Jumat, 12 November 2010

emotiom eater chp.10-end

Aku merasakan sakit di pergelangan tanganku. Aku mengeluh pelan, membuka mata
perlahan.

Ruangan ini... kenapa terasa familier? Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa ruangan
ini familier. Entah karena alasan apa.

Tanganku terikat di belakang punggungku, aku disandarkan dengan asal-asalan ke tiang
kecil di tengah ruangan.

Samar-samar aku mulai bisa mengingat ada kejadian apa tadi. Semak yang tersibak,
wajah yang menyambutku dari balik semak itu. Pemberontakanku, kegelapan yang
menyelimutiku, usahaku untuk melepaskan diri yang sia-sia...

“Kau sudah sadar.”

Itu bukan pertanyaan, itu pernyataan. Dan aku tau pasti diucapkan oleh siapa, walau
aku menundukkan kepala sehingga aku tak dapat melihat wajah orang itu.

“Douglass, lepaskan aku,” desisku saat ia berjongkok di depanku.

“Sayang sekali tapi aku harus menjawab ‘tidak’, manis,” tanggap Douglass dengan
senyum yang tampak ramah, keramahan yang palsu.

Aku menatap langsung ke matanya, menantangnya untuk bertindak. Terserah apa katamu,
aku tahu tindakanku bodoh. Itu jelas hanya membuatnya bersemangat mencelakaiku, tapi
aku tak mau terlihat lemah di depan musuhku. Apakah aku sudah pernah bilang aku
benci terlihat lemah?

Ia bangkit berdiri, tertawa sendiri. “Arthur, dia benar-benar kucing liar,” katanya
pada Arthur yang entah sejak kapan berada di sampingnya.

“Begitu pula Lania dulu,” balas Arthur, tersenyum kecil.

Aku menundukkan kepala lagi, memeriksa sekelilingku diam-diam. Kakiku tidak mereka
ikat. Bodoh, apa mereka tidak takut kutendang? Bagaimanapun mereka sepertinya tidak
memperhitungkan kemungkinan aku menggunakan serangan fisik.

“Kau pasti sudah menyadari, kalau ruangan ini kami isolasi dengan sihir tertentu
sehingga kau tidak bisa menyihir di sini.”

Mendengar info ini aku merasa lega. Baguslah, kalau begitu aku tak perlu memecahkan
batuku. Tapi aku menunjukkan raut wajah kaget pada mereka, berusaha mengelabui
mereka.

“Walau tentu info itu sebenarnya tak berguna bagimu karena kau toh tidak bisa
memakai sihir untuk sementara.”

Kini aku benar-benar kaget. “Kenapa kalian...”

Douglass tersenyum licik. “Kami punya banyak mata-mata, kami tahu apa yang terjadi
padamu dan batu sihirmu. Retak, sayang sekali. Padahal aku ingin mengajakmu
bertarung.”

Aku diam, menundukkan kepala lagi, dengan perasaan kalah. Darimana mereka tahu batu
sihirku retak? Ini mengerikan. Mereka bilang mereka punya banyak mata-mata. Apakah
mungkin ada pengkhianat juga? Hebat, sepertinya aku tak akan mendapat hari-hari
tenang lagi.

Douglass kembali berjongkok, ia mengangkat daguku lembut, menatapku tajam dengan
matanya yang berwarna hitam pekat seperti malam gelap. Kilatan-kilatan dan pantulan
cahaya dalam matanya terlihat seperti bintang. Tanpa aku sendiri menyadarinya, aku
menatap mata itu dalam-dalam, menenggelamkan diri dalam pesona gelapnya.

“Beritahu aku apa warna dan aroma jejak auramu,” perintah Douglass, masih menatap
mataku dalam-dalam, walau begitu ia telah menjauh dan melepaskan daguku.

Aku merasa heran. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apa dia pikir aku akan sebodoh itu
memberi tahu mereka apa warna auraku?

“Kenapa kau pikir aku akan memberitahumu apa warna dan aroma jejak auraku?” tanyaku
menantang Douglass.

Mata Douglass melebar kaget. Ia berpandangan dengan Arthur. Mereka berdua tampak tak
percaya, entah pada apa.

“Tak kusangka kau bisa menolak keinginanku,” ucap Douglass, berdiri perlahan dan
menatapku tajam.

“Kenapa aku harus memenuhi keinginanmu? Aku bukan budakmu,” kataku sambil mengawasi
gerak-geriknya.

“Dia kebal,” kata Arthur, terdengar agak takjub.

“Tak kusangka kau kebal terhadap sihir Vampir,” kata Douglass lagi, masih menatapku
tajam.

“Kurasa kalaupun kau mengeluarkan jurus pamungkasmu sekalipun kau juga tak akan bisa
menguasainya,” kata Arthur sambil menatapku dengan pandang menilai.

“Dia benar-benar orang itu,” kata Douglass, terdengar kagum.

“Lalu, kita apakan dia?” tanya Arthur, melirik Douglass dengan sikap mencurigakan.

“Rencana kita, tentu,” jawab Douglass sambil balas melirik Arthur. Kini mereka
berdua berjongkok di hadapanku.

“Terus terang saja, kami tidak tega membunuhmu, manis,” kata Douglass, diam-diam
membuatku kesal. ‘Manis’? Memangnya aku kucing?

“Karena itu kami sudah menyiapkan hadiah lain untukmu,” lanjut Arthur. Ia
mengeluarkan sebuah botol kristal mungil dari saku jaketnya, menunjukkannya padaku.

“Kau tahu apa itu?” tanya Douglass, menunjuk botol itu.

Aku menggeleng dengan jujur. Aku memang tak tahu apa itu. Lagipula lebih baik
begini, siapa tahu mereka mau menjelaskannya padaku. Aku tak ingin ada sesuatu yang
salah hanya karena aku membuat situasi yang buruk.

“Ini adalah ramuan pengontrol,” kata Arthur tenang. “Kalau seseorang meminumnya,
orang itu akan dengan mudah dikontrol orang lain. Kami berniat mengontrolmu dengan
sihir Douglass, tapi kau kebal terhadapnya, jadi kami memutuskan untuk menggunakan
ini.”

Aku membelalakkan mata dengan ngeri, menutup mulutku rapat-rapat. Tindakan yang
tepat, karena saat itu Arthur dan Douglass lalu mulai menyerangku. Douglass menahan
leherku dengan tangannya, membuatku tercekik. Saat itu Arthur sudah membuka tutup
gabus botol kristal mungil itu. Aku menendang Douglass dalam usahaku untuk
melindungi diri, dan karena tindakan itu gagal aku menendang Arthur. Tapi Arthur

dengan mudahnya mengelak tanpa harus menumpahkan bahkan setetespun ramuan itu.
Mulutku dibuka dengan paksa, aku memalingkan muka. Aku memberontak sekuat tenaga,
tapi sulit karena tanganku terikat di belakang punggung. Aku menoleh kiri-kanan,
berusaha menjauhkan diri dari ramuan itu, tapi Douglass lalu mencekikku sehingga aku
tak dapat lagi bergerak. Aku menutup mulutku rapat-rapat lagi, menggigit jemari
Arthur yang berniat menuangkan ramuan itu ke mulutku. Tapi walau sekuat apapun
akumenolak, akhirnya mereka berhasil. Mereka berhasil menuangkan ramuan itu, lalu
mereka menutup mulutku sehingga aku tak dapat meludahkan cairan menjijikkan itu,
manutup hidungku sampai aku terpaksa meneguk cairan itu, lalu memegangiku lagi
karena aku masih meronta.

“Sebentar lagi, putriku,” kata Douglass dengan lembut di telingaku. Suaranya
terdengar jauh, tapi aku masih mendengarnya. “Sebentar lagi kau akan ada di bawah
kontrol kami.”

Setelah beberapa saat, aku kehilangan keinginan untuk meronta dan memberontak lagi.
Pandanganku tampak agak mengabut dan telingaku mendengar suara yang dari dekat
seakan suara itu jauh, dan begitu pula sebaliknya. Aku sama sekali kehilangan
keinginan untuk pergi, malah. Aku hanya ingin diam dan tenang, duduk bersama Arthur
dan Douglass. Sungguh aneh. Apa ini juga adalah pengaruh dari ramuan itu?

“Liana.”

Aku mendongak, menatap Arthur, tepat di manik matanya. Mata ungu gelap itu terlihat
seakan ingin menenggelamkanku di dalamnya. Selama tiga belas detik penuh kami
berpandangan, saling menatap ke dalam manik mata masing-masing, dalam kebisuan.

“Katakan padaku, apa warna dan aroma jejak auramu?” tanya Arthur, masih menjaga
kontak mata denganku.

Aku tak ingin menjawab. Aku tak mau menjawab. Tapi aku merasa harus menjawab. Bahkan
hanya berpikir untuk tidak menjawab pertanyaan itupun, aku merasa bersalah. Aku
membuka mulut, menjawab pertanyaan itu.

“Jingga amber, honeysuckle,” bisikku pelan.

“Bagaimana dengan sepupumu?” tanya Arthur lagi, matanya masih menatap mataku dengan
lekat.

Lagi-lagi, aku tak mampu menolak menjawabnya. “Merah jasper dan permen cokelat.”

“Apakah kalian sudah bisa menyembunyikan jejak aura kalian?”

Aku mengangguk sebagai jawaban. Dalam hati aku memaki diri sendiri, kenapa aku tidak
bisa menolak menjawabnya?

“Kau bisa menyembunyikan jejak auramu sendiri?”

Aku menggeleng. “Aku hanya bisa menyembunyikan jejak aura Lucas, dia hanya bisa
menyembunyikan jejak auraku. Kekuatan kami ini berhubungan.”

Aku merasakan ada tangan yang menyentuh kepalaku, aku tahu itu tangan Douglass.
Terlihat pijaran cahaya jingga amber, tercium wangi bunga honeysuckle, aku hanya
diam tak melakukan apapun. Beberapa detik kemudian pendaran cahaya itu hilang, tapi
wangi bunga masih tercium.

“Tahukah kau apa kata legenda tentang kekuatan Putri dan Ksatria?” tanya Arthur
lagi, matanya menatap mataku lekat, jauh lebih dalam dari tadi. Aku menggeleng
dengan jujur. Bahkan berpikir untuk berbohongpun membuatku merasa seakan aku ini
adalah penjahatnya, bukan Arthur dan Douglass.

“Legenda menyatakan bahwa bila Putri dan Ksatria memiliki kekuatan sihir yang hebat.
Paling hebat, tak bisa dibandingkan dengan kekuatan sihir siapapun. Tapi, dalam
legenda juga, dijelaskan kalau mereka akan kehilangan kekuatan sihir yang menjadi
kunci penyelamatan negeri Emotion Eater jika mereka berubah menjadi seorang Emotion
Eater.”

Aku merinding. Apa dia...

“Karena kami tak ingin membunuhmu, kami putuskan untuk mengubahmu menjadi seorang
Emotion Eater.”

Sudah kuduga!

Aku merasakan ikatan di pergelangan tanganku dibuka. Kini aku dapat melihat dengan
jelas lagi, bisa mendengar dengan jernih lagi. Arthur berdiri sementara aku mencoba
mempersiapkan diri untuk jebakan mereka yang lain.

Douglass menjentikkan jemari. “Kemari, Earl.”

Aku bangkit berdiri, menoleh waspada ke arah pintu. Dari sana keluar seorang pemuda.

Dia tampan, tinggi, langsing. Rasanya hampir seperti saat aku pertama bertemu dengan
Louie dulu. Kesan yang ditimbulkan sama. Matanya berwarna hijau kelabu, namun tidak
seperti mata Louie yang jernih, matanya tampak keruh. Kehampaannya juga berbeda.
Kehampaan yang kurasakan pada Louie hanya sedikit, walau matanya menunjukkan
kehampaan masih ada setitik kecil emosi di dalam mata itu. Namun mata ini berbeda.
Seluruhnya hampa dan kosong, membuatnya tampak seperti sesosok boneka manekin yang
tampan, atau boneka porselen yang sempurna.

“Dia berada di bawah pengaruh sihirku,” kata Douglass, membuatku menatapnya kaget.
“Emotion Eater yang tampan, namun keras kepala. Dia seluruhnya berada di dalam
pngaruhku. Apapun perintah yang kuberikan padanya, dia akan menurutinya.”

Aku menatap pemuda itu. Kenapa dia bisa berada di bawah pengaruh sihir Douglass?

“Virus yang membuat seseorang berubah menjadi seorang Emotion Eater mirip dengan
virus yang membuat seseorang berubah menjadi Vampir,” kata Arthur. “Ia menyebar
lewat darah, memanipulasimu sedikit demi sedikit. Mirip dengan proses ramuan
pengontrol tadi, tapi berbeda. Sifatnya permanen. Sekarang kau sudah merasakan kalau
efek ramuan pengontrol itu sudah hilang, bukan? Tapi ramuan virus dari Earl ini
berbeda.”

Aku menatap pemuda itu, Earl, sambil berpikir. Kalau efek ramuan pengontrol itu
padaku sudah hilang sekarang (dan memang sudah hilang, aku bisa merasakannya), maka
seharusnya sihir Douglass bisa dihilangkan dari Earl juga. Tapi bagaimana?

“Lakukan, Earl. Gigit lehernya, sebarkan virusnya,” perintah Douglass.

Earl merangsek, aku menghindar. Aku tidak berusaha menyerang, toh batu sihirku tak
akan kugunakan kalau persoalannya belum benar-benar mendesak. Sambil menghindar aku
berpikir-pikir bagaimana caranya agar aku bisa melepaskan pengaruh sihir Douglass
dari Earl. Sepertinya ini sulit, karena aku tidak bisa menyihir.

Saat Earl menyerangku lagi, di benakku terbersit ide gila. Tapi aku segera membuang
ide itu. Tidak, tak bisa! Aku tak mau melakukannya. Tapi ide itu rasanya pantas
dicoba...

Tapi bagaimana? Earl menyerang membabi-buta, sulit menemukan celah untuk
melakukannya.

Dan celah itu terlihat saat aku berada di pojok ruangan, di dekat lukisan bercat
biru tua bergambar pedesaan di malam hari, tampak indah dan suram. Aku menghindar
saat Earl menyerangku, membuatnya menabrak dinding. Lalu saat ia berbalik, aku
melakukannya.

Ide itu datang begitu saja, dan sebenarnya aku tidak tahu kenapa aku benar-benar
ingin mencoba mempraktekkan ide gila itu. Namun entah atas dorongan apa, aku
melakukannya.

Aku mencium kening Earl.

Tujuh detik lamanya aku mencium keningnya. Tujuh detik lamanya semua gerakan
terhenti di ruangan itu. Tujuh detik lamanya tak ada yang bersuara di ruangan itu.
Tujuh detik lamanya aku menempelkan bibirku di kening Earl, dan aku bisa merasakan,
bukan melihat, mata Earl melebar dalam kesadaran, emosinya menyeruak keluar.

Setelah tujuh detik itu berlalu, aku melepaskan kepala Earl yang tadi kupegangi
dalam usahaku menahan gerakannya agas aku bisa menciumnya. Aku melepaskannya,
melepaskan bibirku dari dahinya, dan ia terjatuh lemas.

Mata hijau kelabunya kini tampak jernih lagi, hampir sejernih mata Louie. Ia
memandang berkeliling dengan pandang heran dan bingung, bergidik saat melihat Arthur
dan Douglass, namun tampak lega sekaligus kebingungan saat menyadari keberadaanku.

“Siapa kau?” tanyanya lirih padaku. Suaranya merdu, empuk, enak didengar.

“Aku Lianne,” jawabku pendek, tidak menyertakan keterangan siapa aku di mata
legenda. Biar dia tahu itu belakangan saja.

“Apa yang terjadi?”

“Aku tidak ingin membicarakan itu sekarang, terus terang. Nanti saja.”

Douglass meraung marah, Arthur menatap dengan lautan es di matanya. Keduanya tampak
amat mengerikan.

Arthur mengirim percikan listrik ke arahku dan Earl. Earl segera membuat perisai,
melindungiku dan dia sendiri dari percikan listrik.

Saat aku sedang menimbang-nimbang apakah aku sebaiknya menggunakan sihir atau tidak,
pintu di ujung ruangan meledak, Lucas dan Louie berderap masuk.

*

Lucas

“Di mana kira-kira posisi mereka?”

“Di markas Arhur dan Douglass, aku yakin.”

“Dan di mana itu tepatnya?”

“Aku akan ke sana, tenanglah. Kau mau ikut?”

“Tentu saja! Lianne sepupuku, dia adalah Sang Putri dalam legenda, bagaimana bisa
aku membiarkannya? Ayo, kita berangkat.”

“Tapi kurasa kau sebaiknya jangan ikut. Bisa-bisa mereka menyekapmu juga.”

“Aku tak peduli. Kita harus cepat ke sana.”

Louie menatapnya sesaat. “Kalau begitu, berpeganganlah padaku. Yang erat.”

Lucas menuruti perintah Louie. Angin mengamuk di sekitarnya, dan ia merasakan
sensasi mengentak di perutnya, merasakan rambutnya berkibar ditiup angin.

Beberapa detik kemudian, angin mereda. Ia membuka matanya. Ia dan Louie sudah berada
di tempat lain.

“Ini markas Arthur dan Douglass. Lianne ada di balik pintu ini. Aku tidak bisa masuk
karena mereka menempatkan segel sihir di sana, tapi sihirmu tetap akan bisa
berfungsi karena jenis sihirmu berbeda,” kata Louie.

“Oke, kalau begitu mari kita masuk,” ajak Lucas, lalu mencabut pedangnya.

“Apa yang mau kaulakukan?”

“Meledakkan pintu.”

“APA?!”

Tanpa mempedulikan kekagetan Louie, Lucas membuat ledakan keras, pijntu itu berubah
menjadi serpihan. Lucas dan Louie segera memasuki ruangan itu.

Lucas menemukannya sedang duduk di sudut ruangan, bersama seorang pemuda bermata
hijau kelabu. Ia bersiap menyerangnya, menyangka pemuda itu sekutu Arthur dan
Douglass. Namun Louie mengejutkannya.

“Earl!”

*

“Earl!”

Earl menatap Louie, matanya melebar, terlihat setitik keterkejutan di dalamnya.
“Louie!”

Arthur dan Douglass berbalik, kini menyerang Lucas dan Louie. Keduanya berkelit,
Louie tak dapat membuat perisai. Mungkin sihirnya terkekang di sini.

“Teman lama kini ikut memeriahkan pesta,” kata Douglass dingin.

“Dan teman lama itu hendak menjemput tuan putri dari sini,” jawab Louie santai.
“Tentu, Earl juga akan ikut denganku.”

Mereka saling kenal, pikirku sambil mengamati gerakan Arthur dan Douglass. Walau
tampaknya mereka tidak mengancam, tapi serangan mereka cukup mematikan. Jangan
sampai aku kena. Bisa-bisa aku habis dalam hitungan detik.

“Tapi kami tidak akan mengizinkanmu membawa mereka sekaligus, Louie,” tukas Arthur
santai.

“Sayang sekali, tapi aku memaksa,” kata Lucas tiba-tiba, pedangnya teracung
mengancam.

“Ksatria juga datang, rupanya,” ucap Douglass tenang. Tangannya terangkat, naik,
pelan, mengancam...

Sebelum Douglass dapat menyihir apapun, Lucas menyerangnya dengan semburan bunga
api. Hanya gertakan, serangan itu tidak dimaksudkan untuk mencelakai Douglass, tapi
akibatnya cukup membuat kaget. Douglass meraung kesakitan, menutupi matanya.

Aku tersentak, menyadari apa sebabnya. Douglass adalah seorang dari klan Vampir.
Mungkin sihir Lucas membuatnya kesilauan. Kalau api biasa mungkin dia tidak apa-apa,
tapi bunga api ini berbeda. Aku bisa merasakan kalau Lucas mengisi serangannya ini
dengan kemarahan, sehingga serangannya lebih kuat dari yang seharusnya.

Arthur segera bergerak, menyerang Lucas. Dengan cepat Lucas membuat perisai dan
menyerang balik. Segalanya tampak samar-samar bagiku, karena gerakan mereka yang
begitu cepat.

Di tengah-tengah segala keributan itu, Louie menghampiriku dan Earl.

“Ayo, kita keluar,” ajaknya sambil menarikku berdiri.

“Tunggu, bagaimana dengan Lucas?” tanyaku padanya.

“Dia ada di sana sebagai pengalih perhatian Arthur dan Douglass. Setelah beberapa
lama, dia juga akan kabur.”

Aku bangkit berdiri, lalu melangkah ke pintu, setengah mengendap-endap supaya Arthur
tidak menyadari kepergianku, Louie dan Earl. Tapi sialnya Douglass ternyata sudah
pulih kembali.

“Arthur!” teriak Douglass memperingatkan Arthur.

Arthur berpaling dari Lucas, menunjukku, meneriakkan kata-kata aneh.

Aku merasa aneh. Tubuhku terasa ringan. Dengan waswas aku menatap tanganku.

Aku memudar. Aku memudar menjadi pijaran cahaya jingga amber, dan wangi honeysuckle
memenuhi ruangan itu. Dengan panik aku menoleh ke kanan-kiri, mencari bantuan. Tapi
tak ada yang bisa kulakukan. Lucas segera berlari dan menyambarku, tapi hal yang
sama malah terjadi pada dirinya. Ia memudar menjadi pendaran cahaya merah jasper dan
bau permen cokelat bercampur dengan wangi honeysuckle.

Louie bergerak, berusaha menyelamatkanku dan Lucas. Tapi Arthur lebih cepat.
Jemarinya bergerak melukis tanda aneh di udara. Dalam hitungan detik aku dan Lucas
melayang dan melesat masuk ke dalam botol kristal mungilnya, tempat ramuan
pengontrol tadi, yang sudah kuminum. Kuharap tak ada sisanya di sana.

Earl sempat menyambar cahaya jingga dan merah itu sebelum aku dan Lucas benar-benar
terperangkap. Tapi dalam sekejap ia juga berubah menjadi pendaran cahaya hijau
terang yang terlihat agak pudar, wangi lemon memenuhi udara, dan ia juga ikut
terisap ke dalam botol.

Pendaran cahaya itu segera membentuk tubuhku, tubuh Lucas dan tubuh Earl begitu kami
sudah ada di dalam botol kristal itu. Tubuhku pasti mungil sekali sekarang, bisa
berada di dalam botol kristal begini.

“Kenapa bisa...” bisikku tak percaya.

“Ini sihir Arthur,”desis Lucas marah, memukul dinding botol dengan marah.

Di dalam, dinding botol itu halus. Amat halus malah, sampai-sampai di saat kami
kecil begini masih terasa halus. Tapi di luar, berbeda. Bagian luar botol ini penuh
detail-detail rumit bentuk kristal, meniru bentuk asli kristal yang belum dibentuk
menjadi botol. Maka dari itu walau aku bisa melihat apa yang dilakukan Arthur,
Douglass dan Louie dari dalam botol, semuanya tampak bergelombang tak jelas. Namun
bisa dibedakan. Rambut Louie pirang agak panjang,diikat dengan tali hitam, Douglass
memiliki rambut hitam legam pendek, hanya sedikit melewati kerah kemejanya, dan
rambut Arthur berwarna cokelat muda dengan sedikit aksen ungu.

Botol tempatku disekap berada dalam genggaman tangan Arthur, di ujung atasnya
sehingga kami dapat melihat dari dalamnya.

Louie, walau aku tak bisa melihat wajahnya, tampak marah. Terlihat dari bahasa
tubuhnya, dan aku bisa merasakan kemarahannya itu walau aku berada dalam tempat
terpisah darinya.

“Kita harus keluar dari sini!” kataku dengan panik, menyadari kalau sekuat apapun
Louie, ia tak akan bisa menang melawan Athur dan Douglass yang bergabung. “Mereka
terlalu kuat untuk Louie! Dia bisa mati! Kita harus membantunya!”

“Aku menyadari kebenaran teorimu,” kata Lucas tenang, namun matanya memandang galak
dinding botol, tanda ia ingin memecahkannya kalau bisa. “Tapi ingat kondisi kita
sekarang. Kita tak akan bisa keluar.”

“Bisa,” bantahku cepat. “Bisa. Kita bisa menggunakan sihir. Tak sadarkah kau, kalau
kau masih membawa pedangmu?”

“Tapi sulit,” kata Earl, berpikir keras. “Sihir kami berdua saja tak akan bisa
dipakai untuk melakukannya.”

“Oh, sepertinya kau melupakanku.”

“Kau bisa menyihir?” kata Earl, tampak kaget. “Kenapa tidak bilang dari tadi?”

Lucas juga tampak kaget. “Tapi batu sihirmu retak! Kalau kaupakai untuk menyihir
sekali lagi batumu bisa pecah!”

“Batuku pecah sekalipun, aku masih tetap bisa hidup,” tukasku sambil menoleh,
menatap Louie yang kini tampak terpojok, diserang sihir Arthur dan Douglass
bersamaan. Ia terlontar dan menghantam dinding.

“Tapi...”

“Aku masih bisa hidup tanpa sihir, Lucas,” tegasku sekali lagi. “Kalau kita tidak
menolong Louie, dia tak akan keluar dari ruangan ini hidup-hidup. Lihat, dia tidak
bisa menggunakan sihir di ruangan ini, tapi Arthur dan Douglass terus menyerangnya
dengan sihir. Apa kau mau dia mati? Tadi Arthur dan Douglass mengatakan kalau mereka
mengisolasi ruangan ini sehingga aku tidak akan bisa lagi menyihir, tapi mereka
salah. Aku tetap bisa membangun benteng emosiku.”

Itu benar. Sejak tadi benteng emosiku terus berdiri, tidak runtuh. Berarti
penyegelan sihir yang mereka perbuat tak mempan bagiku.

“Tapi...”

Aku menarik Lucas, mendekatkan wajahku ke wajahnya sehingga hidung kami hanya
tinggal berjarak dua senti.

“Lagipula,” kataku tenang di depan wajahnya, “kalau aku terancam bahaya, ada kau
yang akan melindungiku, bukan?”

Aku meruntuhkan bentengku sejenak, mencoba merasakan emosi Lucas. Aku menjauhkan
diri darinya, menyadari kalau aku tak dapat membaca emosinya. Sepertinya dia sudah
tahu bagaimana caranya membentengi diri dari serangan-serangan seperti usaha
pencurian emosi dari Louie.

Aku membangun kembali bentengku, mengerjap kaget. Apa tadi aku melihat wajah Lucas
merona?

Sepertinya hanya perasaanku.

“Baiklah kalau begitu,” kata Lucas akhirnya. “Kita coba meloloskan diri dari sini.”

“Earl, kau tahu bagaimana caranya?”

Earl mengangguk. “Duduklah melingkar. Saling berpegangan tangan. Apapun yang
terjadi, jangan melepaskan tangan orang yang kalian pegang. Kita harus membiarkan
semua kekuatan sihir kita meluap, membiarkan aura kita terlihat. Tekanan sihir dari
dalam seperti itu akan membuat botol ini mengeluarkan kita.”

Kami bertiga duduk melingkar, menggenggam tangan orang di samping kami erat. Kami
memejamkan mata, lalu dengan usaha terkeras dalam hidupku, aku melepaskan segel yang
selama ini menahan tekanan kekuatan sihirku.

Segera, cahaya jingga amber, merah jasper dan hijau terang memenuhi botol itu, dan
aku yakin cahayanya terlihat dari luar. Aku memejamkan mataku erat-erat, karena
merasa silau melihat cahaya yang tadi meledak itu (sebab aku memang melihatnya tadi,
aku tidak memejamkan mataku rapat) dan mencium bau permen cokelat, lemon dan
honeysuckle yang bercampur.

“Kurang kuat!” aku mendengar teriakan Earl. “Biarkan kekuatan sihir kalian meledak!
Kerahkan semua kekuatan itu, biarkan meledak keluar!”

Aku mematuhi perintah itu, dan kurasa begitu juga Lucas. Kini aku merasakan tekanan
kuat yang mendorongku mundur, membuatku nyaris melepaskan peganganku pada tangan
Lucas dan Earl. Aku segera menguatkan pegangan.

Aku mendengar suara benda pecah, amat keras sehingga aku menjerit.

Aku membuka mata perlahan. Apakah berhasil?

Wangi honeysuckle, permen cokelat dan lemon masih mendominasi. Pendaran cahaya
jingga amber, merah jasper dan hijau terang masih terlihat. Namun kini aku, Lucas
dan Earl tidak lagi berada di dalam botol kristal Arthur, melainkan dalam ruangan
tempat Louie, Arthur dan Douglass bertarung. Aku dapat melihat mereka bertiga
menatapku, Lucas dan Earl tak percaya. Lebih-lebih padaku.

Pendaran cahaya dan wangi campur aduk itu menghilang. Aku terjatuh kelelahan.

Terdengar derak pelan dari gelang lenganku. Aku menoleh menatap batu berwarna merah
darah itu, tersenyum sedih menatap pecahannya yang tersebar di lantai.

Botol kristal itu telah pecah, pecahannya tersebar bersama dengan pecahan batuku.

Aku melepas gelang lenganku dan memandanginya dengan sedih. Aku tak akan bisa
menyihir lagi, setidaknya sampai aku mendapat amber.

“Berhasil melepaskan diri, ya?” kata Arthur, terlihat kilatan mencurigakan dari
matanya. “Bukan masalah. Akan kami bereskan kalian sekarang juga.”

Lucas dan Earl berdiri di depan aku dan Louie, menamengi kami. Mata mereka, walau
aku tak dapat melihatnya, aku yakin memancarkan keseriusan dan hawa membunuh.
Terutama Earl. Yah, memangnya siapa yang tidak marah kalau diperalat dengan paksa,
dalam pengaruh sihir?

Louie bangkit berdiri dari posisinya yang setengah berbaring, lalu melangkah
tertatih-tatih ke depan Lucas dan Earl.

“Kami minta maaf, tapi kami harus pergi sekarang, Arthur, Douglass,” katanya dengan
nafas terengah.

Lucas menarikku berdiri dan menarikku berlari keluar pintu, diikuti Louie dan Earl.

“Di sana!” teriakku panik.

“Sensor sihir,” desis Louie marah. “Kalau kena kita bisa langsung mati.”

“Earl, bisakah kau memindahkan kita semua keluar?!” teriak Lucas, terdengar nada
panik dalam suaranya. “Aku tak bisa, Lianne jelas lebih tak bisa, Louie tidak dalam
kondisi memungkinkan.”

“Bisa,” jawab Earl, “tapi aku butuh sumbangan energi sihir.”

Lucas meletakkan tangannya di bahu Earl, cahaya keemasan menyelubungi mereka beruda
selama beberapa saat.

Angin mengamuk di sekitar kami. Aku segera memeluk lengan Lucas, yang meremas bahu
Earl dengan kuat. Louie segera mencengkeram tangan Earl.

Angin kembali mereda. Aku melepaskan lengan Lucas dan langsung jatuh terduduk karena
kelelahan.

Di langit timur, matahari mulai terbit. Sepertinya petualangan kami ini – walau aku
lebih suka menyebutnya sebagai bencana besar – menghabiskan waktu semalam suntuk,
penuh, tak kurang sedetikpun.

Aku mengusap mata dengan lelah. Rasanya mengantuk sekali. Lucas melakukan hal yang
sama.

“Kalian kelelahan, sebaiknya kalian tidur sekarang.”

Aku menoleh memandang Louie yang duduk di sampingku.

“Lagipula kalian belum pernah melepaskan energi sihir kalian seperti tadi itu,
bukan?” tanya Earl sambil menatap langit.

Aku mengangguk jujur, begitu pula Lucas. Pandanganku kabur karena airmata yang
keluar saat aku menguap barusan.

“Tidur sebentar akan menghilangkan kelelahan kalian,” kata Louie, “Juga kelelahanku.
Earl, bisakah kau berjaga selama kami istirahat?”

Earl mengangguk.

Aku tidak ingin tidur. Aku tidak berniat tidur. Tapi aku terlalu lelah. Tubuhku
sudah terasa lemas, aku berkali-kali menguap karena kelelahan.

Aku menyerah. Aku menyandarkan diri ke sebatang pohon dan tertidur lelap.

*

“Nah, Earl, sekarang bisa kau menjelaskan pada kami kenapa kau sampai tertangkap
oleh Arthur dan Douglass?”

Earl mengerjap. “Louie, sudah berapa kali kita membicarakan ini? Aku tak ingin
mengingat-ingat kejadian itu.”

“Katakan saja, jangan protes!”

Earl mendesah. “Aku tak tahu kejadiannya kapan, aku tidak ingat kapan. Yang kutahu
kejadiannya adalah saat malam hari, beberapa bulan setelah kau pergi mencari Sang
Putri dan Ksatria, tapi tepatnya aku lupa.

“Malam itu klan Soul Eater dan Vampir menyerang lagi. Aku sedang berusaha membantu
mengevakuasi anak-anak yang belum bisa menggunakan sihir ke gua perlindungan
berlapis sihir saat tiba-tiba aku dicekal dari belakang.”

Earl memejamkan matanya. Aku bisa melihat ia ketakutan. Wajahnya memucat dan
keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.

“Arthur dan Douglass menyekapku. Setengah mati aku berusaha memberontak, lari dari
mereka, tapi aku gagal. Entah bagaimana, di dekat mereka aku tidak bisa menggunakan
sihirku. Saat aku lalu berusaha menyerang mereka secara fisik, tanpa sengaja aku
bertatapan dengan Douglass. Entahlah, sejak saat itu ingatanku menjadi samar-samar.
Aku hanya ingat ada salah seorang anggota klan Shape-Shifter yang menggigitku dan
berubah menjadi aku, benturan, ledakan, kegelapan, stop sampai di situ. Aku tidak
ingat apapun lagi sampai aku tersadar, disadarkan Lianne, di markas Arthur dan
Douglass.”

Earl membuka matanya, ada setitik ketakutan di sana. Namun kehampaan yang
melingkupinya menebal, hampir sampai ketakutannya itu tak terlihat.

“Kenapa bisa?” tanya Lucas bingung.

Louie menatap langit, diam tanpa kata.

“Louie, bisakah kau menjelaskan kenapa bisa begitu kasus Earl?” tanyaku, kesal akan
kebisuan Louie.

“Kalau Emotion Eater memiliki kemampuan untuk menenggelamkan seseorang dalam pesona
tatap mata mereka sehingga Emotion Eater itu memiliki akses untuk memakan emosi
orang itu, Vampir memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dan membahayakan. Mereka
bisa menenggelamkan seseorang dalam pesona mereka, lalu melakukan apapun yang mereka
mau terhadap orang itu. Mereka bisa menyuruh orang itu bunuh diri kalau mau.
Kemampuan menguasai kehendak seseorang. Tubuh orang yang dikuasai tak akan menjadi
milik orang itu sendiri lagi, kebebasan orang itu terenggut, dan yang lebih
mengerikan, semua perintah dari si Vampir itu akan dilakukannya, nyaris tanpa sadar,
dan sukarela. Kemampuan Douglass bahkan lebih besar dari kemampuan sebagian besar
klan Vampir, karena ia dapat menahan pengaruh itu cukup lama.”

Earl bergidik ngeri, wajahnya bertambah pucat.

“Berapa lama kau berada di bawah pengaruhnya, menurutmu?” tanya Louie pada Earl.

“Entahlah, aku tak ingat. Beberapa hari?”

“Kalau begitu kau pasti kaget kalau kubilang kau sudah terperangkap selama bertahun-
tahun.”

Earl membelalakkan mata. “Kau pasti bercanda.”

Louie menatapnya datar. “Sayang sekali, aku serius. Aku pergi untuk mencari Sang
Putri dan Ksatria sekitar tujuh setengah sampai delapan tahun lalu. Pengaruh
Douglass pasti kuat sekali sampai dia bisa memerangkapmu selama itu. Aku yakin Shape-
Shifter itu adalah mata-mata Arthur dan Douglass. Tapi,” Louie mengerling padaku
dengan tatap tertarik, “bagaimana kau bisa melepaskan Earl dari pengaruh Douglass?

Aku tahu kau memang Sang Putri, Lucas Ksatria, tapi tanpa sihir kau tidak akan bisa
melakukannya.”

Aku mengerutkan dahi dengan bingung. “Entahlah, aku tak tahu,” kataku jujur. “Saat
aku melihat Earl, tiba-tiba aku terpikir untuk meruntuhkan pengaruh Douglass, tapi
aku tak tahu caranya. Lalu tiba-tiba aku saat Earl berusaha menyerangku di bawah
perintah Douglass, secara tiba-tiba aku terpikir untuk menciumnya. Jadi, karena
tidak ada cara lain, ya kulakukan saja. Aku menciumnya di dahi.”

Aku tersenyum malu.

Louie mendongak menatap langit. “Cium, ya?” katanya tenang. “Aku tak heran. Sebagai
Sang Putri, kau memiliki kekebalan terhadap sihir Vampir, dan kurasa dengan mencium
Earl kau menularkan kekebalan itu sesaat sehingga pengaruh Douglass hilang darinya.”

Earl menatapku tak percaya. “Kau Sang Putri? Berarti dia Ksatria?”

Aku dan Lucas hanya diam berpandangan. Aku mengangguk kecil.

“Kukira kekebalan itu berasal dari amulet yang diberikan Gregor padaku,” kataku
sambil menatap amulet emas itu dengan benak berkecamuk penuh pikiran tentang sihir.

“Amulet itu memang memberikan perlindungan, tapi perlindungan itu tak akan cukup
kuat dari pengaruh Douglass kalau aku tidak memiliki kekebalan terhadap sihir
Vampir,” jelas Louie tenang.

Aku diam sambil memikirkan kemungkinan ini. Sebenarnya ini percuma saja. Toh mereka
sudah tahu jejak auraku dan Lucas. Tinggal tunggu waktu sampai mereka menemukan
kami. Tapi semoga saja waktu itu masih lama.

“Kita sudah lama sekali berjalan di hutan ini,” kata Lucas tiba-tiba. “Apakah
negerimu sudah dekat?”

Untuk pertama kalinya Louie tampak benar-benar ceria, seceria bunga matahari di pagi
hari. “Oh, tentu saja sudah dekat,” katanya dengan nada seperti bersenandung riang.
“Kalau kalian sedikit melihat ke barat, kalian akan melihat lembah. Di sanalah
negeriku berada.”

Aku dan Lucas menuruti perintah Louie, dan terkejut mendapati kata-katanya benar.
Lembah itu juga amat luas, aku yakin.

“Lusa, kita akan sampai di sana,” kata Louie senang, “kalau tak ada halangan.”

Kata-kata terakhirnya terasa seperti menyiratkan arti tertentu bagiku. Aku teringat
kata-kata Lania dulu dalam mimpiku.

‘Dan beritahu Louie untuk tidak mencoba melakukan pemberontakan, Lianne.’

Apa maksudnya?

*

Siang itu udara terasa amat panas. Lebih panas dari kemarin-kemarin. Sampai terasa
membakar. Aku, Louie, Lucas dan Earl sampai terengah-engah, minuman kami sudah habis
sejak setengah jam yang lalu.

“Aku mau ambil air dulu saja, kalian istirahatlah,” kata Lucas sambil bangkit
berdiri, mengambil botol air minumku, Louie, Earl, dan miliknya sendiri.

“Tunggu, aku ikut,” kata Earl sambil bergegas menyusulnya.

Ditinggal berdua dengan Louie begini, aku jadi memikirkan kata-kata Lania lagi.
Pemberontakan apa? Aku duduk di batang pohon rendah terdekat, Louie duduk di akar
pohon yang sama.

“Lianne.”

Aku mendongak. “Apa?”

Louie menatapku dengan pandang yang tak dapat kutafsirkan sebagai pandangan dengan
perasaan apa. Ia membuka mulut, bertanya, “Pernahkah kau merasa menginginkan hidup
abadi?”

Aku tak menjawab, hanya diam dan memandangnya heran bercampur curiga. Apa sebenarnya
yang diinginkan Louie?

“Asal kau tahu, sudah sejak lama aku mencari seorang gadis untuk menjadi
pendampingku. Dan entah kenapa aku merasa gadis itu adalah... kau, Lianne.”

Aku tetap diam, tapi kali ini aku menundukkan kepala dengan bingung. Aku kembali
memikirkan kata-kata Lania. Dan... memikirkan apa kata-kata yang bisa kuucapkan
dalam situasi seperti ini.

“Tapi demi itu aku harus bertanya padamu, maukah kau menjadi seorang Emotion Eater?”

Aku mendongak kaget. “Tapi kalau aku berubah menjadi Emotion Eater, kekuatanku akan
menghilang! Apa kau ingin merelakan negerimu hancur dirusak orang?”

Louie tampak marah kini. “Sejak awal aku memang tidak terlalu antusias dengan tugas
ini.”

“Apa maksudmu?”

Louie bangkit berdiri, mendekatiku.

Aku ingin mundur, tapi sayang sekali batang pohon ini tidak memuliki ruang lebih
untuk itu. Dan aku tidak bisa turun, terlambat. Louie sudah terlalu dekat denganku.

“Pernahkah kau merasa kau diperalat oleh orang-orang yang kausayangi?” tanya Louie.
“Itulah yang kurasakan terhadap Para Tetua yang menjaga negeriku. Kekuatanku adalah
yang termurni setelah kekuatanmu dan Lucas di dunia ini. Dan mereka memerlukan
kekuatan murni itu untuk mempertahankan eksistensi mereka di dunia ini. Mereka sudah
hidup sejak zaman Atlantis, mereka adalah tujuh yang selamat dari pulau tenggelam
itu. Merekalah yang selama ini selalu mengambil sebagian sihirku untuk mereka makan,
dan mereka memaksaku untuk memakai sebagian sisanya untuk melindungi negeriku itu!”

Kini kemarahan murni terpancar dari matanya, tak ditutupi bahkan seberkaspun
kehampaan yang biasanya selalu melingkupinya seperti gorden.

“Bahkan selama aku mencarimu dan Lucas, mereka tetap mengkonsumsi kekuatan sihirku!
Kalau mereka tidak melahap kekuatan sihirku seperti macan kelaparan diberi anak
kelinci, aku tak akan tidak bisa menggunakan kekuatan di depan Arthur dan Douglass,
biar ruangan yang mereka pakai untuk mengurungku disegel serapat apapun! Dan asal
kau tahu saja, mana bisa mereka membiarkan kekuatan sihir murni yang belum terjamah
sedikitpun lewat begitu saja di depan mereka? Kau dan Lucas akan menjadi korban
mereka, ketahuilah!”

Aku terperangah menatapnya. “Tapi... kalau dibiarkan begitu saja negerimu akan
hancur! Klanmu bisa lenyap selamanya. Bagaimana dengan nasib mereka yang tidak
tahu-menahu tentang ini? Mereka tidak sepantasnya menjadi korban.”

“Apa peduliku?” tanya Louie resah. “Ini kulakukan juga untukmu, Lianne. Kalau mereka
sudah mulai melahap kekuatan sihirmu, mereka tak akan berhenti sampai kau mati, atau
sampai mereka mati.”

Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak peduli. Aku ingin menyelamatkan negerimu, ingin
menyelamatkan semuanya. Tak sepantasnya ada yang sampai mati karena serangan klan
Vampir dan Soul Eater.”

“Shape-Shifter juga telah bergabung dengan mereka,” tambah Louie getir.

“Nah, itu kau tahu!” kataku sambil menjentikkan jemari. “Apa kau bisa membayangkan
perasaan mereka yang tidak bersalah saat negeri mereka dihancurkan?”

“Aku tak tahu tak mau tahu. Yang kumau sekarang hanyalah, kau harus menjadi seorang
Emotion Eater.”

“Tapi aku menolak,” tantangku, menatapnya dengan sorot mata menantang. Aku ingin
tahu dia akan maju sejauh apa.

“Kalau begitu, aku minta maaf kalau aku menggunakan cara kasar.”

Louie menarikku turun dengan kasar dari dahan pohon yang kududuki, menutup mulutku
tepat sebelum aku sempat menjerit. Aku terjatuh di atas tubuhnya, dan dengan cepat
ia membalik posisi kami sehingga aku berada di bawahnya. Ia mendekatkan mulutnya ke
leherku, hendak menggigitku...

Seketika aku meronta sekuat tenaga, membuat Louie dengan kesal menjauhkan wajahnya
dari leherku, walauaku sudah merasakan nafasnya di leherku tadi. Aku menjerit keras,
walau suaranya tertahan tangan Louie yang masih membekap mulutku.

“Diamlah!” perintahnya, terdengar jengkel. “Aku tidak bisa menggigitmu kalau kau
meronta terus begini.”

Memangnya siapa juga yang berniat kaugigit, bodoh?! umpatku kesal dalam hati.

Mata Louie kini tampak berkilat mengerikan. Aku mulai meragukan kekuatan amulet yang
diberikan Gregor padaku. Bukankah orang bilang amulet itu jimat yang bisa menjauhkan
pemiliknya dari marabahaya? Demi langit, vade retro satana!!! (bahasa Latin, berarti
menjauhlah, setan)

Kata-kata itu tak berefek. Aku ketakutan sekarang. Sangat.

Louie mendekatkan wajahnya lagi, kembali mengincar leherku.

Tidak!!! Kaupikir aku akan membiarkanmu menggigitku begitu saja?! aku kembali
meronta sekuat tenaga, walau sia-sia. Bibirnya sudah menyentuh leherku sekarang...

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Demi Tuhan, aku benar-benar ketakutan! Oh, Tuhan,
tolonglah aku! Cabut nyawaku, curi jiwaku, ambil rohku, terserah, aku tak peduli,
tapi singkirkan Louie dariku!

Permohonanku dikabulkan detik itu juga. Aku mendengar suara benturan keras, dan
kurasakan tangan Louie yang tadi membekap mulutku tersingkir. Aku menjerit keras,
agak telat, tapi membuatku lebih lega. Aku tetap terus menjerit karena masih
ketakutan.

“Lianne!”

Mataku masih terpejam, aku meronta saat merasakan ada tangan yang mencekal kedua
pergelangan tanganku.

“Lianne, astaga, Lianne, ini aku, Lucas, jangan panik!”

Baru kali ini aku membuka mataku. Jeritanku tertahan kini. Dengan kaget aku
menyadari kalau air mataku berlinangan, mengaburkan pandanganku. Tapi aku tetap bisa
melihat Lucas di depanku dengan jelas, menatapku dengan pandang khawatir. Aku
menoleh, melihat Earl, baru saja memukul kepala Louie keras-keras dengan botol air
minumnya, lalu meninjunya sehingga terbanting ke kiriku.

Aku tak sanggup lagi menahan isakanku. Tanpa mempedulikan faktor rasa malu yang
mungkin nanti akan menderaku, aku memeluk Lucas dan tersedu di dadanya.

“Huss, tenanglah,” hibur Lucas, mengelus pungunggku. “Earl akan membunuh Louie,
dendammu akan terbalaskan. Tenang sedikit. Setidaknya kau sama sekali belum berubah.”

Ia memeriksa leherku. “Bebas dari bekas gigitan, tak ada air liur, hanya keringat.
Santailah sedikit Lianne. Kau masih selamat. Keberuntungan menyertaimu.”

Aku mengangguk, menunduk malu. Lucas geli melihatku seperti itu, menangkupkan
tangannya di pipiku, mengangkat kepalaku sehingga mata kami bertemu.

Betapa besar tangannya itu, betapa hangat, betapa menenangkan, melindungi. Amat
berbeda dengan tangan Douglass yang sudah beberapa kali mengangkat daguku.

Lucas tersenyum padaku. “Santai. Senyum, dong. Sekarang sudah aman, tenang saja.”

Aku menenangkan diri sejenak, lalu memaksa bibirku membentuk senyum malu kecil.

“Begitu, anak baik.”

Lucas melepaskan tangannya dari pipiku. Kini aku mulai mengawasi gerakan Earl dan
Louie.

Louie kini berada dalam posisi setengah berbaring, Earl berlutut di atasnya, menarik
kerah bajunya. Dapat kulihat wajah Louie lebam-lebam, jelas Earl sudah memukuli
wajahnya dengan keganasan seekor macan kelaparan. Kini Louie terlihat hampa kembali,
sementara Earl tampak amat marah, hingga aku bisa melihat ada api imajinatif
berkobar di belakang punggungnya.

“Bagaimana kau bisa berpikir,” suara Earl terdengar bergetar karena kemarahan yang
meletup-letup, “untuk mengubah Lianne menjadi Emotion Eater?! Kalu tahu kekuatannya
akan hilang kalau dia berubah! Apa yang membuatmu bisa mengkhianati negeri
kelahiranmu sendiri?! Apa Arthur dan Douglass mempengaruhimu?! Apakah kau tidak
berpikir kalau perbuatanmu ini bisa membuatmu dihukum oleh para Tetua?!”

Louie tak menjawab, hanya memandang Earl dengan tatapan kosong.

Ini justru malah membuat Earl makin marah lagi. “Tidak bisakah kau membayangkan
bagaimana perasaan anak-anak yang kaukhianati di sana?! Apa kau pikir mereka taka
akan merasa sakit hati?! Bagaimana dengan penghuninya, para Emotion Eater dan Dream
Eater? Si Penjaga, Double Eater?! Apa kau mau memertanggungkan perbuatanmu ini,
hah?!”

Louie tampak terguncang kini. Ia tak dapat berkata-kata, walau dari tadi ia memang
membisu.

“Dan jangan kaulupakan Gregor. Apa Gregor akan memaafkanmu begitu saja?” timpal
Lucas tenang.

“Helen, jangan lupakan dia,” tambahku, mulai merasakan marah.

Louie tak berkata-kata lagi sama sekali. Earl melepaskan kerah bajunya, membiarkan
kepala Louie terbentur tanah keras. Louie tetap diam, namun matanya memancarkan
penyesalan.

Earl berbalik pergi, ke arah ia dan Lucas tadi mengambil air. Aku baru menyadari
kalau botol air yang dipakai Earl tadi untuk memukul kepala Louie memang penuh, tapi
keruh.

“Aku mau ambil air lagi,” katanya pendek. Lucas bangkit dan mengikutinya.

Aku menoleh memandang Louie lagi, lalu memutuskan untuk menyusul Lucas dan Earl
mengambil air. Maaf saja, tapi aku tidak mau berduaan dengan Louie saja. Ogah!
Sepertinya berduaan dengan macan kelaparan juga lebih aman daripada dengannya.
Lagipula siapa juga yang berminat menjadi seorang Emotion Eater? Apa gunanya hidup
abadi, tapi dipenuhi kehampaan, hidup tanpa emosi? Aku pilih hidup pendek tapi
bahagia, terima kasih!!!

*

Suara air mengalir di sungai membuatku merasa lebih tenang. Aku menarik nafas dalam-
dalam, menenangkan diri, tiga kali. Setelah terpisah dari Louie aku bisa merasakan
kekuatanku pulih sedikit demi sedikit.

“Kau tidak apa-apa, Lianne?” tanya Earl sambil memberikan botol air minumku, kini
terisi air jernih.

Aku hanya mengangguk, lalu menenggak air sampai habis. Rasanya yang segar membuatku
merasa lebih tenang. Aku mendesah pelan, berusaha mengusir ingatan tentang Louie
tadi. Apa yang akan terjadi kalau...

Aku berpaling pada Earl.

“Earl,” panggilku pelan. Earl menoleh, semenatara Lucas duduk di sebelahku.

“Apa?”

“Apa yang akan terjadi kalau...” aku menjilat bibirku yang kering, ingin minum lagi,
tapi air minumku sudah habis, jadi aku mengambil minum Lucas (tapi tidak bilang
padanya, sampai dia melongo karena kaget.) dan meneguk beberapa tegukan, lalu
melanjutkan. “Apa yang terjadi kalau tadi Louie berhasil... menggigitku?”

“Sudah kuduga kau akan menanyakannya,” kata Earl tenang. Ia memperbaiki posisi
duduknya. “Yah, kalau sampai tergigit, kau akan berubah.”

“Segampang itu?”

“Yah, tak segampang itu juga sebenarnya. Kalau sampai tergigit,” ia berubah serius.
“kau akan tertidur. Setidaknya selama sehari penuh, paling lama dua hari. Begitu kau
terbangun, kau tidak akan mengingat siapa dirimu sebelumnya, tidak keluargamu, tidak
asal-usulmu, segalanya. Yang kauingat hanyalah namamu, sisanya tidak sama sekali.
Dan hilang ingatanmu itu bersifat permanen. Saat aku terbangun tanpa ingatan itu,
kau belum sepenuhnya berubah menjadi Emotion Eater. Saat itu kehampaan juga belum
menutupmu. Selama beberapa hari, kehampaan itu akan menutupmu perlahan-lahan, dan
saat akhirnya kehampaan itu menutupmu seluruhnya, barulah kau resmi dikatakan
sebagai Emotion Eater.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Karena dulu aku begitu,” kata Earl, setengah mendesah.

Aku terperangah, Lucas menegang seketika.

“Tak perlu kaget begitu, aku memang jujur,” keluh Earl, tampak kesal. “Aku bisa tahu
karena saat itu Emotion Eater yang menggigitku menceritakan semua itu padaku.
Untungnya dia mau menceritakan asal-usulku sedikit. Walau begitu, aku tidak akan
pernah bisa mengingat wajah orangtuaku lagi. Ini memang harga yang harus kubayar
karena memintanya mengubahku menjadi Emotion Eater.”

“Kenapa kau ingin berubah menjadi...” aku tak sanggup menyelesaikan pertanyaanku.
Aku menelan ludah.

“Kenapa?” tanya Earl datar. “Karena aku takut pada kematian. Mulanya kusangka tak
akan ada apapun yang harus kucemaskan, tapi aku tak tahu kalau konsekuensinya adalah
emosiku. Kalau aku tahu harga yang harus kubayar adalah emosiku sendiri, aku tak
akan pernah bersedia menukarnya dengan keabadian.”

Aku terdiam.

“Apa tak ada penawarnya?”

“Apa?”

“Apa tak ada penawarnya?” tanya Lucas lagi. “Penawar yang bisa menghentikan proses
perubahanmu, memutar balikkannya kalau perlu?”

Earl tampak berpikir sebentar. “Hm... sebenarnya ada.”

“Apa itu?”

“Ciuman.”

Aku dan Lucas melongo, berpandangan dengan heran.

“Memangnya Sleeping Beauty?” tanyaku heran.

“Memangnya Snow White?” tanya Lucas di saat bersamaan.

Earl terkekeh geli. “Tidak, tidak, kurasa kalian salah sangka. Maksudku bukan ciuman
di bibir, tidak, sama sekali bukan begitu. Lianne, di mana tadi Louie mau
menggigitmu?”

Aku bergidik. “Dddi... leher.”

Aku teringat sensasi ketakutanku saat bibir Louie sudah menyapu leherku. Aku
langsung memegangi leherku lembut.

“Tenanglah,” kata Earl, “aku sama sekali tidak berniat menggigitmu. Santailah
sedikit.”

Aku menghembuskan nafas lega.

“Jadi, misalkan Louie tadi benar-benar berhasil menggigitmu,” kata Earl, membuatku
bergidik ngeri, “maka yang kauperlukan untuk memulihkan dirimu adalah ciuman di sisi
lehermu yang sama oleh seseorang yang memiliki kekuatan sihir murni. Karena Louie
tidak bisa, mengingat dia adalah si penggigit, dan aku juga tak bisa karena sihirku
tidak cukup murni untuk itu, maka dalam kasus ini yang menjadi si pencium adalah
Lucas.”

Aku mengangakan mulut, menunjuk Lucas dengan tak percaya. Dia?

Earl kini tertawa. “Ya, aku serius. Memang untuk itu diperlukan sihir murni agar
bisa melawan pengaruh dari virus Emotion Eater. Dan kemurnian sihir Lucas hampir
sama dengan kemurnian sihirmu, kau hanya lebih murni sedikit. Jadi, dia bisa sangat
membantu untuk itu.”

Aku mengangguk, tapi dalam hati aku menyangsikan perkataannya.

*

Aku bisa mendengar desah nafas teratur ketiga teman seperjalananku dalam tidur
mereka. Biar saja mereka tidur, aku tak bisa tidur. Aku bengkit berdiri dan duduk
membelakangi mereka, menatap langit malam yang gelap, dipenuhi kilauan bintang.

Aku tidak bisa tidur. Badanku ingin istirahat, tapi mataku tak mau terpejam.
Entahlah, mungkin aku masih memikirkan kejadian tadi atau kata-kata Earl. Kadang aku
sendiri tak bisa mengatakan apa yang sedang kupikirkan, bukan karena ingin
merahasiakannya tapi karena aku sendiri bingung apa sebenarnya yang sedang
kupikirkan. Maaf kalau membingungkan.

“Sedang ada masalahkah?”

Aku mengerjap. Lalu menoleh.

“Kau belum tidur?” tanyaku.

Earl menggeleng. “Aku berusaha, tapi tak bisa. Ada masalah apa?”

Aku menggeleng, mengikuti contohnya tadi.

“Tidak mau cerita?”

“Bukan, aku sendiri juga bingung aku sedang memikirkan apa.”

“Hah?”

“Kadang aku memang begitu. Maaf. Tapi mungkin yang kupikirkan adalah... masa lalu.”

“Masa lalu?”

Aku mengangguk kecil. “Tadi sebelum menggigitku,” aku menelan ludah, masih ngeri
rasanya memikirkannya, “Louie bercerita tentang masa lalunya. Betulkah Para Tetua
bangsa Emotion Eater memakan sihirnya untuk bertahan hidup?”

Earl mendongak menatap langit. “Aku sudah tinggal di negeri itu jauh lebih lama
sebelum Louie. Dia Emotion Eater sejati, bukan buatan sepertiku. Dia terlahir
sebagai pemakan emosi. Aku sendiri tak terlalu tahu soal apa yang kautanyakan itu,
karena Para Tetua memang sangat tertutup. Penuh rahasia. Tapi memang ada desas-desus
kalau mereka hidup dari kekuatan sihir murni yang mereka makan. Mereka bukan pemakan
emosi, mereka pemakan sihir, dan hanya ada tujuh di dunia ini, yang lalu membentuk
klan-klan Emotion Eater, Soul Eater, Dream Eater, Vampir, Shape-Shifter, Werewolf,
silakan sebut semuanya. Mereka moyang dari semua klan itu, tapi kelompok manusia
tidak termasuk di antaranya.”

“Lalu apa hubungannya dengan Louie?”

“Mereka hidup dari sihir Louie, sepertinya, kalau mendengar dari ceritanya tadi. Dan
sepertinya itu memang benar. Sejak dulu Louie sangat berbakat sihir, tapi
kekuatannya selalu lebih lemah dari kekuatan sihir mereka yang jauh lebih lemah
sihirnya darinya. Kurasa itu karena Para Tetua memakan sihirnya. Mungkin dulu dia
masih bisa menahan diri, tapi sekarang tidak lagi. Yah, memang bisa dimaklumi,
lagipula siapa yang tidak mereasa marah kalau kekuatannya dirampas terus-menerus?
Tapi harus kukatakan, itu sama sekali bukan alasan baginya untuk mencoba mengubahmu
menjadi Emotion Eater. Lagipula dia punya rahasia yang amat besar, yang pasti dia
akan marah kalau dia sampai tahu aku tahu rahasianya itu.”

Aku menelengkan kepala. “Rahasia apa?”

Earl mendesah, bertanya, “Bisakah kau kupercayai? Bisakah kau menjaga rahasia? Kau
memang Sang Putri, tapi itu bukan jaminan kau tidak akan membongkar rahasia ini pada
siapapun. Kalau sampa Para Tetua tahu kau mengetahuinya, kita mengetahuinya, mereka
tak akan peduli walau kau Sang Putri, mereka akan tetap membunuhmu. Dan juga, nyawa
Louie pasti akan terancam dengan adanya fakta bahwa kita mengetahui rahasia ini.”

Aku mengangguk mantap. “Bisa. Kalau ternyata aku salah, bunuh aku sebelum mereka
membunuhku.”

Earl menggeleng. “Tidak, aku tidak bisa memegang janjimu itu. Berjanjilah kau tidak
akan memberitahu siapapun. Aku bisa memantraimu agar kau tidak mengatakannya pada
siapapun, tapi mantra itu akan patah dengan sendirinya kalau terlalu lama melekat
pada seseorang yang memiliki kekuatan sihir murni. Lagipula aku tak mau menggunakan
cara itu. Berjanjilah.”

Aku berpikir-pikir sebentar. Sebenarnya ini salah, membongkar masa lalu seseorang
tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. Tapi setan cilik di kepalaku membujukku
untuk mengetahuinya, menggelitiki rasa penasaranku. Lagipula ini memang aneh.
Rahasia apa yang membuat seseorang yang mengetahuinya bisa dibunuh? Dan lagi, apa
aku cukup bisa menutup mulutku untuk itu?

Tapi aku penasaran... bagaimana, ya?

Akhirnya, aku mengangguk. “Ya, kau bisa mempercayakan janji ini padaku.”

Earl memandangku sesaat, mengacungkan jari kelingkingnya. Aku menyambut jarinya,
mengaitkan kelingking kami menjadi satu.

“Orang yang selama ini dipanggil Louie sebagai ‘ayah’ bukanlah orangtua aslinya,”
Earl mulai berkata. “Ayahnya yang asli adalah salah seorang dari ketujuh Tetua kami.
Dan posisinya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Sebab ada ramalan yang
mengatakan bahwa ketujuh Tetua akan mati di tangan seorang pemuda Emotion Eater yang
terlahir dengan kekuatan sihir murni dan dengan membawa darah Tetua Keempat. Yah,
kau bisa mengatakan kalau Louie adalah orangnya.

“Untungnya ibunya berhasil menyembunyikan identitas Louie yang sebenarnya dan
berhasil membujuk suaminya untuk mengakui Louie sebagai anaknya. Tapi situasi
menjadi sulit. Para Tetua berhasil mengendus adanya anak yang membawa darah Tetua
Keempat dan berniat membunuh anak itu. Untunglah nasib anak itu bisa diselamatkan.

“Tapi nasib Louie terselamatkan bukannya tanpa darah yang tertumpah. Karena Para
Tetua amat takut mati, mereka membunuh semua anak laki-laki, menumpahkan dara tak
bersalah, demi menemukan anak itu. Mirip kisah Musa, bukan? Dan ibu Louie meninggal
dalam usahanya untuk melindungi Louie, menghadang sepasukan tentara demi
menyelamatkan Louie yang saat itu masih bayi berusia setahun.

“Louie tumbuh tanpa kasih sayang ibunya. Tapi ayahnya, atau orang yang dianggapnya
sebagai ayah, mau merawatnya. Aku, yang lalu dianggapnya sebagai kakak selain Gregor, mendengar rahasia ini dari ayahnya secara langsung. Gregor sendiri tidak
mengetahuinya, tapi ayah Louie mempercayakan rahasia ini padaku.”

“Hanya karena dia akan membunuh ketujuh Tetua?”

“Tidak semudah itu,” Earl menggaruk kepalanya, tampaknya memilih kata-kata yang
tepat untuk menggambarkan situasi Louie. “Masalahnya, ramalan juga mengatakan kalau
si anak yang akan membunuh ketujuh Tetua juga akan menghancurkan seluruh dunia. Dan
tanpa mengetahui ramalan itu Louie sudah mulai membenci Para Tetua. Dan menurut
ramalan juga, yang bisa menghentikan Louie hanya satu orang...”

“Siapa?”

Earl menunjukku. “Kau, Lianne!”

Aku langsung melotot. “Apa? Kau pasti bercanda.”

“Tidak,” Earl menggeleng. “Dalam ramalan itu juga disebutkan kalau Sang Putri
sendirilah, hanya dia sendiri, yang bisa menghentikan ulah anak yang membawa darah
Tetua Keempat itu. Tapi entah bagaimana caranya, aku tak tahu. Dalam ramalan
disebutkan secara tak jelas, bisa berarti mengorbankan diri sendiri, atau membunuh
anak itu, atau menumpahkan darah Ksatria. Salah satu dari ketiga cara itu adalah
yang benar.”

“Tunggu dulu, aku mulai bingung sekarang,” kataku sambil mengerutkan kening. “Kalau
benar aku adalah Sang Putri, kenapa Para Tetua akan membunuhku kalau mereka tahu aku
mengetahui rahasia ini? Nyawa mereka terancam dan hanya aku yang akan bisa
menyelamatkan mereka, bukan?”

“Itu memang benar,” kata Earl menyetujui, “tapi mereka tak akan tahu kau benar Sang
Putri atau bukan kalau mereka belum meminum darahmu dan memakan sihirmu. Dan itu
berarti, kematian bagimu. Karena itu kau aman selama mereka tidak tahu kau
mengetahui rahasia ini.”

“Tapi kenapa rahasia ini tidak boleh sampai diketahui orang?”

Earl mendengus. “Karena Para Tetua itu egois, tentu saja. Mereka ingin selalu bersih
dari skandal, konflik, gosip. Karena itu kalau sampai rahasia ini diketahui publik,
mereka akan merasa mereka tidak bisa dipercaya karena sampai bisa ada anak yang
membawa darah mereka padahal mereka sudah disumpah untuk selamanya tidak menikah.
Maka habislah mereka, karena tidak ada yang akan mempercayai mereka lagi. Untuk
mencegah itu, mereka membunuh sebelum dibunuh. Paham maksudku?”

“Terus terang saja aku tidak terlalu mengerti apa maksudmu, tapi sedikit-sedikit aku
bisa memahaminya.”

“Lalu kenapa dia akan menghancurkan seluruh dunia kalau dia sampai membunuh ketujuh
Tetua?” tanyaku setelah kesunyian merebak beberapa saat diantara kami.

Earl mengerutkan kening. “Em... aku sendiri tidak terlalu paham, tapi sepertinya
Para Tetua memegang rahasia kehidupan dan kematian. Malah kudengar Tetua Ketujuh
membawa kunci menuju dunia kematian. Dan sepertinya mereka masih-masing membawa
kekuatan keseimbangan alam, kehidupan, kematian, segalanya. Mereka menjaga
keseimbangan sehingga alam tetap seimbang. Seperti misalnya singa tetap memakan
daging, hutan tetap tumbuh subur, hujan, matahari, awan, segalanya. Kalau sampai
mereka mati, tak akan ada lagi keseimbangan. Semua selesai, mati, tamat, apapun itu
namanya.”

“Dan hanya aku yang bisa menyelamatkan semua itu? Bagaimana bisa?”

“Mungkin semua beban keseimbangan itu akan mencari tubuh baru, dan kau kandidatnya?”

Aku memutar bola mata.

“Eh, aku serius!” protes Earl saat melihat antusiasmeku menurun. “Banyak contohnya
seperti itu. Kekuatan sihirkupun juga bukan murni milikku sendiri.”

Aku kembali menatapnya, ia mendapatkan kembali antusiasmeku.

“Ya. Ini bukan kekuatan sihirku sendiri, ini milik orang yang mengubahku menjadi
Emotion Eater. Ia memberikan kekuatan sihirnya padaku sesaat sebelum ia mati.”

“Memangnya bisa?”

“Yang di depanmu ini belum cukup kuat sebagai bukti?”

“Belum, sama sekali tidak malah.”

“Hahaha. Kau memang sulit dibuat percaya, ya? Yah, aku tak bisa memberikan bukti
lain, jadi kusarankan kau menunggu sampai kau melihat sendiri bukti nyata itu.”

“Terima kasih saranmu. Aku mau tidur sekarang.”

Aku melangkah menuju tampatku tidur tadi, menoleh sesaat ke arah Earl, membeku
sedetik.

Earl tampak memandang kosong ke bawah, sama sekali tak ada emosi apapun di matanya,
namun entah kenapa aku bisa meliat samar-samar gambaran ledakan cahaya dan kekacauan
di sana. Tapi hanya sedetik. Detik berikutnya ia mengerjap, menggeleng-gelengkan
kepala, tampak normal kembali.

Aku meneruskan langkah ke tanah kosong tempatku tadi tidur, bergelung, memejmkan
mata kembali, tidur beralaskan daun-daun gugur. Kurasa tadi itu memang hanya
halusinasi.

*

“Kita harus segera mencapai negeri Emotion Eater secepatnya.”

Aku, Lucas dan Louie memandangi Earl yang tampak amat serius.

“Kenapa?”

“Karena...” Earl mendesah. “Ini sulit kujelaskan. Pendeknya begini, klan Soul Eater
dan Vampir sudah mempercepat gerak mereka. Tiga hari lagi mereka akan memulai
serangan terbuka yang terbesar, dan kalau tidak cepat-cepat negeri kita bisa tamat.”

“Tahu dari mana?”

“...”

Earl memandang tanah dengan sikap gugup. “Aku mendapat kemampuan untuk melihat masa
depan,” katanya pelan. “Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi itulah
kebenarannya.”

“Dari siapa?”

Earl menggigit bibir.

“Dari orang yang mengubahmu, bukan?” tanyaku meminta kepastian. Jawaban Earl berupa
anggukan kecil tapi mantap.

“Kita akan berangkat sekarang,” kata Loui tenang. “Setidaknya sore nanti kita akan
sampai, kita masih punya waktu untuk mempersiapkan diri.”

“Ya, tapi apa waktu itu cukup buat semua orang di sana?” tanya Earl lirih.

Tak ada yang menjawab.

*

Setelah sekian lama kami berjalan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan kami.

Aku benar-benar kagum melihat negeri ini. Kecil dan terpencil tapi sangat mandiri.
Peternakan? Ada. Pertanian? Ada juga. Perkebunan? Wah, pastinya ada. Ladang? Mana
mungkin tak ada!

Dan ternyata, meskipun ‘judul’nya negeri Emotion Eater, penduduk di sini kebanyakan
campuran antara klan Emotion Eater dan Dream Eater.karena itulah tempat ini lumayan
padat juga.

Aku dan Lucas dibawa menghadap Para Tetua.

“Selamat datang di negeri kami, Putri dan Ksatria. Kami sudah lama menunggu kalian,”
kata salah satu dari tujuh Tetua yang ada.

Aku tersenyum kecil. “Terima kasih atas sambutan ini.”

“Dan kami rasa sebaiknya kalian berkenalan dengan Emerald, Penjaga. Tugasnya adalah
menjaga batu pelindung negeri ini.”

Dari balik Para Tetua, muncul seorang gadis cantik berambut panjang dikucir ekor
kuda. Rambut panjangnya berwarna hitam pekat, matanya berwarna... astaga. Merah
darah. Ia mengenakan busana model Cina tanpa lengan yang panjang sampai ke kaki,
tapi ada belahan di kedua pinggulnya, dan di dalamnya ia mengenakan celana training
hitam bergaris putih. Ia mengenakan sepatu berwarna putih polos. Cocok dengan warna
pakaiannya, putih bercorak bunga.

“Senang berjumpa denganmu,” kata gadis itu dengan senyum menghias bibirnya. “Aku
Emerald, Penjaga Batu. Panggil aku Emma, semua orang memanggilku begitu.”

Aku membalas senyumnya. “Hai, Emma. Aku Liana, tapi kau bisa memanggilku Lianne.”

“Aku Lucas,” kata Lucas pendek, tapi ramah.

“Dia butuh amber,” kata Louie cepat, bahkan kesannya agak ketus, pada Para Tetua.
“Batu sihirnya amber.”

“Tentu saja, aku ingat apa kata legenda itu,” kata salah satu Tetua dengan tenang.
“Emerald, tolong bawa mereka ke Ruang Batu Besar.”

“Ya,” kata Emma tenang. Ia berbalik padaku, Lucas, Louie dan Earl, lalu sambil tetap
tersenyum berkata, “Ayo, ikutlah denganku.”

*

Emma membawa kami ke atap, yang ternyata masih ada ruangan besar di atasnya. Di atas
atap besar itu ada bangunan terpisah, yang tampak seperti rumah modern biasa.

Tapi aku tahu, itu bukan bangunan biasa.

Mungkin dari hawa menenangkan yang dibawanya. Mungkin dari tampilannya yang tampak
berbeda walau terlihat seperti rumah biasa. Atau mungkin ada alasan lain. Yang
jelas, aku tahu.

“Kita akan masuk,” kata Emma sambil meletakkan tangan di kenop pintu. “Hati-hati,
jangan sampai terkejut.” Ia mengedipkan sebelah matanya.

“Terkejut?”

Pintu terbuka, aku menahan nafas dengan kagum.

“Ini ruangan sihir, bukan?” tanya Louie dengan kekaguman yang tak kalah besar.

“Benar,” kata Emma dengan senyum tersungging.

“Bagaimana bisa dibuat seperti ini?”

Emma tertawa. “Yang ada di luar tadi memang hanya ilusi, sengaja dibuat begitu.
Sedangkan yang di dalam ini, ini aslinya. Kagum?”

Aku mengangguk kuat-kuat. Bagaimana tidak, ruangan ini menakjubkan sekali. Mirip
dengan ruang batu Gregor kalau dilihat secara sekilas, tapi ini berbeda. Di sini
cahaya yang menerangi ruangan bukanlah cahaya dari obor, tapi dari batu-batu amber,
zamrud, berlian, dan lain-lain yang memang ada di meja di tengah ruangan. Tak hanya
di atas meja, banyak sekali batu-batu yang berserakan di lantai. Aku sampai harus
terus menunduk agar tidak menginjak batu apapun di ruangan ini. Dan ruangan ini
jelas lebih besar dari ruang batu Gregor. Jauh lebih besar.

“Nah, Lianne, kita bisa memulai pemilihan batunya sekarang?”

Aku mengangguk pada Emma.

“Oke, kalau begitu pejamkan matamu.”

Aku menuruti kata-kata Emma. Kupejamkan mataku rapat. Seperti saat yang terjadi di
ruang batu Gregor, aku melihat cahaya yang menyelip dari balik pelupuk mataku, lolos
dari penjagaan bulu mataku.

“Jangan buka matamu dulu, jawab pertanyaanku,” suara Emma terasa seperti datang dari
kejauhan. Aku mengangguk.

“Apakah kau bersedia membawa kekuatan Batu Pelindung Emotion Eater bersamamu?”

“Ya.”

“Apakah kau mau menanggung semua konsekuensinya?”

Aku sempat berpikir sebentar. Konsekuensi apa? Tapi aku menjawab, “Ya.”

“Apa kau mau bersumpah untuk melindungi negeri ini dari serangan klan Vampir dan
Soul Eater?”

“Ya.”

“Apa kau mau melakukan apapun untuk melindungi negeri ini?”

“Selama itu adalah yang terbaik bagi semuanya, ya.”

“Kalau begitu, kuberikan kekuatan Batu Pelindung kami ke tanganmu, Lianne. Jagalah
ia agar tak terjadi apapun yang buruk terhadapnya, jaga negeri ini sebisamu. Roh
Batu Amber telah memilihmu, jadi jangan kecewakan dia.”

Aku merasakan sebutir batu disurukkan ke dalam genggaman tanganku, dan aku merasakan
aliran energi kuat mengaliri nadiku seketika. Angin berhembus kencang, mengibarkan
rambut panjangku. Cahaya putih terang menyelip lewat bulu mataku, membuatku menutupi
mata dengan lengan walau aku sudah memejamkan mata. Bumi berguncang, dan aku dapat
merasakan darahku menggelegak dalam semangat baru.

“Buka matamu sekarang.”

Aku membuka mataku, dan batu amber yang disurukkan ke dalam genggamanku tadi
mendapatkan bentuknya, berubah menjadi gelang lengan emas berhias amber yang
terpoles halus, dihiasi ukiran dan tiga lonceng emas mungil yang menggantung. Gelang
itu bergemerincing pelan saat aku mengenakannya.

Seketika, energi baru memenuhiku, lebih kuat dari yang pertama kali mengaliri
nadiku, lebih menjanjikan kekuatan.

“Kini kaulah pengadopsi batu amber, Lianne. Jaga batu itu sebaik mungkin.”

Aku menatap Emma yang tersenyum ramah padaku, namun matanya memancarkan keseriusan.
Aku mengangguk.

*

Aku mencoba menyalakan api di pendiangan dengan sihirku.

“WHOA!!!”

Ups, apinya terlalu besar. Kurasa aku terlalu bersemangat. Aku segera memadamkan api
itu dengan menyemburkan air dari tanganku.

Terdengar suara Emma tertawa geli.

“Kau memang perlu latihan dulu, sepertinya,” katanya dengan nada geli. “Jangan
samakan amber dengan bloodstonemu dulu. Kekuatan amber lebih liar, lebih kuat,
pemberontak. Kau harus berusaha mengendalikannya.”

Aku mengangguk. “Aku tahu. Tapi rasanya sulit.”

“Bagi siapapun pasti sulit,” kata Emma menepuk bahuku. “Karena itu kau perlu
berlatih. Tapi mungkin tidak. Kau hanya perlu menekan kekuatanya sedikit.”

“Begitukah?”

“Coba saja.”

Aku mencoba menyalakan api dengan sihirku lagi, kali ini sambil menekan kekuatanya
sedikit. Yah, Emma benar, seharusnya aku sedikit menekan kekuatan sihirku.

“Nah, itu bisa,” kata Emma puas. “Kau hanya perlu menekannya sedikit.”

Matanya yang sewarna darah itu berkilat penuh semangat. Tapi itu membuatku agak
ngeri. Merah seperti darah begitu, siapa juga yang tidak takut?

“Kenapa?” tanya Emma, menyadari tatapanku. “Kau takut pada mataku?”

“Erm...”

“Tidak apa, kau bukan orang pertama yang merasa takut,” kata Emma, tersenyum lembut.
“Mata merah darah ini justru adalah tanda.”

“Tanda?”

“Ya, benar, tanda. Tanda kalau aku memang Penjaga Batu sejati. Semua penjaga batu
sejati memiliki mata semerah darah dan rambut sehitam langit malam. Ini semacam
warisan garis keturunan, bukti aku membawa gen Penjaga sebelumnya. Begitu pula
namaku.”

“Nama? Memangnya namamu kenapa?”

“Emerald,” kata Emma, sambil menunjukkan kalungnya yang berhias jamrud hijau indah.
“Selain warna mata dan rambut, nama kami juga berpengaruh. Nama seorang Penjaga
selalu diambil dari nama batu sihirnya. Namaku Emerald, sesuai dengan batu sihirku.
Ibuku bernama Sapphire, dan batunya safir. Nenekku rubi, buyutku...”

“Stop!” aku menyetop ocehan Emma. “Perempuan semua?”

“Ya,” jawab Emma mantap. “Penjaga selalu adalah perempuan. Ini memang sudah ada
dalam gen kami. Karena itulah Penjaga pasti memiliki anak perempuan, setidaknya
satu. Ini adalah keharusan. Kami harus menikah, kami harus memiliki setidaknya satu
anak perempuan yang mewarisi gen sebagai Penjaga berikutnya. Kalau memang tak ada
orang yang jodoh dengan kami, akhirnya pasti lewat perjodohan.”

“Wah.”

“Merepotkan, benar. Ah, sudah malam. Cepat, kau harus tidur.”

*

Negeri Emotion Eater, dua hari kemudian

Hiruk pikuk dan jeritan memenuhi udara. Api, angin, air dan tanah bergabung menjadi
satu, menghantam negeri ini dengan kekuatan ekstra. Langit berwarna merah darah,
walau tak sepekat warna mata Emma. Aku memeluk seorang anak Dream Eater dan seorang
anak Emotion Eater, masing-masing berumur antara empat hingga lima tahun. Aku
membimbing mereka ke ruang bawah tanah tempat mereka bisa berlindung.

“Kak! Jangan tinggalkan kami di sini!” tangis si Dream Eater ketakutan.

“Kami takut!” timpal si Emotion Eater.

Aku berjongkok di depan mereka. “Kakak harus pergi, maaf. Kalian bisa bersama
orangtua dan teman-teman kalian di sana. Kakak mau melindungi negeri kalian ini, dan
ikut sembunyi bukanlah jalan untuk melakukannya. Maafkan kakak.”

Aku berbalik dan berlari pergi, meninggalkan kedua anak itu, yang segera ditarik
para pengungsi lain ke dalam ruang bawah tanah.

“Lianne! Masih ada tiga anak yang tertinggal di Dome of Emotions and Dreams!” seru
Earl yang menyeret seorang anak gadis sekitar sepuluh tahunan yang menangis karena
ingin ikut bertarung ke ruang bawah tanah. “Tolong bawa mereka!”

“Oke!” seruku, lalu menyeret Lucas untuk membantuku. “Ayo ikut aku!”

Dome of Emotions and Dreams adalah tempat bagi para pemakan mimpi dan emosi makan
kalau mereka tidak mendapat pasokan dari teman mereka. Malah kebanyakan selalu makan
di sana karena tidak mau mencuri emosi dan mimpi teman mereka. Aku dan Lucas berlari
ke sana, berusaha menyelamatkan siapapun di sana secepat yang kami bisa.

Aku masuk ke dome dengan nafas terengah. Tiga orang anak, dua perempuan dan satu
laki-laki sedang meringkuk ketakutan di balik meja. Aku dan Lucas menghampiri mereka.

“Hei, kalian tidak apa-apa?” tanya Lucas lembut.

“Kakak siapa?” tanya salah seorang anak perempuan itu, terlihat amat ketakutan. Ia
gemetaran. “Kakak bukan dari klan Vampir dan Soul Eater, kan?”

“Bukan, tenanglah,” kataku lembut sambil membelai rambutnya. Mereka masih kecil,
paling tua umur mereka baru delapan tahun. Sayang sekali mereka harus merasakan
ketakutan akan perang seperti ini. “Kami berada di pihak Emotion Eater dan Dream
Eater. Ayo, berdirilah. Kalian harus pergi ke ruang bawah tanah, di sana aman.”

*

“Lianne! Awas!”

Aku mendongak ke atas, melihat ada batu sebesar rumah melayang ke arahku. Secepat
kilat aku menunjuk batu itu dan bersiul keras, batu itu berubah menjadi serpihan
debu.

“Mana panglima perang mereka?!” seruku marah. Banyak prajurit Vampir dan Soul Eater
di sini, berseliweran ke sana-sini, tapi Arthur dan Douglass sama sekali tak
terlihat.

“Arthur dan Douglass tidak di sini, belum,” kata Louie, tampak kelelahan. “Mereka
tak akan masuk ke sini sebelum mereka melihat ada celah untuk mencuri amber dari
Ruang Batu Besar. Amber utama, yang diletakkan di tengah ruangan, yang besarnya
sebesar genggaman tangan orang dewasa itu.”

Aku mendesis kesal. Padahal aku ingin membalas dendam secepat yang aku bisa. Yah,
kurang apa lagi memangnya daftar kesalahan mereka yang sudah cukup panjang itu?
Pengobaran perang, usaha pencurian dan perampokan, penculikan dan pembunuhan...
masih kurang panjang?

Aku merasakan adanya gerakan menyerang di balik punggungku. Aku berbalik dan melihat
seorang prajurit Vampir di belakangku, siap menyerang. Tanpa memberinya kesempatan
untuk bergerak aku segera menyemburnya dengan air hingga ia terpental ke belakang.
Lucas terbahak geli.

“Ini bukan waktunya untuk tertawa,” kata Louie kesal. “Kita sedang ada urusan
penting di sini. Kuperkirakan mereka baru akan ke sini seminggu lagi, saat kita
sudah mulai keteteran akan jumlah mereka yang seperti semut ini. Karena itu kita
terpaksa bermain dengan prajurit-prajurit ini dulu. Kalau sudah baru mereka bisa
kita serang.”

Aku menyemburkan air lagi, kali ini ke seorang Soul Eater di belakang Louie. Ia
melotot kaget dan menoleh cepat.

“Pelajaran nomor satu bagimu, kawan, belajarlah untuk merasakan gerakan lawan di
belakangmu,” kataku kalem. “Kurasa sebaiknya kau beristirahat. Wajahmu sepucat susu
basi.”

Louie mendelik galak, tapi menuruti perkataanku.

“Ini memang sulit, bukan?” tanyaku pada Lucas di sebelahku.

“Ya. Dan pasti akan menjadi jauh lebih sulit saat kedua tamu utama datang,” jawabnya
sambil menatap langit yang berwarna merah karena api yang berkobar.

“Kita harus menjaga tenaga sampai saat mereka datang.”

“Mau tak mau.”

*

Douglass

Api yang berkobar di depan matanya tampak menyilaukan, tapi ia tak peduli. Panas
yang menyengat wajahnya juga tak dipedulikannya. Ia sedang memikirkan apa taktik
yang sebaiknya mereka pakai supaya negeri itu jatuh ke tangan mereka. Walau tampak
lemah, Emotion Eater itu, semuanya, sebenarnya kuat.

“Bagaimana, Arthur?” tanya Douglass pada Arthur yang berdiri di sampingnya. “Apa
taktik yang kita pakai sekarang?”

“Penculikan.”

“Kita sudah pernah menculik Sang Putri, apa kau lupa?”

“Aku tidak lupa, karena itu aku memberikan rencana lain. Bukan gadis merepotkan itu
yang akan kita bawa.”

“Berarti?”

“Ksatrianya.”

“Kau memang setan cilik, Arthur.”

“Bukankah kau juga begitu?”

*

Lucas

Ia sedang berjalan sendirian malam itu, berpatroli di dekat ruang bawah tanah. Ia
hanya sendirian karena prajurit yang seharusnya berjaga bersamanya terluka parah
terkena serangan. Kini prajurit itu tengah berada di ruang perawatan.

Lucas merasakan gerakan di belakangnya. Ia bisa merasakan orang di belakangnya siap
menyerang.

Ia segera berbalik, siap menyerang.

Orang itu menerjangnya, begitu tiba-tiba hingga ia tak sempat melawan. Bergumul di
tanah, akhirnya Lucas berhasil mengalahkan orang itu. Ia dapat mengenali kalau orang
itu adalah Vampir.

Namun karena masih kaget atas penyerangannya tadi, kewaspadaan Lucas menurun. Ia tak
menyadari saat ada sesosok tubuh yang mendekatinya dari belakang. Yang ia sadari
hanyalah kesakitan di belakang kepalanya saat hantaman kayu itu menyapa tengkuknya.

Sebelum benar-benar kehilangkan kesadarannya, ia sempat menoleh ke atas.

Sesosok tubuh yang menyerangnya itu tampak familier. Bukan Arthur atau Douglass,
siluetnya berbeda. Tapi Lucas tahu ia mengenal orang itu. Ia tak dapat melihat
dengan jelas karena selain gelap, pandangannya juga sudah berubah buram.

Ia menutup mata, kehilangan kesadarannya.

*

Lucas

Suara-suara bisikan menyadarkan Lucas. Bisikan lembut di telinganya, nyaris tak
terdengar karena sedemikian lembutnya. Tapi itu memberi efek besar baginya.

Lucas membuka matanya perlahan disertai keluhan pelan karena rasa sakit di kepalanya.

“Ya, benar begitu. Kau sudah sadar sekarang?”

Gerakan Lucas terhenti seketika. Ia membeku dalam posisi setengah duduk setengah
berbaring, matanya nyalang memandang ke bawah.

“Hei, apa kau pingsan lagi?”

Lucas mencelat bangun, berdiri dalam posisi waspada, menghadapi Arthur dan Douglass
di depannya.

“Wow, baru kali ini aku bertemu seseorang yang bisa langsung waspada saat ia baru
sadar dari pingsannya,” celetuk Douglass santai.

“Kau harus ingat kalau dia memang bukan orang biasa,” kata Arthur tenang. “Bagaimana kepalamu?”

Lucas tak menjawab, tapi ia mengernyitkan dahi menahan sakit. Saat Arthur menanyakan
pertanyaan itu kepalanya mendadak terasa berdenyut-denyut lagi.

“Kurasa itu artinya masih sakit,” kata Arthur pelan.

“Apa mau kalian, membawaku seperti ini?” tanya Lucas, mengabaikan rasa sakit di
kepalanya.

Douglass tersenyum tipis. Senyum yang segera membuat kewaspadaan Lucas meningkat
pesat.

“Kami punya penawaran...”

*


Aku terbangun dengan perasaan waspada. Aku tak tahu apa yang membuatku merasa
waspada, tapi entah kenapa aku menjadi sangat waspada tanpa alasan. Mungkin karena
saat ini perang. Dan juga merasa sedikit... cemas. Tapi siapa yang kucemaskan?

“Lianne!!!”

Aku bangkit dari pembaringanku, membuka pintu.

“Ada apa?” tanyaku pada Earl di depan pintuku.

Kata-kata Earl membuat darahku serasa berhenti mengalir.

“Lucas hilang!”

*

Lucas

“Apa katamu?!”

“Kaudengar apa kataku, aku tahu itu,” kata Douglass santai sambil memutar bola mata.

“Kau pasti bercanda,” Lucas menggelengkan kepala.

“Kami serius,” kata Arthur sambil mendekati Lucas, matanya lekat memandang mata
Lucas. Lucas mendapati tubuhnya terpaku, tak dapat bergerak. “Atau kau memilih untuk
mengorbankan semua orang di negeri itu? Termasuk Putri-mu, Liana...”

Lucas merasa kaget. “Kalian berniat menyerang mereka kalau aku tak setuju?”

“Kau bisa menganggapnya begitu,” Arthur mengangguk kalem.

“Itu...” Lucas tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

“Kau harus memilih,” kata Douglass, entah sejak kapan berdiri di sampingnya,
berbisik di telinganya, bisikan mengancam. “Kau sendiri, atau sepupumu. Pilihlah
sekarang. Kau punya waktu satu jam untuk berpikir.”

Satu jam itu dihabiskan Lucas dalam kebimbangan. Kalau ia menolak, nyawa Lianne dan
ratusan Emotion Eater dan Dream Eater terancam. Tapi kalau ia menyetujuinya...
bagaimana nasibnya nanti?

“Waktu habis,” kata Arthur menyadarkan Lucas dari lamunannya. Ia terlalu serius
berpikir hingga tak menyadari kalau waktu yang diberikan sudah habis. “Apa
kaputusanmu?”

Lucas menggigit bibirnya penuh keraguan. Ini bukan masalah mudah. Tapi ia harus
memilih. Dirinya sendiri atau Lianne. Ia harus mengorbankan diri, atau mengorbankan
Lianne.

Ia memilih mengorbankan diri sendiri.

“Bagaimana?” tanya Douglass tak sabar.

Lucas menatap Arthur dan Douglass lekat. “Ambillah. Aku menyetujuinya. Lebih baik
aku yang menjadi korban daripada dia.”

Sedetik, tepat sedetik setelah kata-kata itu meluncur dari bibirnya, Lucas merasakan
kekuatannya menghilang, tersedot keluar. Tak ayal tubuhnya terjatuh ke belakang,
kehilangan kesadarannya kembali.

“Terima kasih sudah memberikan ini, Lucas... kekuatan sihirmu,” Lucas mendegar tawa
Arthur dan Douglass tepat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

*

Aku berjalan mondar-mandir dengan tegang, tak mampu tidur dengan tenang. Sudah tepat sehari Lucas menghilang. Ke mana dia sebetulnya? Jangan-jangan dibawa Arthur dan
Douglass?

Malam itu sangat gelap. Tak ada bintang ataupun bulan di langit, tak ada api yang
menyala di bawah. Aku tak sanggup berdiam diri di kamarku, jadi aku memutuskan untuk
berjalan-jalan di dekat ruang bawah tanah. Yah, hitung-hitung ikut berpatroli.

Aku berjalan dengan pelan sambil memikirkan nasib Lucas, di mana dia sebenarnya?
Menghilang tiba-tiba begitu, jangan-jangan nanti muncul tiba-tiba juga.

Pemikiran menjadi kenyataan. Di tikungan berikutnya aku melihat ada sesosok tubuh
yang berbaring di tanah. Aku mendekati tubuh itu. Intuisiku mengatakan dia bukan
musuh, dan biasanya intuisiku tepat.

Tapi kenyataannya amat mengejutkanku. Itu Lucas!!!

“Lucas!” panggilku, mengguncang tubuhnya pelan.

Lucas mengernyitkan dahi, membuka mata perlahan.

“Ke mana saja kau selama ini?!” bentakku tanpa basa-basi saat ia tampak sudah sadar
sepenuhnya. “Aku benar-benar kerepotan mencarimu, tahu! Cepat, ceritakan semuanya,
kenapa kau bisa menghilang tiba-tiba!”

Lucas mengerjapkan mata dengan pelan, tampak bingung. “Menghilang?”

“Jangan bercanda, Lucas. Ceritakan saja!”

“Erm... tunggu sebentar, kurasa ingatanku masih kacau.”

Ia memejamkan mata, tampak berusaha berkonsentrasi. Mendadak ia meloncat berdiri.

“Tunggu. Aku ada di negeri Emotion Eater, bukan?” tanyanya, mendadak tampak waspada.

“Hah? Iya. Memangnya di mana lagi?” jawabku, setengah kaget.

Lucas tampak lebih lega, duduk kembali dengan rileks. “Baguslah kalau begitu, aku
sudah terpisah dari dua orang sinting itu.”

“Hei, bisa kita kembali ke topik awal? Ke mana saja kau sehari penuh ini?” tanyaku
tak sabar.

“Sehari penuh?” tanya Lucas. “Oh, astaga, aku menghilang selama itu? Kurasa aku
pasti pingsan lama sekali. Yah, itu terjadi kemarin. Saat sedang berpatroli. Aku
ingat ada yang memingsankanku, dan saat aku bangun aku sudah ada di markas Arthur
dan Douglass. Setelah beberapa saat aku akhirnya berhasil kabur, kurasa Dewi
Keberuntungan sedang menyertaiku. Saat aku sampai di sini, yah, karena jaraknya
jauh, aku pingsan lagi, kelelahan. Lalu aku bertemu denganmu.”

Aku bukan pendeteksi kebohongan yang baik, kalau kau mau tahu. Tapi saat ini aku
merasa Lucas tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Ada sesuatu dalam nada bicaranya
dan caranya bicara yang cepat-cepat itu yang membuat terompet kewaspadaanku berbunyi
keras. Tapi aku merasa sebaiknya tidak mengatakan apapun. Aku hanya menariknya
berdiri dan menyeretnya masuk ke kamarnya.

*

Lucas

Ia tak mau berbohong pada Lianne, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia tak mau membuat
Lianne merasa cemas. Kalau ia mengatakan kalau sihirnya telah dirampas, Lianne bisa
panik. Ia telah mencoba kekuatannya, dan ternyata ia masih punya tenaga untuk
membangun benteng perlindungan dari usaha pencurian emosi para Emotion Eater dan
membentuk perisai yang cukup kuat.

Itu sudah cukup. Setidaknya untuk sementara.

*

Suasana ini jauh lebih kacau dari kemarin. Kalau kemarin disebut serangan, sekarang
itu serangan besar-besaran, jauh lebih besar dari kemarin. Gencatan senjata! Agaknya
Arthur dan Douglass sudah yakin kami hampir kalah.

Hampir, ya. Tapi tidak. Kami belum kalah. Kami tak akan kalah. Biar nyawaku melayang
sekalipun, tak akan kubiarkan kami kalah!

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Emma.

“Emma! Ada apa?” tanyaku panik. Aku melihat Emma tengah terduduk di jalan, matanya
nyalang memandang Ruang Batu Besar. Pakaiannya sama modelnya dengan yang dulu
kulihat saat kami pertama kali bertemu, tapi kini warnanya merah darah... tunggu.
Tidak, warna aslinya merah jambu, tapi kini dipenuhi darah.

“Emma! Kau tidak apa?!” tanyaku cemas.

“Arthur dan Douglass... Ruang Batu Besar...” rintihnya pelan. Untuk pertama kalinya
aku melihatnya kehilangan kendali akan ketenangannya.

“Kita akan ke sana,” entah sejak kapan Lucas sudah ada di sampingku. “Ayo.”

“Lucas! Tapi lukanya...”

“Itu bukan darahnya, itu darah korban. Tadi dia menggendong salah satu korban. Ayo!”

*

Emma tampak menenangkan diri saat kami masih berlari ke Ruang Batu Besar. Kami
memasuki Ruang Batu dan, tepat pada waktunya, menghalangi jalan Arthur dan Douglass
yang sudah mendekati amber.

Emma tampak sudah mendapatkan kembali ketenangannya yang biasanya. Ia tersenyum
ramah dan menyapa kedua musuhnya. “Apa kabar, Arthur, Douglass? Sudah lama sejak
terakhir kali kita bertemu, bukan?”

Arthur mengangguk pelan. “Ya. Amat lama.”

Louie memasuki ruangan. “Seingatku saat itu kau masih adalah bocah berumur sepuluh
tahun, bukan, Arthur?” ia mengejek Arthur.

“Dan kau masih bayi berumur lima tahun yang ribut memanggilku kakak, itu yang
kuingat,” balas Arthur datar.

“Dan Emma masih kecil juga, bukan?” tanya Douglass santai.

“Tak perlu mengejekku, Douglass, kau lebih muda dariku. Jangan mengungkit masa lalu
lagi, kurasa itu sudah cukup sekarang,” kata Emma serius. “Menjauhlah dari batu
kami, kalian berdua. Atau aku akan menghajar kalian. Aku adalah Penjaga Batu, dan
demi kehormatanku sebagai penyandang nama itu, aku tak akan membiarkan kalian
mendekati batu kami.”

“Begitukah?” tanya Arthur tenang. “Sayang sekali. Padahal kami sangat mengharapkan
bantuanmu sebagai Penjaga untuk merelakan batu itu bagi kami.”

Mata Emma berkilat marah, tapi ia justru tersenyum makin ramah, keramahannya
terlihat makin stabil dan tak tergoyahkan. “Begitu? Kalau begitu sayang, aku tak
bisa melakukannya.”

“Ah, tak bisa? Seharusnya kau bisa melakukannya, bukan?”

Senyum Emma tampak melebar, tapi aku bisa melihat kedutan marah di pelipisnya.
“Tidak berarti tidak, Arthur. Apa kau tak pernah belajar?”

“Dia memang hebat,” bisik Louie di telingaku, entah sejak kapan ia ada di situ.
“Walaupun marah besar, Emma tak pernah kehilangan ketenangannya.”

Aku mengangguk setuju.

Kini Arthur dan Douglass tampak mulai tak sabar.

“Oh, cepatlah menyingkir,” kata Douglass kasar. “Kau mau kami terpaksa menggunakan
cara curang?”

“Gunakan saja,” tantang Emma tenang.

“Kau yang memintanya,” tukas Arthur sambil menunjuk Emma. Ledakan energi segala
warna meluncur dari jemarinya, membuat Emma cepat-cepat membentuk perisai.

Yang langsung pecah berkeping-keping.

Emma, yang terkena semburan energi itu, menjerit keras, terpental ke belakang,
mengahntam dinding, tak lagi bergerak.

“Emma!”

Louie segera mendekati Emma, tapi baru selangkah ia berjalan, jemari Arthur
menunjuknya.

“Datangi dia, dan kau jadi korban berikutnya,” katanya mengancam.

Tak peduli, Louie tetap mendekati Emma. Semburan energi menerpa Louie, yang segera
membuat perisai. Ia selamat, tapi perisainya nyaris rusak. Ia sempat menghindar dan
berlari mendekati Emma, sebelum akhirnya menjadi korban semburan energi Arthur yang
kedua, menghantam dinding jauh lebih keras dari Emma tadi, dan, sama seperti Emma,
tak mampu lagi bergerak.

“Bagaimana bisa...?” bisikku tak percaya. Terakhir kali aku bertemu mereka berdua,
kekuatan Arthur tidak sampai sekuat ini. Tak mungkin ia bisa bertambah kuat hanya
dalam waktu beberapa hari. Apa selama ini dia tidak menunjukkan kekuatan aslinya?
Tidak, kurasa tidak. Lalu bagaimana?

Arthur menyeringai.

Kali ini yang bergerak adalah Douglass. Ia, sama seperti Arthur, mengirim ledakan
energi yang menyembur ke arahku. Secara refleks aku segera membuat perisai
pelindung, tapi begitu ledakan energi itu menerpa perisaiku, aku nyaris tak dapat
bertahan. Perisaiku retak seketika. Aku segera menguatkan perisaiku, menebalkannya.

“Bagaimana?” engahku kepayahan. “Bagaimana kalian bisa sekuat ini? Terakhir kali aku
melawan kalian, kekuatan kalian tidak sebesar ini! Bagaimana bisa?”

Douglass tertawa puas. “Sudah kuduga kau akan sangat terkejut. Aku tak akan
menjawabmu, manis, tapi sepupumu bisa menjawabnya.”

Aku membeku, perisaiku masih bertahan. “Lucas...?”

“Maaf,” kata Lucas pelan di belakangku. Aku menoleh cepat ke arahnya.

“Kau minta maaf buat apa? Bantu aku, cepat serang mereka!”

Lucas menundukkan kepala. “Maaf, Lianne. Aku tak bisa. Aku tak bisa, dan aku takut
aku tak akan pernah bisa. Aku tak bisa lagi menyerang siapapun.”

Jantungku berpacu cepat, kepanikanku muncul.

“Apa maksudmu?” tanyaku dengan nada panik. “Jangan bercanda! Cepat bantu aku!”

Lucas menatapku dengan pandang sedih, menggeleng pelan. Seketika, kesadaran kalau
dia tak bercanda menghantamku bagai godam.

“K... kau pasti bercanda,” kataku tetap tak percaya, walau dalam hati aku tahu Lucas
memang berkata jujur. “Lucas, kumohon, katakan kalau kau bercanda. Katakan kalau ini
hanya omong kosong, katakan kalau kau punya penjelasan akan semua ini!”

Suaraku bergetar karena panik. Perisaiku ikut bergetar karena mulai tak kuat menahan
semburan energi dari Douglass.

Lucas tetap diam tak bergerak.

“Lucas, katakan sesuatu!” teriakku mendesaknya.

Tepat saat itu, perisaiku hancur. Aku menjerit keras, tapi sepersekian detik sebelum
semburan energi itu menerpaku Lucas telah berdiri di depanku, di depannya ada
perisai yang menahan kekuatan Douglass.

“Kau masih punya energi untuk perisai, rupanya!” tawa Douglass kejam.

“Mari kita lihat, bisa bertahan berapa lama perisaiya itu,” kata Arthur, tak kalah
kejamnya.

Semburan energi dari tangan Douglass menguat, Lucas berteriak menahan sakit. Walau
ia tak terkena semburan energi itu, rasa sakit yang diakibatkan oleh usahanya untuk
menahan perisainya menyiksanya tanpa ampun. Ia meringis, mulai terengah.

“Ternyata hidup tanpa sihir tidak semudah yang kubayangkan,” katanya, tersenyum
menantang Douglass. Nekat! Apa dia mau dibunuh?

“Lucas, hentikan!” seruku hendak membantunya, tapi ia mendorongku kembali. “Lucas,
kau mau mati muda?!”

“Mungkin kau bisa menganggapnya begitu,” engah Lucas setengah kepayahan.

“Kau pasti sudah gila.”

“Sepertinya memang begitu.”

“Astaga, Lucas!”

“Jangan berisik terus,” kata Lucas dengan suara mulai bergetar kelelahan. “Aku butuh
konsentrasi untuk mempertahankan perisai ini.”

“Karena itu tak usah mempertahankannya, biar aku yang melakukannya!”

Lucas menggeleng keras kepala. Ia mengertakkan giginya dengan usaha keras.

“Kau tahu, Lianne,” katanya di sela engahan nafasnya, “Aku terpaksa melakukan ini.
Aku tak mau kau atau siapapun menjadi korban dari perang ini. Biar aku sendiri saja
yang jadi korban.”

Aku ternganga. “Kau melakukan ini karena... aku?”

“Bisa dibilang begitu. Lagipula, walau sihirku mereka ambil, aku toh tetap bisa
hidup.”

Perisainya mulai retak.

Aku teringat pada amulet yang diberikan Gregor padaku dulu, sebelum aku pergi
meninggalkan rumahnya, aku melepas amulet itu dari leherku dan memasangkannya di
leher Lucas.

Tepat saat aku berhasil melakukannya, perisai Lucas terpecah dan kami berdua
terbanting. Amulet itu menyerap semburan energi Lucas, dan mendadak cahaya keemasan
muncul dari pasir di tengah amulet itu, yang lalu masuk ke dada Lucas, di titik di
dekat jantungnya.

“Lucas...”

Lucas tak menjawab panggilanku. Tubuhnya diselimuti cahaya keemasan yang sama, dan
mendadak cahaya itu terhisap masuk ke dalam tubuhnya.

Lucas tersenyum. “Kekuatanku kembali.”

Lalu ia memejamkan mata dan kehilangan kesadarannya.

*

Aku menatap mata Arthur lekat. Tak kubiarkan ia lepas dari pandanganku barang
sedetikpun. Douglass tidak melakukan apapun, ia hanya mengawasi. Aku membentuk
perisai dari semburan energi Arthur, yang sudah tak sekuat tadi. Kekuatan Lucas
sudah kembali padanya, itulah kenapa kekuatan Arthur tak lagi sekuat sebelumnya.

Perisaiku mulai retak.

Aku mengertakkan gigi. Ayolah, tahan. Aku tak mau mati muda!

“Masih kuat, Putri?” tanya Arthur, walau nafasnya juga sudah terengah tak keruan.

“Mana mungkin tak kuat!” seruku, walau nafasku nyaris lebih kacau dari nafas Arthur.

Aku kehilangan konsentrasi karena berteriak. Tak ayal, perisaiku pecah dan aku
terlontar.

Tawa kemenangan Arthur dan Douglass berkumandang. Aku membiarkan tubuhku terpuruk
lemas, berpura-pura pingsan. Biar mereka tertipu. Aku tak mau mereka menang. Biar
kukalahkan mereka saat mereka mengira mereka sudah menang telak.

Mereka berjalan mendekati Amber Utama.

Spontan, aku melejit berdiri dan berlari cepat, mengabaikan rasa sakit di sekujur
tubuhku. Aku memotong langkah mereka tepat pada waktunya, terengah tak keruan.

“Jangan kalian berani-berani mendekati Amber Utama,” desisiku mengancam mereka, tak
peduli walau tubuhku penuh luka. “Jangan berani-berani. Bunuh aku, barulah kalian
bisa menguasai Amber Utama.”

“Kalau itu maumu, gadis kecil,” kata Douglass lembut seakan aku anak kucing kecil.

Segala macam mantra dan serangan meledak di sekelilingku, namun entah karena alasan
apa tak satupun dari mereka melukaiku. Dan itu membuatku sangat kaget, karena aku
tak membuat perisai apapun.

Suatu pikiran terbersit di kepalaku.

Aku berbalik menghadapi Amber Utama.

Apa Amber ini yang melindungiku?

“Apakah kau melindungiku?” bisikku pelan.

Seberkas sosok wanita jelita muncul, bagai asap ia meliuk-liuk keluar dari Amber
Utama. Ia menatapku dengan lembut sementara aku terperangah, terpesona oleh
kecantikannya. Ia tersenyum padaku, lalu membungkuk penuh hormat.

“Salam, hai Putri Penguasa Amber,” katanya sopan. “Aku adalah roh penjaga Amber
Utama, Feereve. Dulu amber mungilmu adalah bagian dari Amber Utama, aku bisa
merasakannya. Tekanan kekuatan sihirmu dan panggilan dari peri amber yang menjaga
amber mungilmulah yang membangunkanku dari tidurku.”

Aku tak dapat berkata-kata.

“Kau ingin melindungi seluruh negeri ini?” tanya si roh penjaga tiba-tiba. Aku
segera menjawabnya dengan anggukan mantap.

Dari amber kecil di gelang lenganku, muncul sesosok roh penjaga lain... peri penjaga
batu.

“Aku adalah peri penjaga batu amber yang kaubawa, Fleece,” kata sosok anak perempuan
mungil itu. “Apa kau ingin melindungi Amber Utama?”

Aku menjawabnya dengan anggukan mantap, sama seperti yang kuberikan apa Feereve.
Fleece tersenyum.

“Kau akan melakukan apapun yang bisa kaulakukan untuk melindungi semuanya?” tanya
Feereve lagi.

“Ya, tapi apa? Bisakah kau membantuku?” tanyaku padanya.

“Biarkan kami memasuki tubuhmu,” kata Fleece, “untuk memberimu kekuatan tambahan.
Dan dengan begitu kita akan bisa mengalahkan mereka.”

“Tapi ingatlah, akan ada efek samping dari proses ini. Apa kau tetap ingin
melakukannya?”

“Kalau itu memang satu-satunya cara yang tersisa, akan kulakukan.”

Tanpa membuang waktu lagi, Feereve dan Fleece merasuk ke dalam dadaku.

Energi besar memasuki tubuhku. Aku bisa merasakannya. Angin mengamuk di
sekelilingku, tanah berguncang keras bagai gempa bumi, api menjilat-jilat pinggir
ruangan, air di sungai di kejauhan bergejolak dan mengelilingi Ruang Batu Utama
seperti bola air.

Aku bisa melihat cahaya segala warna dari luar, menyorot masuk ke dalam Ruang Batu
Utama. Luka-lukaku menutup, sembuh. Namun rambutku...

Rambutku yang tadinya berwarna cokelat tua kini berubah. Menjadi putih. Bukan putih
kelabu seperti uban, tapi putih bersih, sangat mengilap, seputih salju. Aku bisa
melihat ada pantulan cahaya yang berasal dari rambutku.

Arthur dan Douglass menyerangku.

Nyaris tanpa berusaha, aku membuat perisai yang melindungiku, Amber Utama, Louie,
Emma dan Lucas yang ketiganya belum sadar sekaligus.

Emma bergerak. Begitu pula Louie dan Lucas. Mereka menatapku dengan pandang tak
percaya.

“Apa yang kaulakukan?”

“Lianne, hentikan!”

“Kenapa rambutnya berwarna putih?”

Louie tersentak. “Lianne! Keluarkan roh penjaga amber itu dari tubuhmu!”

“Tidak sebelum aku berhasil mengalahkan dua orang itu!” seruku keras kepala, lalu
mulai melancarkan serangan pada Arthur dan Douglass.

Keduanya menghindar dan membuat perisai. Tapi tak akan kubuat mereka menghindar
semudah itu.

Serangan melesat dari mana-mana. Atas, bawah, kanan, kiri. Segala arah. Dan itu
adalah serangan air.

Kubuat mereka kehabisan nafas sejenak, lalu kulepaskan mereka.

“Hentikan,” engah Arthur.

“Tak akan,” sahutku bengis.

Aku menciptakan pisau-pisau es supertajam.

“BIAR INI MENJADI AKHIR BAGI KALIAN!” seruku sambil meluncurkan semua pisau es ke
sana.

Tepat pada saat itu, Lucas membentuk perisai didepan Arthur dan Douglass, melindungi
mereka. Semua esku lenyap seketika.

Lucas berjalan mendekatiku. Ia mengguncang bahuku.

“Lianne, ini bukan kau,” katanya setengah terengah. “Ini sama sekali bukan kau.
Jangan bunuh mereka. Lianne punya rasa belas kasihan. Seharusnya, sebagai Lianne,
kau mau melepaskan mereka.”

“Aku Lianne dan aku tak mau melepas mereka sebelum mereka mati,” kataku dingin.

Lucas menggeleng. “Kau bukan dia. Keluarkan roh penjaga batu itu dari tubuhmu,
Lianne. Roh penjaga batu tak punya rasa kasihan kecuali pada pemiliknya. Dan entah
bagaimana sikap itu mulai merasuk padamu. Kembalilah menjadi Lianne yang dulu. Tolak
mereka.”

Aku menatap Lucas dengan pandang bengis. “Menyingkir dari pandanganku, Lucas, atau
kubunuh kau sebelum aku membunuh dua orang itu.”

“Aku tak akan menyingkir sebelum kau mengeluarkan roh penjaga batu itu dari tubuhmu.”

Tanpa kusadari, tanganku bergerak, mendorong Lucas kuat-kuat. Ia berteriak,
membentur dinding dan diam tak bergerak. Darah mengalir di pelipisnya.

Seketika aku tersadar.

Astaga. Apa yang sudah kulakukan? Aku sudah melukai sepupuku sendiri! Aku sudah
berniat membunuh dua orang! Walau mereka adalah musuhku, bukankah kalau aku membunuh
mereka sama saja aku membuat diriku seburuk mereka sendiri? Atau bahkan mungkin lebih buruk lagi...

Tidak! Itu tidak akan membuatku lebih buruk dari mereka. Lagipula itu salah Lucas
sendiri sudah menghalangiku.

Tidak! TIDAK! Kenapa aku sebenarnya? Lucas benar, ini bukan aku! Feereve dan Fleece
harus keluar dari tubuhku sebelum semuanya berubah menjadi makin mengerikan lagi...

Tapi itu percuma, mereka toh tak akan mau keluar. Lebih baik aku membunuh Arthur dan
Douglass dulu.

Jangan! Jangan! Aku tak mau berubah menjadi seorang pembunuh!

“Lianne!”

Aku menoleh, Louie menatapku serius. “Keluarkan roh penjaga batu itu dari tubuhmu,
cepat, sebelum mereka berhasil menguasaimu sepenuhnya!” perintah Louie dengan nada
mendesak.

“Bagaimana caranya?” tanyaku padanya, nada panik tersirat dalam suaraku. Aku telah
melukai Lucas, atau bahkan jangan-jangan sudah...

Tidak! Tapi bagaimana kalau dia memang benar-benar sudah... mati? Apa yang bisa
kulakukan? Kalau aku bisa membunuh sepupuku sendiri karena kedua roh penjaga batu
itu, lalu apa lagi yang bisa kulakukan kalau mereka tetap ada di dalam tubuhku?

“Tolak mereka, suruh mereka keluar, gunakan seluruh kekuatanmu!” entah kenapa justru
malah Arthur yang menjawab. “Aku pernah mengalaminya, aku tahu apa yang harus
dilakukan!”

“Lakukan, Lianne, lakukan!” seru Emma mendesakku.

Aku menggeleng perlahan, air mata ketakutan mulai menggenangi mataku.

“Lakukan!”

“Aku tak bisa!”

Mendadak Douglass bergerak, ia mendekapku, memelukku dari belakang, berbisik di
telingaku.

“Pejamkan matamu.”

Entah apa yang mendorongku melakukannya, tapi aku menuruti perintah Douglass.

“Konsentrasi, tenanglah,” kata Douglass lagi. “Biarkan aku menyihirmu sedikit. Aku
tahu kau tak akan bisa melakukannya tanpa bantuan sihir.”

Aku merasakan diriku tenggelam dalam pesona suara Douglass. Aku merasa aku tak perlu
melakukan apapun lagi. Ketenangan yang aneh menyertai dekaan Douglass, rasa aman
yang belum pernah kurasakan. Kenapa? Bukankah aku kebal terhadap sihirnya?

Aku membiarkannya membuaiku dengan suaranya, entah kenapa aku merasa nyaman olehnya.
Kenapa?

Kenapa?

*

Douglass

Ia membuai gadis itu dengan suaranya. Ia tahu gadis itu kebal terhadap sihir Vampir,
tapi ia tahu kerasukan roh penjaga batu selalu membuat seseorang kehilangan satu
bakat tertentu yang dimilikinya, dalam waktu tertentu, setidaknya sampai orang itu
terlepas dari roh penjaga batu yang merasukinya. Dan ia tahu bakat, kemampuan yang
hilang dari gadis ini adalah kekebalannya terhadap sihir Vampir.

“Douglass...?”

Douglass menoleh, memandang Louie. “Percayalah padaku, setidaknya untuk kali ini
saja. aku memang mengincar kekuatan batu itu, dan aku menginginkan darah dan gadis
ini juga, tapi roh penjaga batu yang merasuki gadis yang kuincar tidak ada dalam
paket itu. Aku akan berusaha membebaskannya. Walau begitu, ingatlah kalau kita masih
musuh. Kita hanya akan menjadi sekutu di saat ini saja, sampai anak ini lepas dari
roh penjaga batu.”

Louie tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. “Tapi, kalau sampai kau melukainya...”

“Kau akan membunuhku, aku tahu apa yang akan kaukatakan. Urus saja bocah itu, dia
masih hidup.”

Sementara Louie berbalik hendak merawat Lucas, Douglass kembali mengurus Lianne.

“Dengarkan suaraku, turuti kata-kataku,” Douglass bersenandung kecil di telinga
gadis itu. “Tidurlah, gadis kecil, masuklah ke dalam alam bawah sadarmu, jelajahilah
semua ruangan di dalam jiwamu, temukanlah roh penjaga batu itu, lawan mereka, usir
mereka. Selamatkanlah dirimu sendiri. Tidurlah gadis kecil, lakukanlah apa yang
kuperintahkan padamu. Aku tahu kau akan melakukannya, tapi lakukanlah secepatnya.”

Mata Lianne tertutup perlahan, sorot mengantuk tampak jelas di sana. Anak itu dengan
keras kepala menyalangkan mata kembali, walau lalu kembali terkantuk-kantuk.

“Sssh, jangan lawan rasa kantuk itu,” larang Douglass, berbisik pelan di telinga
gadis itu. “Ia akan membantumu melawan roh penjaga batu. Dengarkan aku, gadis kecil,
turuti perintahku. Tidurlah, gadis kecil, tidur, manis, dan kau akan bisa melawan
roh penjaga batu lewat mimpimu. Kuharap mimpi itu berakhir indah. Tidurlah, anak
manis...” buai Douglass lembut.

Mata Lianne kembali menutup perlahan. Gadis itu tak berusaha untuk menyalangkan
matanya lagi. Setelah beberapa menit, tubuh gadis itu melemas dan terjatuh lebih
dalam di pelukan Douglass. Nafasnya tenang dan teratur. Ia telah tertidur.

Douglass membaringkan gadis itu di lantai. Ia menoleh dan memandang Lucas dan Louie
yang berjalan menghampirinya. Lucas berjalan tertatih-tatih, kakinya terluka.
“Kenapa kau membantu kami?”

“Kau terlalu curiga.”

Lucas mengertakkan gigi. “Jangan bercanda, jawab saja pertanyaanku. Kenapa kau
membantu kami?”

Arthur tertawa hambar. “Karena amber itu tak akan ada gunanya tanpa roh penjaganya.”

“Dan karena anak ini tak bisa dimanfaatkan kekuatannya kalau ada roh penjaga batu
dalam tubuhnya,” tambah Douglass datar.

*

Aku membuka mata perlahan.
Tempat apa ini? Di sini rasanya terang sekali. Apa ini? Padang bunga? Sepertinya
begitu... tapi kenapa rasanya tidak seperti padang bunga? Ini seperti ilusi...

Aku teringat kata-kata Douglass: jelajahi semua ruangan jiwa.

Caranya?

Aku memeriksa semua titik padang bunga ini yang tertangkap oleh mataku. Di sudut
depanku, cukup jauh, ada sebuah bangunan. Bangunan kayu yang tampak mencolok...

Aku melangkahkan kaki ke sana. Setelah beberapa saat aku berhasil mencapai tempat
itu. Aku melangkah masuk ke sana.

Ada begitu banyak ruangan di sini. apa ini maksudnya? Jelajahi semua ruangan... yah,
mungkin. Aku harus mengambil resiko.

Aku memasuki ruangan pertama.

Aku terkejut melihat diriku sendiri di dalam situ. Aku melihat diriku sendiri sedang
bicara dengan Louie di malam hari, Lucas tertidur di rerumputan...

Ini ingatanku! Ini pastilah ingatanku!

Ingatanku berkecamuk di sana-sini. aku melihat diriku saat masih di sekolah, saat
pertama kali aku bertemu dengan Louie. Betapa aku merindukan kehidupan normal... aku
mendesah. Normal itu bukanlah normal lagi bagiku. Bagiku, normal sekarang adalah
hidup yang dipenuhi dengan sihir.

Aku melangkah mundur dan memasuki ruangan lain.

Ini ruangan tentang perasaanku! Dendam, marah, sedih, senang...

Aku terus menjelajahi ruangan-ruangan di bangunan ini. Aku tak ingat kenapa aku
ingin melakukannya, tapi aku tetap melakukannya.

Aku mencapai sebuah pintu lain. Aku membuka pintu itu dan mendapati ada lorong
panjang di sana. Setelah ragu sesaat, aku memasuki lorong itu.

Lorong itu berkelok-kelok. Aku terus mengikuti arus kelokannya. Toh jalannya sama
sekali tak bercabang. Hanya ada satu jalan berkelok-kelok, itu saja.

Aku mendengar suara tawa dari kejauhan. Suara Feereve dan Fleece!

Aku melangkah cepat tanpa membuat suara.

“...lau dia berhasil dikuasai sepenuhnya, dunia ada dalam genggaman kita,” terdengar
suara Feereve berkata. “Dan itu sangat mudah! Tak kusangka dia mau melakukan apapun
demi sepupunya itu!”

“Dan sebentar lagi kita akan bisa mengendalikannya sepenuhnya,” suara Fleece
terdengar bengis. “Benar, mudah sekali.”

Aku tak sanggup menahan diri terlalu lama. “Tak semudah itu. Aku menolak. Pergilah,
tinggalkan tubuhku secepatnya.”

Feereve dan Fleece menoleh ke arahku.

“Pergilah,” kataku sungguh-sungguh, “Aku tak mau tubuhku menjadi tubuh bagi
seseorang, atau sesuatu, selain diriku sendiri.”

“Tapi kami tak mau melakukannya,” kata Feereve dengan senyum bengis di wajahnya.

“Tapi ini tubuhku.”

“Sekarang sudah nyaris bukan seperti tubuhmu.”

“Tapi ini tetap tubuhku.”

”Dan kami tak mau pergi.”

Aku memejamkan mata rapat. “Demi Tuhan, kubilang ini tubuhku, kubilang cepat,
cepatlah pergi!!!”

Saat itu terjadi keanehan. Tubuh Fleece berpendar keemasan, lalu ia lenyap.

“Fleece!” Feereve memanggilnya dengan kaget. “Kau mengusir Fleece!”

“Dan sebentar lagi aku akan mengusirmu, Feereve.”

“Aku tak akan pergi.”

“Tapi kau harus pergi.”

“Tapi aku tak mau.”

“Kau harus, harus pergi! Ini tubuhku!” seruku dengan segenap hati.

Tubuh Feereve mulai berpendar keemasan.

“Pergi, pergi, pergi, pergi...” aku terus mengucapkan kata-kata itu sampai Feereve
lenyap dari pandanganku. Aku menghembuskan nafas lega.

Pandanganku erubah gelap.

*

Aku membuka mata perlahan.

“Dia sudah sadar.”

Aku duduk dengan cepat. “Apaan itu tadi?”

“Apa?”

Aku menggeleng. “Tidak. Bukan apa-apa.”

Aku menoleh, dan menegang melihat Arthur dan Douglass di sisi ruangan, dekat Amber.

Tapi keanehan kembali terjadi. Amber itu tidak lagi berwarna indah, ia berwarna
pudar.

“Kenapa...?”

“Oh, itu terjadi saat Feereve keluar dari tubuhmu,” Emma menjawab kalem. “Kekuatan
amber itu menghilang.”

“Eh?”

“Dan berpindah.”

“Ke?”

“Tubuhmu.”

“APA?!?!”

Aku menatap tanganku. Tak ada apa-apa. Tapi memang ada yang aneh. Rambutku...

Rambutku! Rambutku tetap putih, seputih salju!

“Rambutku...”

“Yap, itu dia,” Lucas tampak tenang seperti Emma. “Itu pertanda kekuatan amber
pindah ke tubuhmu.”

“Karena itu, batu tak ada gunanya lagi bagi kami,” kata Arthur, entah sejak kapan
ada di sampingku. “Kau, kaulah incaran kami sekarang.”

Aku terperangah, secara refleks aku ingin berlari kabur sejauh mungkin darinya. Tapi
percuma, tangan Douglass sudah melingkari leherku, siap mencekikku.

Aku mendengus. “Lagi-lagi seperti ini. Apa rencana kalian untukku? Memunuhku?”

“Mungkin.”

“Lepaskan Lianne, bisakah?” tanya Lucas, entah kenapa kata-katanya sedikit kacau.
Mungkin karena luka di kepalanya? Aduh, maaf, Lucas. “Aku tak mau sepupuku dibawa
pergi oleh sekumpulan orang-oranf barbar.”

“Itu menyakitkan, kami orang beradab,” kata Arthur pura-pura tersinggung.

“Memang menyakitkan. Apa ada sebutan lain?” tanya Douglass santai.

“Ada, tentu saja ada,” kataku kesal. “Kalian benar-benar monyet! Bisa-bisanya kalian
menculik anak perempuan sepertiku! Kalian pikir aku apa? Kucing?”

“Kau memang mirip anak kucing liar, terus terang saja,” kata Arthur tenang.

“Sangat sulit diatur,” timpal Douglass setuju.

Aku mengerang kesal. Ini sih komunikasi dua arah yang tidak tersambung dengan baik
namanya!

“Jangan buat aku merasa makin kesal, lepaskan aku!” seruku kesal.

“Anak kucing mulai mencakar,” kata Douglass saat aku mlai meronta.

“Kurasa sebaiknya kau lepaskan dia, Douglass.”

Douglass menatap Lucas dengan pandang menantang. “Kenapa?”

“Yah, lebih baik lepaskan dia sebelum kau menyesal.”

Seketika, ledakan energi, energiku, meledak dan melontarkan Douglass ke belakang.

“Whoa,” kataku kaget. “Maaf.”

Kenapa itu? Kenapa bisa ada ledakan energi, energiku? Rasanya aku tidak melaukan
apapun.

Tubuhku bergerak tanpa kemauanku. Rasanya aneh sekali, seperti melihat boneka tali
yang dimainkan dengan amat mahir. Tapi kenapa bisa?

“Kekuatan amber dirancang untuk melindungi sesuatu,” suara Louie akhirnya terdengar.
“Dan karena kekuatan itu sekarang ada di dalam tubuh Lianne, kekuatan itu bisa
mengambil alih tubuh Lianne.”

Ia berubah serius. “Karena itu aku tak mau kalian mengambil Amber. Kekuatan itu
seharusnya ada untuk melindungi klan kita semua, dan dipercayakan untuk dijaga oleh
klanku. Aku tak bisa mengatakannya selama ini, tapi kini mantra itu patah.”

Arthur tampak kaget. “Jadi selama ini kau...”

Louie mengangguk.

“Aku tak peduli pada perbincangan santai kalian, tapi bisakah kalian berhenti dan
menolongku sebentar?! Aku sedang dalam kesulitan di sini, aku tak mau mencabut nyawa
siapapun!” seruku saat tanganku bergerak sendiri dan muncul tombak es di sana. Wajah
Douglass memucat.

Louie menjentikkan jemarinya, gerakanku terhenti. Untungnya begitu. Aku tak mau
membunuh Douglass sekalipun dia mau membunuhku. Bagaimanapun juga dia sudah
membantuku melawan kedua roh penjaga batu itu tadi.

“Kau masih menginginkan kekuatanku?” tanyaku pelan.

Douglass mendengus. “Entah bagaimana kini aku kehilangan selera.”

“Bagus kalau begitu,” kataku dengan puas, “karena aku juga sudah muak mengoleksi
musuh.”

Aku, Lucas, Louie, Emma, Athur dan Douglass berpandangan sejenak, lalu tawa kami
pecah.

Perang telah selesai. Setidaknya perang kami sudah selesai, dan kami tidak berniat
untuk melanjutkannya lagi.

Atau, apa aku salah? Apa tadi aku melihat ada kilatan di mata Arthur dan Douglass?
Aku terdiam, menghentikan tawa.

Aku merasa ini agak aneh. Apa seseorang bisa begini mudah berubah? Detik ini mereka
menginginkan sesuatu dengan amat sangat, dan detik berikutnya mereka kehilangan
hasrat akan sesuatu itu. Bisakah seseorang seperti itu? Tidak, kurasa tidak. Ini
aneh. Tapi mereka...

Aku tersadar. Mereka adalah aktor berpengalaman. Mereka penipu.

Seakan mengiyakan pikiranku, mendadak Douglass bergerak, tangannya menggenggam
sebilah pisau, dan memposisikan diri di belakangku, sisi tajam pisau mengancam
leherku dengan kecepatan yang membekukan darah.

Aku mendesah kecil. “Aku bersyukur aku sudah memikirkan tentang kepicikan kalian,”
kataku tenang.

Aku menoleh pada Arthur. “Jadi, apa Louie dan Emma terlibat? Juga Lucas?”

“Kami terlibat, ya, tapi sepupumu tidak,” jawab Louie datar.

Aku menatap Lucas. Ia memandang lantai tanpa ekspresi.

“Kalian apakan Lucas?” tanyaku, mendadak waspada.

“Saat kau berusaha mengusir roh penjaga batu itu aku merawatnya,” kata Louie, kini
ada seulas senyum kejam terpampang di bibirnya. “Saat aku melakukannya, aku
memantrainya sedikit. Mantra itu baru bekerja saat kau tersadar. Dan sekarang,”
Louie menjentikkan jari, Lucas terjatuh, “mantra itu tercabut kembali.”

Aku menghembuskan nafas dengan marah yang kini menguasaiku. Orang yang kukira teman
selama ini ternyata adalah pengkhianat. Apa Gregor dan Earl juga terlibat?

“Kenapa kau tampak begitu tenang?” tanya Arthur, terdengar heran.

Seulas senyum tipis menghias bibirku.

“Apa kalian lupa?” aku bertanya sementara aku membiarkan auraku menguar. “Kini
kekuatan amber ada bersamaku.”

Kini pijaran cahaya jingga itu jauh lebih kuat dari cahaya terkuatnya dulu, dan
harum honeysuckle yang menusuk juga jauh lebih tajam dari biasanya. Sembari
membiarkan auraku berpijar, aku membiarkan kekuatan amber mengambil alih. Tanpa
keinginanku, tanganku bergerak dan melontarkan Douglass ke seberang ruangan.

“Rupanya kekuatan itu sudah menguasaimu sekarang, hm?”

Aku menoleh ke arah pintu masuk. Gregor ada di sana, memblokir jalan dengan sebutir
apel di tangannya. Ia menggigitnya sedikit dan tersenyum sambil mengunyah.

Aku mengambil alih tubuhku dari kekuatan amber. “Jangan bilang kau juga terlibat
dalam persekongkolan ini!”

“Sayangnya, memang iya,” kata Gregor sambil tersenyum manis.

“Oh, bagus,” tukasku sarkastis. “Apa Earl terlibat juga? Bahagia sekali kalau
ternyata dia juga terlibat.”

“Aku terlibat, tapi karena ancaman,” kata Earl yang muncul di belakang Gregor.
“Lihat siapa yang membawaku.”

Aku menatap orang yang menggiring Earl. Dan ternganga.

“E – Emma?”

“Aku punya kemampuan untuk membuat duplikat diriku,” kata Emma yang ada di
sampingku. Ia menarikku.

“Asal tahu saja, aku tidak berniat untuk membunuhmu. Jadi, berikan saja kemampuanmu
secara sukarela,” katanya dengan suara bisikan, tapi aku merasa suaranya aneh.
Kata-katanya seperti itu, tapi nadanya seakan mengatakan kalau dia tak mau aku
memberikan kekuatan amber pada orang-orang ini...

Aku melepaskan diri dari Emma.

“Berikan kekuatan amber itu, kucing kecil,” kata Douglass tenang, entah sejak kapan
berdiri menjulang di depanku.

“Bagaimana kalau aku bilang tidak?” tanyaku menantang.

“Kematian menunggumu.”

Aku tertawa setengah histeris. Bagus sekali. Posisiku terpojok, Earl tak bisa
membantuku, Lucas pingsan. Apa lagi kejutan yang menantiku?

Aku menjerit kuat-kuat.

“LUCAS!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Sembari menjerit, aku membiarkan auraku berpijar makin menyala, menguarkan cahaya
jingga menyilaukan, memenuhi ruangan dengan aroma honeysuckle yang menusuk hidung.
Aku membiarkan energiku menyerap melalui suaraku, membuat Louie, Emma, Arthur dan
Douglass menutup telinga rapat-rapat untuk menghindari badai energi itu. Sementara
bagi Lucas, aku yakin serangan energi itu akan membantu membawanya menuju kesadaran.

Lucas, tampaknya terpengaruh, kini mulai mengerang pelan.

Aku menatapnya penuh harap. Terlalu berharap hingga aku tak menyadari situasi
sekelilingku.

Sedetik aku menatap Lucas penuh harap, detik berikutnya aku sudah berada dalam
cekalan tangan Gregor.

Lucas akhirnya membuka matanya.

*

Lucas

Ia membuka mata dan menatap Lianne. Ia terkejut saat menyadari kalau Lianne sudah
ada dalam pitingan Gregor. Ia mencoba menganalisis keadaan di situ.

Betapa membingungkan dunia ini. Entah atas pemberitahuan siapa ia mengetahui kalau
Louie sudah berkhianat, juga Gregor.

“Earl!” seru Lianne dengan nafas terengah. “Tak biasakah kau melepaskan diri dari
kopian Emma?”

“Aku sudah di sini,” kata Earl yang entah sejak kapan sudah berada di belakang
Gregor, membebaskan Lianne.

Lucas melonjak berdiri dan bergabung dengan Lianne dan Earl.

Dua kubu kini terbentuklah sudah. Satu kubu berisi Lianne, Lucas dan Earl. Kubu
lainnya berisi Louie, Douglass, Arthur dan Emma juga Gregor.

“Hebat sekali,” kata Lianne setengah frustasi. “Ini menjelaskan kenapa kami selalu
masuk ke dalam perangkap Arthur dan Douglass. Kenapa kau berkhianat?”

“Ini memudahkanku.”

“Untuk apa?”

“Membunuh Para Tetua.”

“Membinasakan wargamu sendiri maksudmu?” tanya Earl kasar.

Louie menatapnya tajam. “Membunuh ayahku.”

“Kenapa kau ingin membunuh ayahmu sendiri?” tanya Lucas heran.

“Kejahatan terbesar yang bisa dilakukan seorang ayah adalah menelantarkan anaknya
sendiri,” kata Louie tenang. “Dan ayahku sang Tetua telah melakukannya terhadapku.”

Lianne melotot. “Dan itu mendorongmu untuk membunuhnya. Dangkal sekali pikiranmu.”

“Kau tak tahu seperti apa situasinya.”

“Tak tahu dan tak mau tahu. Yang jelas sekarang aku punya pertanyaan lain bagi
kalian semua. Sejak kapan konspirasi ini direncanakan? Dan sejak kapan sandiwara ini
dilangsungkan?”

“Konspirasi ini ada sejak kami mendengar kehebatan batu itu, sejak Louie tahu kalau
salah satu Tetua adalah ayahnya, sejak itu. Dan sandiwara ini sudah ada sejak kami
masih kecil.” Douglass tampak nyaris puas.

“Aku kaget kenapa aku tidak menyadarinya,” komentar Earl datar.

“Tak hanya kau, bahkan kamipun begitu,” kata Arthur di samping Douglass.
“Mengherankan sekali bagaimana rencana ini bisa berjalan begitu mulus.”

Ia menghilang tiba-tiba. Dan muncul di belakang Lianne, menekan lehernya dengan
belati perak.

“Kami akan mengambil kekuatan amber dari tubuhmu,” katanya dengan ancaman merembes
melalui kata-katanya. “Secara paksa kalau kau tak mau memberikannya secara sukarela.”

*

Aku diam mendengar kata-kata penuh ancaman itu dari Arthur. Aku bertanya-tanya, di
mana Lucas dan Earl? Kenapa mereka tidak membantuku?

Aku menoleh. Dan seketika aku mengerti.

Emma, atau duplikatnya, kini ada di belakang mereka, mengancam. Dengan sihir,
untungnya. Mereka menghadapi kedua Emma dengan tatap garang, siap melawan.

Mendadak aku merasa mengantuk. Kenapa ini? Ada wangi bunga di sekelilingku. Arthur
pasti sudah melakukan sesuatu. Untuk mengambil kekuatan amber.

Tidak! Aku tidak boleh membiarkan amber diambil. Kalau kubiarkan begitu saja mereka
bisa menghancurkan dunia! Setengah mati kutahan kantuk itu dan membiarkan kekuatan
amber mengambil alih tubuhku.

Aku berhenti mendadak. Bagaimana kalu ini memang yang mereka harapkan? Membuat
mereka bisa lebih mudah memperoleh kekuatan amber. Tidak! Tak boleh! Lalu bagaimana?

Aku merasa seperti digelitik. Aku merinding. Digelitik dari... dalam. Seakan ada
sesuatu yang ditarik keluar dari tubuhku...

Aku memejamkan mata rapat dan menahannya. Aku menarik nafas dengan pelan, berusaha
menenangkan diri.

Aku menjerit keras, dan seperti tadi membiarkan energi merembes keluar dari suaraku
saat melakukannya. Samar, aku mendengar suara teriakan Emma,

“Lianne! Jangan!”

Di sekelilingku, angin mengamuk hebat. Beriringan dengan jeritanku.

Suaraku menghilang. Aku merasakan kekuatanku mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Nafasku terengah kelelahan.

Angin akhirnya berhenti mengamuk. Aku masih berada dalam dekapan penuh ancaman
Arthur. Namun, berbeda dengan tadi, kini aku terpuruk lemas kelelahan.

Dan, Emma di sebelahku, menatap Arthur sementara ia menarik sebelah tanganku.

Arthur melepaskanku sementara senyum tersungging di bibirnya.

“Aku bukan orang yang akan membiarka begiu saja kekuatan amber yang selama ini
kujaga diambil,” kata Emma mengejutkanku. “Jadi, kau tak dapat menyebutku
pengkhianat.”

“Tapi..”

“Aku berpura-pura berada di sisi mereka selama ini,” kata Emma cepat. Duplikatnya
yang sedang bertarung melawan Louie dan Earl menghilang tiba-tiba.

Emma menatapku sesaat. “Kekuatan amber mulai meninggalkanmu. Mereka bisa
mengambilnya. Bisakah kau menahannya?”

“Kuusahakan,” kataku lemah.

“Jadi, Emma,” kata Douglass dengan raut wajah tak senang, “selama ini kau menipu
kami, ya?”

Emma menatapnya penuh tantangan. “Kalau ya kenapa?”

“Kau tak sadar kalau kau membeli tiket kematianmu?”

“Aku menyadarinya dan aku tidak peduli.”

Ia berpaling pada Earl dan Lucas.

“Jaga Lianne.”

Hanya itu yang dikatakannya. Lalu ia berlari menerjang Douglass, menyerangnya dengan
ganas.

Sepersekian detik dilalui Douglass dalam keterpanaan, namun sayangnya hanya
sepersekian detik. Ia dengan segera menciptakan kabut tebal pekat dan tornado yang
menghalangiku mengawasi Emma.

Aku langsung lupa kalau aku terluka. Aku duduk dengan cepat, mengabaikan cengkeraman
peringatan Earl di pundakku.

“Emma!” seruku, tak mampu menyingkirkan kekuatiran dari suaraku.

Aku menggeliat dari pegangan Earl dan Lucas. Aku ingin membantu Emma,
menyelamatkannya.

“Lepaskan aku!”

“Tidak! Kalau kau mati di tangan mereka dan kekuatan itu jatuh ke tangan mereka,
percuma saja Emma mengorbankan nyawanya untukmu!”

Seruan Lucas membuatku terdiam.

Bermenit-menit berlalu dalam ketegangan. Earl dan Lucas sama sekali tak mau
meninggalkanku, padahal aku sendiri ingin terjun ke dalam peperangan.

Mendadak, kabut menipis dan menghilang, tornado lenyap. Emma telah menghilang dari
pandangan. Arthur berdiri terengah, Douglass membungkuk, menopang berat tubuh pada
lututnya, Gregor bersandar kepayahan di dinding, Louie terkapar kehabisan nafas di
lantai. Masing-masing menanggung luka yang tidak bisa dibilang ringan.

Douglass mengangkat tangannya hingga sejajar dengan wajahnya, dan aku tersadar kalau
ia membawa sehelai pita putih bebercak kemerahan.

“Maaf, Emma,” gumamnya pada pita itu, “ini harus kulakukan.”

Ia membakar pita itu dan terdengar jeritan kesakitan, amat memilukan.

Seketika aku tersadar kalau pita itu adalah Emma. Douglass mengubahnya menjadi pita,
membakarnya, membunuhnya...

Aku menggeram marah.

Douglass menatapku dengan tajam, menenggelamkanku dalam kegelapan di matanya. Dengan
berani aku menantangnya balik, tenang menyambut ancaman itu. Douglass sendiri tahu
aku kebal terhadap sihir Vampir. Mencoba menenggelamkanku di dalam pengaruhnya sama
percumanya dengan berusaha menyembunyikan gajah di dalam kulkas.

Tapi harus kuakui aku sempat nyaris hilang dalam pengaruhnya. Mungkin karena aku
kelelahan, entahlah.

Bermenit-menit kami saling memelototi satu sama lain, saat lalu terdengar suara
langkah kaki tergesa di luar. Semua mata memandang keluar dan terkejut mendapati
adanya seorang gadis muda remaja, kira-kira berusia lima belas tahun, berdiri ambang
pintu dengan raut wajah shock.

“Emma memilihku,” katanya, suaranya bergetar.

“Pearl!” seru Earl kaget.

Aku mengamati gadis itu dan menyadari kalau anak itu punya rambut hitam kelam
kebiruan dan mata merah darah. Ia mengenakan baju bergaya Cina yang memiliki belahan
di pinggang kirinya, hanya satu itu, tidak di kedua pinggang seperti milik Emma, dan
celana training hitan di balik gaun itu. Bajunya berwarna pink pudar, nyaris putih,
bermotif bunga. Rambutnya digerai, panjang hingga setengah lengannya.

“Emma memilihku,” kata gadis itu lagi, suaranya bergetar makin hebat. Air matanya
merebak. “Emma memilihku! Bukan Crystal atau Ruby, bukan Diamond atau Amethyst,
bukan Garnet atau Sapphire, tapi aku! Aku tak bisa percaya... Semua orang bilang
Crystal-lah yang akan mewarisi jabatan sebagai Penjaga, atau Garnet, atau Diamond...
Siapapun kecuali aku. Kenapa Emma memilihku? Aku yang ceroboh? Dia pasti melakukan
kesalahan, tak mungkin aku...”

“Pearl, Pearly,” Earl menenangkan gadis itu. “Emma tak mungkin salah. Kau memang
Penjaga berikutnya. Kau punya kemampuan, kau memang Penjaga sejati. Banyak orang
yang merasa seorang pahlawan hanyalah sampah sebelum mereka menjadi pahlawan. Saat
mereka berusaha, barulah mereka mengetahui kebenarannya, bahwa merekalah pahlawan
itu.”

Gadis itu, Pearl, mengangguk walau masih setengah terisak.

Aku menatap Douglass, Arthur, Gregor dan Louie dengan waswas. Seperti yang sudah
kuduga mereka menatap Pearl dengan penuh pertimbangan. Apa mereka berharap bisa
menarik Pearl ke sisi mereka? Aku merasa marah mendadak. Jangan harap mereka bisa
melakukannya. Tak akan kuijinkan mereka!

Tapi sepertinya harapan mereka memang tak akan terkabul. Pearl menggosok matanya
dengan punggung tangan dan menatap mereka dengan tatap penuh tantangan.

“Emma mewariskan sebagian ingatannya bersama dengan seluruh pengetahuannya dan
kemampuannya sebagai Penjaga. Dan dari ingatannya aku tahu kalau kalian musuh bagi
klan kami. Dan ia juga membawakan perintah untuk membunuh kalian semua.”

Ia berpaling padaku.

“Aku memiliki kemampuan khusus untuk menyembuhkan,” katanya diiringi senyum ramah.
Ia menggenggam lembut pundakku dan aku merasakan kekuatanku kembali mengaliri
sekujur tubuhku seakan aku tak pernah menjadi korban sihir manapun.

“Sekarang waktunya,” katanya serius.

“Saat penghabisan.”

Aku, Pearl, Lucas dan Earl berdiri tegak, menantang Arthur, Gregor, Douglass dan
Louie yang kini juga berdiri tegak penuh tantangan.

Aku ingin mencoba kekuatan amber. Kuacungkan jari telunjukku dan menciptakan cahaya
perwujudan sihir di ujungnya, lalu memutar-mutar jariku di udara dalam bentuk
spiral. Spiral cahaya muncul, seperti harapanku. Dari gambaran spiral itu aku
membentuk tali api dan menggunakannya sebagai lasso, berniat mengikat keempat orang
itu sekaligus.

Sayangnya permohonanku terlalu sulit dipenuhi, bahkan olehku sendiri sekalipun.
Mereka terlalu gesit.

Di sinilah tim mulai berperan.

Pearl, pengalamannya dalam bidang pertempuran masih belum cukup sehingga ia tidak
banyak bergerak, tapi ia tahu saat-saat kritis saat kami membutuhkan pelindung, dan
ia siap sedia membuatkannya dengan sigap. Earl dan Lucas bekerja dalam tim khusus,
mereka saling menguatkan serangan masing-masing, sedangkan aku bekerja secara
individual dalam serangan yang hampir selalu berhasil membuat tim Douglass kocar-
kacir. Sayangnya hanya sampai batas kocar-kacir. Mengalahkan mereka nyaris mustahil.

Mendadak, Arthur, Douglass, Louie dan Gregor menyatukan kekuatan dan menyerang kami.
Spontan Pearl membuat perisai, yang sayangnya langsung hancur berkeping-keping
dengan menyedihkan, dan membuat kami berempat terkena serangan telak.

Jeritan membahana. Teriakan menggema, pekikan bergaung, raungan menusuk telinga.
Semuanya dalam irama yang sama: kesakitan. Kesakitan luar biasa. Panas membara yang
menyiksa, sekaligus dingin membekukan bagai sayatan pisau. Kobaran api bagai tusukan
es, pelukan kebekuan bagai pukulan panas tak tertahankan. Tiap serangan menimbulkan
efek terbalik, masing-masing lebih parah dan lebih menyakitkan dari yang seharusnya.

Dalam waktu beberapa detik saja, keadaan berbalik. Empat tubuh, dua perempuan dan dua laki-laki, terkapar di lantai kepayahan. Terengah, mengerang, merintih, hingga
terisak kesakitan.

Lagi-lagi, Douglass mengambil posisi sebagai algojo. Ia mendekati Lucas, meraihnya
dan menariknya hingga berdiri. Lalu ia mencengkeram pergelangan tangan kirinya
begitu kuat hingga Lucas berteriak kesakitan, dan beberapa detik kemudian terdengar
suara tulang patah.

Douglass menjatuhkan Lucas ke lantai diiringi seringai bengis. Lucas terengah, tak
sanggup bersuara, tapi ekspresinya memancarkan kesakitan amat sangat.

“Satu tumbang.”

Ia mendekat pada Earl, yang dengan panik beringsut menjauh darinya. Sayangnya
Douglass terlalu cepat.

Douglass menarik Earl dan menonjok hidungnya keras, darah mengalir dari hidungnya,
mengotori tangan Douglass. Douglass melempar tubuh Earl yang lemas ke lantai,
membiarkannya terempas begitu saja sambil menjilati darah Earl.

“Darahnya cukup enak. Dua tumbang.”

Douglass lalu mendekati Pearl, yang menatapnya penuh ketakutan. Tak menyadari kalau
cara itu salah. Ia menatap langsung ke dalam kegelapan di mata Douglass. Beberapa
saat terlewat dalam ketegangan, dan ia lalu terlihat rileks kembali. Ia mendekati
Douglass.

“Pearl,” engahku panik. “Pearl! Pearl, sadarlah! Menjauhlah darinya!”

Percuma aku berteriak. Pearl tetap mendekati Douglass dengan pandang mata terlihat
nyaris berbunga-bunga, tak menadari bahaya apa yang menantinya. Beberapa langkah
sebelum Pearl mencapai tempatnya berdiri, Douglass menikam perutnya dengan pisau.

Pearl tersadar seketika, ia menjerit keras. Lalu terpuruk dan terisak.

“Tiga tumbang,” Douglass terlihat nyaris puas. Kepuasan yang kejam. Dengan seringai
kejam ia mendekatiku.

“Dan inilah yang keempat...”

Aku memejamkan mata rapat, nyaris pasrah.

Kilatan cahaya, seruan marah.

Aku membuka mata perlahan dengan rasa takut bercampur heran. Apa aku masih hidup?

Di depanku Lucas bediri, tangan kanannya mencengkeram pedangnya yang baru saja
digunakannya untuk menyerang Douglass.

“Ada fakta yang harus kauketahui, Vampir,” katanya datar. “Aku tidak kidal. Jadi
percuma saja kau mematahkan pergelangan tangan kiriku, tangan kananku berfungsi amat
baik.”

Douglass mendesis marah. Di mata kirinya kini ada luka sayatan yang masih berdarah.
Luka yang amat dangkal, dan masih baru. Tapi jelas akan membekas untuk maktu lama.

“Yah, setidaknya bersyukurlah aku tidak mencongkel matamu, terutama setelah kau
mematahkan pergelangan tanganku,” kata Lucas santai.

Douglass menggeram, lalu mulai menyerang membabi-buta. Serangan itu sebetulnya mudah
saja ditangkis Lucas, sayangnya lukanya membuat gerakannya menjadi lebih lelet dari
biasanya. Sulit melakukannya kalau tangannya terluka parah macam itu. Apalagi aku
bisa melihat kalau sebetulnya ia amat kesakitan karena lukanya itu.

Sempoyongan, aku bangkit berdiri. Earl sudah berada di sebelahku dan Pearl sedang
berusaha menyembuhkan lukanya sendiri.

“Aku harus membantunya,” kataku pelan. “Aku tak mau Lucas mati.”

Earl menatapku dengan serius. “Aku bisa memahami jalan pikiranmu, tapi kalau kau
melakukannya bisa-bisa justru malah kau yang mati.”

Aku tersenyum kecil. “Kurasa kau lupa kalau kekuatan amber ada dalam tubuhku
sekarang.”

Lucas terbanting jatuh. Bisa dimaklumi karena dia hanya bisa menggunakan pedangnya
dengan satu tangan, sebenarnya. Dengan cepat aku menghampirinya, mengurung diri kami
berdua dalam dome perlindungan buatanku.

“Lianne?”

“Aku tak bisa membiarkanmu bertarung sendiri,” kataku pelan. “Mintalah Pearl
menyembuhkan tanganmu. Aku akan menggantikanmu bertarung sebentar.”

Matanya melebar. “Kau tidak...”

“Aku serius.”

Aku memaksakan kehendakku padanya, hanya dengan tatapan, dan akhirnya ia menurut.

Kini, aku menghadapi Douglass.

“Anak kucing berniat melawan singa,” Douglass tertawa. “Kau terlalu banyak berharap.”

Kulihat Arthur mulai membuat gerakan mencurigakan, dan aku meniupkan angin kuat
hingga ia terhempas ke dinding dan terkulai lemas, demikian halnya dengan Gregor dan
Louie.

“Kurasa yang terlalu banyak berharap justru malah kau,” ejekku tenang.

Mata hitam Douglass mulai berkilat dalam kemarahan.

Ups. Apa aku membangunkan naga tidur itu? Memang sudah bangun dari tadi, kok. Cuma
sekarang tingkat kesadarannya lebih tinggi dari tadi. Apa aku menyesal? Kurasa
tidak, aku justru malah menikmatinya. Apa aku terlalu nekat? Tidak, untuk melawan
Douglass memang diperlukan kenekatan ekstra. Apa aku sakit jiwa? Aku tidak peduli
sekalipun iya, sekarang yang penting hanyalah satu; lawan dia!

Aku tidak berniat menyerangnya secara fisik sekarang. Douglass juga sepertinya punya
pikiran yang sama. Ia menatap mataku dalam-dalam seakan dia yakin bisa
mempengaruhiku. Tak akan bisa, tapi kuhargai usahanya. Aku memalas tatapannya dengan
berani.

Yah, kau bisa mengatakan kalau sekarang pertarungan ini sudah berubah menjadi
starring contest. Sungguh aneh, tapi biarlah. Kurasa baik aku maupun Douglass memang
paling kuat dalam kontes seperti ini.

Entah berapa lama kami saling memelototi satu sama lain. Yang jelas, kami hanya
berdiri diam, mulut terkunci rapat, mata terbuka lebar, menatap dalam-dalam ke mata
lawan masing-masing. Hebatnya, bukannya lelah, aku justru malah menikmati permainan
ini. Sungguh aneh bagaimana aku bisa menikmati permainan yang kalau aku kalah aku
akan dikirim langsung ke kematian.

“Lianne!”

Aku tak menggubris panggilan itu. Aku tetap mengunci pandanganku ke mata Douglass.
Baik aku maupun Douglass memiliki tujuan yang sama, yaitu ‘membunuh’ musuh dengan
pandangan kami. Beberapa kali aku nyaris tenggelam dalam pandangannya, tapi aku
selalu berhasil menyelamatkan diri. Hal yang sama juga terjadi pada Douglass.
Sungguh mengherankan betapa tipikalnya kami.

“Lianne! Hei!”

Aku berjalan mundur beberapa langkah, tapi tetap mengunci pandanganku pada mata
Douglass.

“Apa?” tanyaku agak kesal dari sudut mulutku.

“Jangan lanjutkan pertarunganmu ini,” Lucas terdengar khawatir. “Biar aku yang
melakukannya.”

Aku tersenyum sementara mataku tetap terpaku dalam mata Douglass. “Tenang saja,”
kataku santai, “aku tak akan kalah. Lagipula, aku ingin mengetahui sampai sebatas
apa kemampuannya.”

Lucas menatapku dalam ketidakpercayaan. Yah, aku tak melihatnya, tapi aku bisa
merasakan tatapannya.

“Apa?” tanyaku kesal karena dilihat seperti itu. “Berhentilah menatapku seperti itu.
Aku tak bisa berkonsentrasi. Kalau aku sampai tenggelam dalam tatapannya, aku bisa
habis.”

Douglass berjalan maju. Merasa tertantang, akupun ikut berjalan maju. Mempersempit
jarak kami. Makin dekat, makin dekat. Hingga akhirnya kami hanya berjarak selangkah
dan aku harus mendongak untuk tetap menatap matanya.

“Sungguh keuntungan kau punya kekebalan terhadap sihir Vampir, bukan?” tanya
Douglass, suaranya hanya berupa desisan.

“Aku memang beruntung,” aku mendesis balik. “Tapi apa kau seberuntung aku?”

Douglass tertawa sementara matanya tetap terpancang pada mataku, dan sesaat matanya
yang sudah hitam kelam tampak makin kelam. “Aku berharap aku lebih beruntung.”

“Dan sepertinya harapanmu tak akan terwujud.”

“Kenapa kau bisa begitu yakin?”

“Intuisiku mengatakan begitu.”

“Belum tentu tepat.”

“Tapi biasanya tepat.”

“Berharaplah intuisimu tepat.”

“Yah, aku memang berharap.”

“Tapi kurasa harapanmu itu takkan terwujud.”

“Kenapa kau bisa begitu yakin?”

“Intuisi.”

“Kurasa kau hanya mengulangi kata-kataku tadi.”

“Begitu juga denganmu.”

“Oh, benarkah?”

“Kau tak menyadarinya?”

“Kurasa untuk tetap fokus menatap matamu sambil bicara itu cukup sulit, jadi terus
terang saja aku tak terlalu memperhatikannya.”

“Jujur sekali kau.”

“Aku memang jujur.”

“Kecuali saat kau berbohong.”

“Kecuali itu, yah, memang benar.”

“Sama saja kau pembohong.”

“Oh, begitukah?”

Aku mulai merasa bingung. Percakapan ini mulai melantur ke topik yang cenderung
berbasa-basi. Kenapa Douglass menggiringku ke topik ini? Untuk apa?

Mendadak, Douglass merengkuh tubuhku dan memelukku dengan amat kuat sampai aku
merasa tulang-tulangku retak.

“Matamu tak bisa berbohong,” ia mendesis puas. “Tak sia-sia aku menggiringmu ke
dalam percakapan itu. Kau terlalu mudah dibuat bingung, kau tahu?”

Aku tak sanggup menjawab. Bagaimana aku mau bicara kalau menarik nafas saja rasanya
tersiksa? Aku berusaha melawan, tapi aku tahu itu percuma. Douglass terlalu kuat,
tak bisa kulawan secara fisik. Sedangkan menghajarnya dengan sihir? Rasanya
melanggar peraturan. Kalau sudah bertarung fisik begini, menyerang dengan sihir
jelas dilarang. Dalam duel sihir yang liar itupun tetap ada kode etik tertentu.

Tak punya pilihan selain mengikuti permainannya, aku memilih nekat.

“Mungkin aku mudah dibuat bingung,” bisikku di telinga Douglass. “Dan mungkin aku
lemah secara fisik. Tapi bisakah kau mengalahkanku dalam duel sihir? Kekuatanku tak
lagi selemah dulu. Amber telah memperkuatku, dan aku tak yakin kau bisa
mengalahkanku.”

Bisikanku, dengan sengaja kubuat begitu, terdengar manis, bahkan manja. Kemanjaan
yang mengejek harga diri Douglass, jelas. Aku bisa melihat telinganya memerah karena
marah. Dan ia semakin mengetatkan pelukan sehingga aku nyaris tak bisa bernafas.

“Itukah maumu?” tanyanya menantang. “Kalau memang itu maumu, bisa kita mulai
sekarang. Serang aku dalam posisi ini.”

“Apa?”

“Kaudengar kataku. Kalau niatmu adalah duel sihir sekarang juga, lakukan dalam
posisi ini. Serangan pertamamu, manis. Lakukan sekarang.”

Aku ragu sejenak, tapi yah, sudahlah.

“Kalau itu maumu,” bisikku pelan. Aku menciptakan belati es di tanganku dan
menusukkannya ke punggung Douglass.

Douglass melepaskanku dan berjalan mundur. Lalu, dengan mendadak, membuatku kaget,
ia tertawa. Terbahak-bahak dengan puas.

“Apa...?”

“Begitu muda, begitu mudah ditebak,” ia tersenyum licik. “Begitu polos, begitu mudah
dibohongi. Kau tak menyangka kalau aku telah menyiapkan mantra khusus bagi Sang
Ksatria, bukan?”

Aku membeku kaget. Lalu, dengan cepat, terlalu cepat sampai aku merasa leherku
keseleo, aku menoleh dengan panik.

Lucas!

*

Lucas

Ia berbaring di lantai, menahan sakit. Bagaimana bisa rasa sakit yang seharusnya
diderita Douglass justru malah dideritanya? Si empunya luka malah tampak sehat,
tanpa luka, tanpa sakit.

Ia terengah menahan sakit. Begitu sakit sampai suaranya tak bisa lagi keluar. Ia tak
mampu berteriak maupun menjerit. Hanya mampu terengah.

Bahkan pandangannya kini tampak tak jelas. Samar ia melihat Lianne dengan panik
mendatanginya dan mendorong minggir Earl dan Pearl di sampingnya.

“Lucas!”

Suara itu terdengar samar di telinganya. Lucas tak bergerak. Tak mampu bergerak.
Sekujur tubuhnya terasa amat sakit. Yang digunakan Lianne untuk menyerang Douglass
adalah belati es. Demikian pula tubuhnya terasa begitu dingin, begitu menyiksa. Amat
dingin hingga mulai terasa membakar.

“Lucas! Kau dengar aku?”

Lucas, dengan usaha terberat seumur hidupnya, menggerakkan kepala dan menatap Lianne
dengan tatap putus asa. Lalu, diiringi rintih pelan, ia memejamkan mata rapat dan
berusaha mengurangi rasa sakit itu. Ia mulai menggigil pelan.

“Andai aku tahu hasilnya akan jadi begini,” Lianne berbisik pelan.

Lianne berbalik dan menghadapi Douglass.

“Cabut mantramu,” perintahnya dingin.

“Bagaimana kalau aku tak mau?”

“Aku memaksa.”

“Kalau begitu, bertarunglah!”

“Apa?! Aku tak mau melukainya lagi!”

“Kau sudah melukainya. Pilih. Bertarung sekarang dan menyiksanya lebih parah tapi
ada kemungkinan dia sembuh, atau tak bertarung dan dia tak akan pernah terbebas dari
rasa sakit itu?”

“Lakukanlah,” bisik Lucas susah payah.

“Apa?” Lianne terdengar tak percaya.

“Lakukanlah. Aku percaya padamu. Kau pasti bisa,” kata Lucas susah payah.

“Lakukanlah, Lianne,” Earl menimpali. “Kau pasti bisa.”

“Akupun akan melakukan apapun yang aku bisa, jadi lakukanlah apa yang bisa
kaulakukan,” janji Pearl pada Lianne.

“Kalau begitu, kita sepakat,” kata Douglass tenang dan mulai menyerang Lianne.

Dengan cepat, segalanya menjadi membingungkan bagi Lucas. Pandangannya yang memang
sudah buram diburamkan lagi oleh asap dan kabut.angin mengamuk menambah siksaannya,
dan setiap kali Lianne menyerang Douglass ia merasakan sengatan rasa sakit yang
semakin lama semakin parah. Berkali-kali ia berteriak kesakitan, namun lebih sering
ia menahan teriakan itu. Ia tak mau konsentrasi Lianne terpecah oleh teriakannya.

Hanya dalam beberapa menit, sakit yang ditanggungnya terlalu besar untuk ditahannya.
Akhirnya, dengan pasrah, ia memejamkan mata dan jatuh dalam ketidaksadaran.

*

Aku terengah kelelahan. Douglass kuat. Sulit mengalahkannya. Hampir semua seranganku
bisa ditangkisnya. Tapi sepertinya ada beberapa serangan ringan yang dibiarkannya
mengenai tubuhnya. Untuk apa? Menyiksa Lucas? Mungkin.

Kabut bergulung-gulung kini menutupi penglihatan. Asap tebal mempertipis jarak
pandang. Aku harus lebih berhati-hati.

Aku berusaha memperjelas pandang. Aku telah kehilangan pemahaman tentang arah. Mana
utara, mana selatan? Tak jelas.

Aku melangkah maju dengan ragu-ragu. Aku tak yakin aku bisa menyerang Douglass dalam
kabut telab seperti ini. Terlalu beresiko. Kalau ternyata aku justru malah mengenai
teman-temanku? Aku tak mau memperpanjang daftar masalah kami.

Aku menoleh kanan-kiri dengan gugup. Aku benci kabut.

Mendadak, serangan sihir menghantam dadaku. Serangan Douglass, memangnya serangan
siapa lagi? Tapi yang jelas, serangan itu menghantamku kuat dan aku terlontar ke
belakang, mandarat keras di lantai. Tepat di dekat Earl.

“Earl!”

Earl menatapku dengan serius.

“Kau tak akan bisa mengalahkan Douglass sendiri, Lianne,” katanya pelan. “Tidak
dengan mantra itu mengenaimu.”

“Mantra apa?” aku menatap kedua telapak tanganku. Yang ternyata sekarang sudah
berkilau kebiruan.

“Itu sihir untuk melemahkan kekuatan orang yang terkena pengaruhnya,” jelas Earl.
“Dan mantranya tak akan hilang sebelum pengucap mantra itu mati.”

Aku melotot tak percaya.

“itu benar,” Earl meyakinkanku. “Walau amber telah memperkuatmu, kau tak akan bisa
menang. Kau tak mungkin menang tanpa bantuan.”

“Tapi...”

“Biarkan aku membantumu,” kata-kata Earl membuatku kaget.

“Apa?!”

“Kau tetap ada di sini sebagai algojo. Aku akan menopang tenagamu.”

“Tapi Lucas...”

“Aku akan menjaganya,” Pearl membuka suara. “Tenanglah. Pergilah sekarang, bantai
para pengkhianat itu.”

Earl berpaling padaku. “Kau siap?”

Aku menatap matanya dalam-dalam. Keseriusan ada di sana. Aku mengangguk.

“Di sini rupanya kau bersembunyi, kucing manis.”
Suara itu mengagetkanku sehingga aku terlonjak, namun aku mengenali suara itu.
Douglass. Sialnya, sekarang dia membawa sekutu. Arthur, Louie dan Gregor ada di
belakangnya.

Aku menatap Louie dan Gregor dengan marah. “Dasar pengkhianat,” bisikku kesal.

“Sandiwara kami ini sudah ada sejak amat lama,” Louie berkata datar.

“Kalau begitu kalian wajib dihukum.”

“Hanya kematian yang dapat membunuh kami.”

Tanpa berpikir panjang, aku mengirim petir yang menyambar pantat mereka hanya karena
didorong kemarahan.

“Kalau begitu akulah yang akan membunuhmu,” desisku kesal.

Earl meletakkan tangan kanannya di bahu kiriku.

“Kami,” katanya meralat ucapanku.

“Sejoli muda melawan empat prajurit berpengalaman, tidakkah itu sedikit terlalu
mengharap?” kata Arthur mengejek.

“Tidak bagi kami,” kataku datar. “dan tolong jangan sebut kami sejoli.”

Bersamaan dengan kata-kata itu, Earl mengirimkan gelombang energi bagiku dan aku
menghempaskan mereka pergi.

Aku dan Earl bangkit berdiri dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Tangan Earl lekat di
pundakku, memberikan pasokan energi yang kubutuhkan. Dalam beberapa detik cahaya
jingga dan hijau lemon membutakan mata, wangi honeysuckle dan lemon memenuhi hidung.
Douglass melangkah mundur dengan kesal, memejamkan mata rapat-rapat karena silau.
Sepertinya ia amat tersiksa. Kulitnya melepuh. Aku merasa senang melihatnya
kesakitan seperti itu, tapi lalu aku teringat kalau kesakitannya juga akan
berpengaruh pada Lucas.

Keempat lelaki yang menyebut diri prajurit itu bergerak bersamaan menyerang kami.
Secara otomatis aku mengirimkan semburan energi pada mereka.

“Aku tidak bisa terus-menerus memasok energi seperti ini, dan cara ini sebetulnya
amat beresiko,” kata Earl, kelelahan tersirat dalam suaranya. “Lama-lama jiwa
kitalah yang akan melemah dan kita bisa mati.”

“Kalau begitu kita harus segera membereskan mereka,” kataku, merasakan kata-kata
Earl memang benar. Aku mulai merasa lelah. Kalau lebih lama lagi harus seperti ini,
aku bisa tamat.

“Kalau begitu tunggulah saat yang tepat dan hajar mereka secara bersamaan,” kata
Earl mantap. “Bakar mereka menjadi debu.”

Merasa sudah sepakat, kami menunggu saat yang tepat. Sedikit menghemat energi, kami
menunggu saat tepat untuk menghabisi keempat musuh dengan efektif secara bersamaan.

Pekerjaan mudah dalam kondisi biasa, tapi sayangnya kondisi ini luar biasa.
Kelelahan mulai menguasaiku dan tubuhku mulai sakit karena harus menanggung energi
Earl. Earl juga tak kalah menyedihkannya, ia juga kelelahan karena harus menyalurkan
energinya padaku.

Tiba-tiba, secara bersamaan, Arthur, Douglass, Louie dan Gregor muncul dari balik
tirai kabut dan menyerang kami.

“Lianne, sekarang!” perintah Earl. Aku menyadari kalau ia memang benar, jadi aku
menurutinya.

Kukirim gelombang energi pada mereka berempat. Gelombang energi yang amat kuat,
mengerahkan seluruh energiku dan energi Earl secara bersamaan, dalam bentuk semburan
api ungu.

Kesakitan melanda tubuhku karena aku memaksakan energi begitu kuat. Aku menjerit,
demikian pula Earl. Juga Arthur, Douglass, Louie dan Gregor. Keempat orang itu kini
mulai terbakar. Aku mempertahankan api ungu itu walau tubuhku kini juga terasa
seperti ikut terbakar.

Terdengar bunyi ledakan keras. Dorongan kuat menghempaskanku dan Earl ke belakang.
Aku memejamkan mata rapat.

Setelah beberapa saat, aku membuka mata perlahan, menahan rasa sakit itu.

Arthur, Douglass, Louie dan Gregor telah menghilang. Sebagai gantinya ada empat
gundukan abu yang masih berasap dan setengah terbakar. Kini Ruang Batu Utama telah
menjelma menjadi puing dan batu-batu sihir yang masih menunggu pemilik mereka itu
berserakan berantakan di mana-mana. Earl berbaring di sebelahku, sama kesakitannya
denganku.

“Sudah selesaikah?” bisikku pelan.

“Ya,” jawab Earl.

Hanya satu kata sederhana: ‘ya’. Tapi itu memberiku begitu banyak kelegaan.

“Apa semuanya baik-baik saja sekarang?”

“Akan membaik.”

“Termasuk juga Lucas?”

“Pasti.”

“Syukurlah,” aku mendesah lega.

“Kau telah banyak berusaha, Lianne,” kata Earl pelan. “Sudah sepantasnya kau bisa
beristirahat.”

Aku mengangguk dan memejamkan mata. Tenggelam dalam tidur yang menyembuhkan.

Akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa tidur dengan benar-benar tenang.

*

Tiga tahun kemudian

Aku berdiri di atap Ruang Batu Utama. Pelan dan santai aku duduk di pinggirannya,
membiarkan kakiku menjuntai ke bawah. Aku mengamati tanah di bawahku, yang tampak
begitu jauh sehingga aku yakin bila aku jatuh aku pasti akan mati.

Tiga tahun berlalu sudah sejak insiden meledaknya Ruang Batu Utama. Ruangan itu kini
telah direparasi, kembali menjadi bangunan apik yang jauh lebih bagus dari dulu.
Negeri Emotion Eater yang dulunya hancur lebur karena perang juga sudah mulai
membaik walau masih ada sisa-sisa dari perang itu.

Dua tahun lalu, tepat setahun setelah perang itu berakhir, Para Tetua menobatkanku
sebagai Putri secara resmi, walau sebetulnya darah Putri itu sendiri sudah mengalir
di nadiku sejak aku masih ada dalam kandungan ibuku. Kadang mereka menggelikan
sekali.

Aku terpaksa berbohong terus menerus pada orangtuaku. Aku mengatakan pada mereka
kalau aku mengambil beasiswa ke luar negeri, hanya karena sulit bagiku untuk
meninggalkan negeri ini sekarang. Nantinya aku juga harus memberitahu mereka
kebenarannya, tapi tidak sekarang. Aku belum siap.

Lucas, di saat yang sama dengan saatku dinobatkan, juga dinobatkan sebagai Ksatria.
Tugasnya sama denganku (praktis memang kami bekerja sama) yaitu melindungi negeri
Emotion Eater ini dari serangan klan lain. Membosankan, jelas. Sebab sekarang tidak
ada klan apapun yang berani menyerang negeri ini, kecuali kami menyatakan perang
terbuka. Rasanya aku tergoda untuk melakukan itu, tapi sayangnya posisiku di sini
sama sekali tidak dapat memberiku akses untuk menyatakan perang.

Aku memainkan rambutku yang berwarna putih susu itu. Kekuatan amber kini telah
mendarah daging dalam tubuhku dan kini aku sudah bisa dengan mudah mengendalikan
kekuatan itu.

Aku menatap ke bawah dengan jahil. Siapa tahu ada seseorang yang bisa kukerjai dari
sini.

Lucas berjalan cepat di bawah. Taruhan dia pasti mencariku. Aku nyengir lebar dan
mengirimkan angin kuat yang memojokkannya ke pohon.

Lucas mendongak dan menatapku kesal. “Lianne! Sampai kapan aku harus memintamu untuk
berhenti melakukannya?”

Aku terkikik geli dan berteriak, “Sampai aku puas melihatmu kesal!”

Lucas mendumal dan naik ke atas. Setelah beberapa saat akhirnya ia ada di sampingku.

“Menikmati pemandangan?” tanyanya dengan nada kesal dalam suaranya.

“Dan mencari korban,” aku terkikik jahil.

“Dasar jahil.”

“Memang.”

“Kau tidak sadar kalau itu membuat orang lain kesal?”

“Tidak. Tapi kenapa kita malah bicara soal ini? Ayo, ada apa kau mencariku?”

“Dari mana kau tahu aku mencarimu?”

“Tebakan beruntung. Jawaban?”

“Pearl kesulitan mengajar anak-anak.”

“Maksudmu kau mau aku jadi guru?”

“Yah, Pearl yang meminta. Dia juga memintaku sebenarnya.”

“Kalau begitu, ayo.”

*

Ruang belajar bagi anak-anak Emotion Eater, Dream Eater dan D’Motion Eater tampak
penuh. Dan ribut. Tak heran Pearl sampai meminta bantuan. Padahal sudah ada dia dan
Earl, tapi masih butuh batuan Lucas dan aku. Kadang jadi guru memang merepotkan.

Aku tersenyum. Merepotkan, tapi setidaknya itu akan membuatku merasakan perang baru:
perang main-main dengan anak-anak kecil.



Story by Eve
Friday 13th of August

Tidak ada komentar:

Posting Komentar