Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 5: DAPHNE’S TURN

Aku keluar dari kamarku. “Jason?”

Tak ada jawaban. Seperti sebelumnya, saat Jason mulai menjadi aneh. Aku merasa
bingung. Ada apa sebenarnya dengannya? Sehari dia normal, hari berikutnya dia
sedingin es. Seakan ada saklar yang mengatur emosi dan kepribadiannya sehari-hari.
Aneh.

“Jason!” panggilku lagi. “Hei, Jason!”

Aku melangkah menuju kamar Jason dan membuka pintunya. Tepat seperti dugaanku, tak
terkunci. Tapi Jason tak ada di sana.

Aku mulai merasa cemas. Ada apa sebenarnya? Jason terus menerus berubah aneh. Dan
sekarang mendadak dia menghilang, padahal kemarin dia tampak normal kembali. Ada apa
sebenarnya?

Aku mengeluarkan ponselku dan kontong dan mencoba menghubungi ponsel Jason. Dari
kamar, terdengar lagu Big Bang, Red Sunset. Aku mulai melacak di mana ponsel Jason.
Di kasurnya.

Aku mulai merasa panik. Dia tak ada di kamarnya, dan saat kupanggil dia tak
menjawab. Tak mungkin dia pergi karena dia tak pamit dulu padaku. Ini seakan
melanggar semua kebiasaannya.

Aku mulai berkeliling rumah sambil memanggil-manggil nama Jason. Sama sekali tak ada
jawaban. Itu berarti dia tak ada di rumah. Dia pergi keluar. Tapi ke mana? Dia
selalu membawa ponselnya ke mana-mana dan sekarang mendadak ia meninggalkan
ponselnya begitu saja di rumah. Tak adanya jawaban dan keberadaannya di rumah
membuatku merasa panik. Aku selalu benci berada dalam rumah sendirian. Dan sekarang
aku sendirian.

Ini hari Minggu. Kemungkinan Jason pergi keluar rumah besar sekali. Tapi ke mana?
Mendadak ia melanggar semua kebiasaannya selama ini. Ia pergi tanpa pamit. Ia pergi
tanpa membawa ponselnya. Ia membiarkanku di rumah sendirian. Apa yang sebenarnya
terjadi pada Jason?

Bel berbunyi. Aku segera berlari untuk membuka pintu, berharap bahwa itu Jason. Tapi
bukan Jason yang menjumpaiku di depan rumahku, melainkan Calypso.

“Calypso?” kataku kaget.

Calypso mengangguk. “Boleh aku masuk?”

Aku segera mundur dan membiarkan Calypso masuk. Tanpa tedeng aling-aling, ia
bertanya, “Mana Jason?”

Aku tak menjawab. Aku menunduk.

“Daphne?” tanya Calypso bingung.

“Jason hilang,” bisikku pelan.

Calypso mengerutkan dahi. “Apa maksudmu hilang?”

Aku menatap Calypso. “Hilang. Tak ada. Aku sudah mencarinya. Aku sudah mencoba
mengontak ponselnya, tapi ia meninggalkannya. Dia tak ada di manapun di rumah ini.
Tak terlacak. Percuma saja kau mencarinya di sini, dia tak ada.”

Mata Calypso melebar, dia membuka mulutnya untuk memprotes, tapi lalu pintu rumahku
diketuk. Aku menjulurkan kepala ke luar.

“Thalia, Theo, Erato?” kataku. “Ada apa?”

Kening Thalia berkerut. “Tanya ‘ada apa’? Bukannya kau sendiri yang memanggil kami
ke sini? Kau sakit, ya?”

Calypso menjentikkan jemari. “Nah, itu dia. Aku ke sini karena aku ingin mencari
Jason. Karena dia memanggilku ke sini. Jangan bercanda lagi, Daphne, ke mana dia?”

Aku berdecak. “Calypso, aku sudah bilang aku tidak tahu di mana dia.”

Mendadak terdengar suara pintu diketuk lagi. Aku mengerang. “Kenapa hari ini ada
banyak sekali tamu? Ya, siapa?”

Ares, tetanggaku sekaligus teman sekelas Jason, masuk. “Hei. Ada yang tahu di mana
Jason? Tadi pagi ia memanggilku ke sini.”

Aku mengerjap bingung. Kalau memang Jason memanggil Calypso dan Ares, kenapa dia
menghilang? Kenapa dia pergi? Aku mulai merasa pusing. Aku kebingungan. Jason
benar-benar aneh. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini. Ada apa sebenarnya
padanya?

Angin berhembus keras masuk ke rumah, dan muncul dua bayangan kabur di ruang tamu
rumahku. Kemudian, membentuk sosok Laurel dan seorang pemuda yang tampak amat mirip
dengan Jason sekaligus amat berbeda dengannya.

“Maaf,” kata Laurel. “Kamilah yang memanggil kalian ke sini.”

“Laurel!” seruku panik. “Jason hilang! Dia tak ada di manapun!”

Laurel mengangguk. “Ya, aku sudah tahu. Waktu memberi tahuku.”

“Hei,” kata Theo setengah memprotes, “percakapan apa ini sebenarnya? Bisakah kalian
menjelaskan ini padaku?”

“Pada kami,” ralat Erato.

“Ya, pada kami,” sambar Theo refleks.

Sementara itu, Calypso menatap pemuda yang tampak amat mirip dengan Jason itu.
“Jason?” katanya pelan.

Pemuda itu menatap Calypso sejenak, lalu bergerak untuk menutup pintu. “Sebaiknya
kita bicarakan ini semua di dalam. Ini semua. Ayo.”

*

“Darah sihir…?”

Laurel mengangguk. “Ya. Dalam nadi kalian semua mengalir darah sihir. Jangan
melawannya, terimalah nasib itu. Kemampuan kalian mungkin adalah yang paling jarang
ditemukan.”

“Lalu kenapa kalian bisa tampak amat mirip dengan Daphne dan Jason?” tanya Thalia.
“Kalian bukan pemilik sihir jenis… yah, peniru, kan?”

“Pertama-tama, aku tanya dulu kalian,” kata si pemuda yang amat mirip Jason, kakak
Laurel, James. “Kalian percaya sihir?”

Aku mengangguk mantap. Segera semua temanku mengikuti contohku.

“Baiklah,” kata James lagi. “Kalau begitu mudah. Lanjutkan, Laurel.”

“Kami bisa amat mirip dengan Jason dan Daphne karena kami bukan dua individu
berbeda, namun di saat bersamaat juga berbeda,” kata Laurel. “Kami adalah satu yang
terpecah menjadi dua. Aku dan Daphne sebetulnya adalah satu. Aku pecahannya. Dia
pecahanku. Sesungguhnya kami satu. Begitu pula dengan Jason dan James. Dan
kemungkinan sihir yang kami kuasai juga sama, walaupun kemungkinan sihir kami
berbeda juga besar.”

“Sihir… apa?” tanya Erato kurang paham.

“Aku memiliki sihir Penatap Masa Depan,” kata Laurel. “James adalah seorang
Pengelana Waktu. Tapi aku tak tahu sihir Daphne. Belum. Masa depan begitu kompleks
sehingga aku sendiripun merasa bingung, apakah penglihatanku itu benar atau tidak.”

“Lalu sihir kami?” tanya Calypso.

“Ada banyak aliran sihir,” kata James. “Kalian harus mencari tahu sendiri.”

“Caranya?”

James menatapku. “Rasanya aku punya dugaan apa kemampuanmu, Daph,” katanya,
mengingatkanku pada Jason. Caranya memanggilku sama dengan cara Jason. “Aku akan
mencoba berkelana ke masa depan. Cobalah untuk mencegahnya.”

“Eh? Tapi – “

“Coba saja,” kata James dan menarikku ke sisinya. Aku bisa merasakan aliran waktu
bergetar di sekelilingnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku tak mau pergi dari
masaku! Aku tak mau berkelana waktu! Aku tak mau pergi!

Dan, James berhenti.

“Benar dugaanku,” kata James sambil meleaspanku. “Penangkal. Penghalau. Hampir semua
jenis sihir bisa kautangkal dengan kekuatanmu ini. Selamat, Daph, kau pemilik sihir
yang langka.”

“Tapi dia punya dua,” protes Laurel. “Aku telah melihat ada berapa kemampuannya,
tapi aku tak tahu apa saja. Apa yang satunya?”

Aku mengangkat bahu. “Yang satunya belakangan saja. Bagaimana dengan yang lain?”

“Apa saja,” kata Ares, tampak nyaris tak peduli. “Yang jelas kita tahu kita punya
sihir.”

“Ares,” tegurku kesal.

“Apa?” tanya Ares tak acuh sambil mengambil pisau roti di meja dan memainkannya.
Mendadak cahaya kebiruan menyelimuti dirinya. Saat cahaya itu menghilang, ia terdiam
menatap tangannya.

“Apa itu tadi?”

“Pengguna Senjata,” kata James. “Termasuk langka. Jarang ditemui. Sulit dicari. Kau
bisa mejadi prajurit yang ama baik, Ares. Kemampuanmu itu membuatmu bisa memakai
hampir semua jenis senjata di dunia. Pedang, tombak, panah, semuanya.”

Ares bersiul. “Kemampuan yang pasti diincar semua laki-laki, ya?”

“Tak semua,” kata James. “Aku lebih suka berkelana ke masa lalu.”

“Bukan masa depan?” tanya Erato.

“Masa depan sebaiknya dijadikan rahasia. Masa depan bersifat labil dan mudah
berubah. Aku lebih memilih untuk menjadikan masa depan sebagai misteri sampai masa
depan itu berubah menjadi masa kini.”

“Keputusan bijak,” kata Laurel. “Masa depan memang sebaiknya tidak diusik.”

“Aku penasaran, apa kekuatanku sebenarnya,” kata Calypso, ada sinar penasaran di matanya.

“Hipnotis?” usul James, cukup ekstrem. “Hanya dengan perantara mata. Bukan jenis
yang harus menggunakan pendulum. Pesulap-pesulap itu sama sekali tak punya kemampuan
sihir untuk menghipnotis, kau tahu. Penghipnotis sejati tak akan membutuhkan
alat-alat seperti pendulum dan semacam itu.”

Calypso menatap mata Theo dalam-dalam. “Seperti misalnya… ini?” tanyanya, lalu
menjentikkan jemarinya. Mendadak Theo menyambar pisau dari tangan Ares dan
melemparnya pada James. James segera menunduk menghindar dengan sigap, dan pisau itu
melesat ke ujung ruangan.

“Ya,” kata James pelan. “Persis seperti itu.”

Calypso menjentikkan jemarinya lagi, Theo menjatuhkan kepala di bahu Ares. “Ada apa?
Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku terasa lemas?” tanyanya beruntun.

Ares menepuk-nepuk kepala Theo seperti seorang tuan menepuk kepala anjingnya. “Tak
apa. kau hanya baru saja dijadikan korban hipnotis. Bukan hal besar, kau tahu. Dan
hanya berlangsung selama beberapa detik. Santai saja.”

Theo menatap Ares dengan bingung dan tak percaya. “Aku baru saja menjadi apa?”

“Apakah alat musik bisa menjadi perantara sihir?” tanya Erato.

“Ya, bisa,” jawab Laurel.

“Ah,” kata Erato dengan gaya polos. “Itu menjelaskan kemampuan anehku,” katanya lagi
sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan flute kesayangannya. Ia segera mulai
meniupnya.

Nada-nada lembut mengisi udara, memenuhinya dengan nada manis yang membuat
pendengarnya mengantuk. Yah, setidaknya semuanya selain Erato sendiri dan aku. Erato
berhenti memainkan flutenya dan mengibaskan rambutnya. Ia mengguncang tubuh Thalia
dan Theo yang ada di dekatnya, aku mengguncang bahu Laurel dan James, lalu
mengguncang tangan Ares. Semuanya tampak mengantuk berat.

“Kalian hanya mendapatkan rasa kantuk,” kata Erato. “Dulu aku pernah sampai membuat
kacamata guru les yang paling kubenci pecah.”

“Tapi kau terlalu repot, menggunakan alat musik seperti itu,” kata Laurel sambil
mengusap matanya. “Siulan sebenarnya sudah cukup.”

“Selama ini aku belum pernah mencobanya, mungkin lain kali,” kata Erato.

“Yang jelas jangan sekarang,” kata Thalia.

“Kau sendiri, apa kemampuanmu?” tanyaku pada Thalia.

Thalia mengangkat bahu. “Entahlah. Belum tahu.”

“Bidang apa yang paling kaukuasai?” tanya Laurel pada Thalia.

“Pengobatan?”

“Kalau begitu mari kita coba,” kata Ares lalu mengambil sebilah pisau roti lain dari
meja dan menyambar tangan kanan Theo, lalu menggoreskannya sampai berdarah. Theo
berteriak, lebih karena protes daripada kesakitan.

“Kenapa tidak gunakan tanganmu sendiri?” tanya Theo kesal.

Ares mengangkat bahu dengan gaya tak acuh. “Sejak tadi kau sudah jadi kelinci
percobaan, jadi kupikir tak apa.”

Theo menatapku dengan bingung. “Memangnya aku sudah jadi korban sihir apa saja?”

Aku memasang wajah kalem. “Daripada itu, lebih baik obati dulu lukamu,” kataku.

“Ini sih dijilat saja sembuh,” kata Theo sambail menatap lukanya.

“Masa, sih?” kata Thalia tak percaya, lalu menarik tangan Theo dan menjilat lukanya.
Seketika, luka di tangan Theo menutup.

“Penyembuh,” kata James mengambil kesimpulan.

“Lalu Theo?” tanya Erato.

Theo mengangkat bahu. “Tak ada yang tahu, tidak bahkan aku sendiri.”

“Dalam hal apa kau merasa paling baik saat bekerja?” tanya Laurel.

“Ekonomi,” jawab Theo, Erato, Thalia dan aku bersamaan.

James menggeleng-geleng. “Jelas bukan salah satu jenis sihir. Ada yang lain?”

Theo mengerutkan dahi. “Entahlah… aku tak tahu.”

James mendesah. “Mungkin jenis ini,” katanya, lalu mengambil segelas air dari meja.
Ia menyodorkannya pada Theo.

“Apa?” tanya Theo bingung.

“Cobalah untuk menyatu dengan airnya,” perintah James.

“Hah?”

“Coba saja.”

Theo menatap air dalam gelas itu dengan tatap serius. Ia memandanginya terus-menerus
selama tiga menit, lalu ia mengangkat tangan untuk menyentuh permukaannya. Lalu ia
menutup matanya. Menghembuskan nafas panjang. Seiring dengan berhembusnya nafasnya,
ia tampak memudar dan menyatu dengan air dalam gelas itu.

“Wow,” kata Ares takjub.

“Memang ‘wow’,” kata James, lalu menuang airnya ke lantai. Sosok Theo kembali
mewujud di sana.

“Kemampuanmu adalah bisa menyatu dan mengendalikan elemen,” kata James. “Hanya yang
murni dan bukan buatan manusia, kecuali udara. Tanah, batu, air, bisa, tapi batu
bata, imitasi, yang sudah buatan manusia, tak bisa menyatu denganmu dan
kaukendalikan.”

Theo tak mampu berkata-kata. Ia sendiri tampak tak percaya dengan kemampuannya itu.

“Berarti tinggal kemampuan kedua Daphne,” kata Calypso. “Hei, Daph, tatap mataku.
Sekarang beritahu aku apa kemampuanmu yang satu lagi.”

Aku memandanginya datar. “Calypso, aku bisa menangkal sihirmu. Aku belum tahu
kemampuanku yang satunya.”

“Tak kusangka kau sebodoh itu, Calypso,” ejek Ares. “Kau tahu kalau Daphne bisa
menangkal sihirmu, tapi kau tetap menggunakan sihirmu. Bodoh.”

Calypso berbalik menghadapinya dengan sorot mata berapi-api. “Barusan kau bilang
apa?”

“Aku bilang kau bodoh.”

“Perlu kau ketahui, Ares, kau sendirilah yang bodoh! Kau – “

“Stop!” seruku kesal, walau aku tahu mereka tak akan berhenti karena mereka bukan
jenis orang yang mudah peduli terhadap orang lain. “Kalian bertengkar seperti anak
kecil! Bisakah kalian dewasa sedikit? Kalian tidak akan bertengkar, tidak sekarang,
tidak di sini!”

Calypso dan Ares berbalik padaku, lalu menanmpakkan ekspresi meminta maaf.

Laurel tertawa. “Kita sudah tahu apa kemampuan Daphne yang satu lagi. Memanipulasi
masa depan! Lihat bagaimana tadi dia menyetop mereka. Padahal menurut penglihatanku
mereka akan terlibat dalam pertengkaran besar.”

“Lalu bagaimana dengan Jason?” tanya Calypso.

Ekspresi Laurel berubah keruh. “Dia punya dua kemampuan seperti Daphne. Yang satu
adalah Pengguna Senjata, sama seperti Ares. Yang satunya belum diketahui. Tapi akan.”

“Tapi di mana dia sekarang?” tanya Erato.

Ekspresi Laurel bertambah keruh. “Itu adalah hal tersulit. Pertama-tama, ada sesuatu
yang perlu kalian ketahui. Dalam tubuh Daphne tersimpan Kepingan Waktu, kepingan
masa depan. Ada seseorang, musuh kami, musuh kita, yang mengincarnya – “

“Tunggu,” potong Calypso. “Kenapa kami ikut dihitung?”

Laurel mengabaikan Calypso dan melanjutkan penjelasannya. “ – dan ia membawa Jason
yang, mungkin, sudah dipengaruhi, atau dipaksa bersumpah setia, untuk menjadi salah
satu anteknya.”

Aku hanya diam. Jason…

“Dan sekarang dia ada di tangan musuh kita,” kata Laurel lagi. “Kalian ingin membawa
Jason kembali, bukan? Maka kalian harus bekerja sama. Orang yang membawa Jason bukan
orang sembarangan. Dia kuat. Dia punya sihir. Dia bisa mencuri sihir kalian. Dia
bisa menggunakan sihir curiannya. Mengalahkannya akan menjadi sangat sulit kalau
hanya sendiri.”

Keheningan menyesakkan memenuhi udara. Tak ada yang bicara. Semua saling memandang
satu sama lain. Hanya diam tanpa kata.

“Berarti kita harus menariknya kembali kepada kita?” tanya Ares.

“Ya,” kata James. “Sebelum ia tenggelam terlalu dalam dalam kekuatan orang itu dan
tak bisa diselamatkan lagi. Makin cepat makin baik.”

“Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanya Ares. “Aku bergabung.”

“Aku tak akan membiarkan temanku sendirian,” kata Erato. “Aku juga ikut.”

“Begitu juga denganku,” kata Theo, nyengir lebar dengan bersemangat.

“Akupun akan ikut,” kata Thalia.

“Aku pasti akan membawa Jason kembali!” kata Calypso penuh tekad. “Aku tak akan bisa
hidup tanpanya!”

“Kau sadar kau mengatakan itu tepat di depan batang hidung adiknya?” tanyaku.

“Lalu bagaimana kita mendapatkannya kembali?” tanya Theo. “Tunggu. Mungkin sebaiknya
begini. Bagaimana kita bisa bertemu dengannya? Kalau melihat dari situasi dan
kondisi sekarang, sepertinya kemungkinan kita bisa bertemu Jason kecil sekali.”

“Oh, justru sebaliknya,” kata Laurel. “Sangat besar. Musuh kita menjadikannya
sebagai pion, dan sudah pasti Jason akan dikirim pada kita untuk melaksanakan suatu
tugas. Mungkin menculik Daphne. Ataau membunuh dan mengeluarkan Kepingan Waktu dari
tubuhnya.”

Aku mengerang. “Kenapa sepertinya aku mendapat resiko terbesar di sini?”

“Karena kepingan waktu dalam tubuhmu,” jawab Laurel.

“Diam, kalian,” kata James mendadak, tampak serius. “Aku merasakan Jason mendekat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar