Sabtu, 24 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 5


Chapter 5

Aku dan Naira menunggu dengan bosan di kursi café dekat sekolah itu, manyantap gelato dan menyeruput espresso (Naira menyukai kopi yang keras, walaupun kafeinnya membuatnya tidak bisa tidur semalaman) dan caramel machiatto (vanilla latte dengan krim dan karamel lengket di atasnya). Gelato rasa mintku sudah habis dari tadi, aku mengunyah sisa cone wafflenya yang masih ada dengan kebosanan total.
Akhirnya, setelah begitu lama menunggu – aku sudah tak tahu lagi aku menunggu berapa lama, sense waktuku juga lumayan parah, tapi kurasa lebih karena aku setengah hantu; hantu kan bukan makhluk yang dibatasi waktu – akhirnya Enzo datang. Di belakangnya berjalan kakaknya – laki-laki seumuran Naira dengan rambut acak-acakan dan dandanan khas Sam dan Dean Winchester dari Supernatural. Untungnya Enzo tidak mengikuti gayanya, walaupun jaketnya serupa.
“Maaf,” kata Enzo, duduk di sebelahku. “Kakakku bukan orang yang tepat waktu. Aku Enzo, Enzo Mudparson,” kata Enzo pada Naira, bersalaman dengannya.
“Naira Spirit,” balas Naira.
“Naira, Shira, ini kakakku, Hugo,” kata Enzo sambil menunjuk kakaknya.
“Hugo Mudparson,” kata laki-laki berambut acak-acakan itu. Ia duduk di sebelah Naira, lalu dengan asalnya mengambil sisa cone waffleku yang berlum termakan dan melahap semuanya.
“Hei!” protesku kesal.
“Maaf, dia belum makan siang,” jelas Enzo. Ia segera memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya – gelato cokelat dan cappuccino untuknya sendiri, dan gelato stroberi dan mocha untuk Hugo. Ia juga memesan dua gelato vanila untukku dan Naira sebagai permintaan maaf karena terlambat – sebenarnya dia juga ingin membelikan minuman lagi, tapi minumanku dan Naira masih banyak. Aku menatap Hugo, tak percaya kalau orang sepertinya, laki-laki pula, suka makan gelato stroberi.
“Dia suka manis,” jelas Enzo langsung.
Begitu gelato yang dipesan Enzo datang, aku langsung menyantapnya tanpa malu-malu. “Jadi, kita langsung ke Terra de la Catala?”
“Kalau tidak, kau mau ke mana lagi?” tanya Hugo sinis. “Shopping department?”
Aku menatapnya kesal. “Oh, ya, dan kau bisa pergi ke gym.”
“Ya, kita langsung ke sana,” potong Naira sebelum kami mulai bertengkar mulut. Aku baru mengenalnya beberapa menit dan aku sudah tahu kalau aku tak mungkin cocok dengannya. Bagus.
Enzo mengeluarkan petanya. “Jadi, pertama-tama, kita harus ke desa di dekat Terra de la Catala untuk menyewa tenda dan barang-barang yang kita belum punya untuk berkemah di sana. Berarti desa… Vomica.”
“Oh, bagus,” celetuk Hugo.
“Bagus? Bagus apa?”
“Vomica itu bahasa Latin untuk kutukan.”
Aku menyeruput caramel machiatoku dengan kalem. Sepertinya perjalanan ini memang ditakdirkan untuk menjadi perjalanan yang buruk.
Naira melirik jamnya. “Kurasa kita harus cepat. Waktu kita hanya seminggu. Kita harus bergerak cepat. Setidaknya besok pagi-pagi kita harus sudah di Terra de la Catala.”
Aku mengangguk, Enzo mengangguk, Hugo mendengus.
“Kenapa buru-buru?” katanya malas. “Seminggu itu lama.”
Mau tidak mau, aku merasa benar-benar kesal melihatnya seperti itu. “Kalau begitu pulang sana. Tidak usah ikut.”
Hugo langsung menegakkan duduknya. “Aku tidak mau diperintah anak perempuan, terutama yang lebih muda dariku.”
Aku menaikkan sebelah alis. “Oh? Kalau begitu pergi saja. Kau pikir aku mau terjebak bersama pemalas tidak berguna sepertimu?”
Hugo tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak menonjokku. Tapi ia mengangguk pada Naira, menyatakan persetujuan yang jelas setengah hati. Ia menghabiskan gelatonya dalam tiga sendokan, menghabiskan cone wafflenya dalam tiga gigitan, dan menenggak mochanya dalam satu tegukan, lalu menyuruh kami untuk cepat, dan, menyadari kebenaran kata-katanya, kami semua menurut.
Setelah membayar semua pesanan kami, kami segera menaiki bus ke pinggiran kota dan berjalan cepat ke Vomica yang jaraknya tidak terlalu jauh dari halte. Namun, karena bus dari kota ke daerah dekat Vomica itu jauh sekali, saat kami sampai di Vomica sudah sore. Akhirnya kami menginap di penginapan kecil di Vomica dan mendapat diskon sedikit setelah beberapa lama membujuk si pemilik penginapan. Tentu saja, kami memesan dua kamar. Aku bersama Naira dan Enzo bersama Hugo.
Keesokan paginya, kami menyewa tenda, kompor, dan barang-barang lain untuk perlengkapan berkemah kami di rawa-rawa pada si pemilik penginapan.
“Kalian mau berkemah di rawa-rawa?” tanya si pemilik penginapan dengan suara sengaunya. “Hati-hati, pada malam hari sering ada hal aneh di sana.”
Keberadaan kami sendiri sudah cukup aneh, pikirku. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa berubah jadi hantu dan lumpur?
“Aneh bagaimana?” tanya Enzo pada si pemilik penginapan.
 “Orang yang hilang di tengah malam saat bulan sabit. Atau mayat-mayat tercabik yang ditemukan di malam purnama. Atau mayat-mayat yang berselimut lumpur yang ditemukan di malam bulan mati.”
Aku berpandangan dengan Enzo. Yang terakhir jelas manusia lumpur. Mungkin masih ada keluarga Mudparson yang tinggal di sini. Tapi dua yang lain? Aku bahkan tidak berani menebak.
“Yah, tapi inilah anak-anak muda jaman sekarang,” kata si pemilik penginapan. “Selalu mencari masalah. Ini tenda kalian, kompor kalian, kantong tidur kalian. Kalian bisa membayar semuanya setelah kembali. Dan,” si pemilik penginapan melirikku dan Enzo dengan kerlingan nakal, “hati-hati, jangan lakukan yang tidak-tidak.”
Aku mengerjap tak paham, tapi Enzo jelas paham. Wajahnya memerah seketika, dan ia menghindari pandanganku.
“Apa?” tanyaku bingung.
Si pemilik penginapan tertawa. “Bukan apa-apa. Bawa semuanya, kembalikan kalau sudah selesai. Ingat, hati-hati, terutama saat bulan muncul.”
Aku dan Enzo mengangguk, lalu membawa semua barang sewaan kami ke halaman penginapan itu, tempat Naira dan Hugo menunggu. Kami berempat segera membagi tugas dan bawaan di bawah instruksi Hugo yang tampaknya sudah terbiasa berkemah. Hugo dan Enzo membawa tenda dan kompor, sedangkan aku dan Naira membawa kantong tidur dan alas tidur yang jelas lebih ringan dari kompor dan tenda.
Kami berjalan di tanah becek namun cukup solid untuk ditapaki selama beberapa jam sambil membicarakan di mana kira-kira harta itu disembunyikan. Aku bahkan sempat terjebak perang mulut dengan Hugo lagi, namun Naira dan Enzo dengan cepat melerai kami.
Secara umum, Naira berjalan dengan setengah melamun; kebiasaannya saat ia sedang berpikir. Ia akan berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya, tanpa menyadari bahwa ada dunia di sekitarnya. Dia akan tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Naira, ini rawa-rawa, jangan melamun,” kataku padanya setengah hati. Seperti dugaanku, ia tidak menyadari peringatanku. Aku mendesah dan kembali memperhatikan jalanku sendiri.
Kami berjalan kembali, kini dalam sunyi. Aku mulai tenggelam dalam pikiranku sendiri. Malam bulan mati, mayat berselimut lumpur, itu jelas saudara-saudara Enzo dan Hugo. Malam bulan purnama… mungkinkah itu manusia serigala? Bukannya tidak mungkin. Lalu, orang hilang? Aku sama sekali tidak tahu. Apakah semacam pemakan daging manusia atau apa? Mengerikan. Apa sebenarnya yang ada di rawa-rawa ini? Kenapa seaneh ini?
Bahkan saat aku baru berpikir tentang keanehan tempat itu, aku melihat kalau tanah di jarak beberapa meter dari tempatku sekering gurun. Ya, tempat ini jelas tidak normal.
Aku mendesah. Di tempat ini, sense arahku yang sudah parah makin bertambah parah. Saat aku berada di Vomica, si pemilik penginapan memberitahuku kalau rawa ini ada di arah barat dari Vomica. Setelah berbelok beberapa kali, aku bahkan sudah tak bisa tahu lagi ke mana arahku berjalan. Untungnya Hugo cukup berpengalaman untuk tahu kalau ia perlu membawa kompas. Dan Naira, walau saat ini ia jelas tidak menyadari kehadiranku, memiliki sense arah yang bagus sekali.
Aku menunduk, masih mempertahankan kecepatan langkahku. Pikiranku mengembara ke mana-mana, tapi segera kembali ke dunia saat mendengar jeritan kaget dan panik Naira.
Aku menoleh kaget. “Naira!”
Naira telah terbenam di lumpur rawa hingga selutut. Aku melangkah mendekatinya, tapi kakiku langsung terbenam sampai di pergelangan kaki. Aku tak bisa menariknya lagi. Untungnya aku mengenakan sepatu bot kulit lusuh sehingga kakiku tidak kotor.
Aku mencoba menarik kakiku lagi, tapi yang ada kakiku hanya terbenam makin dalam.
“Sial,” bisikku kesal.
“Seharusnya kalian perhatikan jalan kalian,” gerutu Hugo. “Enzo, bantu aku menarik Naira.”
Mereka segera berusaha menarik Naira yang posisinya jelas lebih gawat dariku. Namun tarikan mereka tidak berguna, Naira tidak bisa keluar. Ia hanya bisa melenguh kesakitan karena tarikan Hugo dan Enzo.
“Tidak, tidak bisa,” kata Naira.
“Kalau begitu coba Shira dulu, nanti dia bisa bantu menarik Naira,” kata Enzo, kakaknya mengangguk. Mereka segera berusaha menarikku, tapi hasilnya sama saja dengan Naira. Aku tidak bisa ditarik keluar.
“Kurasa hanya ada satu cara bagiku untuk keluar,” kataku setengah berbisik.
“Apa?”
“Berubah,” jawabku.

Senin, 12 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 4


Chapter 4


Chiarra

Chiarra menatap ke meja di depannya. Suasana pasar yang ramai serasa menggempur gendang telinganya dengan keras. sementara itu, si pedagang barang-barang antik di depannya mulai tampak tak sabar, begitu pula pemuda di sebelahnya, teman dekat Chiarra, Paolo.
Akhirnya, Chiarra menatap si pedagang, bapak tua berkumis tebal seperti walrus – dengan tubuh yang gendut bulat, membuatnya tampak nyaris persis walrus, hanya saja si pak tua mengenakan kaos yang bertuliskan ‘I LOVE HUNTING WALRUS’, mungkin karena sebal disebut mirip walrus. Mana mungkin walrus membunuh sesamanya. Selain itu, di bagian punggung kaos itu ada tulisan ‘I HATE WALRUS VERY MUCH’ dan di gantungan pribadi si pedagang ada beberapa kaos lain, dengan tulisan ‘I LOVE EATING WALRUS’, ‘WALRUS ARE DANGEROUS BEASTS’, dan ‘I AM NOT A WALRUS’. Si pedagang telah dengan jelas menyatakan kalau ia tidak suka disebut walrus.
“Bisakah anda mencarikan sesuatu untuk saya?” tanya Chiarra sopan pada si walrus – si pedagang.
Wajah si pedagang langsung tampak cerah kembali. “Kenapa tidak dari tadi?” tanyanya. Ia membungkuk dan mengambil sebuah kotak kayu berukir, membukanya, menampilkan dua cincin di dalamnya. Yang satu cincin perak berukir dan yang lainnya cincin emas berukir. Keduanya tampak identik, kecuali bahwa bahan dasarnya berbeda.
“Cincin?” setelah sekian lama, akhirnya Paolo membuka suara.
“Tentu saja,” kata si pedagang, tersenyum, kumis walrus besarnya berkedut. “Cincin-cincin ini bagus. sudah cukup tua, tapi terawat. Dan, cocok untuk pasangan seperti kalian berdua.”
Wajah Chiarra memerah seketika. “Kami bukan pasangan,” sangkalnya setengah hati.
Si pedagang hanya tertawa. “Bagaimanapun, kurasa kalian akan tetap merasa tertarik pada cincin-cincin ini.”
Paolo menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”
Si pedagang melirik ke kanan-kiri seakan mengawasi sekitar, lalu memberi isyarat pada Chiarra dan Paolo untuk mendekat. Keduanya mendekat, lalu mendengarkan si pedagang berbisik pada mereka.
“Kedua cincin ini adalah kunci ke harta karun.”
Walau nafas si pedagang berbau busuk, namun kata-katanya memang membuat Chiarra dan Paolo tertarik. Chiarra menatap si pedagang dengan antusiasme tinggi, sementara Paolo menatap kedua cincin itu dengan wajah tertarik sekaligus ragu.
Si pedagang tertawa terbahak-bahak. “Kau meragukannya, bukan?” tanyanya. “Harta yang akan dibuka kedua cincin ini sebenarnya bisa dibilang tidak ada. Ada begitu banyak orang yang mencarinya, tapi hanya ada satu yang berhasil kembali hidup-hidup, namun akan lebih baik kalau dia mati.”
“Bagaimana bisa?” tanya Chiarra heran.
“Dia terus-menerus meracau tentang monster dan lain sebagainya seperti orang gila,” desah si pedagang, menyipitkan matanya, sesaat tampak makin mirip dengan walrus. “Kurasa dia memang sudah gila. Lagipula, semua orang yang mencari harta itu mati, hanya orang itu yang selamat. Bukan tidak mungkin kalau yang dikatakannya itu benar, tapi kurasa hanya hewan buas saja, sebagian lainnya hanyalah halusinasinya sendiri.”
Chiarra dan Paolo berpandangan. Keduanya tahu, mereka tertarik pada harta itu.
Mereka meraih cincin itu – Chiarra menyentuh yang perak, Paolo menyentuh yang emas, dan seketika dunia berputar. Kilasan-kilasan gambaran tampak di depan mereka; rawa-rawa dan tanah tandus, danau besar berair jernih, gua, pintu batu besar dalam gua tersebut dengan gambar yinyang emas dan perak. Hanya dengan sekali lirik saja Chiarra dan Paolo tahu kalau cincin mereka akan menjadi kunci di yinyang tersebut. Kemudian, pintu batu itu terbuka, dan keduanya seakan ditarik ke dalam pintu itu, lalu ke atas. Permukaan air menghilang, tampak harta di mana-mana.
Lalu semuanya menghilang.

*

“Kita tak bisa pergi berdua saja,” kataku pada Enzo.
“Kenapa?” tanya Enzo heran, kepolosan tampak jelas di matanya.
Aku memutar bola mata. “Chiarra dan Paolo pergi berdua saja, kan? Pada akhirnya mereka pulang dengan keadaan terkutuk. Bagaimana dengan kita? Aku tak mau membawa dua kutukan sekaligus, satu saja sudah cukup mengerikan.”
“Oh,” Enzo mengangguk paham. “Lalu siapa?”
“Kurasa aku bisa mengajak kakakku, Naira,” jawabku. “Lagipula, dia pintar geografi. Pintar membaca arah.”
“Kau sendiri?”
Wajahku memerah malu. “Tolong jangan tanyakan soal itu.” Sense arahku jelek sekali. Bahkan di rumahku sendiri, aku sering kesulitan membedakan mana utara, selatan, timur, dan barat. Bahkan, kadang antara kanan dan kiri saja terbalik. Membaca peta bagiku sama sulitnya dengan menggarap soal matematika dan fisika – yang, bagiku, sulit sekali.
“Kalau begitu mungkin aku bisa membawa kakakku,” kata Enzo, menyebut kakaknya seakan ia barang. “Namanya Hugo. Mungkin bisa dibilang dialah yang akan menjadi algojo, penjaga kita nanti. Walau mungkin bagimu aku tampak kalem,” nyaris tak punya emosi, pikirku, “Hugo tidaklah sepertiku. Dia tukang kelahi.”
“Kau sendiri?”
“Aku lebih suka menghindari masalah.”
Aku mengangguk. “Jadi, kita akan berangkat minggu depan bersama kakak-kakak kita?”
Enzo mengangkat bahu. “Makin cepat makin baik, bukan? Lagipula, minggu depan siklus bulan purnama, bukan bulan mati. Seharusnya kita bisa tetap selamat.”

*

“Naira, ada sesuatu yang harus kuberi tahu padamu.”
Naira menutup majalah yang sedang dibacanya. “Ada apa?”
“Sebelum kukatakan apa itu, kumohon, berjanjilah jangan menjerit atau berteriak, jangan bertingkah terlalu aneh atau orangtua kita akan curiga,” kataku.
Naira menaikkan sebelah alisnya. “Oke,” katanya perlahan.
“Pergilah bersamaku mencari harta yang dulu dicari Chiarra dan Paolo.”
Tidak seperti dugaanku, rupanya Naira malah mendengus geli. “Yang benar saja, Shira. Harta itu tidak ada.”
“Bagaimana kalau ada?” tanyaku. “Lagipula, ini bisa jadi adalah cara untuk melepaskan kutukan kita.”
“Tapi kita dari keluarga Spirit. Bagaimana dengan keluarga Mudparson?”
“Jangan khawatir. Anak pindahan di kelasku adalah seorang Mudparson.”
Naira mengerjap, lalu duduk lebih tegak dan menatapku dengan serius. “Aku mendengarkan.”
“Minggu depan kita libur karena kelas dua belas ujian. Kau kelas sebelas, aku kelas sepuluh. Kita bisa mencarinya bersama.”
“Lalu, temanmu? Kita akan pergi bertiga?”
“Tidak, Enzo akan membawa kakaknya. Jadi kita berempat.”
Naira mengangguk. “Kau yakin?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kuncinya?”
“Kunci?”
“Legenda menyatakan bahwa harta itu dikunci dalam gua dan memerlukan dua kunci.”
“Kuncinya cincin. Cincin keluarga kita. Dan keluarga Mudparson.”
“Lalu, kau tahu tempatnya di mana?”
Aku menatap Naira lekat, bersiap untuk memberinya kejutan. “Terra de la Catala.”
Bahkan sebelum aku menutup mulutku, Naira sudah menatapku dengan pandang ngeri. “Aku tidak ikut. Bahkan walaupun minggu depan siklus bulan purnama, kutukan di Terra de la Catala akan diperkuat. Aku tak mau terjebak di sana bersama dua orang Mudparson.”
“Naira! Ini kesempatan kita untuk melepaskan kutukan ini.”
“Tapi kita bahkan tidak tahu apakah harta itu memang ada!”
“Tadi kau antusias, sekarang kau begitu skeptis. Ayolah, Naira. Tidakkah kau ingin melepaskan diri dari kutukan ini?”
Naira menunduk dan melirik ke atas, menatap mataku lekat. Ia menimbang-nimbang, berpikir. Satu lirikan saja sudah cukup untuk memberitahuku kalau keputusan ini sulit baginya.
Akhirnya, Naira mendesah. “Oke, aku ikut. Tapi jangan beritahu Ayah dan Ibu. Bilang saja kalau kita berkemah dengan teman-teman kita.”
Aku mengangguk cepat. “Ya. Seharusnya mereka tidak memprotes, mereka bilang mereka ingin kita lebih terbuka pada teman-teman kita.”
Naira mengangguk. “Semoga kita tidak berubah.”
Aku hanya bisa berharap.

Terra de la Catala chapter 3


Chapter 3

Terra de la Catala? Enzo pasti bercanda.
Terra de la Catala – alias Tanah Kutukan – adalah tempat di mana kutukan kami akan makin menjadi-jadi. Akan sulit mengontrol keadaan kami, bahkan saat siang hari di bulan purnama.
“Berarti kalau kita mau mencari harta itu…” kataku dengan suara bergetar.
“Kita harus ke sana,” sambung Enzo.
“Mendadak misi ini jadi terdengar sulit,” bisikku kesal. “Kalau kita sampai hilang kendali, bagaimana nanti nasib kita?”
“Jangan sampai kita hilang kendali,” sahut Enzo datar.
“Memangnya menjaga agar tidak hilang kendali semudah itu, ya?” tanyaku balik.
“Tidak juga,” jawab Enzo. “Yang jelas, jangan sampai.”
Aku menggelengkan kepala. “Jadi, kita benar-benar akan mencari harta itu.”
“Tentu saja. Kau juga ingin melepaskan diri dari kutukan ini.”
Aku mengangguk. “Kapan kita akan pergi?”
Enzo mengambil buku saku siswa dari kantong seragam sekolahnya. “Yang jelas waktu libur panjang sekolah. Terra de la Catala luas sekali, nyaris tidak mungkin kita bisa menemukan hartanya dalam waktu sehari saja.”
“Libur semester berikutnya?”
“Ya. Tepatnya…”
“Minggu depan.”
“Hah? Tapi menurut buku sakunya, masih lima bulan lagi.”
“Minggu depan kita akan mendapat waktu libur selama seminggu, kelas dua belas ujian.”
Mulut Enzo terbuka, menggumamkan ‘oh’ panjang tanpa suara, menyatakan pemahamannya dalam diam.
Aku mengambil peta ke harta itu dari pangkuan Enzo, berusaha memahaminya. Terra de la Catala lebih dikenal sebagai daerah rawa-rawa yang ajaib oleh orang-orang sekitar; sebagian daerahnya yang berawa-rawa benar-benar berbahaya, di mana kadang orang bisa tenggelam dalam lumpur tanpa bisa ditemukan lagi (bukan masalah bagiku dan Enzo. Dia manusia lumpur, dia tak mungkin mati dalam lumpur. Aku hantu, aku tidak padat. Bagiku lumpur hampir sama dengan udara bebas) tapi di daerah lain, benar-benar seperti padang gurun. Kering, tandus. Aneh, bukan?
Dan jarang ada pepohonan di Terra de la Catala. Gua apalagi. Di mana kira-kira harta itu disembunyikan? Aku tak punya bayangan apapun.
Tanpa sadar, aku memainkan cincin yang selalu kukalungkan.
Mata Enzo yang tajam segera menangkap gerakan itu. Ia menunjuk cincin itu. “Cincin apa itu?”
Aku melepas kalungku dan menatap cincin itu lekat. “Cincin keluargaku. Keluargaku mempercayakannya padaku walau sebenarnya kakakku bisa menjaganya lebih baik. Sepertinya karena kutukan yang ada padaku jauh lebih kental; aku bisa mendadak berubah menjadi hantu sendiri, atau aku bisa menjadi hantu di saat-saat aku mau, dan setiap kali siklus bulan mati berakhir, aku selalu menjadi orang terakhir yang berubah kembali. Tapi sejak aku mendapat cincin ini, sepertinya segalanya tampak lebih mudah bagiku untuk kukendalikan.”
Enzo mengambil cincin itu dari tanganku. Ia meneliti cincin itu.
Cincin itu terbuat dari perak, lebar, dengan bagian tengah berwarna hitam dengan motif ukir-ukiran sulur tanaman dan daun emas. Enzo meraba permukaan ukiran itu dengan lembut, mengagumi kehalusan pengukirannya. Kemudian ia mengangkat kepala, mulutnya setengah terbuka, matanya menyipit, alisnya bertaut. Ia merogoh kantongnya dan menyorongkan tangannya padaku. Dalam genggamannya, ada cincin emas yang tampak identik dengan cincin perakku, yang berbeda hanyalah warnanya.
Bahan dasarnya emas, bukan perak seperti cincinku. Namun bagian tengahnya sama persis, hitam dengan ukir-ukiran sulur tanaman dan daun perak. Aku mengamati tiap ukirannya dengan kagum, menyadari kalau cincin Enzo dan cincinku sendiri benar-benar sama persis.
“Cincin keluarga,” jelas Enzo sebelum aku menanyakannya padanya. “Keluargaku memberikannya padaku dengan alasan yang sama.”
Aku menelengkan kepala, mengambil cincinku dari tangan Enzo dan membandingkan cincinku dan cincinnya. “Kenapa ada dua cincin yang sama persis? Sepertinya keberadaan dua cincin yang sama persis itu sedikit… sia-sia.”
Jemari Enzo menyentak sedikit. “Kecuali… kalau keberadaan keduanya memang sangat dibutuhkan.”
Aku menatapnya bingung.
“Pikirkan, Shira,” kata Enzo. “Kenapa ada dua cincin yang sama persis? Mengapa Chiarra Spirit dan Paolo Mudparson mencari harta yang mungkin sama sekali tidak ada?”
Mendadak aku paham maksud Enzo. “Karena cincin mereka adalah kunci menuju harta itu.”
Enzo mengangguk, antusias.
“Jadi, sejak awal mereka sudah tahu kalau harta itu memang ada, karena itu mereka mau mengambil resiko untuk mencari harta yang mungkin tidak ada.”
“Dan karena mereka tahu cincin mereka adalah kunci utamanya. Jadi kalaupun pencarian mereka gagal, cincin itu masih bisa digunakan untuk membuka harta itu.”
“Tapi…” aku mengembalikan cincin Enzo dan mengalungkan cincinku sendiri. “… apa yang membuat mereka berdua saling mengutuk?”
Enzo memandangku, dan dari pandangannya aku tahu kalau ia sama bingungnya denganku.

Terra de la Catala chapter 2


Datanglah ke belakang gedung olah raga pulang sekolah ini. Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu. Tolong datang sendirian. Ini masalah penting. Masalah keluarga. Orang lain tak boleh tahu.
Enzo Mudparson

Masalah keluarga? Hm. Apa dia berniat membuat perang terbuka dengan keluarga Spirit? Dia pasti sudah siap mati. Kami bisa saja merasukinya. Mereka manusia lumpur, mereka padat. Mereka tak punya harapan melawan kami yang sudah setengah hantu.
Aku mengambil kertas kosong dan menulis:

Gedung olah raga kurang sepi. Kalau ini memang masalah keluarga, lebih baik datang saja ke gudang. Lebih sepi, lebih sedikit kemungkinan ada yang menguping. Pulang sekolah. Aku akan menunggumu.
Shira Spirit

Yap. Kurasa itu cukup. Aku melipatnya dan meletakkannya di meja Mudparson, kemudian berjalan tenang ke toilet.

*

“Ada apa memanggilku untuk bicara?” tanyaku langsung saat Enzo datang ke gudang sekolah.
“Bicara ya bicara saja,” katanya santai.
Aku memutar bola mata. “Bicara apa?”
“Masalah keluarga,” kata Enzo. “Kau keluarga Spirit, aku Mudparson. Kalau hanya kebetulan nama keluarganya sama, tak akan kupanggil kau ke sini. Tapi aku bisa merasakan adanya darah Chiarra Spirit yang mengalir dalam nadimu.”
“Dan aku bisa merasakan darah Paolo Mudparson dalam nadimu,” kataku. “Baunya tercium jelas di udara.”
Enzo mengangguk. “Sama. Kemampuan mengendus darah ini sebenarnya sedikit membuatku ngeri.”
“Aku juga, tapi lupakan itu. Apa maumu? Bicara masalah keluarga apaan?”
Enzo tak mengatakan apa-apa. Ia memejamkan mata dan seluruh tubuhnya bergetar sedetik. Kemudian, saat ia membuka kembali matanya, aku memekik. Matanya telah berubah.
Bukan berubah jadi terlihat marah atau apa! Kalau hanya itu aku tak akan merasa kaget. Tidak sekaget ini. Tapi matanya telah berubah total. Kini mata cokelat tuanya berubah menjadi kuning terang, pupilnya menjadi celah seperti mata kucing.
“Enz – “
“Aku tahu,” kata Enzo tenang. “Ini hanya mataku. Saat berubah menjadi manusia lumpur, mataku akan berubah menjadi seperti ini.”
Aku terdiam. “Jadi kita sama. Kau punya bakat itu.”
Enzo mengangguk. Matanya berangsur-angsur kembali seperti semula.
Benar. Kami punya bakat itu. Saat bukan siklus bulan mati sekalipun, kami bisa mengendalikan agar kami bisa berubah; aku menjadi hantu dan Enzo menjadi manusia lumpur. Anehnya, saat bulan mati aku tak bisa menahan agar aku tak berubah. Mungkin Enzo juga sama.
“Kenapa kau tak berubah menjadi manusia lumpur sepenuhnya?” tanyaku penasaran.
Enzo menggeleng. “Kalau aku berubah sepenuhnya, kau akan berubah menjadi hantu dan kita hanya akan berkejaran, saling memburu. Insting kita akan mengambil alih, dan Enzo dan Shira akan hilang; kita akan saling memburu selamanya sampai salah satu dari kita hancur dengan sendirinya.”
Aku menunduk dan memejamkan mata. Saat aku emmbukanya kembali, mata Enzopun telah berubah.
“Perubahanmu membuatku ikut berubah,” katanya. “Padahal perubahanku tak membuatmu berubah.”
Aku mengangkat bahu. “Beda orang beda sensitivitas.”
Enzo menatap mataku lekat. “Saat masih manusia biasa matamu kelabu tanpa warna. Saat berubah matamu menjadi biru terang.”
“Beda orang, beda warna.”
“Masalah tadi… aku ingin meminta tolong.”
“Apa?”
“Kau mau melepaskan kutukan ini?”
Aku mengerjap. “Memangnya bisa?”
“Bisa saja kalau mau.”
“Tapi aku tak bisa…”
“Kau memang tak bisa,” potong Enzo. “Tapi kita bisa.”
Aku memekik saat menyadari kebenaran kata-katanya. Seorang Spirit, seorang Mudparson. Kami bisa melepaskan kutukan ini.
Lalu kenyataan menghantamku dengan kejam. Kalaupun kami memang bisa melakukannya, bagaimana kami bisa melakukannya tanpa tahu di mana harta yang konon dicari Chiarra dan Paolo berada? Lagipula, legenda menyatakan dengan jelas kalau harta itu hilang. Tak pernah bisa ditemukan lagi.
“Dan tenang saja,” kata Enzo. “Aku tahu di mana harta itu.”

*

Kami berdua sedang bercokol di perpustakaan, membuka buku tentang legenda dan sebagainya sementara Enzo menjelaskan padaku di mana letak harta yang dulu dicari Chiarra dan Paolo saat mendadak sebuah buku dibantingkan di depan wajahku, membuatku hampir memekik karena kaget.
“Ah, rupanya Shira sudah punya pacar, ya?”
Aku menatap wajah musuh bebuyutanku itu dengan kesal. “Tiera, jangan ganggu aku sekarang.”
“Dingin sekali,” katanya dengan wajah terluka yang dibuat-buat. “Tidakkah kau setuju, Jose?”
“Mmm,” Jose – Joseph sebenarnya, tapi semua orang memanggilnya Jose – menyetujui. “Memang agak terlalu dingin.”
Tiera Soul dan Joseph Wolve. Seperti yang sudah kubilang, musuh bebuyutanku. Selalu membuatku kerepotan. Tiera selalu berusaha menyaingi dan menjatuhkanku dalam hal apapun, Jose selalu membatu Tiera melakukannya. Hasilnya? Kombinasi maut. Kalau aku benar-benar sendirian, aku sudah pindah sekolah sekarang.
“Jadi, pacarmu?” tanya Tiera seakan meminta kepastian.
“Bukan, teman kerja kelompok,” sahutku ketus. “Memangnya kau siapaku sampai aku harus melapor padamu kalau aku punya pacar atau sesuatu?”
“Teman terbaikmu,” jawab Tiera dengan senyum berbisa, membuatku tertawa sinis.
“Tentu saja,” balasku sarkastis. “Dan sebagai teman yang baik, aku harus melapor padamu tiap kali aku punya kegiatan baru agar kita bisa melakukannya bersama, benar? Yang benar saja.”
“Memang benar,” kata Tiera, tersenyum lebar. “Dan lalu kita berkompetisi secara sehat untuk mendapatkan gelar ‘yang terbaik’.”
Aku baru saja membuka mulut untuk membalas ucapanya saat Enzo menepuk bahuku. Aku menatapnya dengan kesal. Ia menunjuk sudut lain perpustakaan dan mengerti kenapa ia menyetop perang mulutku dengan Tiera. Hampir semua orang di perpustakaan sudah memandangi kami dengan tatap kesal karena merasa terganggu. Aku tersenyum meminta maaf dan menarik Enzo keluar, meninggalkan Tiera dan Jose di dalam perpustakaan.
Aku membawa Enzo ke taman yang ramai. Akan sulit untuk menguping pembicaraan orang kalau tempatnya ramai seperti ini.
“Jadi, di mana?” tanyaku langsung.
Enzo mengambil peta yang dikantonginya. Ia membuka peta itu dan menunjuk satu daerah. “Di sini.”
Aku melongo tanpa bisa berkata-kata. Aku menunjuk peta itu dan menatapnya dengan wajah bodoh, tak dapat mempercayai apa yang baru saja diberitahukannya padaku.
“Di situ?” tanyaku setengah tercekik dengan suara melengking tinggi.
Enzo mengangguk, wajahnya tampak sedikit pucat, dan amat jelas terlihat kalau ia juga tidak menyukai apa yang baru saja dikatakannya padaku.
“Terra de la Catala,” katanya. “Tanah Kutukan.”