Senin, 08 November 2010

emotion eater chp.6

CHAPTER 6

Aku kembali memandang batu-batu itu satu per satu, tapi tak ada yang menurutku cukup
berkilau untuk disebut ‘memanggil’ku. Malah, tak ada satupun yang berkilau seperti
layaknya batu mulia. Bagiku semuanya tak berharga, seperti batu kerikil.

“Tunggu, Lianne, kau bilang apa?” tanya Gregor tak percaya.

Aku berpaling padanya, memandangnya datar. “Tak ada yang terlihat berharga bagiku.
Tak ada yang terlihat berkilau. Bagiku semuanya sama saja, bagiku semuanya hanyalah
tumpukan kerikil tak berharga.”

“Sepertinya kau tidak terlalu paham,” kat Gregor lagi. “Pasti ada yang berkilau, kau
hanya cu – “

“Tak ada yang berkilau bagiku, kau sudah mendengar apa kataku,” ulangku tegas,
terkesan ketus malah. Gregor mengerutkan dahi, tampak tersinggung, tapi tak
mengatakan apa-apa.

“Kau yakin?” tanya Helen bingung.

Aku mengangguk. Benar, tak ada satupun yang tampak menarik bagiku. Malah, makin lama
tampak makin tak menarik. Tumpukan kerikil tak berharga, aku memandangnya seperti
itu.

“Kurasa aku tahu apa sebabnya dia tidak melihat adanya batu yang dapat membantunya,”
kata Louie yang masih duduk di lantai.

“Kenapa?” tanya Helen, yang sedang berusaha memegangi Lena sejauh mungkin darinya,
karena memang Lena meronta-ronta ingin memeluknya. Aku tidak menyalahkannya.

“Batu yang bisa memberinya kekuatan hanyalah amber.”

Semua mata memandang Louie dengan kaget, bahkan Lena, yang kini berhenti meronta
dari pegangan tangan Helen.

“Tapi batu itu terlalu besar kekuatannya!” protes Gregor.

“Bukankah semua orang yang menggunakan batu itu lalu tewas mengenaskan?” timpal
Helen tak percaya.

“Ingatlah kalau Lianne memang bukan orang biasa,” kata Louie, bangkit berdiri dengan
pelan. “Dia Sang Putri dalam legenda, ingat? Dan apa kata legenda tentang batu
sihirnya?”

Gregor dan Helen terdiam, berpandangan.

“...amber,” kata Helen pelan.

Aku hanya diam memperhatikan. Apa itu artinya aku memang Putri yang dicari-cari iru?
Sampai sekarang aku bahkan belum benar-benar yakin.

“Aku tahu apa batu yang akan memberiku kekuatan, walau aku tak yakin apa itu benar,”
kataku pelan.

“Bagaimana? Kau bilang tak ada batu yang berkilau,” kata Helen heran.

Aku diam menunduk.

“Lianne? Maukah kau memberitahu kami?” tanya Lucas lembut.

Aku mengangguk pelan.

“Sejak saat aku, Lucas dan Louie memulai perjalanan ke negeri Emotion Eater,” aku
memulai, “aku mulai memimpikan seorang perempuan.”

Helen menatapku lekat. Lucas menunduk, diam mendengarkan. Louie duduk kembali di
lantai, mendengarkan dalam diam. Gregor tampaknya ingin menginterupsi, namun memilih
diam. Lena yang masih kecil, tidak terlalu mengerti situasi ini. Ia menatap semua
orang dengan sikap menuntut penjelasan.

“Ia mengatakan kalau dia adalah dia dan aku adalah aku, sekaligus dia adalah aku dan
aku adalah dia. Aku tak paham, tapi dalam mimpiku ia mengatakan aku akan paham kalau
sudah saatnya. Dan dia bilang dia ada untuk menyelamatkan diriku. Entah apa
maksudnya. Aku sama sekali tak bisa memahaminya. Di mimpiku yang terakhir, dia
mengatakan kalau tak akan ada batu yang memberiku kekuatan, kecuali kekuatan yang
diincar klan Vampir dan Soul Eater. Lalu dia bilang, aku harus memilih bloodstone
karena bloodstone bisa memberiku kekuatan lebih baik dari batu lain kecuali kekuatan
yang disimpan di negeri Emotion Eater itu. Dan waktu kutanya siapa namanya, dia
bilang namanya Lania.”

Helen menekap mulutnya dengan kaget. “Lania? Oh, tidak mungkin... Lanny...?”

Aku menunduk dalam. “Aku hanya mengatakan apa yang dikatakannya,” kataku pelan.

“Apa mungkin... memang dia?” tanya Gregor, memandang Louie dengan gelisah.

Louie mengangguk hampa. “Memang dia. Dua orang yang berbeda, tapi sama. Memang dia.”

Aku menatap Louie bingung. Kata-katanya sama dengan kata-kata Lania. Apa maksudnya?
Aku sama sekali tidak mengerti.

“Kalau begitu...”

“Benar.”

Louie menatapku lekat. “Liana kita... adalah reinkarnasi dari Sang Putri sebelumnya,
Lania, yang terbunuh sebelum sempat menyelesaikan tugasnya.”

Aku terdiam kaget. Lucas menatap Louie dengan tatapan tak percaya. Helen terisak,
Lena menggenggam lengannya pelan. Gregor memandangku dengan tatap hampa.

“Dan Lucas,” lanjut Louie seakan tak menyadari ketegangan yang terjadi, “adalah
reinkarnasi dari Luke, Ksatria sebelumnya yang juga terbunuh sebelum menyelesaikan
tugasnya.”

“Siapa?” tanya Helen, suaranya bergetar saat kata-katanya meluncur dari bibirnya.
“Siapa yang membunuh mereka?”

“Helen,” kata Louie pelan, “Aku tahu kau memang teman mereka, tapi...”

“Katakan saja padaku! Siapa yang membunuh mereka?” tanya Helen lagi, airmata
menuruni pipinya, ia jatuh terduduk. Lena mengusap airmata dari pipinya, berusaha
menghiburnya.

Louie menundukkan kepala. “Arthur dan Douglass.”

Tangis Helen terpecah.

“Aku tak akan membiarkan mereka membunuh lagi!” serunya dengan emosi meledak-ledak.
“Tak akan pernah! Tak akan kubiarkan mereka membunuh temanku lagi!”

“Ellen, tenanglah,” kata Gregor sambil merangkul Helen lembut. Helen menepisnya
dengan kasar, airmata memercik ke rambutnya.

“Tak akan kubiarkan!” serunya lagi, membuat Lena mundur dengan takut. Lena berlari
ke belakangku, berlindung di belakang punggungku. Aku berjongkok dan merangkulnya
lembut.

Gregor tampaknya tak ingin menghisap emosi Helen, begitu pula dengan Louie. Tapi aku
bisa merasakan kemarahan dan kesedihan bercampur di lidahku, rasa manis pedas mint
dan manis karamel bercampur menjadi satu.

“Louie, tolong,” kata Gregor di sela tangisan Helen.

Louie mengangguk. Ia memejamkan mata dan menjentikkan jemari.

Tangis Helen terhenti. Tubuhnya meluruh jatuh dengan lemas, Gregor menangkapnya
sebelum ia terantuk lantai.

“Lania dan Luke adalah kawan dekat Ellen,” kata Gregor lembut. “Mereka selalu dekat
dengan Ellen. Saat dulu mereka terbunuh, ia menangis berhari-hari, bersumpah akan
membunuh pembunuh mereka. Tapi aku dan Louie menolak memberitahunya, karena kekuatan
Arthur dan Douglass, tanpa digabung sekalipun, terlalu besar untuk ditanggungnya
sendiri. Kami memutuskan untuk merahasiakannya, tapi kami tahu rahasia itu pasti
akan terbongkar juga.”

Gregor mendesah, memandang wajah Helen yang tertidur lelap di bawah pengaruh mantra
Louie. “Sekarang kita hanya bisa berharap dia tidak melakukan sesuatu yang bodoh.”

“Mantraku tadi masih belum terhapus, bukan?” tanya Gregor padaku.

“Hah? Oh, belum.”

“Kalu Lania mengatakan padamu bloodstone bisa memberimu kekuatan, seharusnya kau
melihat kerlipan kecil pada batu itu. Cobalah periksa lagi, apakah kau melihat
kerlipan itu?”

Aku kembali memeriksa meja. Kini aku melihat ada kerlipan kecil, mungil, yang tadi
tak kusadari keberadaannya karena nyaris tak terlihat.

“Ya,” kataku, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya.

Jemariku menggenggam batu merah itu, merasakan kehangatannya. Cahaya keemasan
muncul, menerangiku dan batu itu. Saat cahaya itu menghilang, batu itu kini telah
‘bertakhta’ di atas sebentuk gelang lengan emas berhias bloodstone.

“Lania juga memakai gelang lengan dulu,” kata Louie pelan. “Kenakan gelang itu. Jaga
gelang itu, jangan sampai hilang, pertahankan supaya tetap bersamamu sepanjang
waktu.”

Aku mengangguk. Aku memang mengenakan kaus tanpa lengan sekarang, jadi dengan musah
aku mengenakan gelang lengan itu di lengan kiriku. Bloodstone itu berkilau ditimpa
cahaya obor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar