Kamis, 19 Agustus 2010

Moonlight Thief chptr 2

Strangers From Another World

Jantungku berdegup kencang dalam kepanikan. Kami sama sekali tak tahu apapun tentang dunia baru ini. Jadi aku tak bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan laki-laki ini pada kami.
“Siapa kalian?” ulang laki-laki itu dengan sorot mata waspada. Dia lelaki muda, umurnya mungkin baru sekitar dua puluhan… sekitar dua puluh sampai dua puluh lima, mungkin. Rambutnya panjang melewati leher dan diikat dengan tali hitam. Wajahnya cukup tampan, sebenarnya, tapi sayangnya dia sendiri merusak ketampanan itu dengan memasang wajah waspada dengan mata menyipit curiga.
Aku tak menjawab pertanyaan itu, begitu juga Andy, lebih karena kami bingung harus menjawab apa. Nama jelas ada, tapi apa kami bisa mempercayakan nama kami ini? Lalu kalau kami ditanya berasal dari mana, mau jawab apa? Kami tak tahu geografi tempat ini, bohong sama saja dengan bunuh diri.
“Kalian bukan mata-mata kerajaan, kan?”
Kami masih membisu, tapi bertanya-tanya dalam hati. Kerajaan? Aku memeluk buku yang kubawa dari perpustakaan erat, kebingungan.
“Jawablah! Kalian mata-mata kerajaan atau bukan?”
Serempak, aku dan Andy menggeleng kuat-kuat.
“Kalau begitu siapa kalian?”
“Kami tak bisa menjawab itu sekarang, maaf,” kataku, mengambil keputusan untuk berbicara.
“Setidaknya beritahu aku siapa nama kalian.”
Aku berpandangan dengan Andy.
“Beritahu kami dulu siapa namamu.”
“Kalian bisa memanggilku Robe,” jawab lelaki itu sambil berjalan mendekatiku dan Andy. “Sekarang, bisa kalian beritahu aku siapa nama kalian?”
Aku terdiam sejenak, lalu berucap, “Kau bisa memanggilku Luna.”
Selene adalah nama seorang dewi bulan Titan dalam mitologi Yunani. Dalam mitologi Romawi ia dikenal sebagai Luna. Seperti Artemis yang juga adalah dewi yang sama dengan Diana.
“Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?” tanya lelaki itu, Robe, pada Andy.
“… Orion,” katanya pelan. “Ya, Orion. Kau bisa memanggilku begitu.”
“Luna dan Orion,” kata Robe dengan tatap menerawang. “Kurasa kalian saudara, atau mungkin malah jodoh. Yah, siapapun kalian, malam hari di sini tidak aman. Sebaiknya kalian ikut ke rumahku.”
Aku dan Andy mengikuti Robe.
“Orion?” bisikku pada Andy.
“Luna dan Diana itu hampir mirip, bukan? Sama seperti Artemis identik dengan Selene. Kau mengambil Luna, aku mengambil Orion, karena Endymion adalah jodoh Selene dan aku tak tahu namanya dalam mitologi Romawi, aku mengambil nama Orion yang adalah seorang laki-laki yang berhasil memikat hati Artemis tapi dibunuh oleh sang dewi itu sendiri,” jelas Andy panjang lebar.
“Nasibnya sial sekali,” kataku pelan tanpa terdengar oleh Andy. Yah, moga-moga saja nasib Andy tidak seburuk nasib Orion.

*

“Di mana ini?” tanyaku pada Robe.
“Di mana? Di rumahku, tentu saja,” jawab Robe santai.
“Bukan itu, maksudku di mana ini…?” tanyaku lagi, merasa bodoh.
“Ah! Jadi itu maksudmu,” kata Robe yang akhirnya mengerti maksudku. “Ini negeri yang diperintah oleh seorang raja bernama Raja Arcas. Dulu, istrinya yang bernama Callisto meninggal karena penyakit parah dan sekarang sang raja memilih untuk hidup sendiri. Tapi sayangnya dia punya satu kelemahan walau memerintah dengan cukup baik.”
“Apa itu?”
“Dia sangat paranoid. Ada legenda yang menyatakan bahwa akan ada dua anak, laki-laki dan perempuan, dari Sunshine Country yang akan menghentikan pemerintahannya di Moonlight Country ini. Dua anak yang adalah reinkarnasi dari dewa dan dewi pencuri sendiri.”
“Nama tempat ini Moonlight Country?”
“Ya. Dan nama dunia yang ada di balik lorong panjang gelap di dekat kalian bertemu denganku tadi adalah Sunshine Country. Tapi kenapa kalian tidak tahu apapun tentang ini? Semua orang di Moonlight Country tahu! Tapi memang nyaris tak ada orang dari Sunshine Country yang tahu…”
Mata Robe melebar.
“Jangan-jangan kalian…”
Andy tertawa hambar. “Kejutan.”
“Tolong jangan beri tahu siapapun,” pintaku pelan. “Kalau ada orang lain yang tahu kami bisa habis dihajar rajamu nanti.”
Robe menarik ikatan rambutku, membuat rambutku terurai lepas.
Ia nyaris memekik saat melihat rambutku yang berkilau keperakan.
“Sang Dewi Pencuri!” desisnya kaget. “Dan kau pasti Dewa Pencuri!” ia menunjuk Andy. “Bagaimana kalian bisa sampai di sini?”
Aku mengangkat bukuku yang masih kubawa-bawa dari perpustakaan sekolahku. “Aku mengambil buku ini, mendengar teriakan, mencarinya, melewati lorong itu, dan sampai di sini,” jelasku singkat.
“Guide For The Ones Who Lost In Moonlight Country,” bisik Robe pelan.
Aku mencoba membuka buku itu. Dari tadi aku memang sudah membawanya, tapi sama sekali belum membukanya.
“Kenapa tidak bisa terbuka?” tanyaku heran, menatap buku yang menolak dibuka itu kebingungan.
“Mudah saja,” kata Robe dengan tenang. “Buku itu terkunci.”
“Kunci?”
Aku menatap sampul buku itu. Di sana ada sebuah lubang kunci yang baru sekarang kusadari keberadaannya. Lubang itu terbenam masuk ke dalam sampulnya sehingga kukira itu adalah gambar yang menghiasi sampul buku itu. Tapi tidak, bukan. Buku itu memang terkunci.
“Lalu di mana aku bisa mendapatkan kuncinya?” tanyaku padanya.
Robe tampak bimbang. “Ada sesuatu yang harus kauketahui tentang dunia ini. Dunia ini berbeda dengan duniamu. Di duniamu, sinar matahari membantu tumbuhan berfotosintetis, sinar matahari menjadi sumber energi, an banyak lagi. Di sini, sinar bulanlah yang menjadi sumber energi. Orang tetap beraktivitas di siang hari, tapi generator dan sebagainya di sini berfungsi lebih baik di malam hari. Itulah kenapa di sini namanya adalah Moonlight Country, dan negrimu Sunshine Country. Dan raja amat takut pada dua anak dari Sunshine Country yang tadi kusebut itu. Dalam hal ini, kalianlah orangnya. Untuk melindungi diri kalian, satu-satunya cara adalah dengan menutup jati diri kalian, dengan sama sekali tidak mencuri.”
Aku melongo.
“Tapi – tapi tanpa mencuri kami tidak bisa hidup!” Andy gelagapan.
“Itu benar, karena itu aku tak bisa melarang kalian mencuri,” kata Robe setengah mendesah. “Dan satu-satunya cara untuk kembali ke negri kalian sendiri adalah dengan mencuri, itu sulitnya.”
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“Untuk kembali, kalian harus membaca buku itu,” kata Robe sambil menunjuk bukuku. “Dan untuk membuka buku itu kalian harus mencuri kuncinya, di malam hari.”
“Oke, itu urusan mudah,” kata Andy santai. “Di mana kami bisa mencurinya?”
“Di…”

*

Robe gila. Dia tahu rajanya berniat menghabisi aku dan Andy, tapi malah mengirimku untuk mencuri kunci itu di rumah jenderal perang sang raja sendiri. Dia mau aku mati, ya?
Aku mencapai pintu rumah si jenderal. Aku tahu pintu itu dikunci. Entah bagaimana aku tahu. Aku segera mengeluarkan jepit rambut kecil dari kantongku dan menggunakannya untuk mencoba membuka pintu itu.
Setelah berhasil membobol pintu tanpa suara, aku segera masuk ke rumah itu. Mengikuti instingku, aku berjalan menuju ruangan di sebelah ruang duduk. Aku membuka pintunya yang tidak dikunci.
Itu ruang kerja.
Aku menatap meja melalui topengku. Topeng pertunjukan berwarna hitam yang seperti kaca mata dari kain tanpa lensa yang dibuat seperti bentuk mata lengkap dengan bulu matanya.
Ada beberapa kunci di sana. Tapi aku tahu hanya ada satu kunci buku itu. Dan aku mengenalinya karena di sampul buku itu, di bagian belakang, ada gambar kuncinya.
Di sana. Kunci itu ada di sana. Kunci dari emas murni, di tengah pegangannya ada batu berwarna perak, di sekeliling batu itu ada ukiran dan motif yang berbentuk agak abstrak seperti sayap, tanduk dan lain-lain.
Aku tersenyum puas lalu berbalik, hendak pergi.
Tapi si jenderal menghalangi jalanku.
Dengan senapan berburu yang moncongnya tertodong ke dadaku.

*

Robe
Ia dan anak itu, Orion, sedang duduk berdua di meja makan, meneguk kopi dan menunggu Luna pulang. Walau Robe tidak percaya Luna dan Orion adalah nama asli mereka, tapi toh tak ada cara lain selain percaya pada mereka.
Tapi bukankah ia bisa mengorek informasi itu? Dari bocah yang meminta dipanggil Orion ini? Itu masalah mudah, bukan? Dia punya minuman yang bisa membuat peminumnya mengatakan apapun yang ditanyakan pada orang iru secara jujur dan tak akan mengingatnya sama sekali. Ia akan tertidur beberapa saat setelah meminum minuman itu. Seperti mabuk, tapi efeknya jauh lebih cepat bekerja, dan lebih kuat.
Ia bisa melakukannya.
Robe mengambil minuman itu dan menawarkannya pada Orion. Mulanya Orion menolaknya, tapi setelah beberapa saat akhirnya ia menerimanya.
Bocah itu meneguknya.
Robe menghitung-hitung. Sedetik, dua detik, tiga detik…
Setengah menit setelah cairan itu melewati kerongkongan Orion, mata Orion mulai tampak tak terfokus. Menerawang, seakan tak sadar.
Dengan cepat Robe memanfaatkan situasi ini.
“Siapa namamu?” tanyanya cepat.
“Andy,” jawab si bocah dengan suara mengambang seakan melamun.
“Dan temanmu?”
“Selene.”
“Nama aslikah itu?’
“Ya.”
“Dari mana kalian berasal?”
“Sunshine Country.”
“Dan…”
Belum selesai pertanyaan Robe, tubuh Andy telah menegang dan terjatuh, kehilangan kesadaran.
Robe membaringkan bocah itu di dipan. Ia merenung sejenak. Anak perempuan itu baru saja pergi. Lama barulah dia akan kembali.
Ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan sejenak. Dan membicarakan sedikit masalahnya pada teman lama.

*

Aku diam di posisiku yang terpojok. Mati aku. Kenapa jenderal itu ada di sini?!
“Siapa kau?!” tanya jenderal itu parau. Astaga, pertanyaan itu lagi. Aku mulai bosan dengan kata-kata ‘siapa kau’ itu.
Aku menatap senapan berburunya itu sesaat dan memutuskan untuk nekat.
“Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?” tanyaku santai.
Si jenderal mendesis marah. Sebelum ia membiarkan senapannya menyemburkan peluru ke jantungku, aku segera menyahut,
“Oke, oke, jangan tembak aku! Kau tanya siapa aku, akan kujawab kalau kau turunkan senapanmu itu!”
Si jenderal berpikir sesaat dan menurunkan senapannya sedikit.
Aku memutar otak sesaat. Nama… satu nama. Samaran yang berbau fantasi juga tidak apa.
“Siapa kau?” tanya jenderal itu lagi, lebih parau dari sebelumnya.
“Aku Moonlight Thief.”
Sebelum jenderal itu dapat mencerna ucapanku, aku menendang perutnya dan melompat keluar dari jendela ruang kerjanya yang terbuka dengan kunci itu tergenggam aman di tanganku. Aku melesat lari menuju kegelapan malam dan menyelamatkan diri dengan sukses dari hujan peluru si jenderal yang menggila.

*

Aku terengah, bertengger di dahan tertinggi sebatang pohon. Beristirahat sejenak dari kejaran si jenderal yang entah kenapa amat bernafsu mengejarku. Aku tak berani melepas topengku karena takut kalau nanti aku tertangkap identitasku bisa langsung diketahui orang.
Aku melongok ke bawah dan memaki dalam hati. Aduh, kapan jenderal jelek itu pergi? Aku sudah tertahan di sini bermenit-menit, mungkin malah sejam!
Akhirnya jenderal itu pergi. Aku menghela nafas lega.

*

Aku melesat ke rumah Robe dengan terburu-buru. Aku tak mau sampai bertemu dengan jenderal haus darah itu lagi. Jangan sampai deh. Aku tak mau mati muda.
Aku masuk ke rumah Robe dan langsung memanggilnya.
“Robe!”
Tak ada jawaban.
Aku mengernyitkan dahi. Apaan nih? Seingatku tadi Robe bilang dia dan Andy akan menungguku pulang. Ke mana mereka? Apa aku salah masuk rumah? Tidak ah. Orang rumah Robe ini satu-satunya di lembah ini. Mana mungkin sampai salah masuk rumah?
Dengan nekat aku berjalan ke ruang makan. Di sana aku memekik terkejut.
“Andy!”
Andy tergolek lemas di dipan, tertidur lelap. Ini aneh. Biasanya dia tidak akan tidur sebelum tengah malam. Kebiasaan itu tak mungkin hilang begitu saja.
Aku mengguncang bahu Andy dan memanggilnya beberapa kali, tapi ia tetap diam lemas dalam tidur lelapnya. Hebat, nyenyak sekali. Kenapa tak bisa dibangunkan?
“Selene?”
Aku menoleh ke arah pintu. Robe ada di sana.
“Dari mana aku tahu nama asliku?” tanyaku padanya langsung. Aku tidak ingat aku memberitahunya nama ‘Selene’. Seingatku aku memberitahunya nama ‘Luna’.
“Aku bertanya pada Andy, dia menjawabku dengan jujur,” jawab Robe tenang. “Dia tak akan bangun sebelum pagi. Saat aku tidak perhatian, dia menenggak obat tidur.”
Aku mengernyitkan dahi. “Kau bohong. Andy tidak mungkin begitu. Aku kenal dia. Dia tidak mungkin minum sesuatu tanpa memastikan apa yang ditenggaknya terlebih dahulu.”
“Terserah kalau kau tidak percaya,” Robe mengangkat bahu.
Aku tak percaya. Jelas. Aku sudah mengenal Andy sejak aku masih berumur lima tahun, dan sejak itu kami sudah menjadi sahabat dekat. Tak mungkin aku bisa tidak mengenalnya dengan maik. Tapi sepertinya Robe juga tak mau mengatakan apapun. Satu-satunya cara mencari informasi adalah dengan mengorek keterangan dari Andy. Sayangnya, dia masih tidur. Atau pingsan.

Selasa, 03 Agustus 2010

Moonlight Thief chpt. 1

Selene The Thief

Pasar itu ramai. Yah, sejak kapan pasar tidak ramai? Yang jelas, lebih ramai dari
biasanya. Ini hari baik buat para pedagang untuk meraup keuntungan.

Juga hari baik buat para pencopet kelaparan, para maling yang haus harta.

Keramaian pasar itu mendadak berubah menjadi keheningan sesaat saat suara jeritan
wanita yang melengking tinggi membelah udara.

“DOMPETKUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Wanita itu berteriak dan melonjak-lonjak seperti kesetanan, mencari dompetnya dengan
beringas. Sementara itu, di gang kecil sempit yang kotor, berlendir dan bau, seorang
anak nyengir lebar: aku.

Hahaha, aku berhasil mendapatkan tangkapan besar hari ini! Dompet wanita itu tebal
sekali. Dia mangsa yang amat mudah. Aku membuka dompetnya dan bersiul pelan. Wuah,
banyak sekali uangnya! Wanita itu jelas berasal dari keluarga berada…

Aku menjarah semua lembar uang kertas di dalam dompet itu, dan membiarkan kartu
kreditnya begitu saja. Aku ogah berhadapan dengan teknologi. Aku memberikan dompet
yang kini menjadi tipis itu pada temanku yang sudah menunggu. Ia melangkah dan
diam-diam memasukkan kembali dompet itu ke tas wanita itu.

Maling dan copet lain akan mengatakan itu tindakan bodoh, tapi aku tak peduli. Itu
memberiku sedikit rasa bebas dari perasaan bersalah dari tindak kriminalku.

Temanku itu memberiku tanda-tanda, bahasa isyarat kami, yang artinya ‘ke tempat
biasa?’

Aku menggeleng. Dalam bahasa isyarat kami, gelengan berarti ‘ya’ dan anggukan
berarti ‘tidak’.

Kami segera pergi ke tempat yang kami sebut sebagai tempat biasa itu. Setelah
berkumpul di sana, gubuk kecil nyaris ambruk yang tak terpakai lagi, kami masuk ke
sana dan tertawa.

“Tangkapan bagus, Sally!”

“Dan kau, kerja bagus, Endymion!”

“Sally, sudah kubilang panggil aku Andy.”

“Jangan panggil aku Sally, kau tahu aku lebih suka dipanggil Selene. Itu nama yang
bagus…”

“Kau sendiri tahu aku tak suka dipanggil Endymion, tapi lebih suka dipanggil Andy.”

“Lho, aku kan hanya membalasmu!”

Aku berpandangan dengan Andy, lalu terbahak lagi.

“Setidaknya kita punya simpanan untuk sekitar…” aku menghitung uang sebentar. “Kalau
kita berhemat, uang ini bisa kita pakai sampai dua minggu, sudah termasuk kalau kita
membayar uang sekolah!”

“Bagus!” seru Andy girang.

“Kita pulang sekarang?”

“Ya. tapi bagaimana kalau kita membeli makanan dulu?”

“Oke. Aku tak mau mencuri lagi. Terus terang saja, aku benci jadi kriminal.”

“Memangnya aku suka. Ini demi sekolah kita…”

Kami keluar dari gubuk itu dan berjalan menyusuri gang sempit.

“Kau tahu, rambutmu itu sebetulnya bagus sekali,” puji Andy saat ia menatap rambutku.

Aku terbahak. “Sangat menguntungkan untuk usaha pencurian di tengah malam, bukan?
Tapi memang sebaiknya usaha pencurian saat bulan purnama…”

Ya, benar, rambutku yang berwarna keperakan seperti cahaya bulan memang sangat
membantu untuk usaha pencurian di tengah malam. Kalau di siang hari, rambutku
terlihat kelabu seperti uban, tapi di malam hari ia memantulkan sinar bulan dengan
baik sehingga orang akan mengira rambutku tak ada. Selain itu aku cukup mengenakan
pakaian hitam-hitam dan, selesai! Aku berubah menjadi gadis bayangan berambut sinar
bulan.

“Tapi di siang hari yang gelap sangat merepotkan,” sungutku sambil menendang kerikil.

“Ya, rambutmu memang jadi tampak keperakan sedikit kalau siang-siang mendung atau
hujan… karena itu kau selalu siap topi, bukan?” tanya Andy tenang.

“Yap,” jawabku mantap. “Sangat berguna.”

“Untuk menyembunyikan rambutmu? Hahaha, sayang sekali rambutmu seperti itu.”

“Tapi ini sangat membantu, tahu.”

“Memang.”

*

Siang itu sekolah masih ramai karena baru pulang sekolah. Aku dan Andy berjalan di
koridor, membawa setumpuk kertas fotokopian yang diperuntukkan bagi anak-anak manja
di kelas kami yang amat malas mencatat pelajaran. Mereka bahkan rela menunggu
sedikit lebih lama hanya untuk menunggu kami membawakan kertas-kertas ini! Hebat
sekali.

“Kerja bagus, ketua kelas!” seru Ditta saat aku dan Andy muncul membawa tumpukan
kertas fotokopian itu. Dengan cepat ia merebut semuanya dan membagikannya pada semua
teman di kelas.

“Kau sih enak saja bilang begitu, aku capek jalan jauh-jauh cuma buat itu,” kataku
sambil mengusap tengkuk.

Ditta tertawa. “Maaf ya bu ketua kelas, bukannya memang sudah utgasmu untuk menjadi
lelah?”

“Maaf ya bu sekretaris, bukannya masalah fotokopi dan catat-mencatat kelas adalah tugas seorang sekretaris?” balasku dingin.

“Sakit! Selene, itu memang sudah tugasmu!”

“Kalau semua tugas dioperkan pada ketua kelas, buat apa ada sekretaris dan
bendahara?” gumamku tenang.

Betapa dunia begitu sempit, betapa dunia begitu ajaib. Sungguh ironis. Aku dikenal
sebagai anak berprestasi, ketua kelas yang rajin, sangat disiplin di sekolah, tapi
di luar? Pencuri, pencopet, maling, rampok, sebut semuanya. Hebat sekali, bukan?

Semua anak kini telah meninggalkan kelas, kecuali aku dan Andy. Kelas yang kini
tampak lengang itu telah menjadi saksi bisu banyak tangisan keputusasaanku saat
sesekali aku terpaksa menunggak uang sekolah.

“Hari ini selesai,” kataku pelan.

“Ya, untunglah,” kata Andy, menghela nafas dengan lega.

“Kita pulang sekarang?”

“Oke.”

Aku melangkah keluar dengan rasa kesal. Lagi-lagi aku harus menjadi seorang kriminal.

*

Siang itu sekolah lengang. Sudah satu jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi.
Tapi aku dan Andy tetap bertahan di sekolah. Semua anak mengikuti ekstrakulikuler
sekarang, kami tak takut berkeliaran.

“Aku ingin ke perpustakaan,” kataku sambil menatap pintu perpustakaan yang menjulang
tinggi di depanku.

“Oke, ayo masuk,” ajak Andy sambil dengan santai melangkah masuk ke perpustakaan.

Dengan santai tapi luwes, aku dan Andy meluncur ke bagian buku fiksi.

Black Cat ada di rak buku. Sudah lama aku ingin membaca buku itu. Tapi aku juga
ingin membaca buku The Time Machine. Magical Adventures juga tampak menggiurkan.
Platform 13 juga sepertinya menarik.The Murderer juga tampak menggoda. Begitu pula
War of the Magic Creatures, The Greek Princess, Roman Prince’s Blood, The Will of
the Empress, The Emperor’s Hand, Mariel of Redwall, dan Sunshine and Moonlight.

Dengan santai Andy meraih buku War of the Pyramid dari rak, lalu bertanya, “Ayo, kau
mau pinjam buku apa?”

Aku kembali menoleh ke rak buku. Ada satu lagi buku yang menarik perhatianku…
judulnya Guide For The Ones Who Lost in Moonlight Country.

Aku menarik buku itu dari rak. Saat itu terdengar suara teriakan dari sudut terjauh
ruangan: “Moonlight Selene!” yang menggema di ruangan.

“Kaudengar suara itu?” tanyaku pada Andy.

“Ya, jelas sekali,” jawab Andy, kepalanya berputar mencari sumber suara.

“Kurasa suara itu berasal dari sini,” kataku saat teriakan yang sama terdengar lagi.
Aku dan Andy berjalan ke sudut perpustakaan yang baru kali ini kudatangi. Aku bahkan
tak sadar kalau ada sudut ini di sini! Tersembunyi di balik deretan rak buku dan
lemari, ia amat berdebu. Di situ aku menemukan ada pintu kayu besar berwarna kusam
yang tampak amat tua. Aku memeluk bukuku dan melangkah makin dekat dengan pintu itu.

Teriakan itu terdengar lagi, makin keras. Aku yakin teriakan itu berasal dari pintu
ini.

Andy meletakkan bukunya di rak terdekat, lalu mendekatiku.

“Kita buka pintu ini?”

“Kurasa sebaiknya ya. Aku penasaran apa yang ada di balik pintu ini.”

“Kita buka sekarang, kalau begitu.”

Masih memeluk bukuku, aku membuka pintu itu perlahan.

Kegelapan pekat ada di balik pintu itu.

Mendekap erat buku itu, aku memasuki kegelapam itu diikuti Andy. Begitu kami masuk
ke dalamnya, mendadak pintu itu tertutup dengan bunyi debam keras. Aku dan Andy
berusaha membuka pintu itu, tapi percuma.

“Terkunci!” seru Andy dengan nada sengsara. Dia benci kegelapan.

“Benar-benar terkunci?!” seruku tak percaya. Aku berusaha membuka pintu itu. Andy
benar. Pintu itu tak bisa dibuka.

Andy mulai gemetaran. Dia trauma pada kegelapan. Aku tak tahu mengapa, tapi
sepertinya karena dia pernah dikurung di gudang gelap seharian oleh ibu tirinya dulu.

Aku, sebaliknya, menyukai kegelapan. Bintang hanya bisa terlihat saat gelap, bukan?
Selain itu aku tak punya masalah penglihatan karena mataku seperti mata kucing.
Mataku yang berwarna perak-kelabu memang memiliki tingkat ketajaman di atas
rata-rata, dan aku bisa melihat dalam kegelapan, walau tak sejelas waktu siang. Tapi
saat inipun tampak tak terlalu jelas karena memang tempat ini gelap sekali.

“Tenang, Andy,” aku berusaha menenangkan Andy. “Kita pasti akan bisa keluar dari
sini. Bukan lewat perpustakaan karena tak ada orang di sana. Tempat ini berbentuk
lorong, kurasa kita bisa keluar dari sisi sebelah sana. Tutup matamu, biarkan aku
memimpinmu.”

Andy menurut. Aku menggandeng tangannya dan mulai berjalan menyusuri lorong gelap
ini, bersama Andy. Bisa kurasakan tangannya bergetar dan dingin. Aku mengenggamnya
erat.

Setelah sekian lama kami menyusuri lorong ini, aku mulai merasakan tempat ini makin
terang. Dan entah bagaimana aku bisa merasakan pasir di bawah kakiku. Sesekali aku
tersandung kerikil, dan saat melihat ke atas ada banyak stalaktit di sana. Juga, di
bawah, di bagian pinggir lorong, ada beberapa deret stalakmit. Aku merasa heran. Ini
lorong atau gua?

Saat tempat itu sudah cukup terang bagi Andy, aku menyuruhnya membuka matanya. Dan,
reaksi Andy adalah,

“Ini di mana? Gua?”

Aku menggeleng. “Tak tahu. Aku hanya menyusuri lorong itu dan entah bagaimana kita
bisa mencapai tempat ini.”

Andy mengangkat bahu. “Tak ada cara lain untuk mengetahuinya selain melanjutkan
perjalanan, kan? Ayo.”

Kami berdua kembali menyusuri lorong itu. Akhirnya mulut gua itu terlihat. Dengan
gembira kami berlari kecil ke sana.

Begitu sampai di luar, kami kembali dihantui keheranan.

“Ini bukan di sekolah,” kata Andy heran.

“Juga bukan belakang sekolah,” tambahku bingung. Aku jelas tahu itu karena kadang
aku memanjat pagar belakang sekolah saat datang terlambat. Anak baik dilarang meniru.

“Lalu di mana?”

“Tak jelas.”

“Tunggu dulu. Itu tak penting. Sekarang, kenapa kita berpakaian seperti ini?”

Aku menunduk dan memperhatikan pakaianku. Seragam sekolahku lenyap, digantikan
pakaian longgar khas Inggris jaman dulu, yang setelah kuperhatikan rasanya
mirip-mirip baju Peter Pan.

“Apaan nih?!” teriakku kaget.

Dan… kenapa rasanya aku melihat ada kilauan dari rambutku? Aku memerhatikannya
dengan heran. Astaga. Rambutku tidak seperti biasanya. Bahkan di siang hari yang
cerah begini rambutku tetap kemilau keperakan.

“Topi!” desisku saat kekagetanku teratasi. Sialnya, topiku menghilang. Tak ada di
manapun.

“Kenapa di siang begini rambutku tetap seperti ini…?”

“Entahlah. Ini aneh. Sepertinya ini bukan dunia kita.”

“Dan… Andy, kau tak sadar?”

“Apa?”

“Rambutmu. Warna rambutmu memang sewarna matahari. Tapi tak berkilau. Dan sekarang
rambutmu juga berkilau!”

“Heh?” Andy mencabut sehelai rambutnya dan mengamatinya seakan dia tak pernah punya
rambut sebelumnya.

“Kenapa bisa begini?!” serunya tak percaya.

“Aku tak punya teori untuk itu, maaf, tapi yang jelas kita harus mencari tahu di
mana ini dan bagaimana caranya untuk kembali ke tempat kita sendiri.”

Kata-kata itu baru saja terlontar dari mulutku saat tiba-tiba tangan Andy mencekal
bahuku keras. Aku melihat ke arah matanya menatap dan menegang. Ada seorang
laki-laki di sana, memandangi kami ternganga.

“Siapa kalian?” tanya laki-laki itu.