Datanglah
ke belakang gedung olah raga pulang sekolah ini. Ada sesuatu yang harus
kubicarakan denganmu. Tolong datang sendirian. Ini masalah penting. Masalah
keluarga. Orang lain tak boleh tahu.
Enzo
Mudparson
Masalah keluarga? Hm. Apa dia berniat membuat perang
terbuka dengan keluarga Spirit? Dia pasti sudah siap mati. Kami bisa saja
merasukinya. Mereka manusia lumpur, mereka padat. Mereka tak punya harapan
melawan kami yang sudah setengah hantu.
Aku mengambil kertas kosong dan menulis:
Gedung olah raga kurang sepi. Kalau ini
memang masalah keluarga, lebih baik datang saja ke gudang. Lebih sepi, lebih
sedikit kemungkinan ada yang menguping. Pulang sekolah. Aku akan menunggumu.
Shira Spirit
Yap. Kurasa itu cukup. Aku melipatnya dan
meletakkannya di meja Mudparson, kemudian berjalan tenang ke toilet.
*
“Ada apa memanggilku untuk bicara?” tanyaku langsung
saat Enzo datang ke gudang sekolah.
“Bicara ya bicara saja,” katanya santai.
Aku memutar bola mata. “Bicara apa?”
“Masalah keluarga,” kata Enzo. “Kau keluarga Spirit,
aku Mudparson. Kalau hanya kebetulan nama keluarganya sama, tak akan kupanggil
kau ke sini. Tapi aku bisa merasakan adanya darah Chiarra Spirit yang mengalir
dalam nadimu.”
“Dan aku bisa merasakan darah Paolo Mudparson dalam
nadimu,” kataku. “Baunya tercium jelas di udara.”
Enzo mengangguk. “Sama. Kemampuan mengendus darah ini
sebenarnya sedikit membuatku ngeri.”
“Aku juga, tapi lupakan itu. Apa maumu? Bicara masalah
keluarga apaan?”
Enzo tak mengatakan apa-apa. Ia memejamkan mata dan
seluruh tubuhnya bergetar sedetik. Kemudian, saat ia membuka kembali matanya,
aku memekik. Matanya telah berubah.
Bukan berubah jadi terlihat marah atau apa! Kalau
hanya itu aku tak akan merasa kaget. Tidak sekaget ini. Tapi matanya telah
berubah total. Kini mata cokelat tuanya berubah menjadi kuning terang, pupilnya
menjadi celah seperti mata kucing.
“Enz – “
“Aku tahu,” kata Enzo tenang. “Ini hanya mataku. Saat
berubah menjadi manusia lumpur, mataku akan berubah menjadi seperti ini.”
Aku terdiam. “Jadi kita sama. Kau punya bakat itu.”
Enzo mengangguk. Matanya berangsur-angsur kembali
seperti semula.
Benar. Kami punya bakat itu. Saat bukan siklus bulan
mati sekalipun, kami bisa mengendalikan agar kami bisa berubah; aku menjadi
hantu dan Enzo menjadi manusia lumpur. Anehnya, saat bulan mati aku tak bisa
menahan agar aku tak berubah. Mungkin Enzo juga sama.
“Kenapa kau tak berubah menjadi manusia lumpur
sepenuhnya?” tanyaku penasaran.
Enzo menggeleng. “Kalau aku berubah sepenuhnya, kau
akan berubah menjadi hantu dan kita hanya akan berkejaran, saling memburu.
Insting kita akan mengambil alih, dan Enzo dan Shira akan hilang; kita akan
saling memburu selamanya sampai salah satu dari kita hancur dengan sendirinya.”
Aku menunduk dan memejamkan mata. Saat aku emmbukanya
kembali, mata Enzopun telah berubah.
“Perubahanmu membuatku ikut berubah,” katanya.
“Padahal perubahanku tak membuatmu berubah.”
Aku mengangkat bahu. “Beda orang beda sensitivitas.”
Enzo menatap mataku lekat. “Saat masih manusia biasa
matamu kelabu tanpa warna. Saat berubah matamu menjadi biru terang.”
“Beda orang, beda warna.”
“Masalah tadi… aku ingin meminta tolong.”
“Apa?”
“Kau mau melepaskan kutukan ini?”
Aku mengerjap. “Memangnya bisa?”
“Bisa saja kalau mau.”
“Tapi aku tak bisa…”
“Kau memang tak bisa,” potong Enzo. “Tapi kita bisa.”
Aku memekik saat menyadari kebenaran kata-katanya.
Seorang Spirit, seorang Mudparson. Kami bisa melepaskan kutukan ini.
Lalu kenyataan menghantamku dengan kejam. Kalaupun
kami memang bisa melakukannya, bagaimana kami bisa melakukannya tanpa tahu di
mana harta yang konon dicari Chiarra dan Paolo berada? Lagipula, legenda
menyatakan dengan jelas kalau harta itu hilang. Tak pernah bisa ditemukan lagi.
“Dan tenang saja,” kata Enzo. “Aku tahu di mana harta
itu.”
*
Kami berdua sedang bercokol di perpustakaan, membuka
buku tentang legenda dan sebagainya sementara Enzo menjelaskan padaku di mana
letak harta yang dulu dicari Chiarra dan Paolo saat mendadak sebuah buku
dibantingkan di depan wajahku, membuatku hampir memekik karena kaget.
“Ah, rupanya Shira sudah punya pacar, ya?”
Aku menatap wajah musuh bebuyutanku itu dengan kesal.
“Tiera, jangan ganggu aku sekarang.”
“Dingin sekali,” katanya dengan wajah terluka yang
dibuat-buat. “Tidakkah kau setuju, Jose?”
“Mmm,” Jose – Joseph sebenarnya, tapi semua orang
memanggilnya Jose – menyetujui. “Memang agak terlalu dingin.”
Tiera Soul dan Joseph Wolve. Seperti yang sudah kubilang,
musuh bebuyutanku. Selalu membuatku kerepotan. Tiera selalu berusaha menyaingi
dan menjatuhkanku dalam hal apapun, Jose selalu membatu Tiera melakukannya.
Hasilnya? Kombinasi maut. Kalau aku benar-benar sendirian, aku sudah pindah
sekolah sekarang.
“Jadi, pacarmu?” tanya Tiera seakan meminta kepastian.
“Bukan, teman kerja kelompok,” sahutku ketus. “Memangnya kau
siapaku sampai aku harus melapor padamu kalau aku punya pacar atau sesuatu?”
“Teman terbaikmu,” jawab Tiera dengan senyum berbisa,
membuatku tertawa sinis.
“Tentu saja,” balasku sarkastis. “Dan sebagai teman yang
baik, aku harus melapor padamu tiap kali aku punya kegiatan baru agar kita bisa
melakukannya bersama, benar? Yang benar saja.”
“Memang benar,” kata Tiera, tersenyum lebar. “Dan lalu kita
berkompetisi secara sehat untuk mendapatkan gelar ‘yang terbaik’.”
Aku baru saja membuka mulut untuk membalas ucapanya saat
Enzo menepuk bahuku. Aku menatapnya dengan kesal. Ia menunjuk sudut lain
perpustakaan dan mengerti kenapa ia menyetop perang mulutku dengan Tiera.
Hampir semua orang di perpustakaan sudah memandangi kami dengan tatap kesal
karena merasa terganggu. Aku tersenyum meminta maaf dan menarik Enzo keluar,
meninggalkan Tiera dan Jose di dalam perpustakaan.
Aku membawa Enzo ke taman yang ramai. Akan sulit untuk
menguping pembicaraan orang kalau tempatnya ramai seperti ini.
“Jadi, di mana?” tanyaku langsung.
Enzo mengambil peta yang dikantonginya. Ia membuka
peta itu dan menunjuk satu daerah. “Di sini.”
Aku melongo tanpa bisa berkata-kata. Aku menunjuk peta
itu dan menatapnya dengan wajah bodoh, tak dapat mempercayai apa yang baru saja
diberitahukannya padaku.
“Di situ?” tanyaku setengah tercekik dengan suara
melengking tinggi.
Enzo mengangguk, wajahnya tampak sedikit pucat, dan
amat jelas terlihat kalau ia juga tidak menyukai apa yang baru saja
dikatakannya padaku.
“Terra de la Catala,” katanya. “Tanah Kutukan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar