Senin, 22 November 2010

CHAPTER 7: DAPHNE’S TURN

“Bagiku itu berarti pernyataan perang.”

Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kata-kata Jason. Makin mengerikan lagi
saat aku melihatnya memukul Laurel sampai ia terlempar ke seberang ruangan. Aku
merasa ingin menangis. Sejak kapan kakakku berubah barbar begini?

“Daphne! Menghindar, cepat!” seru Ares. Aku menunduk, Theo menarikku ke seberang
ruangan.

Pisau roti di tangan Ares entah bagaimana berubah menjadi pedang falchion, gagah dan
tampak pas di tangannya. Tangan Jason bergerak mengambil sebilah belati dari balik
pakaiannya, dan belati itu berubah menjadi sebilah scimitar anggun, panjang dan
mengancam. Kedua pedang itu tampak indah, gagah, anggun, kuat, tapi juga mengancam
dan mengerikan di saat bersamaan.

Seketika rumahku menjadi kapal pecah. Keributan di mana-mana. Yang kekuatannya tak
memungkinkan untuk menjadi petarung berusaha menutupiku dari jangkauan Jason. Yang
kekuatannya memungkinkan untuk bertarung segera menyerang Jason. Theo dan Ares
segera menyerang, Erato meniup flutenya dengan nada-nada yang membuat pendengarnya
sakit kepala berat (kecuali aku), tapi tak ada yang mempan bagi Jason. Memang
gerakannya jadi melambat setelah mendengar bunyi flute Erato, tapi dia tetap
menyerang. Dia begitu kuat. Cepat. Mengerikan di saat bersamaan. Mengapa dia bisa
jadi begini kuat?

“Hyaaa, Jason!” seru Calypso. “Maju terus!”

James memukul kepalanya. “Kalau dia maju betulan kita bisa mati, sadar tidak?”

“Oh iya, maaf,” kata Calypso. “Theo, Ares, Erato, hajar dia!”

“Kenapa kau tidak ikut maju juga?” tanyaku heran.

“Dia ada dalam pengaruh mantra, menghipnotisnya akan menjadi sulit,” jawab Calypso.
“Lagipula, mana bisa aku menghipnotis kakakmu? Dia terlalu keren untuk dihentikan.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala takjub. Situasi seperti ini dan dia masih memikirkan
betapa kerennya kakakku? Dasar perempuan sinting. Apa dia mau mati muda?

Mendadak Jason seperti mendapat tambahan tenaga. Theo yang tak membawa senjata
apapun dengan mudah dilontarkan ke seberang ruangan. Thalia secara refleks segera
berlari ke arahnya dan mengobati luka-lukanya.

Erato segera meningkatkan kecepatan permainan musiknya. Nada-nada yang keluar kini
bertambah kuat sehingga semua orang jatuh berlutut, memegangi kepala. Bahkan aku
sendiri mulai merasa pusing mendengar suara flutenya itu. Tapi Jason menendang kaki
Erato sehingga permainannya terhenti, ia terjatuh. Erato menjerit kesakitan dan
mengangkat flutenya lagi, tapi Jason menendang flutenya menjauh, lalu memukul
tengkuk Erato keras. Diiringi jerit kaget semua orang kecuali Jason, Erato terjatuh
dalam ketidaksadaran.

Kini hanya Ares yang tersisa. Kemampuan yang sama jelas membuat mereka punya
kemungkinan menang sama. Kecuali kalau Jason sudah mengetahui apa kemampuannya yang
satunya dan menggunakannya untuk mengalahkan Ares.

“Percuma menghindar,” kata Jason pada Ares. “Aku tahu apa yang kaupikirkan.”

Dan, Jason menghajar Ares. Tak sedikitpun kesempatan diberikan. Jason seakan bisa
mengetahui semua isi pikiran Ares. Tiap kali Ares menghindar, selalu ada tonjokan
atau tendangan menantinya. Tak sekalipun dia bisa lolos. Tak pernah.

Semua orang menonton diiringi suara teriakan dan jeritan. Akulah satu-satunya yang
menonton dalam diam. Aku terlalu kaget dan takut untuk bersuara. Jason begitu
berubah. Sejak kapan ia jadi kejam seperti ini? Sejak kapan ia jadi haus darah? Aku
tak tahu mengapa, aku tak tahu apa sebabnya, tapi aku tak mau melihatnya seperti ini
terus. Aku ingin dia kembali ke asalnya. Aku ingin dia kembali menjadi Jason yang
baik, pengertian, perhatian, Jason yang dulu. Jason yang selalu cerewet soal masalah
bangun tidurku, Jason yang sering mengajakku mengerjai orang-orang, Jason yang dulu.

Aku menunduk dalam-dalam, mengurung diri dalam diam di antara keributan di
sekelilingku. Jason harus kembali seperti dulu. Tapi bagaimana? Dia terlalu…

“Daphne! Awas!”

Aku mendongak kaget dan mendapati Jason sudah berdiri di depanku dengan pedang
terangkat tinggi. Aku menjerit dan berlari kabur, menempelkan punggung di tembok.

“Jason! Kenapa?” seruku setengah mengisak.

Jason melangkah mendekatiku, tapi pedangnya tak terangkat. Aku semakin merapatkan
punggungku pada tembok. Tak ada lagi ruang untuk lari sekarang.

“Ini tugas,” katanya.

Aku memandanginya dengan bingung, segala pertanyaan tercampur aduk di benakku.

“Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu,” kata Jason mendadak, walau aku tak mengatakan
pertanyaanku, tak satupun. “Setidaknya, tidak sekarang. Mungkin di masa depan.”

Aku memandangi Jason sedih. “Apa tujuanmu kemari? Membunuhku?”

Jason tak menjawab. Ia memegangi kepalanya dengan satu tangan, tapi tak ada ekspresi
apapun di wajahnya. Ia hanya memandangiku.

“Cukup.”

Tubuh Jason menegang sesaat sebelum ia berbalik dan menatap pintu. “Schurke…”

“Kau tahu apa tugasmu, bukan, Jason?” tanya lelaki yang dipanggil Jason sebagai
‘Schurke’ itu dingin. Aneh bukankah dalam bahasa Jerman ‘schurke’ berarti tokoh
jahat, antagonis? Orangtua macam apa yang memberi anaknya nama seperti itu? Atau…
oh, kurasa aku paham sekarang. Dia hanya memakai nama samaran.

Laurel dan James, sama seperti Jason, menegang saat mendengar suara lelaki itu.

“Seharusnya aku sudah tahu,” desis Laurel. “Seharusnya aku sudah tahu kalau itu kau…”

Lelaki itu menatap Laurel dan tertawa. “Laurel, manisku. Sudah lama kita tak
bertemu. Dan James! Kau jelas sudah tumbuh, nak.”

“Jangan bicara seakan-akan kau ayah kami!” seru Laurel, kemarahan berkobar di
sekelilingnya.

“Tapi aku memang keluarga kalian, bukan?” tanya lelaki itu.

“Oh, ya, tentu saja, paman,” kata James. “Bagaimana mungkin kami bisa menerima
pengkhianat waktu di antara keluarga penjaga waktu? Terutama Laurel, saat kau nyaris
membunuhnya dulu. Hanya demi menguasai Kolam Waktu.”

Laurel memeluk tasnya erat. “Kami tak akan bisa memaafkan pengkhianat waktu
sepertimu. Tak mungkin. Terima saja, Gyle, kau tak pantas menyandang nama keluarga
kita!”

Gyle memandangi Laurel dengan pandang dingin. “Bicaralah semaumu, Laurel. Darah
penjaga waktu tetap mengalir di tubuhku.”

Laurel gemetaran karena marah, air mata kemarahan menggenang di matanya. Tak sanggup
mengatakan apapun, ia memeluk tasnya makin erat.

“Dan di dalam tas itu ada Jam Pasir Waktu, bukan?” tanya Gyle lagi.

Tubuh Laurel menegang lagi. Ia menatap Gyle dengan pandang tak percaya.

“Bisakah kau memberikan benda itu padaku?” tanya Gyle pada Laurel. Laurel menggeleng
kuat-kuat.

“Laurel?”

Laurel menatap mata Gyle dengan tatap menantang, tapi ada sesuatu dalam mata Gyle
yang aneh. Memaksa Laurel. Laurel mulai gemetaran, pandangannya tak lagi terfokus.

“Berikan benda itu padaku, Laurel,” perintah Gyle dengan nada dingin. Laurel
gemetaran makin hebat, tapi lalu luluh. Ia berjalan pelan, nyaris seperti berjalan
dalam tidur, hendak menyerahkan tas itu pada Gyle.

“Laurel!” panggil James. Ia menarik Laurel ke belakang sehingga Laurel terjatuh dan
menjadikan dirinya tameng antara Gyle dan Laurel. Ia menatap Gyle dengan galak.

“Jangan,” desisnya penuh ancaman, “kau berani-berani menggunakan kemampuanmu itu
pada adikku!”

Aku merasa sedih. Seharusnya Jason bisa berlaku seperti James. Mereka satu yang
terpecah menjadi dua, mereka tipikal. Jason…

“Sayang sekali, James. Tapi aku tak lagi beminat pada adikmu.”

Gyle berpaling padaku. Aku merapatkan punggungku pada tembok lagi. “Apa yang kau
mau?” bisikku.

“Kepingan Waktu.”

“Sayangnya aku tak bisa memberikannya padamu.”

“Aku tahu. Karena itu aku akan membunuhmu sebelum aku mengambilnya.”

Aku menegang. Apakah kematian memang satu-satunya jalan untuk mendapatkan benda itu?
Tak bisakah mengeluarkan benda itu dari tubuhku tanpa mengorbankan nyawa siapapun?

Mendadak rasa sakit itu menyiksaku lagi. Aku menjerit keras-keras. Rasa sakit yang
diakibatkan Kepingan Waktu itu serasa menyiksa seluruh tubuhku. Aku menjerit
kesakitan, memaki keras dalam hati. Sial. Kenapa di saat begini…

Tubuhku kehilangan keseimbangan, terjatuh ke depan, tepat ke lengan Gyle yang sudah
menunggu. Aku menahan diri, menahan jeritku supaya tidak meluncur keluar. Seluruh
tubuhku gemetaran karena rasa sakit yang harus kutahan itu.

“Daphne!”

Aku memandangi Jason dengan tatap penuh permohonan. Tolong. Jason, tolong. Kenapa
dia tidak bergerak untuk menolongku? Ada sesuatu dalam matanya yang tampak ingin
melakukan sesuatu, sekaligus takut untuk melakukannya.

Akhirnya, Jason memalingkan muka dariku. Seakan dia benar-benar tak peduli padaku.

Rasa sakit itu sudah menghilang. Kini aku dihantam rasa sakit lain. aku tak
menyangka kakakku sendiri akan membuangku seperti ini. Penolakan Jason untuk
membantuku seakan memadamkan harapanku yang terakhir. Kenapa dia tak juga sadar?

“Kau akan mengingatku, Jason,” bisikku pelan. “Kau akan sadar siapa aku. Kau akan
sadar apa yang sedang kaulakukan. Kumohon, ingat aku! Sadar, siapa aku! Jason!
Sekarang!”

Mendadak tubuh Jason menegang lagi. Tangannya mencengkram kepalanya seakan menahan
sakit. Di matanya tampak kilatan-kilatan gambar seakan dia kembali mengingat
segalanya. Tapi apa dia memang ingat?

Jason jatuh berlutut, mengerang pelan. Semua mata memandanginya dengan bingung. Mata
Gyle memandangnya dengan marah. Jason seakan tak menyadari apa yang terjadi di
sekitarnya.

James jatuh terduduk. “Dia mengingat semuanya.”

Jason mendongak dan memandang Gyle. “Ya. Aku ingat sekarang.”

Gyle menggeram marah dan melempar tubuhku ke samping. Aku memekik, Theo dan Thalia
menolongku untuk berdiri kembali.

“Jadi kau sudah mengingatnya lagi?” tanya Gyle. “Semuanya? Kurasa aku meremehkanmu,
Jason. Aku mugkin memang tak akan bisa menyihirmu. Tapi apakah kau memang sebaik
itu?”

Jason mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Gyle mengerucutkan bibir dan mulai bersiul. Mula-mula pelan, lama kelamaan menjadi keras. Nada-nada siulannya membangkitkan rasa kantuk semua orang, bahkan juga aku sendiri. Mungkin karena aku sudah lelah untuk menahan sakit dari Kepingan Waktu itu.

Laurel, yang sudah terbangun, mulai memekik. “Jangan! Gyle, hentikan! Jangan gunakan kemampuan curian, kau – “

Gyle memandangnya tajam, intensitas siulannya makin tinggi. Aku bisa merasakan bahwa siulan itu kini ditujukan khusus pada Laurel. Laurel menggumam setengah memprotes
sesaat, lalu matanya menutup dan ia terjatuh dalam tidur.

Merasakan siulan ini, entah bagaimana aku bisa tahu kalau semua teman-temanku bisa
terus tertidur amat lama sampai Gyle menyiulkan nada untuk membangunkan mereka lagi.
Aku tak bisa membiarkannya. Dia harus dihentikan!

“He – hentikan!” seruku. “Jangan lakukan ini! Bawa aku kalau kau mau, tapi jangan
lakukan apapun pada teman-temanku!”

Siulan Gyle berakhir dalam nada tinggi mendecit yang tak harmonis dengan nada
sebelumnya, lalu ia menatapku dengan tajam. “Kau mau mengorbankan drimu sendiri agar
semua temanmu selamat? Kau ini bodoh atau terlalu naif? Tak semua orang sebaik yang
kau kira.”

Aku tak menjawab. Aku menatap Gyle dengan penuh kesungguhan.

Gyle menyeringai lebar. “Kau serius.”

Aku tak menjawab.

“Baiklah kalau begitu,” kata Gyle lagi, “ikutlah denganku.”

Gyle menarikku ke sisinya dan mulai memudar. Tubuhku ikut memudar bersama dengannya.
Aku menarik nafas tertahan. Apa ini? Ke mana dia akan membawaku?

“Daph!”

Aku menoleh kaget. “Jason, jangan ikut!”

Terlambat. Jason sudah mencengkram lenganku dan juga memudar. Sedetik kemudian,
diiringi teriak panik semua teman-teman kami, aku dan Jason menghilang bersama
dengan Gyle.

*

Aku terbatuk-batuk. “Perjalanan apaan tadi itu? Sama sekali tak bisa dibilang mulus!
Itu perjalanan paling mengerikan yang pernah kualami!”

“Diam!” bentak Gyle. Aku memandangnya dengan tatap benci, lalu memalingkan wajah.
Apa yang bisa kuperbuat? Jason ada di sini, Gyle punya kartu asnya. Kalau aku
melawan, Jason bisa disihir lagi.

“Jadi, Jason,” kata Gyle, “kau sudah ingat, hm? Apa bedanya? Kau tetap akan lupa
lagi, bukan?”

Terdengar suara nafas tertahan. Aku menoleh kaget dan memekik. “Jangan – “

Terlambat.

Jari telunjuk Gyle telah menyentuh dahi Jason. Mata Jason tampak berkabut sejenak,
dan setelah beberapa saat, ketika matanya sudah jernih kembali, sinar hangat dan
cemas yang tadinya ada di sana menghilang. Hanya ada dingin dan tak peduli.

Aku mendesah sedih. “Jason…”

“Bawa dia ke dalam,” perintah Gyle pada Jason.

*

“Turunkan aku! Turunkan! Aku bisa jalan sendiri, kenapa kau terus menggendongku
seperti ini, memalukan, ayo turunkan aku…”

BRAK!

“Aduh!”

Jason berbalik sementara aku mengaduh-aduh karena dijatuhkan di lantai yang keras.
Dalam sel bawah tanah, pula! Gyle mengerikan, ternyata dia punya kastil.

“Jason!” seruku saat Jason hampir meninggalkanku. “Jason!”

Jason tak peduli. Tak menoleh. Aku menggigit bibir. Aku harus melakukan sesuatu…

“Kakak!” seruku akhirnya.

Jason berhenti. Ia menoleh padaku, matanya tampak kaget. Tapi ia lalu berbalik
kembali dan pergi meninggalkanku.

“JASON!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar