pingsan, tapi aku ingat ada
yang mati karena itu. Hentikan, jangan tanyai aku lagi.”

Lucas diam. Aku meruntuhkan dinding pertahananku lagi sehingga Louie bisa memakan
sedikit emosiku untuk menguatkan diri.

”Ayo, kita berangkat,” ajakku saat Louie sudah tampak sedikit lebih kuat.

*

“Perang antara klan Emotion Eater, Soul Eater, Vampir dan Dream Eater sudah
berlangsung sejak ratusan tahun lalu,” kata Louie, matanya memandang hampa api
unggun. “Emotion Eater dan Dream Eater menjadi sekutu, sedangkan Soul Eater dan
Vampir menyatukan kekuatan. Dream Eater sudah memutuskan untuk tidak mengambil
kekuatan yang diincar oleh mereka ratusan tahun lalu karena mengerti besarnya dan
berbahayanya kekuatan itu, tapi klan Vampir dan Soul Eater tak peduli. Mereka terus
berusaha merebut kekuatan kami. Ratusan tahun berlalu, dan pertempuran kami tampak
seimbang. Perang ini seakan mudah dilalui oleh klan kami.

“Tapi salah. Itu salah. Kami pikir kami mungkin bisa bertahan, tapi para Vampir dan
Soul Eater terlalu kuat. Kira-kira seratus tahun lalu, klan Emotion Eater dan Dream
Eater mulai terdesak. Kini negeriku, negeri penyimpan kekuatan itu, mulai diserang.
Padahal dulu ada perjanjian yang mengatakan kalau tak ada tentara klan manapun yang
boleh menyerang negeri itu. Negeri kelahiranku. Tapi kini mereka tidak lagi peduli
pada perjanjian itu.

“Bagi mereka, yang penting hanya kekuatan yang kami simpan. Kalau mereka bisa
mendapatkannya, mereka puas. Mereka tak peduli sebanyak apapun nyawa yang melayang
dan sebanyak apa darah yang tertumpah, sebanyak apa jiwa yang mereka makan dan
sebanyak apa tubuh yang kehilangan darah, selama mereka bisa mendapatkannya. Semua
anak-anak dan perempuan klan Emotion Eater dan Dream Eater kini terpaksa bersembunyi
di ruang bawah tanah yang merupakan tempat perlindungan, kedinginan dan ketakutan.
Tak sedikit dari mereka yang kehilangan keluarga akibat perang ini. Perang yang
sudah berlangsung ratusan tahun ini. Perang yang sudah merenggut nyawa orang-orang
tak bersalah. Perang yang sudah merenggut keluarga mereka yang menjadi korban.”

Louie mengertakkan gigi. “Perang yang sudah merenggut nyawa keluargaku. Hanya aku,
kakakku dan beberapa sepupuku yang selamat.”

Aku dan Lucas memilih diam. Sepertinya memang tak ada gunanya kami bicara di saat
seperti ini.

“Seratus tahun yang lalu, aku diutus untuk mencari Sang Putri dan Ksatria dalam
legenda. Berkali-kali aku salah, namun kini aku yakin aku tak mungkin salah. Memang
kalianlah orangnya.”

Aku mendongak. “Seratus tahun?”

Lucas memandang Louie bingung. “Memangnya berapa usiamu?”

Louie mendesah. “Siapa yang tahu? Kami para Emotion Eater bisa hidup ratusan tahun
lamanya. Kami hidup abadi. Kami hanya bisa mati kalau orang yang kami cintai

membunuh kami. Aku tak tahu sudah hidup berapa lama, tapi lama sekali. Aku dulu
sudah pernah berhadapan dengan Douglass dan Arthur sekaligus dalam satu pertempuran,
dan aku pasti mati saat itu kalau aku manusia biasa. Yang jelas, kini motifku
menyelamatkan kalian bukan hanya untuk menyelamatkan negeriku, kekuatan di dalamnya,
dan kalian, tapi juga balas dendam.”

“Balas dendam?”

“Untuk mengalahkan mereka di pertempuran yang mereka mulai sendiri.” Louie
menyeringai nakal. “Tak ada balas dendam yang jauh lebih memuaskan daripada itu,
setidaknya bagiku.”

*

“Lianne.”

“Uh-huh?”

“Kau tahu Louie mau mengajak kita lewat mana?”

Pertanyaan Lucas membuatku menoleh memandangnya. “Memangnya dia mau lewat mana?”

Lucas berdecak. “Itu dia. Mana mau dia bilang? Tadi dia mengatakan kalau kita akan
melewati gunung di sana itu untuk menemui seseorang yang mungkin bisa membantu, tapi
walaupun matanya tampak hampa tadi sepertinya aku lihat ada niat mau iseng di
matanya.”

“Dia bilang begitu?” tanyaku, memandang gunung yang tadi ditunjuk oleh Lucas. Ada
tepat di depan kami, tapi jaraknya masih cukup jauh. “Em... apa tidak sebaiknya kita
memutarinya saja? Pasti hawanya dingin, kita tidak membawa jaket tebal, kan?”

“Aku sudah mengusulkan begitu, tapi dia tidak mau.”

Aku mendengus. “Si bodoh itu. Yah, mau bagaimana lagi? Kita tak punya pilihan selain
menurutinya. Kita tak tahu jalan, dan aku masih sayang nyawa. Kalau begini, tak ada
pilihan lain.”

“Memang tidak ada,” kata Lucas sedih. Terasa seperti es krim cokelat di lidahku. Aku
membangun tembok perlindunganku dengan cepat.

“Kalau begitu, jangan mengeluh. Kita berangkat sekarang.”

Aku menoleh, terkejut mendapati Louie ada di belakangku dan Lucas.

Aku mendesah. Tak ada pilihan, ya. Sayang sekali. Padahal kalau ada pilihan untuk
menonjok wajahnya sampai lebam tak keruan, pasti sudah kulakukan dari dulu.

*

“Stop, stop, stop, STOP!!!” teriakku kelelahan. “Kita mau jalan sampai kapan? Aku
sudah kelelahan.”

“Staminamu buruk sekali, Lianne,” ejek Louie sambil terus berjalan.

“Sana, bilang saja yang jelek-jelek! Kalau aku sudah bisa sepenuhnya mengendalikan
sihirku, akan kulumat kau jadi bubur!” kataku kesal, melotot pada Louie.

“Huss, Lianne. Sabarlah, sebentar lagi kita pasti sampai,” kata Lucas menenangkanku,
membantuku memanjat batu yang memang menjadi satu-satunya jalan untuk naik.

“Tahu dari mana?” tanyaku sambil membersihkan lutut dari lumut yang mengotori.

“Itu. Di sana terlihat ada atap merah, mencolok. Dugaanku, itu tempatnya.”

Aku memandang arah telunjuk Lucas, mendapati adanya warna merah di sana. Samar
karena masih agak jauh, tapi tetap terlihat.

“Karena itulah aku ingin cepat-cepat,” kata Louie, matanya lagi-lagi tampak hampa
tanpa ekspresi. “Aku yakin orang yang tinggal di sana bisa membantu kita.”

“Memangnya siapa dia?”

Louie memandang atap merah itu. “Dia... adalah salah satu anggota keluargaku yang
berhasil selamat. Dia memiliki kemampuan sihir setingkat di atasku, dan dia bisa
mengajari kalian sihir.”

Lucas mengerutkan kening. “Tapi aku...”

“Kau punya, jangan membantah. Aku tahu kau punya. Putri dan Ksatria memiliki
kekuatan sihir. Tapi saat ini baru kekuatan sihi Sang Putri yang terlihat. Milik
Ksatrianya belum terlihat. Mungkin memang belum waktunya, tapi aku tahu kalian
berdua pasti punya,” kata Louie yakin.

Aku berpandangan dengan Lucas. Keras kepala sekali orang ini.

Segera kami bertiga berjalan menuju rumah itu, karena malam mulai beranjak. Matahari
mulai terbenam, kami tak mau sampai harus bermalam di luar. Lagipula aku sudah rindu
pada kasur, aku ingin mandi sebersih-bersihnya (selama perjalanan aku tetap mandi,
tentu saja, tapi siapa juga yang suka mandi di sungai, tanpa sabun?) dan ingin
merasakan kedamaian di dalam rumah, walau hanya sejenak.

Begitu sampai di depan pintu rumah (yang luar biasa besar, dengan gagang pengetuk
berbentuk untaian sulur anggur yang sedang berbuah), dengan cepat dan tanpa ragu
Louie menyambar pengetuk dan mengetuk pintu, tiga kali. Ia berjalan mundur beberapa
langkah, lalu menunggu.

Pintu terbuka dengan suara derit menyeramkan,kegelapan ada di balik pintu itu.

“Bersiaplah, kalian berdua,” kata Louie dalam desisan.

“Bersiap untuk apa?” tanya Lucas, langsung waspada.

Louie tersenyum misterius, dalam matanya ada kilatan tertarik. “Aku tidak akan
bilang karena aku tak tahu. Sepertinya selera orang itu mulai berubah sekarang, tapi
caranya menyambut tamu tak pernah berubah.”

Tiba-tiba, kilatan cahaya menyambar kesana kemari. Louie membuat perisai pelindung
untuk kami bertiga, tapi cahaya itu berbalik dari belakang, menyerang. Aku berteriak
kaget saat salah satu kilatan cahaya itu masuk ke dalam dadaku.

“A... apa itu tadi?” tanyaku kaget. Tapi kini dadaku terasa hangat. Apa tadi itu
sihir?

Louie tertawa terbahak-bahak. “Gregor, kakakku! Kau tak berubah! Dari mana kau
mendapat ketiga emosi itu?”

Dari balik kegelapan di dalam rumah itu, muncul seorang laki-laki, mirip dengan
Louie. Ia juga tertawa terbahak-bahak. “Kurasa kau mendapatkan kesenangan?”

“Benar! Sekarang jawab aku, dari mana kau mendapatkannya?”

“Ada Dream Eater dan manusia di dalam rumahku yang bersedia menjadi pemasok, adikku.
Untuk kalian, aku mengambilkan kesenangan dan ketenangan. Satu kesenangan, dua
ketenangan. Sepertinya kau beruntung, Louie, kau mendapat kesenangan.”

“Sangat,” kata Louie setuju, wajahnya tampak cerah. Ia tersenyum lebar, tak ada
sisa-sisa kehampaan yang biasanya selalu tampak di wajahnya.

“Dan, aku sudah menyiapkan hadiah untuk orang yang mendapat kesenangan.”

“Dan itu adalah...?”

Ia terbahak lagi. “Makan malam di kursi kehormatan! Apa itu masih kurang bagimu?”

Louie menonjok bahu orang itu. “Gregor, kadang perbuatanmu itu agak keterlaluan.
Izinkan aku mengenalkanmu pada teman-temanku, Lucas dan Liana. Em, Lianne, begitu
dia biasa dipanggil.”

Lucas tersenyum sopan. “Salam kenal,” katanya sopan.

Gregor balas tersenyum. “Salam, kawanku. Untuk kalian berdua. Mari, masuklah ke
dalam. Tentu kalian merasa lelah, dan aku sudah menyiapkan kamar untuk kalian.
Kurasa akhirnya Louie berhasil menemukan Putri dan Ksatria yang legendaris itu?”

Louie tersenyum pada kakaknya. “Benar, merekalah orangnya. Tujuanku ke sini bukan
hanya untuk menemuimu, kakakku, tapi juga memohon padamu untuk mengajarkan pada
mereka sedikit sihir.”

“Hm,” Gregor berpikir sebentar. Ia merogoh kantong dan mengulum sebutir permen.
“Permen ini berisi emosi, ini bisa membantuku berpikir sejenak. Sihir aliran apa
mereka tepatnya?”

“Kalau Lucas, aku belum tahu,” kata Louie sambil mengambil sebutir permen lain dari
tangan kakaknya. “Tapi Lianne bisa memakai sihir, cukup dengan sedikit imajinasi. Ia
bisa membentuk dinding pelindung untuk memisahkan diri dari emosi orang yang bisa
dirasakannya, dan dinding itu juga berguna untuk melindungi diri sehingga aku tak
dapat memakan emosinya.”

Gregor memandang Louie tak percaya. “Dia sekuat itu? Kalau begitu Lucas pasti
minimal setingkat di bawahnya. Mungkin sama, bahkan lebih kuat.”

“Tapi aku tidak pernah menyadarinya,” protes Lucas bingung. “Aku bahkan tidak tahu
aku punya kekuatan itu.”

“Tapi kau punya, dan kita harus mencoba segala cara untuk tahu. Kau bisa seni
beladiri?” tanya Gregor ramah.

“Eh, sedikit,” kata Lucas.

“Bohong! Dia bahkan bisa mengalahkan gurunya sendiri di karate!” kataku sambil
tertawa geli. Kadang Lucas terlalu merendah.

“Bisa mengalahkan guru sendiri?” tanya Louie, tampak tertarik.

“Kau bisa seni menggunakan pedang? Anggar, atau kendo?” tanya Gregor lagi.

“E...”

“Bisa!” aku menjawab pertanyaan itu sebelum Lucas bisa merendah lagi. “Dia sangat
bagus di situ.”

“Hm, begitu,” kata Gregor, berpandangan dengan Louie.

“Kurasa dia bisa memakai jenis sihir yang itu?” tanya Louie, senyum terbentuk di
bibirnya.

“Pasti bisa. Kemampuannya sangat memadai,” jawab Gregor, tersenyum lebih lebar dari
Louie.

Gregor dan Louie berbalik memandang aku dan Lucas, lalu mendorong kami melalui
lorong.

“Kalian cepat masuk kamar sekarang, mandi, tidur. Kami akan menyiapkan segala
sesuatunya.”

“Nanti malam, kita makan malam jam tujuh tepat, sekarang masih jam enam, kalian bisa
bersiap-siap.”

“Kalau kalian masih capek, makan malam bisa diundur sampai jam delapan, setengah
sembilan paling telat.”

“Lalu besok pagi kalian akan memulai latihan sihir, mungkin akan melelahkan.”

“Tapi jangan mengeluh! Ini untuk kebaikan kalian sendiri!”

“Nah, Lianne, ini kamarmu.”

“Lucas, kamarmu yang ini.”

“Masuklah ke dalam kamar kalian, dan selamat beristirahat!”

Keduanya berbalik dan pergi. Aku berpandangan dengan Lucas, setengah melongo,
setengah geli.

“Kompak sekali mereka,” komentarku.

“Seperti anak kembar,” sambut Lucas setuju.

Kami berpandangan lalu tertawa geli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar