Prologue
“Kau! Kau telah menipuku!”
“Tidak! Kumohon, percayalah padaku. Aku berkata jujur
padamu!”
“Kau pikir aku akan mempercayaimu?! Enyah dari
hadapanku! Kau harus merasakan akibat dari perbuatanmu! Kukutuk kau! Mulai
sekarang, kau dan keturunanmu tak akan pernah mendapatkan hidup tenang. Tiap
bulan mati, seperti malam ini, kau dan keturunanmu akan menjadi makhluk yang
tak bisa disebut hidup! Kau akan terjebak di antara dunia kehidupan dan
kematian. Tubuhmu tak akan sepenuhnya padat, namun tak juga sepenuhnya
menghilang. Kau akan berubah menjadi hantu! Satu-satunya cara untuk membuatmu
kembali normal adalah dengan kembali ke tempat ini dan menunjukkan di mana
benda itu sebenarnya berada padaku!”
“Tidak! Hentikan! Jangan!!!”
“Rasakanlah hukumanmu, perempuan!”
“Kalau kau mengutukku menjadi seperti ini, kau juga
harus merasakan kutukanku! Saat aku berubah menjadi sosok nista yang nyaris tak
dapat disentuh ini, kau akan berubah! Kau dan keturunanmu akan berubah menjadi
sesosok manusia lumpur! Selamanya kita akan terus saling memburu, tanpa ada
yang bisa menang! Kau dan aku akan menderita bersama! Bila kau ingin kembali
normal, kau harus memberikan padaku apa yang paling kuinginkan: cincin pusaka
keluargamu itu!”
“AAAAA!!!”
Chapter 1
“AAAAA!”
“Tahan! Proses ini memang menyakitkan, tapi ini hanya
menyakitkan saat kau berubah! Saat kau menjadi sosok itu dan saat kau kembali
normal, tak akan ada rasa sakit yang kaurasakan!”
“Sakit! Sakit! Sakit! Aaakh!”
Aku terengah, menahan sakit yang mendera tubuhku. Aku
menatap tanganku dan terisak. Aku sudah berubah. aku tak lagi padat. Aku telah
menjadi hantu.
Rasa sakit itu kini telah menghilang, tapi aku tetap
terisak.
“Kenapa kita harus berubah menjadi seperti ini tiap
bulan mati?” tanyaku. “Kenapa kita tak bisa hidup normal layaknya manusia
biasa?”
“Oh, Shira,” kata Naira, kakakku sedih. Ia berusaha
merangkulku, tapi tubuh kami berdua sudah tidak lagi padat. Tangannya menembus
bahuku, dan kami berdua bergidik. Rasanya seperti tubuhmu dilewati sesuatu;
kemasukan angin yang langsung keluar lagi atau apa. rasanya sama sekali tak
enak, kau akan membenci sensasi itu.
“Kenapa, Naira?” tanyaku. “Kenapa kita harus berubah?”
“Kau tahu mengapa, Shira,” kata Naira. “Kau tahu
bagaimana buyut kita melakukan kesalahan dan dikutuk.”
Aku mendengus – kalau hantu bisa mendengus. “Ya,
benar,” kataku. “Si bodoh Chiarra Spirit.”
“Shira!” tegur Naira. “Jangan bicara begitu. Kita
adalah darah daging dari Chiarra Spirit sendiri. Kita adalah keturunannya!”
“Aku tahu,” kataku. “Tapi kutukan ini begitu
menggangguku. Aku tak bisa melakukan apa yang kulakukan. Aku tak bisa melakukan
sesuatu yang selama ini kusenangi. Aku bukan manusia; aku hantu!”
“Tapi saat kau kembali normal – “
“Bahkan saat aku kembali normal, ada saat-saat di mana
aku bisa berubah menjadi hantu, Naira. Aku tak pernah normal. Kita tak pernah
normal. Tak akan pernah.”
Naira mendesah, menyadari bahwa kata-kataku benar.
Ya, benar. Keluargaku bukanlah keluarga biasa; kami
setengah manusia, setengah hantu. Tahu konsep manusia serigala? Keluarga kami,
Spirit, mirip seperti itu. Kami berubah menjadi hantu tiap sebulan sekali, saat
siklus bulan mati, berkebalikan dengan manusia serigala yang berubah menjadi
serigala tiap bulan purnama penuh. Dan leluhur kami, Chiarra Spirit, yang
pertama dikutuk seperti ini, mengutuk keluarga Mudparson. Mengutuk mereka
menjadi manusia lumpur tiap siklus bulan mati. Keluarga kami akan selalu
bermusuhan karena masalah ini, setidaknya sampai kutukan ini tercabut. Tapi
untuk itu kedua keluarga ini harus bekerja sama.
Seorang perempuan keluarga Spirit harus membimbing
seorang laki-laki keluarga Mudparson saat mereka berubah menjadi sosok yang
paling mereka benci, dan mencari benda yang konon dicari oleh Chiarra Spirit
dan leluhur keluarga Mudparson, Paolo. Di mana tepatnya, tak ada yang tahu.
Nah, bagaimana seseorang bisa mencari sesuatu yang tempatnya di mana saja dia
tak tahu? Dan bagaimana tepatnya seseorang harus mencari harta bersama orang yang berasal dari keluarga yang merupakan
musuh bebuyutan keluarganya sendiri?
Aku benci kehidupanku.
Aku benci situasiku.
Dan yang paling utama, aku benci kutukan ini!
*
Ada satu lagi akibat dari kutukanku ini. Aku tak bisa
berteman dengan benar-benar dekat dengan orang lain kecuali orang yang
mengetahui tentang kutukanku. Hasilnya, aku bahkan tak bisa menghafal nama
panggilan teman-teman sekelasku sendiri. Aku hanya tahu anma keluarga mereka.
Yang aku tahu nama lengkapnya paling hanya beberapa anak, itupun karena mereka
satu-satunya yang mau mengajakku bicara. Yang lain menganggapku terlalu aneh
atau tertutup atau sok untuk dijadikan teman. Yang benar saja. Memang aku mau
jadi seperti ini? Kalau mereka ada di posisiku, mereka juga pasti akan
melakukan hal yang sama.
Yang aku hafal namanya, Sienna Martinez, Mia
Rodriguez, Marie Campbell, Jasminia Walker, dan Hellen Morris. Itu yang
perempuan. Yang laki-laki, Hugo Bailey, Morgan Gray, dan Elias Delaney. Padahal
sekelas ada sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh anak. Parah.
Yang lain paling hanya aku tahu nama keluarganya.
Smith, Slater, Whitfield, Lancaster, Clements, Donovan, MacPerson, … siapa
lagi, ya? Entahlah. Aku benar-benar tidak punya teman. Kurasa mereka
menganggapku anak yang anti-sosial.
Mia mendatangiku dan tersenyum padaku. Aku menatapnya
dengan tatap bertanya.
“Lihat dia,” kata Mia, menunjuk seorang pemuda. Ia
sedang duduk dan berbicara dengan Morgan. “Anak baru. Ganteng, ya.”
“Lalu?”
“Kau tak mau tahu siapa namanya?”
“Jadi, siapa namanya?”
Mia tersenyum lebar. “Enzo Mudparson.”
Aku menatapnya kaget. “Siapa?”
“Enzo Mudparson. Wow, Shira. Baru kali ini aku
melihatmu tertarik pada orang lain.”
Aku tak menjawabnya. Aku menatap pemuda itu, Enzo
Mudparson. Mata kami bertemu dan aku bergidik. Sesaat aku bisa melihat
tangannya berubah menjadi tampak seperti lumpur, dan tubuhku berubah transparan
sejenak, tapi lalu kembali ke asal. Aku tetap memandanginya. Memandangi mata
cokelat tuanya, rambutnya yang gelap, posturnya yang tinggi, dan merasakan
tatapannya yang tajam. Aku tahu dia juga memandangiku, mengawasiku. Menatap
mata kelabu pucatku yang selalu kubenci karena mengingatkanku dengan warnaku
yang pucat saat berubah menjadi hantu, rambut panjangku yang berwarna cokelat
kemerahan, tubuhku yang tingginya rata-rata, dan dia merasakan tatapanku
mengawasinya dengan lekat. Masing-masing dari kami saling menatap dan tak
melepaskan pandangan dari yang lain, seakan menantang yang lain untuk
melepaskan pandangan. seakan ini starring
contest.
“Shira?”
Aku masih memandangi anggota keluarga Mudparson itu.
“Shira! Hei, Shira Spirit!”
Aku mengalihkan pandang pada Mia kembali.
“Shira, kau…” kata Mia, wajahnya tampak syok. Aku
mulai merasakan jantungku berdegup lebih cepat. Apa Mia melihat sosokku memudar
dan menjadi transparan?
“... kau… aku belum pernah melihatmu tampak begitu
bersemangat saat melihat laki-laki.”
Oh, rupanya rahasiaku belum terbongkar. Tunggu. Dia
bilang bersemangat?
“Mia,” panggilku, “’bersemangat’?”
“Ck, Mia!” kata Sienna yang mendadak muncul di
sebelahku. “Itu sih bukan bersemangat. Dia terlihat bergairah!”
“Ya, bergairah untuk… entahlah,” kat Jasminia yang
juga muncul. “Kau tahu, Shira, matamu tadi… bukan hanya memancarkan gairah,
tapi juga… kemarahan dan kebencian. Apa kau mengenal anak baru itu?”
“Tidak secara pribadi,” kataku. “Tapi aku tahu apa sebetulnya dia dan keluarganya.”
“Apa?” tanya Helen, mencampuri obrolan kami. “Bukan
siapa?”
Aku tak menjawab. Aku melipat tangan di depan dada,
megawasi Enzo Mudparson. Benar, Mudparson yang itu. Si manusia lumpur yang
dikutuk Chiarra Spirit. Yang mengutuk keluarga Spirit menjadi hantu tiap siklus
bulan mati.
Musuh bebuyutan keluarga Spirit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar