Rabu, 29 Desember 2010

EPILOG: DAPHNE’S MESSY TURN

“JASON!!!”

“Auw, adow, aduh, auw, ouch, OW!!!”

Tak memedulikan pekikan kesakitan Jason, aku terus memukulinya. “Berhenti mengacau
seperti itu! Aku sedang menulis, jangan menggangguku!”

Jason menyeringai lebar. “Tapi penulisanmu hebat sekali, Daph. Imajinasimu bagus
sekali. Aku bisa mengubah ranting jelek menjadi tongkat? Kau bisa mengubah masa
depan? Wow!”

Aku memukul Jason kuat-kuat di wajah menggunakan bantal. “KELUAR DARI KAMARKU DAN
JANGAN BERANI-BERANI MEMBACA APA YANG SUDAH KUTULIS LAGI!!!”

Jason menyeringai makin lebar. “Tentu, Daph. Gunakan kemampuanmu untuk mengubah masa
depan untuk mengusirku.”

“JASON!!! Kubilang, KELUAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Jason berbalik dan melangkah pergi sambil tertawa terbahak-bahak. “Oke, lalu apa
yang akan dikatakan Calypso, Theo, Erato, Ares, James dan Laurel? Oh, dan jangan
lupakan Argus. Mereka pasti ingin membaca kisah khayalanmu itu, Daph. Apollo dan
Artemis hanya tokoh buatan, bukan? Juga Gyle. Dan, oh, kau punya tiga Kepingan Waktu
dalam tubuhmu?”

“JASON!!! KUBUNUH KAU!!!!!!!!”

Jason berlari keluar kamarku sementara aku melemparkan sisir bergagang kayu ke
arahnya. Sayangnya lemparanku meleset.

Aku menatap kamarku dan mendengus. Andai saja aku benar-benar punya kemampuan untuk
mengubah masa depan. Akan kubuat Jason membersihkan kamarku sekarang juga.


~end~

By: Daphne
Ups. Maksudku, Eve. Di cerita ini Daphne ceritanya menceritakan imajinasinya. Tapi sebetulnya Eve (aku) yang menuliskan ini semua. Hei! Kau percaya padaku, kan? Aku, Eve, yang menulis semua ini! Heei! Jangan membuat raut wajah tak yakin seperti itu!!!
29 Des. 2010

CHAPTER 19: DAPHNE’S TURN

Mataku segera membiasakan diri dengan kegelapan itu, dan saat melihat semua orang
nyaris bertabrakan di kegelapan, aku segera setengah mati menahan tawa. Protes dan
teriak kesakitan berkumandang di udara.

“Auw! Siapa itu tadi?!”

“Aduh! Itu kakiku!”

“Aaaakh! Jangan tarik rambutku!”

“Jason, apa itu kau?!”

“Bukan, Kelli! Aku jauh darimu!”

“Mana bisa kau tahu di kegelapan seperti ini?! Dan jangan panggil aku Kelli!”

“Ini bukan saatnya untuk bertengkar, kalian berdua!” kataku geli saat mendengar
Jason dan Calypso bertengkar seperti anak kecil.

“Aku tahu, Daph…” keluh Jason, seperti anak kecil. Kemudian semua suara menghilang.

“DAPHNE?!”

Semua mata tampaknya sudah terbiasa dengan kegelapan sekarang. Semuanya menatapku
dengan mata terbelalak lebar seakan bola mata mereka hampir meloncat keluar dari
tempatnya.

“Eng… apa?” tanyaku bingung.

“Daphne – kau – Daph – kenapa – “ Jason tampaknya tak bisa menyusun kalimat sama
sekali.

“Berhenti bicara seperti orang bodoh begitu,” dengusku dingin. “Katakan saja apa
yang ingin kau katakan, sekarang.”

“Kenapa kau masih ada di sini?!” seru Laurel dengan raut wajah tak percaya.

Aku mengernyitkan dahi. “Memangnya harusnya aku ke mana?”

“Tapi tadi kau sudah mengalami proses itu! Seharusnya kau sudah menghilang
sekarang!” gagap Laurel lagi.

Aku mengernyitkan dahi lagi, kini ditambah dengan mulut yang terbuka. “Tunggu…
proses? Hilang? Apa yang hilang? Memangnya kau kehilangan jam pasirmu?”

“Tunggu, tunggu dulu,” kata Gyle sambil mengangkat tangannya. “Apa yang kauingat?”

“Well,” aku memulai, “aku merebut jam pasir dari James, cahaya menghilang, lalu
kalian mulai bertingkah aneh seperti ini.”

“Hanya itu?”

“Memangnya harus ada lagi?”

“’Tingkah aneh’ itu tergantung dari sisi mana kau melihatnya, Daphne,” kata Ares.

“Ya,” kata Theo setuju. “Menurut kami, yang tingkahnya aneh di sini hanya kau
sendiri. Tapi menurutmu yang aneh kami. Aku mulai bingung di sini.”

“Aku bisa jelaskan itu.”

Aku menutup mulutku dengan kaget. Apa tadi aku bicara? Aku tidak merasa seperti
bicara. Apa itu tadi? Itu bahkan bukan suaraku. Lalu suara siapa? Aduh. Aku hanya
membingungkan diriku sendiri di sini!

“Daphne?”

“Itu bukan – Kubilang, aku bisa menjelaskannya – Hei, jangan membajak mulutku! Siapa
kau?” kataku – dan sesuatu yang memanfaatkan mulutku.

Suara itu terdengar cukup familier… tapi siapa?

“Daphne, kau yakin kau tidak sakit?”

“Itu bukan suaranya.”

“Memang bukan!” kataku kesal.

“Kalau begitu siapa?”

“Mungkinkah… Kepingan Waktu?” tanya Laurel.

“Benar,” kata suara itu lagi. Tiga suara bertumpuk. Dan suara itu menggunakan
mulutku lagi.

“Kenapa kalian gunakan mulutku?” tanyaku kesal. Rasanya seperti orang gila, bicara
pada diri sendiri seperti ini.

“Karena kami ada dalam dirimu.”

Aku ternganga.

“Tunggu! Jadi prosesnya berjalan lancar?” tanya Jason.

“Cukup lancar,” kata suara itu lagi. “Itu benar Daphne menolak, dan menyebabkan
sedikit rasa sakit tadi – “

“Sedikit? Lalu kenapa dia menjerit begitu keras sehingga koneksinya terputus tadi?”
gumam Argus tak jelas, kesal.

“ – tapi sebetulnya, dalam hatinya, ia menerimanya. Kemungkinan karena tak ingin
mengkhianati kepercayaan kalian padanya.”

Aku terdiam mendengar kata-kata itu.

“Ah, jadi begitu?” kata Jason, mulai menggodaku. “Jadi anak kecil ini percaya pada
kami?”

Aku bisa merasakan wajahku memerah. “Berhenti menggodaku, Jason. Kau tak pernah
berkata kau percaya padaku. Aku juga tak pernah berkata aku percaya padamu.”

“Ouch!”

“Tapi pada intinya, kami bisa berdiam di tubuh Daphne,” kata suara itu lagi. “Dan
supaya kami tidak mengganggunya lagi, kami akan mengalami tidur panjang sampai
kematiannya, untuk mencari tubuh baru lagi.”

“Bukannya kalian akan menghilang bersama waktu?” tanya Laurel.

“Teori lama,” kata suara itu lagi, kini terdengar bosan. “Kami ingin mencoba hal
baru. Kami sudah menghilang dan muncul berkali-kali dalam sejarah. Kini kami
memutuskan, tak akan ada hilang lagi.”

“Oke…”

“Jadi, jaga kami dengan baik, Daph.”

Mendadak, aku merasakan sentakan kuat di punggung, membuatku jatuh berlutut. Seakan
tenagaku menghilang mendadak.

“Argh, apa itu tadi?” erangku kesal. “Ada yang bisa jelaskan apa yang terjadi tadi?!
Aku sama sekali tak mengerti!”

Semua orang berpandangan dan tersenyum.

“Nanti, Daph,” kata Jason. “Sekarang, ayo kita pulang.”

CHAPTER 18: JASON’S TURN

Keheningan yang dipenuhi ketegangan menggantung di udara sementara kata-kata Laurel
meresap masuk ke benak setiap orang. Semuanya saling memandang dengan gugup dan
cemas. Bagaimana kalau akhirnya Daphne menghilang?

“Auw…”

Serentak, semua orang menoleh. Argus yang menyadari kalau ia dipandangi, bergeser
mundur dengan teratur.

“Uh… apa?” tanyanya gugup.

“Agus!” seru Gyle tiba-tiba. “Argus! Mungkin dialah kunci untuk menyelamatkan
Daphne!”

“Hah?” Argus tampak tak paham. Ia memandangi Gyle seakan Gyle orang gila. Tapi semua
orang selain Argus paham.

“Apa dia menguasai ilmu…?”

“Telepati, ya. Itu berarti ia bisa bicara dengan Daphne, sekarang juga, walau kita
tak bisa mendekati Daphne karena energi yang dipancarkannya terlalu kuat.”

“Itu bisa berhasil!” seru Calypso girang.

“Dia bisa selamat!” sambut Thalia dan Erato.

“Argus! Bisakah kau membuat koneksi dengan Daphne sekarang?” tanya Ares, segera
bergerak.

“Konek – hah?”

Aku menjitak kepala Argus kesal. “Telepati, Argus, telepati! Astaga!”

“Oh, kenapa tak jelaskan dari tadi?” tanya Argus, membuatku merasa ingin memukulnya
lagi. “Tunggu sebentar. Kalian bisa ikut mendengar dan berkomunikasi dengan Daphne
kalau aku menghubungkan kalian semua, tapi itu akan butuh sedikit waktu.”

Argus menunduk dan memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian suaranya berkumandang
di kepalaku.

“Apa suaraku terdengar?”

Aku menarik nafas kaget dan menatap Argus tak percaya. Ia menatapku dengan tatap
bertanya.

“Terdengar,” batinku kagum.

“Jelas sekali,” terdengar suara Erato di kepalaku.

“Baguslah kalau begitu. Aku akan membuat koneksi dengan Daphne sekarang. Daphne!”

Suara Daphne terdengar di kepalaku, kaget, sedikit lemah. “Argus?”

“Jangan menolak tawaran itu,” sambarku sebelum Argus bisa bicara apa-apa.

“Apa?”

“Jangan tolak tawaran itu!” ulangku.

“Kenapa?”

“Kau tak berguna kalau kau menghilang,” ucap Calypso sarkastis.

“Biasanya aku akan mengoreksi kata-kata seperti itu, tapi kali ini aku setuju
sepenuhnya,” kataku. “Ya, kau tak berguna kalau kau menghilang.”

“Tapi kalau aku menerimanya… bagaimana aku tahu aku akan benar-benar aman?” tanya
Daphne ragu. “Diam! Kalian sama sekali tidak memberiku jaminan kalau aku akan
benar-benar aman!”

“Daphne?” panggil Argus kaget dan bingung.

“Oh, maaf. Aku bicara dengan ketiga Kepingan Waktu itu tadi.”

“Daphne, sebaiknya kau terima tawaran itu,” kata Laurel. “Aku tahu seperti apa
perasaanmu sekarang – “

“Tidak, kau tak tahu,” potong Daphne datar.

“ – tapi aku benar-benar menyarankanmu untuk menerima tawaran itu – “

“Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?! Kau mau aku membawa-bawa Kepingan Waktu ke
mana-mana setiap saat?!” Daphne memotong Laurel lagi dengan kesal.

“ – karena tak seorangpun dari kita di sini ingin kau menghilang,” Laurel terus
melanjutkan seakan tak ada apapun yang memotong ucapannya.

Daphne tak berkata apa-apa lagi.

“Asal kau tahu saja, Daph, Laurel benar,” kata Ares. “Tak ada yang ingin kau
menghilang.”

“Bisakah kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau kau menghilang?” tanya Thalia.

“Tak ada yang akan mengingatmu,” kata Erato.

“Menghilang begitu saja,” kata Theo. “Tak ada yang mau, Daphne. Terima sajalah.
Lebih baik begitu daripada kau menghilang.”

“Tapi – “

“Daph!” seruku kesal. “Terima saja!”

“Tak akan!” seru Daphne balik, amat keras kepala. “Aku menolak dengan sepenuh hati!”

Terdengar suara nafas tertahan dari setiap orang.

Dan,

“AAAAAAAAAAAAA!!!!!”

Aku menoleh ke tubuh Daphne. Kini tubuhnya memancarkan cahaya putih kemilau yang
amat kuat.

“Daph!”

Aku berbalik, hendak menghampiri Daphne, tapi Laurel menahanku.

“Jangan!” serunya. “Kalau kau merusak proses penyatuannya, ia bisa lenyap lebih
cepat! Sudah kubilang, segalanya tergantung pada Daphne sendiri. Percuma kau
berusaha mencegahnya sekarang. Sudah terlambat.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Daphne… lenyap? Aku tak bisa percaya.

Mendadak cahaya itu menghilang. Karena belum terbiasa dengan keadaan ini, segalanya
tampak gelap gulita bagiku. Tak ada cahaya sama sekali.

Aku berbalik, berusaha mencari jalan keluar. Mungkin dari luar akan terlihat cahaya.
Tapi sepertinya semua orang juga berpikiran seperti itu karena tak lama kemudian
segera terdengar suara protes dan teriak kesakitan.

“Auw! Siapa itu tadi?!”

“Aduh! Itu kakiku!”

“Aaaakh! Jangan tarik rambutku!”

“Jason, apa itu kau?!”

“Bukan, Kelli! Aku jauh darimu!”

“Mana bisa kau tahu di kegelapan seperti ini?! Dan jangan panggil aku Kelli!”

“Ini bukan saatnya untuk bertengkar, kalian berdua!”

“Aku tahu, Daph…”

Dan, semua orang terdiam.

“DAPHNE?!”

CHAPTER 17: DAPHNE’S TURN

“Aduh!”

Seruanku menggema ke segala arah. Aku segera menoleh untuk menyelidiki di mana aku
sekarang. Apa yang kulihat membuat mulutku ternganga lebar.

Bukan sesuatu yang terlalu ‘wow’. Justru sangat biasa. Aula luas luar biasa,
tertutup. Putih di mana-mana. Tak ada yang terlihat selain warna putih, tidak bahkan
bayanganku sendiri. Aku tak bisa melihat apa ada bayangan, sedikitpun. Ini
menakjubkan sekaligus mengerikan. Aku tak bisa mengira-ngira luas luangan ini. Aku
tak bisa melihat warna lain. Aku tak tahu di mana aku sekarang.

Oh Tuhan. Bahkan seorang ‘gila warna putih’ sekalipun pasti akan merasa ketakutan
melihat yang seperti ini.

“Daphne…”

Aku menoleh ke sana-ke mari mencari asal suara. “Siapa itu?”

Tak ada orang. Hanya suara. Aku merinding. Apa-apaan ini? Terlalu mengerikan. Apa
aku didekati hantu? Aduh, jangan sampai! Amit-amit! Aku paling takut dengan hantu…

“Kau tak mengenali kami, Daphne?”

“Kami…?” Kami? Kami? Aah, jangan bilang hantunya ada banyak!!! Aku jadi ingin
menjerit ketakutan!

“Ya… Kami yang saat ini sedang kaupeluk erat-erat, tak mampu kau lepaskan…”

“Hah? Tapi aku tidak memeluk apa-apa!”

“Yang dipeluk oleh raga kasarmu, bukan jiwamu ini.”

“Raga kasar… Hah?! Yang tadi kupeluk itu bukannya… jam pasir Laurel?”

“Benar,” jawab suara itu. Kini aku menyadari kalau suara itu terdengar seperti suara
tiga orang. Yang satu agak serak, yang lain agak rendah, lainnya lagi lebih tinggi,
tapi secara keseluruhan semua suara itu mirip.

“Jadi kalian adalah… ketiga Kepingan Waktu?” tanyaku.

“Benar,” jawab mereka.

“Tapi… Kepingan Waktu…?”

“Kepingan Waktu memiliki nyawa,” suara itu kini terpisah, dan kata-kata itu
diucapkan oleh si suara serak.

“Nyawa…?” kataku tak paham, merasa bodoh. Dari tadi yang kukatakan hanyalah
pertanyaan. Kenapa rasanya aku tidak bisa mengatakan sesuatu yang lebih pintar? Aku
hanya mengulang kata terakhir dari penjelasan mereka!

“Benar,” kata yang memiliki suara rendah.

“Kami adalah satu yang terbagi menjadi tiga, kami memiliki kendali akan waktu, kami
bisa membunuh diri kami sendiri dalam satu waktu, namun kami memerlukan raga kasar
untuk dihancurkan agar keberadaan kami di dunia menghilang,” kata yang memiliki
suara tinggi.

“Hah? Memangnya kalian mau bunuh diri?” tanyaku heran.

“Kami belum selelasi bicara,” kata si seara rendah.

“Oh.”

“Kami bisa membunuh diri kami sendiri, atau menyelamatkan diri kami sendiri, dengan
cara yang sama,” kata si pemilik suara tinggi lagi. “Harus ada raga kasar untuk
menampung kami, membawa esensi kami dalam tubuh itu.”

“Eh… ya?” aku masih tak paham apa maksud mereka.

“Dan untuk itu kami menginginkan raga kasar… tubuhmu.”

Aku ternganga. “Hah? Tubuhku?”

“Kami memerlukan tubuhmu untuk menyelamatkan diri. Kami harus tetap hidup kecuali
kalau tak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk tetap menyelamatkan diri. Tapi
kondisi saat ini tak memungkinkan kami untuk tetap tinggal dalam jam pasir itu. Kami
butuh tubuh seseorang yang bisa melindungi dan tidak memanfaatkan kami.”

“Aku?” tanyaku lagi. “Wow. Aku berterima kasih dan merasa amat tersanjung karena
permintaan kalian ini, tapi maaf, sepertinya lebih baik aku menolak.”

“Hanya ada satu pilihan jawaban bagimu,” kata mereka bersamaan, “yaitu menerima
tawaran ini.”

“Kenapa?”

“Karena proses penyatuannya sudah dimulai sejak tadi,” jawab si suara serak dengan
nada polos dan lugu.

“Apa?! Kenapa tidak menanyakannya dari tadi, kalau begitu?!”

“Karena kami baru bisa menanyakannya sekarang, saat sebagian dari kami sudah
tergabung denganmu.”

“Terlambat! Mana bisa aku menolak kalau begini caranya?!”

“Kau benar-benar serius ingin menolak tawaran ini?”

Aku menghela nafas panjang. “Apa yang akan terjadi kalau aku menolak?”

“Karena proses peleburannya sudah terjadi, maka yang akan terjadi adalah tubuhmu
akan ikut hancur bersama dengan kami begitu kami melebur menjadi satu dengan waktu.”

“AARGH! Kenapa nasib seperti ini harus terjadi padaku?!”

“Kau harus memilih. Apa nasib yang kauinginkan? Tetap hidup walau harus membawa
kami, atau melebur bersama kami dan tak ada yang akan mengingatmu lagi?”

Aku menelan ludah. Apa yang harus kupilih? Aku tidak mau membawa mereka dalam
tubuhku! Terlalu besar tanggung jawabnya! Lagipula, bagaimana kalau mereka lalu
memutuskan untuk mengeksploitasi tubuhku? Memanfaatkannya sampai batas terakhir? Aku
tak mau melakukannya!

Aku membuka mulut, hendak menolak, tapi lalu terdengar suara lain.

“Daphne!”

Aku menoleh ke sana ke mari, kebingungan. “Argus?”

“Jangan menolak tawaran itu.”

CHAPTER 16: JASON’S TURN

Laurel petarung yang hebat.

Itulah kesimpulan yang bisa kuambil saatia mulai menyerangku. Dia cepat,
keseimbangannya bagus, serangannya kuat, lincah, dan senjatanya amat cocok
dengannya. Pedang apa itu? Sepertinya cutlass. Atau medieval? Gerakan Laurel terlalu
cepat. Aku bahkan tak sempat memastikan jenis pedangnya.

Aku menoleh ke belakang sejenak dan mendapati Argus masih terpaku di belakangku, tak
bisa bergera karena kesakitan dan ketakutan.

“Buat apa kau di sini?!” bentakku kesal. “Sana pergi! Cari tempat aman! Kau hanya
mengantar nyawa kalau tetap di sini!”

Argus tetap tak bergerak. Aku menangkis satu serangan Laurel dan menendangnya
menjauh. Tak ada waktu untuk kelemah-lembutan dan ramah-tamah di duel seperti ini.
Makin cepat ia menjauh, makin baik. Baik untuk konsentrasiku dan baik untuk
keselamatannya sendiri. Merasakan tendanganku itu, barulah Argus sadar, ia segera
berjalan mundur pelan-pelan.

Baguslah. Sekarang aku bisa fokus pada Laurel.

DUAK!

“ADOW!!!”

Aku menoleh ke belakang sambil mengusap-usap puncak kepalaku yang terasa sakit,
menatap Laurel penuh protes. “Itu sakit!”

Laurel, dengan tinju masih terkepal habis menjitak kepalaku keras, mendengus.
“Petarung macam apa kau ini, melupakan lawanmu sendiri? Hadapi aku sekarang. Jangan
meleng ke mana-mana lagi!”

Aku balik mendengus. “Jangan khawatir, aku tak akan melepaskan mata darimu. Bisa
kita lanjutkan?” tanyaku sambil mengubah tombakku menjadi toya. Hanya itu senjata
yang benar-benar cocok untukku.

Laurel tersenyum dan membuang pedangnya yang ternyata pedang medieval, lalu
mengambil tongkat pendek juga dari balik jaketnya, lalu mengubahnya menjadi double
stick. “Aku tak akan segan-segan lagi sekarang.”

Aku menyeringai. “Begitu pula denganku.”

Dengan segera kami tenggelam dalam pertarungan sengit. Ia menyerang, aku menangkis,
sekali toyaku berhasil ditariknya dan dia membawa dua senjata, tapi lalu aku merebut
double sticknya dan mengubahnya menjadi toya. Kemudian pertarungan itu berubah
menjadi tongkat lawan tongkat.

Aku hampir saja menang. Hampir. Dan tiba-tiba,

BOOM!!!!!!!!!!!!!!!!!

Secara otomatis aku dan Laurel menoleh ke sumber suara. Aku ternganga.

“Daphne!”

Tubuhnya hanya berupa siluet, tapi jelas itu Daph. Siluet itu bukanlah siluet biasa.
Siluet ini bukan bayangan melainkan cahaya. Cahaya biru keemasan, kuat dan
memancarkan energi menakjubkan. James terlempar ke belakang.

Tak lagi mempedulikan Laurel, aku berlari ke arah Daphne, membuang toyaku tak peduli.

Gyle menarikku. Aku melotot ke arahnya sambil berkata, “Apa?”

Cukup tak sopan, aku tahu. Apa lagi buat orang yang jauh lebih tua sepertinya. Tapi
aku terlalu mencemaskan Daphne… dan diriku sendiri. Orangtuaku bisa mencincangku
kalau dia sampai terluka.

“Saat ini tak ada yang bisa kaulakukan,” katanya. “Sebelumnya ada sesuatu yang harus
kuberi tahukan. Laurel bukanlah antagonis di sini. Dia hanya dimanfaatkan. Yang
sesungguhnya menginginkan kuasa atas waktu adalah… James.”

“Kau serius?”

“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?”

“Tidak.”

Aku menatap Daphne lekat. “Apa yang sedang terjadi padanya?”

Gyle tampak ragu. “Dia…”

“Gyle, jawab aku!”

Gyle menelan ludah, tampak sedikit gugup. “Kepingan-Kepingan Waktu itu sedang
menyatu dengan dirinya. Di saat ketiga Kepingan Waktu ada dalam bahaya, secara
otomatis ia – mereka – akan menyatu dengan sesuatu yang menurut mereka bisa
melindungi mereka. Dan Daphne adalah orang yang menurut mereka bisa melindungi
mereka.”

“’Mereka’?” tanyaku bingung.

“Ya, ‘mereka’,” kata Gyle. “Kepingan Waktu adalah sesuatu yang bernyawa, hidup.
Mereka bisa memilih seseorang yang paling pantas untuk menjadi penjaga mereka. Saat
ini, penjaga mereka adalah Daphne. Mungkin Laurel tak akan mendapat gelar Penjaga
Waktu lagi karena kini Daphnelah yang menjaganya.”

Terdengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh. Laurel berdiri di sana,
menatap Gyle dengan tak percaya.

Gyle, menyadari keberadaan Laurel, menariknya hingga jatuh berbaring dan menahannya
di tanah.

“Apa yang kaulakukan?!” tanyaku kaget.

“Mencoba menghilangkan pengaruh James dari pikiran dan memorinya!” jawab Gyle.
Lagi-lagi tubuh Laurel diselubungi cahaya terang, sementara ia memekik-mekik dan
memberontak berusaha melepaskan diri dari pegangan Gyle.

Mendadak ia berhenti memberontak dan memekik. Cahaya yang menyelubunginya lenyap,
dan aku bisa melihatnya membelalakkan mata dengan tak percaya.

“Oh Tuhan,” bisiknya. “Apa yang sudah kulakukan?”

Gyle tersenyum lelah. “Kau sudah sadar sekarang?”

Laurel duduk tegak dan tampak berusaha mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelumnya.
“James…” ia berbisik lemah. “Astaga. Aku bodoh.”

“Bukan salahmu,” kataku. “Kalaupun itu memang salahmu, tak ada yang bisa kaulakukan
selain memperbaikinya sekarang.”

“Kurasa begitu,” desah Laurel.

“Kau bisa membantuku sekarang?” tanyaku. “Daphne…”

Ia menoleh dan memandang Daphne lalu memekik. “Oh tidak!”

“Ada apa?” tanya Gyle. “Kepingan Waktu memang menyatu dengannya, tapi itu tidak
berbarti buruk, bukan?”

“Atau itu artinya buruk?” tanyaku waswas.

“Buruk,” jawab Laurel. “Buruk, buruk, amat buruk, amat sangat buruk, terlalu buruk…”

“Kenapa?” tanya Erato dari belakang Laurel tiba-tiba, membuatnya terlonjak. Aku
melirik ke belakang punggung Erato. Tampak Thalia dan Calypso sedang merawat
luka-luka Ares dan Theo yang sudah sadar. Luka memar buatanku. Sementara itu, Argus
dalam keadaan pingsan terbaring di dekat Thalia. Memar tampak di pelipisnya.

“Ada sesuatu pada Kepingan Waktu yang hanya diketahui Penjaga,” kata Laurel.

“Yaitu?”

“Saat ketiga Kepingan Waktu menyatu dan merasuk ke dalam tubuh orang yang mereka
anggap pelindung, segel waktu akan terlepas,” kata Laurel.

“Lalu?”

Laurel tampak memandangi Daphe dengan putus asa. “Kalau prosesnya berlangsung
seperti itu, ia bisa menyatu sepenuhnya dengan Kepingan Waktu – “

“Aku sudah tahu itu.”

“ – dan Kepingan Waktu itu akan memudar, menyatu dengan waktu, membawa Daphne
bersama mereka, itu berarti Daphne akan menghilang juga!”

Aku terbatuk. “’Menghilang’…?”

Laurel mengangguk.

Mendadak James muncul di sebelah Laurel. “Apa itu maksudnya? Kau tak pernah
mengatakannya padaku!”

“Aku memang sudah disumpah untuk tidak mengatakannya kecuali kalau itu terjadi,”
kata Laurel. “Aku minta maaf. Ini salahku.”

“Bukan salahmu,” ralat Gyle. “Salah kakakmu. Kalau dia tidak menyihirmu kau tak akan
melakukan hal seperti ini.”

James tampak tersinggung. “Hei – “

“Stop!” seruku memotong pertengkara mereka. ”Laurel, kau bilang ada dua kemungkinan.
Apa kemungkinan kedua?”

“Daphne menyatu seutuhnya dengan ketiga Kepingan Waktu,” kata Laurel, “prosesnya
berjalan tanpa gangguan. Bila beruntung, ketiga Kepingan Waktu akan tinggal dalam
tubuhnya dan tak akan memudar dengan membawanya pada ketiadaan sampai kematiannya.
Tapi kalau prosesnya terganggu… atau tak berjalan lancar… kemungkinan pertama sangat
mungkin terjadi.”

“Dan yang bisa memastikan kelancaran prosesnya?”

“Daphne sendiri,” bisik Laurel. “Kalau ia menolak, kemungkinan pertama terjadi.
Kalau menerima, kemungkinan kedua. Kepingan Waktu bukanlah benda mati. Ia – mereka –
hidup. Sehidup aku, sehidup kita semua. Ia – mereka – bisa memberikan pilihan pada
Daphne dan melakukan apapun kalau ia menolak. Semuanya tergantung pada Daphne
sendiri.”

CHAPTER 15: DAPHNE’S TURN

“Jadi, kalian datang ke sini,” kata Laurel. “Tak kusanga kalian berhasil menemukanku. Tapi kurasa itu karena Apollo dan Artemis, bukan? Cara licik.”

“Apa bedanya denganmu?” sergahku. “Kau sendiri mencuri kemampuanku saat dalam mimpi.
Mana bisa aku mengetahuinya.”

“Rupanya kau sudah menyadarinya?” tanya Laurel. “Sedikit terlambat, sebetulnya.
Tapi, yah, sudahlah. Sekarang, berhubung kalian semua sudah ada di sini, bisa kita
mulai permainannya?”

Sebelum ada yang sempat bersuara untuk menyahutnya, bumi berguncang dan Ares dan
Theo memulai invasi mereka. James tak terlihat di manapun. Dasar pengecut.

Ares menerjang dengan cepat, berusaha menggorok leherku. Aku menghindar ke samping
dengan cepat, lalu Jason muncul dengan tongkat panjang – toya – miliknya yang masih
bercahaya memanjang dengan cepat, muncul satu ujung runcing di depannya, dan ia
segera menahan serangan Ares.

“Kenapa kau mau saja diperalat Laurel?!” seru Jason, terdengar kesal. “Sadar!”

Sementara itu, Theo mulai melancarkan serangan pada Calypso. Calypso menjerit keras.

“Serangan kalian tak akan pernah melukai kami, selamanya!” seruku keras. Lalu, entah
bagaimana, serangan Theo mengubah arah haluannya, membengkok dan menyerang sisi gua.

Laurel menayapku kesal. “Seharusnya kemampuanmu yang kuambil memang yang satu itu.”

Aku menatapnya menantang. “Kalau begitu ambil saja kalau berani. Cepat. Dan aku akan
memecahkan kepalamu di dinding gua ini.”

Laurel mengangkat alisnya. “Oke.”

Ia melompat dari tempatnya di atas, siap memburuku. Tapi sebelum ia mendarat, Argus
menyambar tubuhnya dan memitingnya, kemudian, dengan satu tangan di atas kepalanya,
berteriak,

“Kuambil semua kemampuan yang sudah kaucuri dan kukembalikan pada mereka yang memilikinya!”

Laurel menjerit keras karena marah dan kesakitan, sementara tubuhnya menguarkan
cahaya terang dan energi mengerikan yang melemparkan Argus jauh ke belakang. Ia
menghantam dinding gua dan berteriak kesakitan.

Cahaya yang menguar dari tubuh Laurel itu terbagi-bagi, meluncur padaku, pada
Calypso, dan pada James. Seketika aku merasa kuat, lengkap, tak terkalahkan. Aku
menyadari kalau kemampuanku sudah kembali.

Laurel, yang sudah kembali normal, tampak berantakan. Nafasnya terengah dan
rambutnya acak-acakan, terurai lepas dan menutupi wajahnya. Ia menatap Argus yang
mengerang keras sambil mengusap kepalanya yang terbentur dinding gua.

“Kau…” katanya penuh emosi, matanya berkilat-kilat mengerikan. “Kau! Kau
menghancurkan rencanaku! Kau sudah menghancurkan segalanya! Aku akan membunuhmu!”

Laurel mengambil belati kecil dari balik jaketnya dan secepat kilat belati iu
berubah menjadi pedang panjang. Aku terkesiap.

“Jadi dia Pengguna Senjata?!” kataku kaget.

“Bukan!” jawab Gyle. “Itu kemampuan curiannya! Tapi karena sudah terlalu lama ada di
dalam tubuhnya, kemampuan itu mnyatu dengan dirinya sehingga itu menjadi
kemampuannya sendiri!”

“Sama saja! Itu sudah jadi kemampuannya sekarang!”

Laurel menerjang Argus. Argus berusaha kabur, tapi aku tahu itu percuma. Dia tak
akan berhasil melakukannya. Sepertinya ia juga menyadarinya karena dia lalu
memejamkan mata rapat dan merelakan nyawa.

Terdengar suara keras pedang beradu, dan Jason yang selama ini tak kusadari
keberadaannya mendadak sudah berdiri di depan Argus dengan pedang di tangannya,
menangkis serangan Laurel. Laurel melompat mundur dengan marah dan memasang
kuda-kuda bertarung. Jason membuang pedang yang segera berubah menjadi pisau roti,
jelas milik Ares. Ia mengeluarkan tongkat pendeknya dan mengubahnya menjadi tombak
panjang.

Omong-omong soal Ares… di mana dia dan Theo? Aku celingukan mencari kedua orang yang
sampai beberapa saat lalu dan menemukan mereka berbaring tak sadarkan diri di sisi
lain gua, dikelilingi Gyle, Artemis, Apollo, Calypso, Erato dan Thalia. Berhubung
kemampuan curian Laurel sudah dikembalikan pada pemilik aslinya, koneksi untuk
menguasai yang dihipnotispun terputus. Saat menghampiri mereka, aku menyadari kalau
keduanya mengalami uka memar yang cukup parah di sekujur tubuh mereka. Kurasa itu
karena toya Jason. Thalia sedang berusaha menyembuhkan mereka.

“Bagaimana?” tanyaku pada Thalia.

“Mereka terluka cukup parah karena Jason, tapi akan membaik,” jawabnya. Ia
mengembuskan nafas kuat-kuat. “Begitu mereka sadar nanti mungkin mereka masih akan
merasakan sakitnya. Dam kalau mereka menyadari itu hasil kerja Jason, aku yakin
mereka tak akan diam saja. Minimal dia akan dipukuli.”

Aku mengangkat bahu. “Mau bagaimana lagi? Dalam keadaan terhipnotis, mereka mencoba
untuk membunuh Jason. Tadi kulihat dia juga mendapat cukup banyak luka gores dan
beberapa luka bakar.”

Thalia tersenyum. “Berarti mereka impas.”

Mendadak Calypso menegakkan diri. “Tunggu. Laurel sedang bertarung, bukan?”

“Ya, kenapa?” tanya Gyle heran.

“Berarti Kepingan Waktu tidak ada yang menjaga?”

Aku ternganga. “Calypso, keu jenius. Ayo, sekarang kita ambil jam pasir Laurel itu.”

“Aku tidak bisa mengizinkan kalian melakukannya.”

Kami semua menoleh. James berdiri di sana, memandangi pertarungan Laurel dan Jason,
sementara di kakinya tergeletak Argus yang, sama seperti Ares dan Theo, tergeletak
tak sadaran diri. Darah mengalir di pelipisnya dan ada bekas memar di sana. Jelas
dia dipukul sampai pingsan.

Thalia, Penyembuh, secara naluriah segera bergerak untuk mengobati luka Argus, tapi
aku menariknya agar dia tak ke sana. Begitu pula Erato. Ada sesuatu pada diri James
yang mencurigakan. Aneh. Seakan dia tak rela kalau Kepingan Waktu diambil dari
Laurel.

“James, kenapa?” tanyaku waswas.

Mendadak Gyle menegakkan tubuhnya. “Jangan katakan kalau…”

James tersenyum. “Sayangnya, ya. Aku telah mengendalikan Laurel selama ini. Bukan
seperti cara Calypso, tapi aku bisa memanfaatkan psikologisnya. Ketakutannya kalau
Kepingan Waktu akan dicuri, kalau waktu dikacaukan…” ia mendesah. “Anak baik, Laurel
itu. Tapi ketakutannya membuatnya paranoid dan mendorongnya untuk menjadi seperti
ini.”

Artemis dan Apollo terkesiap bersamaan. “James, kau…”

“Sadar juga akhirnya,” sindir James. “Ya. Aku sudah mencuri kemampuan seseorang
untuk memanipulasi memori dan pikiran orang lain. Aku menggunakannya pada Laurel.
Dia sudah tahu kalau aku ingin menggunakan Kepigan Waktu untuk menguasai waktu.
Sebagai seorang Penjaga, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi semua Kepingan
Waktu. Dia megirimkan Kepingan Masa Depan pada Daphne, menyimpan Keping Masa Kini
dalam jam pasirnya, dan mengirim Kepingan Masa Lalu ke orangtua kami saat mereka
masih muda. Aku merasa kesal dan memanipulasi pikirannya. Ia segera membawa Kepingan
Masa lalu kembali, sesuai harapanku. Itu mudah karena orangtua kami saat masih muda
memang tidak mengharapkan untuk menyimpan Kepingan Masa Lalu itu. Tapi Kepingan Masa
Depan lebih sulit karena Daphne sendiri bahkan tidak menyadari kalau ia membawanya.
Laurel cukup pintar untuk bisa mengamankannya pada pecahannya sendiri, tapi sayang
dia tak punya kekebalan. Kalau punya semua kejadian ini mungkin tak akan terjadi.”

“James, kau gila!” seru Calypso tiba-tiba. “Buat apa kau mau menguasai waktu? Itu
melanggar tabu! Tak ada seorang manusiapun yang sepantasnya menguasai waktu!”

“Untuk apa?” tanya James sambil menatap Calypso tajam. “Untuk mengubah sejarah.
Untuk menyudahi kutukan Pencuri Kemampuan pada keluarga kami.”

Aku menatap Gyle dengan bingung. “Orang gila itu bicara apa?”

Gyle mendesah. “Kemampuan turun-temurun keluarga kami untuk mencuri kemampuan orang
lain berasal dari kutukan. Itulah apa yang dimaksud olehnya. James, aku tahu kau
merasa kesal. Tapi ketahuilah, tak ada gunanya kau mengubah sejarah. Apa yang sudah
digariskan akan tetap tergaris. Kalaupun keluarga kita tidak terlahir dengan bakat
itu sebagai kutukan dari leluhur kita yang berasal dari darah itu, kita akan
mendapatkannya dari darah lain. Selain itu, kau hanya menggali lubang kubur sendiri.
Kau harus tahu kalau waktu punya efek domino. Kalau kau mengubah sejarah, segalanya
aan berubah. Bahkan mungkin kau tak akan lahir, James. Sadarkah kau?”

“Aku sadar, tapi tak peduli,” jawab James. “Kau tahu, aku hampir berhasil dulu.
Laurel berhasil kubodohi. Sialnya, dia lalu mencuri kemampuanku sebagai pencuri yang
membuatku tak bisa membela diri kalau nantinya dia menyerangku. Dia mengancamku.
Kalau dia tidak melakukannya segalanya akan menjadi jauh lebih mudah.”

Aku mendengus. Malah bagus dia mencuri kemampuanmu. Kau tak akan mengacau. Kuakui
kau adalah aktor yang menakjubkan, James. Kau berhasil menipu kami semua. Bahkan
Jason yang pintar sekalipun. Tapi sayangnya ini sudah bukan waktu untuk bermain-main
lagi. Aku tak akan membiarkanmu mencapai jam pasir Laurel.”

“Tapi aku akan mengambilnya lebih dulu.,”

Aku menaikkan sebelah alis. Aku menggunakan kemampuanku saat mengatakan, “Sayangnya
aku akan ke sana dan mendapatkan jam pasir itu lebih dulu darimu, dan aku tak akan
pernah memberikannya padamu.”

“Kau mau mencobanya?”

Aku tersenyum tipis dan segera melesat berlari sesaat sebelum James mengejarku.
Berkali-kali aku hampir jatuh saat James berhasil menjambak rambutku. Tapi sama
seperti ramalanku, pada akhirnya aku mencapai jam pasir itu lebih dulu.

Saat jemariku menyentuh jam pasir itu, kesakitan mendera tubuhku. Seperti ditusuki
ribuan jarum, sama seperti rasa sakit yang diakibatkan Kepingan Masa Depan padaku,
tapi diperkuat tiga kali lipat. Aku menjerit keras saat merasakannya, tapi segera
menutup mulutku dan menaha rasa sakitnya. Aku terengah dan memeluk jam pasir itu
erat. Aku bisa merasakan kalau waktu di dalamnya memberontak. Mungkin karena aku
bukanlah seseorang dengan darah Penjaga Waktu, tapi aku tetap menahan diri. Aku
mulai merasa ada sesuatu yang lain pada jam pasir itu… sesuatu yang hidup.

James menangkapku. Aku menjerit. Kemudian, saat ia mulai mencoba untuk merebut jam
pasir itu dari tanganku, ada sesuatu yang makin aneh terjadi…

BOOM!!!!!!!!!!!

CHAPTER 14: JASON’S TURN

“Dapat!” seruku gembira dan melangkah keluar dari kastil Gyle. Tadi aku masuk ke sana untuk mencar senjata yang cocok untukku. Well, ada satu. Itu sudah lebih dari
cukup karena di tangan Pengguna Senjata, senjata apapun bisa berubah jadi sangat
lemah atau sangat mematikan.

“Bagus!” seru Daphne, yang sepertinya sudah bosan menunggu. “Jadi kau sudah mendapat
senjata yang tepat untuk dirimu sendiri! Dan sejata itu adalah…” suaranya
menghilang. “…sebatang tongkat pendek?!” ia melanjutkan. “Kau pasti bercanda!
Maksudku, lihat tongkatmu! Tiga puluh sentipun tak ada! Mau diapakan tongkat
sependek itu?!”

Aku tersenyum melihat reaksi Daphne. “Jangan meremehkan kekuatan Pengguna Senjata, Daph. Di tangan seorang Pengguna Senjata…” aku melepaskan tongkat itu dalam posisi
horisontal di udara, dan tongkat pendek itu melayang ringan, “… senjata apapun…”
tongkat itu berubah bercahaya kebiruan, “… bisa jadi senjata yang amat mematikan…”
tongkat itu kini memanjang dan aku menangkapnya lagi sebelum terjatuh, dan kini
tongkat ini sudah sepanjang tinggi badanku, “… walau awalnya senjata itu hanyalah
benda yang terlihat tak berguna sekalipun.”

“Ya,” kata Daphne, berusaha menyembunyikan rasa malu karena meremehkanku tadi.
“Taoi, tongkat?”

Aku tersenyum lagi dan mengayunkan tongkat itu ke pepohonan di kejauhan. Kilatan
cahaya sesaat, dan…

Dahan itu terpotong.

Daphne ternganga. Aku tersenyum geli melihat ekspresinya, lalu berkata, “Aku sudah
bilang kalau senjata apapun bisa jadi sangat mematikan, kan? Bahkan toya yang
terlihat paling rapuh sekalipun bisa menjadi senjata paling mematikan sepanjang
masa.”

*

“Di mana mereka?”

Artemis dan Apollo menutup mata dan mendesis kesal. “Sabar sedikit!” seru mereka bersamaan.

“Mencari lokasi seseorang seperti ini bukan hal yang mudah!” tambah Apollo.

Setelah beberapa saat, kedua anak kembar itu membuka mata dan mendengus kesal.

“Apa kita pakai cara itu saja?” tanya Artemis.

“Kurasa sudah tak ada jalan lain,” sahut Apollo diiringi dengus kesal.

“Oke,” kata Artemis lagi. “Kalau begitu ayo.”

Keduanya berdiri berhadapan dan menautkan kedua tangan mereka. Kepala mereka
tertunduk dan mata mereka terpejam. Sesaat kemudian angin mulai mengamuk di
sekeliling mereka sementara bahasa aneh meluncur keluar dari mulut mereka. Setelah
beberapa saat, muncul bayangan samar di belakang mereka, lalu mereka menoleh dan
menatap bayangan samar itu.

“Tunjukkan pada kami di mana Laurel,” kata mereka serempak.

Dengan segera bayang-bayang itu membentuk suatu gambaran. Bentuk tubuh Laurel,
wajahnya, segalanya. Lalu sedikit demi sedikit menjauh, menunjukkan lokasi di mana
ia bersembunyi.

“Bakat yang hebat, bukan?” tanya Gyle tiba-tiba. Aku mengangguk menyetujuinya. Ia
melanjutkan, “Mereka terlahir sebagai pasangan pencari. Mau mencari sesuatu,
keduanya harus bekerja sama. Kemampuan yang lain adalah pencuri dan yang lain lagi
Pengguna Senjata.”

“Semua bakat mereka sama?” tanyaku.

Gyle mengangguk mengiyakan. “Kembar. Kalau ada yang berbeda justru malah aku heran.”

Aku mengangguk walau sebenarnya aku kurang mengerti. Memangnya kenapa kalau
kemampuan mereka berbeda?

“Kami berhasil menemukan mereka.”

“Di mana?” tanya Erato.

Artemis dan Apollo menunjuk ke arah hutan di dekat kastil Gyle. “Di sana,” kata
Apollo.

“Mereka bersembunyi di gua di sana,” kata Artemis. “Mungkin mereka menganggap kita
tak akan mencari ke sana karena terlalu dekat dengan kastil Ayah.”

Aku mengangguk. “Masuk akal. Ayo.”

*

Mengendap-endap ke arah musuh itu mdah. Yang sulit, bagaimana menjaga supaya orang
itu tidak menyadari kalau kita sedang berjalan ke arahnya. Yang membuatnya lebih
sulit lagi adalah, bagaimana menjaga supaya ia dan penjaganya tak mengetahui kalau
kita sedang mendekat. Dan kalau ternyata penjaganya lebih dari dua, itu membuat misi
yang sedang diemban nyaris mendapat predikat ‘impossible’. Sialnya, laurel dijaga
oleh Ares dan Theo, plus James yang sama sekali tak berniat menjadi penjaga.
Untungnya, dari ketidak niatannya ini kami mendapat keuntungan lebih. Walau hanya
sedikit.

Aku yang berjalan di depan tiba-tiba ditarik ke samping sehingga jantungku terasa
nyaris copot. Aku hampir berteriak kaget kalau aku tidak mendengar bisikan panik
James,

“Bagaimana kalian menemukan kami di sini?!”

Aku menatap James. “Apollo dan Artemis.”

Mata James melebar. “Mereka ke sini?”

Aku mengangguk. “Sekarang, bisa kau membantu kami untuk merebut semua Kepingan Waktu
dari Laurel?”

James terdiam sesaat, lalu mengangguk.

*

BRAK!!!

Aku menoleh. “Daphne! Kau tak apa?”

“Tak apa, kecuali fakta bahwa aku kaget sampai nyaris kena serangan jantung,” kata
Daphne, setengah terengah. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Kalimatnya
menunjukkan kalau dia baik-baik saja.

“Yang lain tak apa?”

Semua mengangguk, kecuali Calypso yang akhirnya tetap ikut.

“Kelli?”

“Jangan panggil aku Kelli,” protes Calypso. “Auw. Sepertinya kepalaku baru saja
dijatuhi batu besar.”

“Masa?”

“Tidak seperti itu, itu kiasan. Tapi, ya, kepalaku agak pusing. Tapi selain itu tak apa.”

Aku menarik nafas lega lalu berbalik.

Laurel telah mengetahui kedatangan kami.

Jumat, 10 Desember 2010

CHAPTER 13: DAPHNE’S TURN

“Pergi!” seruku kesal. “Hilang! Kabur! Apa-apaan Laurel itu, benar-benar tak
bertanggung jawab! Tugasnya apa, yang dilakukannya apa! dan sekarang?! Pergi dengan
membawa Theo dan Ares! Aaargh!”

“Terus saja mendumal,” kata Jason tampak kesal. “Itu tak akan mengubah apapun. Tak
akan mengambalikan Ares dan Theo, tak akan mengembalikan kemampuan Calypso.”

Mendengar kata-kata Jason, Calypso memekik keras dengan marah. “Laurel!!! Akan
kubunuh dia!”

“Bagaimana?” tanyaku datar. “Kemampuan saja kau tak punya, mau membunuhnya
bagaimana?”

“Aku… aku…” Calypso mendesah. “Tak bisa. Tapi aku ingin membalas dendam.”

Erato memeluk Thalia. “Hus. Jangan menangis.”

Thalia tak berkata apa-apa. Ia tetap menangis tanpa suara.

Argus menonjok dinding di sebelahnya. “Aku tak berguna.”

Aku hanya mendengus mendengar keluhannya itu. Yang tidak berguna bukan hanya dia,
tapi semua. Tak ada yang bisa menghentikan Laurel.

Gyle tampak berpikir keras. “Ada sesuatu yang membuatku merasa aneh,” katanya.

“Apa?” kataku risih, karena Gyle berpikir sambil memandangiku.

“Kemampuanmu itu… kekebalan dan manipulator masa depan, bukan?” tanya Gyle.

Aku mengangguk sebagai jawaban. “Memangnya kenapa?”

“Justru di situ anehnya,” kata Gyle. “Hanya dua.”

Aku mengernyitkan dahi. “Memangnya harusnya berapa?”

“Tiga,” jawab Gyle. “Manipulator masa depan selalu didampingi oleh satu kemampuan
lain yang menunjang kemampuannya untuk memanipulasi masa depan. Bukan hanya dalam
pengucapan, tapi juga ada hal lain. Apa bakatmu?”

“Bakat?” tanyaku bingung karena tiba-tiba percakapan ini melenceng dari kemampuan
khusus menjadi bakat.

“Ya,” jawab Gyle, “karena biasanya kemampuan seseorang berkaitan dengan bakat yang
dimilikinya.”

“Kalau itu sih mudah,” kata James. “Dia pandai melukis. Dia bisa membuat gambar
sketsa wajahmu sekarang juga dan pasti akan jadi sama persis dengan wajahmu.”

“Kuperkirakan, kemampuan penunjangmu adalah sebagai pelukis masa depan,” kata Gyle,
“Kemampuan yang membantumu memanipulasi masa depan.”

“Lalu kenapa tidak pernah ada yang menyadarinya?” tanyaku.

“Bukan tak pernah,” kata Gyle, tampak makin kesal. “Tak sempat.”

“Tak sempat?”

“Laurel mencuri kemampuanmu itu,” katanya. “Mungkin saat jiwa kalian bertemu di
mimpi. Kalau kemampuan seseorang dicuri pada saat-saat seperti itu, dia tak akan
mengingat dan merasakan kalau kemampuannya diambil.”

Aku mengerjap. “Pertemuan pertamaku dengan Laurel memang dalam mimpi.”

“Berarti dia sudah mencurinya,” kata Gyle dengan raut wajah marah. “Kita butuh
bantuan untuk mengalahkan Laurel. Kalau saat ini dia sudah mulai menyiapkan sketsa-
sketsa yang dibutuhkannya, kita butuh seseorang – atau lebih – yang tidak diduganya
dan tak akan sempat digambarnya.”

“Well,” kata Jason, “kalau begitu, cari bantuan. Masalahnya, siapa?”

“Dari dimensi waktu lain,” kata Argus tiba-tiba. “Laurel tak mungkin bisa
mengiranya, walaupun dia mendapatkan visi sekalipun.”

“Benar!” kata Calypso, mendadak tampak bersemangat. “Ambil saja beberapa orang dari
masa lalu. Sepasukan tentara juga boleh!”

“Calypso, jangan bicara ngawur,” kata Erato kesal. “Kalau sebanyak itu rumah ini tak
mungkin cukup.”

“Terserah,” kata Thalia. “Aku tak peduli. Asal bisa membawanya kembali…”

Aku menepuk-nepuk bahu Thalia. “Ya, ya, kami tahu. Tapi kalau sudah kembali,
nyatakan perasaanmu pada Theo, mengerti?”

Thalia melotot padaku.

“Oh, ayolah,” kataku sambil memutar bola mata. “Dari kepanikanmu tadi aku sudah tahu
kalau kau naksir Theo.”

Thalia menunduk, tampak pasrah. “Apapunlah…”

“Kalau kalian sudah selesai,” kata Gyle, “aku akan membuka portal di sini untuk
menjemput bantuan yang kuinginkan.”

*

Portal terbuka, dan dari sana terjatuh dua orang… seorang laki-laki dan seorang
perempuan.

Keduanya tampak amat mirip satu sama lain. seperti pinang dibelah dua. Astaga.
Mereka pasti kembar. Tepatnya kembar dampit, laki-laki dan perempuan.

“Apollo, Artemis,” kata Gyle, “Kalian berlatih pedang lagi?”

“Ayah!” seru keduanya bersamaan. “Kenapa Ayah memanggil kami?”

“Laurel mengacau.”

Keduanya ternganga.

“Masalah itu kesampingkan dulu,” kata Gyle lagi. “Perlu kalian perhatikan, sekarang
kita ada di dimensi waktu yang berbeda. Masa depan. Dan mereka adalah teman-teman kita.”

Keduanya menatapku dan teman-temanku.

Yang perempuan berdiri. “Hai, namaku Artemis,” katanya. Ia kira-kira seumuran
denganku, mungkin sedikit lebih muda. Rambutnya pirang panjang dan diikat tinggi
lalu dikepang, kemungkinan besar untuk mencegah rambutnya mengganggunya saat
berlatih pedang.

Ganti yang laki-laki berdiri. “Aku Apollo,” katanya. Ia sedikit lebih tinggi dari
kembarannya, Artemis. Rambutnya juga berwarna pirang, tapi sedikit lebih pekat.
Untuk ukuran laki-laki, rambutnya cukup panjang juga. Kira-kira sebahu, dan
berantakan sekali, walaupun ia sudah mengikatnya. Warna matanya biru laut, sama
dengan Artemis.

“Aku Daphne,” kataku.

“Jason,” kata Jason, lalu memperkenalkan semuanya sambil menunjuk mereka satu
persatu. “Calypso, Erato, Thalia. Er… sudah kenal Argus?”

Apollo mengangguk. “Ya, tentu saja. Halo, sepupu.”

“Hei, Apollo, Artemis,” Argus mengacak rambut Apollo yang sudah berantakan.
“Bagaimana rumah?”

“Kacau,” jawab Artemis. “Ibu panik karena Ayah tak pulang-pulang. Orangtuamu setiap
hari menggerecoki kami kalau-akalu ada kabar darimu. Tak ada!!!”

“Dan sekarang mungkin akan tambah kacau karena kami pergi juga,” tambah Apollo.

“Masalah mudah,” kata Gyle. “Begitu kalian pulang, jelaskan semuanya.”

“Apa?!” pekik Apollo dan Artemis bersamaan. “Jadi Ayah mau kami repot sendiri?!”

“Ayah tahu sendiri seperti apa Ibu kalau marah atau panik!” tambah Apollo diiringi
anggukan setuju saudarinya.

“Begitu Ayah pulang, Ayah juga akan jelaskan,” kata Gyle.

“Jadi kami pulang duluan, begitu?” tanya Artemis.

Gyle mengangguk.

“Nggak! Pulangnya harus bareng!” seru Apollo tak setuju.

“Kalau kami duluan nanti Ibu marah besarnya ke kami! Ayah hanya dapat sebagian
kecil!” tambah Artemis setuju.

Gyle menutup wajah dengan sebelah tangan. “Baiklah… nanti pulangnya bersama-sama.”

“Dengan Argus juga?”

“Memangnya dengan siapa lagi? Ayah tak mungkin membawa seseorang ke dimensi waktu
berbeda tanpa jaminan mereka akan dikembalikan ke dimensi waktu mereka sendiri lagi.”

Argus mendengus. “Menggelikan. Seingatku kau melakukannya, sekali, pada– “

“Jadi!!!” potong Gyle, tampak agak panik. “Masalah Laurel! Oke, masalah Laurel…”

“Ya,” kataku. “Bagaimana? Dia pergi, kita tak tahu di mana dia, satu kemampaunku
dicuri…” aku memaki kesal. “Laurel benar-benar minta dihajar.”

“Kurasa cara terbaik untuk mengalahkannya adalah dengan menyerangnya secara
mendadak,” kata Apollo.

“Ya, Laurel mudah dikejutkan, itu akan memberi kita poin tambahan,” timpal Artemis.

“Apa kalian tidak menghitug Ares, Theo dan James?” kataku pedas.

“Mereka hanya akan bergerak kalau Laurel menyuruh mereka bergerak,” kata Jason.
“Ares dan Theo ada dalam pengeruh hipnotis, James tak benar-benar jahat. Dia hanya
terbawa Laurel. Kalau dia bisa menghentikan Laurel, dia akan melakukannya. Tapi dia
tak bisa karena satu-satunya kemampuan yang tersisa darinya hanyalah pengelana waktu.”

“Berarti kita bisa memakai rencana itu,” kata Calypso.

“Ya, tapi kau jangan ikut,” kata Erato.

“Kenapa?” protes Calypso langsung.

“Tanpa kemampuanmu, kau tak berguna,” ucapku sarkastis.

“Tanpa kemampuanmu, kau tak akan bisa melindungi diri,” kata Jason seketika.

“Tapi dia bisa jadi umpan,” kata Argus.

“Dan meletakka nyawanya di ujung taduk?” kata Thalia.

“Tidak, bukan itu maksudku,” kata Argus buru-buru. “Hanya saja… yah, kalau ingin
kesan keterkejutannya lebih kuat, umpan akan sangat membantu…”

“Tapi sama saja dengan membunuhnya,” kataku pedas. Argus meringis.

CHAPTER 12: JASON’S TURN

Kami muncul di rumah lagi.

Gyle hanya memandangi kami dengan tatap datar, aku dan Daphne, sementara semua orang
tampak waspada di sekitar kami bertiga.

“Jason, Daphne,” panggil Theo waswas.

“Kami tak apa-apa,” kata Daphne.

Tak ada yang bicara. Akhirnya, aku berpaling pada Laurel.

“Kenapa kau mengambil Keping Waktu dari tubuh Daph?”

Laurel tampa heran sekalius agak panik. “Karena – karena itu memang harus diambil.
Supaya Gyle tidak terus-terusan berusaha mengambinya!”

“Apa itu memang tujuannya?” tanya Daphne tajam. Tepat sasaran.

Laurel membua mulut untuk bicara, tapi lalu menutupnya lagi. Seulas senyum tampak di
bibirnya.

“Sepertinya Gyle sudah membongkar rahasiaku, ya?” tanyanya. “Well, memang tak ada
gunanya berusaha menyembunyikannya terus menerus. Ya, aku mengumpulkan semua Keping
Waktu untuk menguasai waktu. Lalu kenapa? Tak ada bedanya.”

James terperangah. “Laurel!”

“Kau kaget kenapa aku membingkar rahasia kita?” tanya Laurel datar. “Apa bedanya?
Toh mereka semua juga pasti akan tahu.”

“Kau – “

Laurel tersenyum lebut pada James. “James, kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu.”

James terdiam, tampak ketakutan. Aku merasa heran. Kenapa?

“Jadi, Laurel…” kata Gyle, “kau sudah mencuri kemampuan James?”

“Satu kemampuannya untuk menguatkan kemampuanku sendiri,” jawab Laurel.

“Pencuri, hm?” tanya Gyle lagi. “Hebat.”

“Kemampuanmupun sama,” kata Laurel padanya.

“Hah?”

“Kemampuan untuk mencuri?”

“Bagaimana bisa ada tiga – tidak, empat bersama Argus – orang yang punya satu
kemampuan yang sama? Walaupun memang kemampuan James sudah diambil.”

“Keluarga kami punya satu kemampaun yang diwariskan secara turun-temurun,” jelas
Laurel. “Sebagai pencuri kemampuan. Biasanya satu anak dalam keluarga kami lahir
dengan dua kemampaun, yaitu kemampua sebagai pencuri dan satu kemampuan lain yang
bisa apa saja.”

“Dan padamu adalah sebagai pencuri dan penatap masa depan,” kataku. “Bila kemampuan-
kemampuan yang sudah kaucuri tidak dihitung.”

“Tajam seperti biasanya, Jason,” kata Laurel dengan senyum manis. “Benar.
Kemampuanku kini ada banyak. Karena aku sudah banyak mencuri.”

“Dasar! Apa kau tidak pernah belajar agama? Mencuri itu dilarang!” omel Daphne kesal.

“Aku tak peduli, Daph,” kata Laurel, tersenyum manis. “Dan karena rahasiaku telah
terbongkar, tak ada gunanya lagi ada di sini. Toh apa yang kuinginkan sudah
kudapatkan. Karena itu aku akan pergi. Tapi sebelum itu…”

Mendadak Laurel melesat dan menjambak rambut pendek Calypso. Calypso memekik kaget.

“Kelli!” seruku kaget.

“Kuambil kemampuanmu!” seru Laurel di saat bersamaan.

Calypso terjatuh. Ia terengah. “Kenapa – “

Laurel tersenyum kejam padanya. “Kini kemampuanmu adalah milikku manis. Relakanlah.”

Calypso mendesis galak seperti kucing marah padanya. “Kaupikir aku bisa
menyerahkannya begitu saja padamu?!”

“Calypso, stop!” seru Daphne. “Percuma saja menyerangnya tanpa kemampuanmu!”

Calypso tampaknya menyadari kebenaran kata-kata Daphne karena ia membuang muka
dengan marah.

“Dan karena aku masih ada di sini…” Laurel menatap Theo dan Ares.

Menyadari apa yang dilakukan Laurel, Daphne segera memekik. “Hentikan! Theo! Ares!
Jangan tatap matanya!”

Terlambat. Aku sudah menyadari apa maksud Daphne. Aku menghindari kontak mata dengan
Laurel. Tapi Theo dan Ares tak menyadari apa bahaya di balik tatapan mata Laurel
yang sebenarnya kini menggunakan kemampuan Calypso sebagai seorang penghipnotis.

“Aku menginginkan kalian berdua sebagai pelindungku dan James,” kata Laurel,
suaranya terdengar berwibawa dan kuat. “Laksanakanlah apa perintahku, lakukan apa
yang kuingin kalian lakukan.”

Theo dan Ares melangkah ke arah Laurel.

“Theo!!!” pekik Thalia panik.

“Ares! Theo! Stop!” seru Erato. “Kemari kau! Bukan – kemari kalian!!!”

“Laurel, hentikan!” teriak Daphne.

“James, kenapa kau hanya diam?!” jerit Calypso. “Hentikan adikmu!”

James hanya menatap Calypso dengan pandang putus asa. Seketika aku menyadari, James
terjepit. Kemampuannya kini hanya sebagai pengelana waktu. Tak ada kemampuan lain.
ia tidak bisa melawan adiknya sendiri karena kemampuannya sebagai pencuri sudah
diambil. Tak ada yang bisa dilakukannya.

“James…”

Mendadak Thalia menjerit. “Theo!!! THEO!!!”

Aku menatap Theo dan Ares dengan kaget. Apa lagi sekarang? Jangan katakan kalau
Laurel…

Oh tidak. Laurel mulai mengendalikan Theo.

Dan sialnya, sasarannya Thalia.

Api bergulung-gulung hendak menyerang Thalia. Aku memaki kesal dan melesat,
mengambil sendok di lantai dengan kesal. Dengan sekali ayun, sendok itu berubah
menjadi perisai. Aku segera meosisikan diri di depan Thalia, melindunginya. Api
menghantam perisaiku.

“Jason!” seru Thalia penuh rasa terima kasih.

“Diamlah!” seruku. “Cepat pergi ke Gyle! Dia bukanlah pihak yang jahat. Dia akan
melindungimu!”

Thalia mengangguk tanda mengerti. Ia berlari ke arah Gyle. Serangan api itu terhenti
tepat saat Thalia pergi. Aku menurunkan perisaiku.

“Theo!” seruku. “Ares! Sadar! Jangan biarkan Laurel mengendalikan kalian! Bangun!”

“Kenapa dunia ini selalu terasa segelap ini…?” kata Daphne, dengan bodoh dan tak
tepat waktunya malah berdeklamasi. “Kenapa tak ada terang? Kalian harus sadar!
Kalian akan sadar… whoa!”

Daphne tak sempat menambahkan keterangan waktu secara spesifik, kapan mereka akan
tersadar. Ujung pedang Ares sudah ada di bawah dagunya, siap merobek tenggorokannya
kalau ia mau bicara lagi.

“Daph!” aku berlari ke arah Daphne. Tapi seketika itu juga gempa melanda tanah di
bawahku, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Sialnya, Theo dalam kendali
Laurel hanya membuat gempa di bawah kakiku saja, dan bukan di bawah kaki semua
orang. Ini membuatku ingin memakinya keras-keras, tapi sayangnya itu percuma. Buat
apa memaki orang yang ada dalam pengaruh hipnotis? Toh yang diajak bicara juga tak
akan mengingatnya.

“Aku tak mau terlalu banyak bermain-main,” kata Laurel. “James, ayo kita pergi.
Theo, Ares, ikuti aku.”

James, dengan wajah putus asa, menatapku seakan ia memohon pertolongan. Pikirannya
dengan jelas mencapai kepalaku.

Tolong.
Aku tak mau adikku menguasai waktu.
Tolong hentikan dia.
Aku tak bisa melakukan apapun.
Tolong, Jason.
Aku tahu kau bisa mendengarku!

Aku menarik nafas tertahan. James tak mau adiknya jadi seperti ini. Ini murni
kejahatan Laurel sendiri. Dia harus dihentikan. Tapi bagaimana?

Theo berbalik dan melangkah ke arah Laurel setelah Ares memegang lengannya, seakan
pengaruh yang mencengkeram Theo tak sekuat Ares. Begitu ia melangkah, Thalia menarik
nafas tertahan dan melesat berlari, memeluk lengan Theo, seakan ingin menahannya
untuk tetap berada di sisinya.

“Jangan…” bisiknya setengah terisak.

Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Theo menepis Thalia. Thalia terbanting,
menjerit kesakitan. Ia menatap Theo dengan tatap sedih, walau hanya dibalas dengan
tatap dingin tanpa ekspresi. Theo berbalik dan kembali melangkah ke arah Laurel.
Mereka segera memudar dan menghilang.

Sebelum esensi mereka seluruhnya menghilang dari ruangan ini, Thalia menjerit keras.

“THEO!!!”

Senin, 29 November 2010

CHAPTER 11: DAPHNE’S TURN

Rumah tampak begitu sibuk. Semua orang berseliweran, berjalan ke sana ke mari.
Segalanya tampak ramai. Persiaapan yang amat bik untuk acara pelepasan Kepingan
Waktu dari tubuh seorang gadis sepertiku.

Aku merasa amat tegang. Aku terpaksa harus melakuka ini. Aku tak mau melakukan poses
ini. Tapi lebih baik mengikuti arus semua temanku dan menurut untuk engikuti proses
ini. Aku belum mau mati karena perbuatan Gyle.

“Daphne,” panggil Laurel, “kau sudah siap?”

“Kalau mau jujur, belum,” jawabku tegang. “Tapi tak apa. Lakukanlah.”

Laurel tersenyum. “Tak apa. Ini bukanlah ujian, hanya proses kecil. Tapi,” Laurel
tampak gelisah, “mungkin kau akan merasa sedikit kesakitan.”

Aku menggeleng. “Tak apa. Lebih baik begitu. Asalkan tato ini bisa lepas. Jadi aku
tak akan dikejar-kejar Gyle lagi. Meskipun rasanya sayang,” tambahku dengan wajah
sedih.

Laurel tertawa. “Aku bisa mengerti kenapa kau merasa sayang. Tato itu memang bagus
sekali.”

“Tapi membawa petaka,” keluhku sedih.

Laurel tertawa. “Lupakan soal itu. Sekarang saatnya untuk melepaskannya dari
tubuhmu, oke?”

Aku mengangguk. “Oke. Aku sudah siap.”

*

Aku dduduk menunduk seperti seorang anak kecil yang sedang merenung. Rambutku
kujepit tinggi-tinggi dan kusampirkan di bahuku, jadi tengkukku terbuka. Tato itu
tampak amat jelas di tengkukku.

“Rasa sakit ini mungkin akan membuatmu pingsan, Daph,” kata James.

Aku menean ludah. “Tak apa. Lakukan.”

“Daph…”

“Tak apa, Jason,” kataku. “Ini keputusanku. Aku tak mau kau kehilangan ingatanmu
lagi. Aku tak mau Gyle gila itu mengejar-ngejarku lagi.”

Jason tersenyum. “Kautlah, adikku,” katanya.

“Ayo, semuanya,” kata Laurel. “Keluarkan kekuatan kalian. Tunggu, Argus! Kau janga
ikut mengeluarkan kekuatanmu!”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Dia dan Gyle punya jenis kemampuan yang sama,” jawab James. “Pencuri kemampuan.”

“Whoa!” kata Theo kagum.

“Dasar bodoh,” Thalia menutup wajah dengan sebelah tangan. “Ini bukan saatnya kagum…”

“Bisakah kita fokus?” katau kesal. “Gyle bisa muncul kapan saja sekarang.”

“Oh, baiklah,” kata Erato. “Semua siap?”

“Yang jelas aku siap,” kata Ares santai.

“Tak ada yang menanyaimu,” kata Calypso. “Ayo.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Inilah saatnya.

Semua orang kecuali Argus dan aku segera mengerahkan kekuatan mereka masing-
masing.dalam sekejap, waktu di dalam rumahku serasa bercampur, tak jelas masa lalu
atau masa depan. Semua peralatan seperti pisau berubah membesar, menjadi pedang atau
tombak. Garpu berubah jadi trisula, sendok berubah jadi perisai. Segala elemen bagai
berusaha menguasai rumah. Angin mengamuk, air bergejolak, api menari-nari, tanah
bergetar. Musik mengalun lembut, terasa menguatkan dan memantapkan kekuatan masing-
masing. Suatu tekanan di udara seakan memaksa semua orang unutk berusaha lebih
keras, kehendak dari Calypso seperti ditekan di tengah ruangan. Potongan-potogan
kejadian di masa depan tampak menari-nari di depanku. Dan aku bisa mendengar pikiran
tiap orang, sama seperti tiap orang kini bisa mendengar pikiran yang lain.

“Awas, Daph,” kata James, “hampir saatnya.”

Hampir saatnya.

Dia bilang hampir saatnya, tapi tepat sedetik setelah kata-kata itu meluncur keluar
dari bibirnya, rasa sakit luar biasa menyerang tengkukku. Aku menjerit keras.

“Tahan, Daphne!” seru Argus. “Jangan menjerit! Suaramu akan mengirim pergi tenaga
yang digunakan untuk melepas tato itu!”

Aku menggigit bibir, menahan jerit seperti suruhan Argus. Sakit sedikit, katanya?
Apaan, ini sih sakitnya setengah mati!

Aku menarik nafas alam-dalam dan menghembuskannya perlahan, menahan sakit. Seluruh
tubuhku gemetaran menahan sakit. Jantungku berdetak dalam dentuman tak keruan, tak
jelas polanya. Nafasku mulai kacau dalam usahaku menahan jerit. Terlalu sakit.
Terlalu menyiksa. Sakit sekali. Kenapa terasa sesakit ini?

Ada sesatu yang terasa menggelitik di tengkukku. Tepat di tempat tato itu berada.
Gelitikan lembut, manis, yang di saat bersamaan terasa menyakitkan. Aku menyadari
kalau ada sesuatu yang terjadi pada tatoku… pada Kepingan Waktu itu.

“Ini…” bisikku serak, masih berusaha menahan jerit.

“Sssh!” desis Argus.

Gelitikan aneh di tengkukku itu menghilang. Tapi rasa sakitnya menguat. Aku tak bisa
menahannya lagi. Aku menjerit keras.

“Daphne!”

Mendadak rasa sakit itu menghilang. Jeritanku terhenti, digantikan oleh desah
kesakitan. Aku masih terengah. Kelelahan, aku terjatuh.

“Sudah selesai,” terdengar suara sama di belakangku.

Aku menoleh dengan tubuh gemetaran. Laurel ada di sana, cahaya keemasan
mengelilinginya. Tatoku, Keping Waktu, kini tampak amat besar, lebih besar dari
Laurel yang membawa jam pasirnya yang berpendar kebiruan. Kini kedua pendaran cahaya
itu, dari Kepingan Waktu dan jam pasir Laurel, tampak seperti menyatu. Lambang
Kepingan Waktu itu perlahan mengecil dan menempel di jam pasir Laurel. Mendadak jam
pasir itu bersinar, berpendarr dalam cahaya segala warna, keemasan sekaligus
keperakan.

Pandanganku mulai mengabur. Aku terlalu lelah. Aku memejamkan mata dan terjatuh
dalam ketidaksadaran.

*

Aku terbangun karena suara teriakan di sekitarku. Au membuka mata dan memandang
sekeliling.

Seketika aku mengerti kenapa semuanya ribut. Gyle ada di sini.

“Apa…?” kataku kaget.

“Daph, berdiri di belakangku!” seru Jason yang kini ada di hadapanku.

“Ada apa ini?” tanyaku sambil bangkit berdiri. “Kenapa Gyle ada di sini?”

“Mana kutahu?!” seru Jason kesal. “Dia datang tepat setelah kau pingsan! Mendadak
muncul di tengah ruangan! Sial, saat kita semua lelah seperti ini…”

“Tepat setelah – tunggu. Sudah berapa lama aku pingsan?”

“Hanya lima menit.”

“Baguslah,” kataku, “Berarti aku tidak ketinggalan banyak.”

Jason melongo. “Daph, memang kau ini haus darah dan aku ketinggalan banyak atau
bagaimana?”

Aku nyengir lebar. “Kau ketinggalan banyak!”

Jason membuka mulut. Percakapannya denganku membuatnya menjadi tak fokus dengan
keadaan di sekitarnya. Mendadak ia terlempar ke sampig.

“Jason!” seruku kaget. Makin kaget lagi saat menyadari kalau Gyle sudah ada di
depanku.

“Kenapa?” tanyanya dengan nada kalut. “Kenapa kau menyerahkannya pada Laurel?”

Aku ternganga. “Menyerahkan apa…?”

“Kepingan Waktu.”

“Menyerahkan? Apa – “

Mendadak, tanpa mengatakan atau membiarkanku mengatakan apapun lagi, Gyle menyaambar
piggangku dan memudar, membawaku bersamanya. Jason berteriak memangilku, begitu pula
semua teman-temanku, dan mereka berusaha menjangkauku untuk menariku kembali. Jason,
seperti biasa, berhasil menggenggam tanganku, tapi tetap terlambat.

Dengan membawaku dan Jason bersamanya, Gyle kembali pergi ke kastilnya.

*

“Sakit!!!” pekikku kesal. “Kenapa kau selalu membawau dengan cara seperti itu?! Itu
perjalanan terburuk yang pernah kulakukan!”

Jason di sebelahku terbatuk. “Astaga. Aku mual. Kurasa aku mabuk…”

Tak mempedulikan ucapan kami berdua, Gyle melesat dan mengguncang bahuku.

“Kenapa kau memberikannya pada Laurel?!”serunya kalut. “Kenapa?! Apa kau tidak sadar
seberapa berbahayaya dia?!”

“Berbahaya apa?!” seruku balik. “Dia pecahanku! Tak ungki dia – “

“Dia pecahanmu bukan berarti kau mengenalnya sebaik aku mengenalnya! Aku pamannya!
Keluarganya!”

Aku terdiam. Nada kalut Gyle mulai membuatku merasa gugup. Ada apa ini? Kenapa dia
sepanik ini? Ada masalah apa sebenarnya kalau Kepingan Waktu jatuh ke tangan Laurel?
Bukankah dia Penjaga Waktu?

“Well, yang dipikirkan Daphne ada benarnya juga,” kata Jason. “Memangnya kenapa
kalau Laurel punya Kepingan Waktu?”

“Itu memang benr dia Penjaga Jam Pasir Waktu,” kata Gyle, “tapi dia bukanlah penjaga
terbaik. Malah, dialah penjaga terburuk yang pernah ada. Tugasnya adalah melindungi
waktu, tapi ia malah lebih tertarik untuk menguasai waktu. Ia mengumpulkan semua
Keping Waktu dan menjadikannya satu dalam jam pasirnya, tapi untungnya aku berhasil
mengirimkan Keping Masa Depan ke pecahannya yang ada di dimensi waktu lain. Kukira
dia tak akan mengusik pecahannya karena itu terlalu beresiko baginya, tapi aku
salah.” Gyle menggigit bibir. “Dia tetap ke sini.”

“Tunggu…” kataku bingung. “Aku tak paham. Kenapa dia ingin menguasai waktu?”

“Dia yang menguasai waktu bisa menjadi Tuhan,” kata Gyle lagi. “Dunia bisa hancur.
Waktumu, Daphne, bisa dipercepatnya sampai kau mati. Atau diputarbalikkan sampai
sebelum kau lahir. Atau malah dihentikan sama sekali. Kehadiran dan esensi orang
tergantung pada waktu. Sekali waktu berubah, segalanya berubah. Tak ada orang dari
keluarga kami yang cukup bodoh untuk mencoba menguasai waktu. Kecuali Laurel.”

“Kau serius?” tanya Jason. “Kau mengatakan kebenarannya?”

“Tatap mataku dan katakan kalau kau menemukan kebohongan di dalam sana,” kata Gyle
tegas. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Untuk apa aku berbohong soal ini?”

“Tapi kalau kau memang mengatakan yang sebenarnya, kenapa kau tidak mengatakannya
dari dulu?” tanyaku heran. “Dan mengapa mempengaruhi Jason untuk melakukan apa yang
kaumau?”

“Karena aku tahu kalian tak akan mempercayaiku!” seru Gyle. “Karena aku tahu bila
Jason tidak kupengaruhi dia akan berpihak juga pada Laurel! Karena aku tahu tanpa
ini aku akan gagal!”

“Tapi – “

“Aku tak mau mendengar kata tapi,” potong Gyle. “Itulah kebenarannya.”

Aku diam. Gyle benar. Aku pastti akan mempercayai Laurel, bukan dia. Tapi sekarang,
aku merasa tak yakin. Apa Laurel memang orang baik? Apa Gyle memang tak bisa
dipercaya? Tapi ceritanya terasa masuk akaldan mungkin terjadi. Tapi…

“Aku tahu kalian bimbang,” kata gyle, “karena itu sebaiknya kalian pergi dan
pastikan sendiri.”

Gyle mulai memudar. Aku dan Jason tersentak, dan, bebarengan, kami berusaha
meraihnya sambil berteriak, “Tunggu!”

Segera, tubuh kami ikut memudar dan kami menghiang dari tempat itu.

Selasa, 23 November 2010

CHAPTER 10: JASON’S TURN

Aku menatap kedua orang itu. Daphne dan… pemuda itu. Siapa dia? Seingatku tadi
Schurke (Gyle, aku mengingatkan diri sendiri) memberitahuku siapa namanya. Argus.
Ya, Argus.

Keduanya berlari melewati lorong-lorong, berlari keluar dari kastil, menjauh dariku.

Aku menoleh dan berjalan menuju sel Daphne. Sel yang kini tinggal puing-puing karena
sudah dihancurkan Argus.

Kutemukan Gyle di sana, berbaring telentang, mata berkilat marah.

“Gyle…”

“Mana dua orang itu?”

“Entahlah.” Ini jujur karena aku toh tak tahu di mana mereka sekarang. Mungkin
terjebak dalam kastil. Mungkin sudah di luar. Entahlah.

Gyle mengeraskan rahang. Pikiran-pikirannya berseliweran dan terdengar olehku.

Kurang ajar.

Argus… anak sial! Dia menggunakan kemampuannya untuk mencuri kemampuan orang lain
untuk melumpuhkanku!

Kekebalan itu seharusnya menjadi milikku. Gadis itu tak pantas mendapatkannya.

Aku mengerjap. Whoa. Pikiran apa itu tadi? Sepertinya Argus menghajar Gyle dengan
serius tadi.

Gyle bangkit berdiri. Ia menatapku dengan matanya yang tampak tajam. Aku membalas
tatapannya dalam diam. Apa yang ingin dikatakannya?

“Aku tak berhasil membunuh gadis itu,” kata Gyle akhirnya. “Mereka kabur sebelum aku
sempat melakukannya. Kuberi tahu kau. Kau harus membawa gadis itu kembali. Tak harus
sampai membunuhnya. Yang penting aku bisa mendapatkannya.”

Aku hanya mengangguk. Lama kelamaan misi-misi Gyle jadi terasa aneh. Semuanya
tentang gadis itu, Daphne. Memangnya dia punya apa sampai Gyle begitu
menginginkannya? Apa sebenarnya yang seharusnya aku ketahui tapi tak kuketahui di
sini? Apa sebenarnya yang disembunyikan Gyle?

“Sekarang, Jason,” kata Gyle lagi. “Kau harus mencari gadis itu. Sekarang.
Sendirian. Aku tak akan ikut denganmu. Aku punya – “ Gyle meluruskan punggungnya
dengan wajah tersiksa “ – urusan yang harus diselesaikan. Sana pergi!”

*

Aku melangah menuju rumah itu lagi. Rumah yang ditunjukkan Gyle saat ia ingin aku
membunuh Daphne. Aku ingin tahu apa aku bisa menemukannya di dalam rumah ini lagi.

Mendadak serbuan gambaran muncul di kepalaku. Teriakan, jeritan, tawa. Semuanya
dalam nuansa bahagia. Senyum-senyum dan tawa-tawa senang bermunculan tanpa bisa kukendalikan.

Pintu rumah terbuka. Daphne berdiri di sana, senyum lebar terpampang di wajahnya,
tapi senyum itu perlahan menghilang saat ia melihatku.

“Jason…”

Aku hanya diam. Aku memandanginya dalam diam. Aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku tak tahu siapa dia. aku bahkan tak ada hubungan apapun dengannya.

“Kau akan mengingatku, Jason,” katanya tiba-tiba.

Aku tetap diam. “Aku tak bisa mengatakan apapun tentang itu,” kataku akhirnya. “Yang
jelas Gyle ingin aku membawamu padanya. Walau aku tak paham alasannya.”

Ia menatapku sedih. “Apakah harus?”

Aku mengangguk tegas. “Sayang jawabannya ‘ya’. aku sendiri juga tak mengerti. Dia
hanya memberiku perintah untuk membawamu. Hanya itu.”

“Tapi bagaimana kalau aku tak mau?”

Aku tak menjawab. Daphne mendesah kecil dan berjalan padaku. Menghampiriku. Ia
menatap mataku dalam-dalam.

“Kau harus ingat, Jason. Mungkin tak sekarang. Tapi nanti harus. Tetap ingat aku.
Mengerti?”

Kembali serbua gambaran menyergapku. Kini dalam gelombang ombak kesakitan yang
mendera kepalaku. Aku mengerang pelan. Daphne hanya mampu menatapku bingung.

“Aku benci ini,” keluhku pelan. Kedua tangannya mencengkram kepala dengan kuat. Aku
kesakitan. Apa yang kauharapkan dariku?

“Jason?”

Semua kenangan dan ingatan kembali melimpah ruah masuk ke dalam kepalaku. Daphne,
Ayah, Ibu, Calypso, Ares, segalanya. Juga tentang pemuda itu, James, yang kujumpai
dalam mimpiku. Segalanya.

Daphne tetap memandangiku dengan bingung. Kini dia tampak panik. Ia memanggil teman-
temannya dari dalam rumah.

Setelah beberapa lama segalanya kembali normal, setidaknya kondisi kepalaku berbalik
normal.

“Aw,” aku mendongak kembali, menggelengkan kepalaku dengan gerakan lembut. “Well,
itu menyakitkan. Cara sadis untuk mengingatkan kembali seseorang akan sesuatu yang
dilupakannya. Bukan salahku juga aku lupa, kan? Jadi, Daph, kau mau menyambut
kepulangan kakakmu di dalam agar aku bisa makan atau tetap berdiri di luar begini?”

Mata Daphne tampak bersinar. “Jason!”

Lalu, tanpa peringatan, ia memukuliku.

“Auw! Hei! Hentikan! Daph!”

“Kau pikir berapa lama aku mencemaskanmu?! Berapa lama aku menangis karena mengira
kakakku sudah benar-benar hilang?! kenapa kau tidak kembali dari tadi-tadi?!”

“Hei!” aku memprotes balik. “Kau pikir kondisiku enak?! Kau pikir berapa kali
ingatanku dikubur karena aku berusaha melindungimu?! Berapa kali aku merasakan
sakitnya proses itu saat diulang-ulang?! Berapa lama aku harus kebingungan akan
identitasku sendiri?! Yang merasa cemas itu tak hanya kau sendiri, aku juga
mencemaskan keadaanmu!”

Daphne memberiku satu bogem mentah lagi, lalu memelukku erat.

“Kalau sampai kau hilang lagi, kupastikan aku akan membunuhmu sendiri,” katanya
sadis.

“Ow… Daph, aku tidak bisa nafas…”

*

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan.

“James… bisakah kau membantuku?”

“Maaf, kawan. Sepertinya tidak.”

“Setidaknya bujuk dia. Aku mulai merasa risih di sini.”

“Yah… tapi sulit. Kau tahu sendiri bagaimana dia.”

Aku mendengus.

Akhirnya aku tak tahan lagi. “Calypso, menyingkir dari punggungku!”

Calypso tampak tersinggung. “Tapi kan aku baru…”

“Aku tak peduli, Kelli. Cepat menyingkir dari punggungku. Punggungku bukan batang
pohon tempat semua monyet bisa nergelantungan!”

Mata Calypso berkilat. “Jangan pernah panggil aku Kelli.”

“Stop…” kata Daphne tak sabar. “Hentikan pertengkaran dua sejoli ini sekarang juga.
Sekarang yang penting adalah masalah Gyle dan obsesinya terhadap Kepingan Waktu yang
ada padaku, oke? Aku tak mau mati muda karena perbuatannya itu!”

“Masalah itu juga disingkirkan dulu saja,” balasku sambil mendorong Calypso
jauh-jauh. “Yang jelas, apa sebenarnya Kepingan Waktu itu? Apa wujudnya?”

“Kemungkinan besar gambar abstrak,” jawab Laurel. “Tato. Tertempel pada kulit Daphne
dan tak akan bisa dilepas sebelum pengirimnya melepaskannya sendiri. Atau beberapa
pemilik kemampuan menggabungkan kekuatan untuk melepaskannya.”

Daphne tampak gelisah. Ia menyentuh tengkuknya dengan gerakan cepat seakan ingin
menyembunyikan sesuatu yang ada di sana. Aku segera menyingkirkan tangannya dan
mengintip ke balik helaian rambut dan kerah kemejanya.

“Daph,” kataku kemudian. “Lepas kemejamu.”

Daphne melotot ke arahku. “Piktor! Kau pikir ini di mana?! Aturan pertama dalam
rumah, dilarang berkata atau bertindak tidak senonoh!”

“Kau selalu menggunakan tank top di balik kemejamu!” protesku. “Kau sendiri sering
hanya menggunakan tank top tanpa kemeja!”

“Hanya di rumah!”

“Kau pikir di mana ini?!”

Daphne membuka mulut untuk bicara lagi, tapi menutupnya kembali. Lalu, dengan
diiringi gerutuan, ia membuka kemejanya. Aku membalikkan tubuhnya dan menyibakkan
rambutnya. Di tengkuknya ada gambar hitam abstrak, nyaris tak terlihat di balik
tirai rambut yang menutupinya.

“Daphne,” kataku galak, “kapan kau membuat tato ini?”

“Tiga minggu yang lalu.”

“Jadi ini alasanmu meminta tambahan uang?! Tunggu sampai ayah dan ibumu tahu!”

“Jason!”

“Apa?”

“Itu… ah, sudahlah!”

Theo menyibakkan rambut Daphne lagi. “Whoa! Tato yang bagus, Daph. Di mana kau
membuatnya? Aku juga mau!”

Aku memelototi Theo dan dia segera mengubah kalimatnya.

“Ups, maksudku… urm, di mana? Mungkin yang membuat tahu apa arti tato itu…”

Daphne menggeleng. “Dia tak tahu. Saat melihat tato ini aku langsung merasa jatuh
cinta, karena itu aku segera menanyakan pada pembuat tatonya apa arti tato ini. Tapi
dia tak tahu. Dia hanya bilang dia mendapatkannya dari seorang pengelana tua. Hanya
itu.”

James mengangkat bahu. “Masalah yang sedikit merepotkan.”

“Sangat,” ralat Laurel.

“Hebat,” kata Thalia. “Tato ini keren sekali… yang membuatnya pasti berbakat.”

“Dan cerdas,” timpal Calypso. “Kalau tidak tak akan jadi sebagus ini.”

“Aku ingin tahu, apa orang itu bisa membuatkanku tato sayap abstrak,” kata Erato
dengan mata menerawang.

“Dasar tukang mimpi,” ejek Theo.

“Dan hiu untukmu, Theo.”

“Oh. Baiklah. Kutarik kata-kataku.”

Thalia tertawa. “Kalian ini. Sekarang bukan saatnya bicara tentang tato, bukan?”

“Memang bukan,” jawab Erato dan Theo bersamaan.

“Apa ini, ribut-ribut…?”

Aku menoleh. Seorang pemuda berambut merah acak-acakan menatap kami semua dengan
pandang kesal dan mengantuk. Argus.

“Bangun juga kau akhirnya, Argus,” kata Daphne.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Argus lagi.

“Bukan apa-apa,” jawab James ketus. “Hanya masalah Kepingan Waktu.”

“Kepingan Waktu bukan ‘hanya’,” kata Laurel. “Kita harus melepaskannya dari tengkuk
Daphne.”

“Caranya?”

“Gabungkan kekuatan kita semua,” kata Laurel mantap. “Dan kita akan melepaskan tato itu.”

CHAPTER 9: DAPHNE’S TURN

Aku memeluk lutut, terisak pelan. Aku benci situasiku. Terkurung, tak berdaya, hanya bisa diam dan tak melakukan apapun. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?

Suara berisik dari luar sel. Aku menoleh dengan mata sembab. Ada apa di luar?

Gyle.

Gyle. Gyle datang. Masuk ke dalam selku. Aku segera mengeraskan rahang dan
menatapnya dengan pandang menantang.

Gyle tersenyum jahat. “Waktunya untuk mengeluarkan Kepingan Waktu dari tubuhmu.”

Aku menatapnya tajam. “Bagaimana kalau aku menolak?”

“Maka aku akan melakukannya dengan paksa.”

Aku memandanginya dengan marah. “Lakukan saja! Kau pikir aku peduli?! Kau sudah
menyerang rumahku. Kau sudah tahu kalau aku punya kekebalan. Tak ada gunanya
berusaha menyakitiku secara sihir. Menyakitiku secara fisik hanya akan membuatku
mengamuk.”

Gyle menyeringai padaku. “Kau harus tahu kalau kekebalanmu tak mempan pada segala
jenis sihir. Kekebalanmu tak akan melindungimu dari Pengguna Senjata. Kekebalanmu
juga tak akan melindungimu dari seorang Pencuri Sihir.”

Tanpa bisa kucegah, ia memegangi kepalaku dengan kuat. Aku memekik kaget.

“Kuambil kekebalanmu,” kata Gyle dengan suara serak.

Mataku melebar. Aliran listrik seakan mengaliri seluruh tubuhku. Menggetarkan tulang-
tulangku, menghanguskan dagingku, menghentikan kerja jantungku.

Detik berikutnya segala kembali normal, kecuali bahwa aku merasa seluruh tubuhku tak
bisa digerakkan. Sakit. Lemas. Aku tak bisa melakukan apapun.

“Apa…”

Gyle tersenyum manis padaku. Manis, tapi mengerikan. Jenis senyuman yang membuatmu
merasa yakin kalau orang yang memberimu senyuman itu akan segera menghabisi nyawamu
segera setelah senyum itu menghilang. Aku merinding, tapi tetap memandangnya
waspada. Bahkan, mulai panik.

“Kini telah tiba saatnya untuk membuktikannya…”

Aku memandang Gyle bingung. Apa? Membuktikan apa? Aku mau diapakan? Tolong!

Gyle melangkah mundur beberapa langkah, lalu mengangkat kedua tangannya.

“Apakah kekebalanmu sudah berhasil kucuri?” tanya Gyle. “Mari kita lihat.”

Bagaikan orang yang memainkan marionette, Gyle menggerakkan jemarinya. Dan bagai
sebuah boneka tali tak berdaya, aku mengikuti gerakan jemarinya.

Aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya bisa membiarkan tubuhku dikendalikan. Aku
ingin melawan, tapi aku tahu itu percuma. Tanpa kekebalanku, segalanya percuma.

Gyle menarikku ke sisinya, lalu menurunkan tangannya. Seluruh tubuhku luruh jatuh,
tak mampu lagi bergerak. Gyle tersenyum kejam.

“Aku memang berhasil,” kata Gyle puas. “Sekarang, Kepingan Waktu.”

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku pasti tamat. Aku akan mati. Tapi aku belum mau
mati!

“Kau…” aku menelan ludah. “Kau tak akan membunuhku! Tak akan berhasil membunuhku!
Tidak sekarang! Aku tak akan mati sebelum mendapatkan Jason kembali!”

Gyle tersenyum makin lebar. “Kata-akatamu bukanlah masalah bagiku. Kata-katamu tak
akan menimbulkan masalah apapun bagiku. Begitu pula perbuatanmu. Tapi apa yang
kulakukan, apa yang kukatakan, apa yang kuperbuat, mungkin bisa menjadi masalah
bagimu…”

Gyle mengangkat tangannya, dan di sana tergenggam sebilah belati panjang. Matanya
menatap titik di mana jantungku berada, siap menusukkan belati itu di sana. Aku
menutup mata. Aku akan mati…

BRUAKKK!!!

Aku mengintip dari sela-sela bulu mataku. Apa yang terjadi? Suara apa itu? Dan… oh
astaga. Aku masih hidup? Aku masih hidup! Aku masih hidup!!!

Pintu jeruji sel kini tampak bertebaran tak jelas di lantai batu yang dingin. Di
sana, di antara kepulan debu yang beterbangan, berdiri seorang pemuda. Jason?

Bukan. Bukan Jason. Rambut merah tuanya berbeda dengan rambut cokelat Jason. Mata
kelabunya berbeda dengan mata hitam Jason. Tapi keduanya memiliki persamaan. Aku
bisa merasakan adanya aura hangat melindungi yang selalu kurasakan saat bersama
Jason.

Mata Gyle melebar menatap pemuda itu. “Kau – “

Pemuda itu memotongnya. “Gyle, diam. Sudah cukup kau melakukan semua ini. Jangan
lukai dia.”

Gyle menyeringai lebar. Seringai jahat, namun tampak sedikit panik. “Hebat, Argus.
Amat hebat. Jadi akhirnya kau memutuskan untuk menggunakan kemampuan curian?”

Pemuda itu, Argus, menatap Gyle dengan mata berkilat. “Tak semudah itu.”

Dalam gerakan yang begitu cepat hingga aku kesulitan mengikutinya dengan mata, Argus
melesat ke arah Gyle dan menyentuh dahinya, lalu berteriak,

“Kuambil kembali kekebalan ini, dan kukembalikan kepada dia yang mempunyainya!”

Gyle terjatuh diiringi teriak marah. Aku merasakan kekuatanku kembali. Aku menatap
Argus dengan bingung. Dia… dia jelas bukan anak buah Gyle. Tapi kenapa dia
menolongku? Dia jelas tak punya alasan untuk membantuku.

“Siapa kau?”

Dia tersenyum. “Aku Argus.”

Aku tersenyum ragu. “Um… Daphne.”

“Nama yang bagus,” katanya. “Sekarang yang terpenting adalah keluar dari tempat ini.
Ayo.”

Argus menarikku berdiri dan dengan segera kami berdua berlari melintasi lorong-
lorong gelap yang tak bisa kupahami polanya. Aneh. Argus tampak amat mengenal tempat
ini. Ia mengambil tiap langkah, berbelok di tiap lorong dengan yakin dan mantap.
Seakan dia tumbuh di tempat ini, seakan ia amat mengerti tempat ini.

Kami berpapasan dengan Jason.

“Jason – “

Argus membekap mulutku. “Saat ini dia bukan Jason yang kaukenal. Diamlah.”

Jason menatap kami dengan pandang dingin. Argus mengambil langkah ke lorong di
sebelah kami, menghindari Jason, dan kembali berlari. Jason tak mengejar.

“Jason…”

“Jangan katakan apapun. Ayo.”

Aku menunduk sambil berlari. Aku harus mematikan hatiku untuk itu. Sakit. Aku ingin
Jason kembali seperti semula. Tapi aku tahu untuk sementara itu tak mungkin.

*

“Laurel!”

Laurel menatapku dengan tatap lega. “Daphne! Kau baik-baik saja! Kupikir kau akan
mati, ramalannya menunjukkan kartu The Death! Kupikir kau benar-benar…”

Aku menyetop kata-katanya. “Bukannya kartu The Death tidak selalu berarti kematian?”

“Tadi hasil ramalan untukmu artinya itu.”

Calypso memotong percakapan kami. “Stop dulu untuk itu. Sekarang…”

Erato segera memotong kata-kata Calypso. “Daph! Siapa dia?”

Aku menatap ke arah yang ditunjuk Erato. “Oh, dia? Dia Argus. Tadi dia membantuku
kabur dari Gyle.”

Laurel menoleh pada Argus. Lalu terdiam.

“Laurel?”

Mendadak ekspresi Laurel berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya berkilat
marah. Ia menatap Argus dengan ekspresi siap membunuh.

“Pengkhianat,” katanya serak. “Pengkhianat! Kau… kau membunuh keluargamu sendiri…
Kau… kau…”

James memotong kalimat Laurel. “Apa yang kaulakukan di sini, Argus? Keberadaanmu tak
dibutuhkan. Tak ada yang membutuhkan pengkhianat sepertimu.”

Argus menatap James lekat. “Aku sudah melakukan kesalahan dengan menyerahkan kedua
orangtuamu pada Gyle. Tapi aku tak akan melakukannya lagi. Berikan aku satu
kesempatan lagi.”

“Kesempatan?!” jerit Laurel, sarat kemarahan. “Kesempatan, setelah apa yang
kaulakukan pada orangtua kami?! Jangan bermimpi! Kau hanyalah pengkhianat!”

Ekspresi Argus mengeruh. “Tolong. Aku tak bermaksud melakukan itu. Aku tak mengira
Gyle jahat. Kalian sudah tahu itu. Maafkan kesalahanku. Berikan padaku satu
kesempatan lain.”

James menatap Argus lagi, tapi tak mengatakan apapun. Keheningan yang merisaukan
terjadi. Bahkan Ares yang paling sembarangan bicarapun tak mengatakan apapun. Ini
sudah berubah menjadi masalah pribadi. Tak ada satupun yang berbicara. Tak ada
satupun yang ingin terlibat dalam permasalahan ini.

“Baiklah,” kata James akhirnya. “Tapi hanya satu.”

Dengan segera Argus berubah lega. “Terima kasih. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.
Aku…”

James berbalik menjauhi Argus. Argus tak berusaha menyetopnya maupun melanjutkan
kata-katanya.

“Jadi,” katanya akhirnya, “bisakah kita mulai dengan perkenalan?”

Senin, 22 November 2010

CHAPTER 8: LAUREL’S TURN

Laurel terbangun dengan kepala berdenyut-denyut. James ada di sampingnya, tengah memijat-mijat kepalanya sendiri.

“Gyle sial,” kata James kesal. “Kemampuan curian dia pakai. Kenapa dia bisa
menguasai kemampuan itu seperti itu? Sial, kepalaku sakit!”

“Masalah itu belakangan saja,” kata Thalia. “Mana Daphne?”

Tak ada yang menjawab.

*

“Kenapa pakai kartu tarot?” tanya Calypso tak paham. “Kenapa tidak melihat ke masa
depan secara langsung saja?”

“Mendapat visi tidak semudah yang kaukira,” jawab Laurel. “Kau bisa mendapat
visi-visi tak jelas secara mendadak, tapi untuk mendapatkan visi secara jelas butuh
cara-cara tertentu. Ramalan bola kristal, kartu tarot, garis tangan, semuanya
membantu.”

“Lalu kenapa memilih tarot?”

Laurel mengangkat bahu. “Masalah selera.”

Setelah beberapa saat, wajah Laurel memucat. Isi ramalan itu tidak bagus. Malah
lebih cocok dibilang buruk. Amat buruk. Tapi ia tidak boleh membuat teman-temannya
cemas. Sekarang yang penting Daphne harus diselamatkan dulu.

“Apa isi ramalannya?” tanya Erato.

Laurel tak menjawab. “James, kau tahu di mana markas Gyle?”

“Kastil itu? Ya, aku tahu. Kenapa?”

“Kita harus ke sana. Ayo.”

Dengan segera, Laurel, James, Theo, Thalia, Erato, Calypso, dan juga Ares bergegas
pergi meninggalkan rumah Daphne dan Jason, meninggalkan kartu tarot di meja makan di
sana.

Kartu The Death.

CHAPTER 7: DAPHNE’S TURN

“Bagiku itu berarti pernyataan perang.”

Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kata-kata Jason. Makin mengerikan lagi
saat aku melihatnya memukul Laurel sampai ia terlempar ke seberang ruangan. Aku
merasa ingin menangis. Sejak kapan kakakku berubah barbar begini?

“Daphne! Menghindar, cepat!” seru Ares. Aku menunduk, Theo menarikku ke seberang
ruangan.

Pisau roti di tangan Ares entah bagaimana berubah menjadi pedang falchion, gagah dan
tampak pas di tangannya. Tangan Jason bergerak mengambil sebilah belati dari balik
pakaiannya, dan belati itu berubah menjadi sebilah scimitar anggun, panjang dan
mengancam. Kedua pedang itu tampak indah, gagah, anggun, kuat, tapi juga mengancam
dan mengerikan di saat bersamaan.

Seketika rumahku menjadi kapal pecah. Keributan di mana-mana. Yang kekuatannya tak
memungkinkan untuk menjadi petarung berusaha menutupiku dari jangkauan Jason. Yang
kekuatannya memungkinkan untuk bertarung segera menyerang Jason. Theo dan Ares
segera menyerang, Erato meniup flutenya dengan nada-nada yang membuat pendengarnya
sakit kepala berat (kecuali aku), tapi tak ada yang mempan bagi Jason. Memang
gerakannya jadi melambat setelah mendengar bunyi flute Erato, tapi dia tetap
menyerang. Dia begitu kuat. Cepat. Mengerikan di saat bersamaan. Mengapa dia bisa
jadi begini kuat?

“Hyaaa, Jason!” seru Calypso. “Maju terus!”

James memukul kepalanya. “Kalau dia maju betulan kita bisa mati, sadar tidak?”

“Oh iya, maaf,” kata Calypso. “Theo, Ares, Erato, hajar dia!”

“Kenapa kau tidak ikut maju juga?” tanyaku heran.

“Dia ada dalam pengaruh mantra, menghipnotisnya akan menjadi sulit,” jawab Calypso.
“Lagipula, mana bisa aku menghipnotis kakakmu? Dia terlalu keren untuk dihentikan.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala takjub. Situasi seperti ini dan dia masih memikirkan
betapa kerennya kakakku? Dasar perempuan sinting. Apa dia mau mati muda?

Mendadak Jason seperti mendapat tambahan tenaga. Theo yang tak membawa senjata
apapun dengan mudah dilontarkan ke seberang ruangan. Thalia secara refleks segera
berlari ke arahnya dan mengobati luka-lukanya.

Erato segera meningkatkan kecepatan permainan musiknya. Nada-nada yang keluar kini
bertambah kuat sehingga semua orang jatuh berlutut, memegangi kepala. Bahkan aku
sendiri mulai merasa pusing mendengar suara flutenya itu. Tapi Jason menendang kaki
Erato sehingga permainannya terhenti, ia terjatuh. Erato menjerit kesakitan dan
mengangkat flutenya lagi, tapi Jason menendang flutenya menjauh, lalu memukul
tengkuk Erato keras. Diiringi jerit kaget semua orang kecuali Jason, Erato terjatuh
dalam ketidaksadaran.

Kini hanya Ares yang tersisa. Kemampuan yang sama jelas membuat mereka punya
kemungkinan menang sama. Kecuali kalau Jason sudah mengetahui apa kemampuannya yang
satunya dan menggunakannya untuk mengalahkan Ares.

“Percuma menghindar,” kata Jason pada Ares. “Aku tahu apa yang kaupikirkan.”

Dan, Jason menghajar Ares. Tak sedikitpun kesempatan diberikan. Jason seakan bisa
mengetahui semua isi pikiran Ares. Tiap kali Ares menghindar, selalu ada tonjokan
atau tendangan menantinya. Tak sekalipun dia bisa lolos. Tak pernah.

Semua orang menonton diiringi suara teriakan dan jeritan. Akulah satu-satunya yang
menonton dalam diam. Aku terlalu kaget dan takut untuk bersuara. Jason begitu
berubah. Sejak kapan ia jadi kejam seperti ini? Sejak kapan ia jadi haus darah? Aku
tak tahu mengapa, aku tak tahu apa sebabnya, tapi aku tak mau melihatnya seperti ini
terus. Aku ingin dia kembali ke asalnya. Aku ingin dia kembali menjadi Jason yang
baik, pengertian, perhatian, Jason yang dulu. Jason yang selalu cerewet soal masalah
bangun tidurku, Jason yang sering mengajakku mengerjai orang-orang, Jason yang dulu.

Aku menunduk dalam-dalam, mengurung diri dalam diam di antara keributan di
sekelilingku. Jason harus kembali seperti dulu. Tapi bagaimana? Dia terlalu…

“Daphne! Awas!”

Aku mendongak kaget dan mendapati Jason sudah berdiri di depanku dengan pedang
terangkat tinggi. Aku menjerit dan berlari kabur, menempelkan punggung di tembok.

“Jason! Kenapa?” seruku setengah mengisak.

Jason melangkah mendekatiku, tapi pedangnya tak terangkat. Aku semakin merapatkan
punggungku pada tembok. Tak ada lagi ruang untuk lari sekarang.

“Ini tugas,” katanya.

Aku memandanginya dengan bingung, segala pertanyaan tercampur aduk di benakku.

“Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu,” kata Jason mendadak, walau aku tak mengatakan
pertanyaanku, tak satupun. “Setidaknya, tidak sekarang. Mungkin di masa depan.”

Aku memandangi Jason sedih. “Apa tujuanmu kemari? Membunuhku?”

Jason tak menjawab. Ia memegangi kepalanya dengan satu tangan, tapi tak ada ekspresi
apapun di wajahnya. Ia hanya memandangiku.

“Cukup.”

Tubuh Jason menegang sesaat sebelum ia berbalik dan menatap pintu. “Schurke…”

“Kau tahu apa tugasmu, bukan, Jason?” tanya lelaki yang dipanggil Jason sebagai
‘Schurke’ itu dingin. Aneh bukankah dalam bahasa Jerman ‘schurke’ berarti tokoh
jahat, antagonis? Orangtua macam apa yang memberi anaknya nama seperti itu? Atau…
oh, kurasa aku paham sekarang. Dia hanya memakai nama samaran.

Laurel dan James, sama seperti Jason, menegang saat mendengar suara lelaki itu.

“Seharusnya aku sudah tahu,” desis Laurel. “Seharusnya aku sudah tahu kalau itu kau…”

Lelaki itu menatap Laurel dan tertawa. “Laurel, manisku. Sudah lama kita tak
bertemu. Dan James! Kau jelas sudah tumbuh, nak.”

“Jangan bicara seakan-akan kau ayah kami!” seru Laurel, kemarahan berkobar di
sekelilingnya.

“Tapi aku memang keluarga kalian, bukan?” tanya lelaki itu.

“Oh, ya, tentu saja, paman,” kata James. “Bagaimana mungkin kami bisa menerima
pengkhianat waktu di antara keluarga penjaga waktu? Terutama Laurel, saat kau nyaris
membunuhnya dulu. Hanya demi menguasai Kolam Waktu.”

Laurel memeluk tasnya erat. “Kami tak akan bisa memaafkan pengkhianat waktu
sepertimu. Tak mungkin. Terima saja, Gyle, kau tak pantas menyandang nama keluarga
kita!”

Gyle memandangi Laurel dengan pandang dingin. “Bicaralah semaumu, Laurel. Darah
penjaga waktu tetap mengalir di tubuhku.”

Laurel gemetaran karena marah, air mata kemarahan menggenang di matanya. Tak sanggup
mengatakan apapun, ia memeluk tasnya makin erat.

“Dan di dalam tas itu ada Jam Pasir Waktu, bukan?” tanya Gyle lagi.

Tubuh Laurel menegang lagi. Ia menatap Gyle dengan pandang tak percaya.

“Bisakah kau memberikan benda itu padaku?” tanya Gyle pada Laurel. Laurel menggeleng
kuat-kuat.

“Laurel?”

Laurel menatap mata Gyle dengan tatap menantang, tapi ada sesuatu dalam mata Gyle
yang aneh. Memaksa Laurel. Laurel mulai gemetaran, pandangannya tak lagi terfokus.

“Berikan benda itu padaku, Laurel,” perintah Gyle dengan nada dingin. Laurel
gemetaran makin hebat, tapi lalu luluh. Ia berjalan pelan, nyaris seperti berjalan
dalam tidur, hendak menyerahkan tas itu pada Gyle.

“Laurel!” panggil James. Ia menarik Laurel ke belakang sehingga Laurel terjatuh dan
menjadikan dirinya tameng antara Gyle dan Laurel. Ia menatap Gyle dengan galak.

“Jangan,” desisnya penuh ancaman, “kau berani-berani menggunakan kemampuanmu itu
pada adikku!”

Aku merasa sedih. Seharusnya Jason bisa berlaku seperti James. Mereka satu yang
terpecah menjadi dua, mereka tipikal. Jason…

“Sayang sekali, James. Tapi aku tak lagi beminat pada adikmu.”

Gyle berpaling padaku. Aku merapatkan punggungku pada tembok lagi. “Apa yang kau
mau?” bisikku.

“Kepingan Waktu.”

“Sayangnya aku tak bisa memberikannya padamu.”

“Aku tahu. Karena itu aku akan membunuhmu sebelum aku mengambilnya.”

Aku menegang. Apakah kematian memang satu-satunya jalan untuk mendapatkan benda itu?
Tak bisakah mengeluarkan benda itu dari tubuhku tanpa mengorbankan nyawa siapapun?

Mendadak rasa sakit itu menyiksaku lagi. Aku menjerit keras-keras. Rasa sakit yang
diakibatkan Kepingan Waktu itu serasa menyiksa seluruh tubuhku. Aku menjerit
kesakitan, memaki keras dalam hati. Sial. Kenapa di saat begini…

Tubuhku kehilangan keseimbangan, terjatuh ke depan, tepat ke lengan Gyle yang sudah
menunggu. Aku menahan diri, menahan jeritku supaya tidak meluncur keluar. Seluruh
tubuhku gemetaran karena rasa sakit yang harus kutahan itu.

“Daphne!”

Aku memandangi Jason dengan tatap penuh permohonan. Tolong. Jason, tolong. Kenapa
dia tidak bergerak untuk menolongku? Ada sesuatu dalam matanya yang tampak ingin
melakukan sesuatu, sekaligus takut untuk melakukannya.

Akhirnya, Jason memalingkan muka dariku. Seakan dia benar-benar tak peduli padaku.

Rasa sakit itu sudah menghilang. Kini aku dihantam rasa sakit lain. aku tak
menyangka kakakku sendiri akan membuangku seperti ini. Penolakan Jason untuk
membantuku seakan memadamkan harapanku yang terakhir. Kenapa dia tak juga sadar?

“Kau akan mengingatku, Jason,” bisikku pelan. “Kau akan sadar siapa aku. Kau akan
sadar apa yang sedang kaulakukan. Kumohon, ingat aku! Sadar, siapa aku! Jason!
Sekarang!”

Mendadak tubuh Jason menegang lagi. Tangannya mencengkram kepalanya seakan menahan
sakit. Di matanya tampak kilatan-kilatan gambar seakan dia kembali mengingat
segalanya. Tapi apa dia memang ingat?

Jason jatuh berlutut, mengerang pelan. Semua mata memandanginya dengan bingung. Mata
Gyle memandangnya dengan marah. Jason seakan tak menyadari apa yang terjadi di
sekitarnya.

James jatuh terduduk. “Dia mengingat semuanya.”

Jason mendongak dan memandang Gyle. “Ya. Aku ingat sekarang.”

Gyle menggeram marah dan melempar tubuhku ke samping. Aku memekik, Theo dan Thalia
menolongku untuk berdiri kembali.

“Jadi kau sudah mengingatnya lagi?” tanya Gyle. “Semuanya? Kurasa aku meremehkanmu,
Jason. Aku mugkin memang tak akan bisa menyihirmu. Tapi apakah kau memang sebaik
itu?”

Jason mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Gyle mengerucutkan bibir dan mulai bersiul. Mula-mula pelan, lama kelamaan menjadi keras. Nada-nada siulannya membangkitkan rasa kantuk semua orang, bahkan juga aku sendiri. Mungkin karena aku sudah lelah untuk menahan sakit dari Kepingan Waktu itu.

Laurel, yang sudah terbangun, mulai memekik. “Jangan! Gyle, hentikan! Jangan gunakan kemampuan curian, kau – “

Gyle memandangnya tajam, intensitas siulannya makin tinggi. Aku bisa merasakan bahwa siulan itu kini ditujukan khusus pada Laurel. Laurel menggumam setengah memprotes
sesaat, lalu matanya menutup dan ia terjatuh dalam tidur.

Merasakan siulan ini, entah bagaimana aku bisa tahu kalau semua teman-temanku bisa
terus tertidur amat lama sampai Gyle menyiulkan nada untuk membangunkan mereka lagi.
Aku tak bisa membiarkannya. Dia harus dihentikan!

“He – hentikan!” seruku. “Jangan lakukan ini! Bawa aku kalau kau mau, tapi jangan
lakukan apapun pada teman-temanku!”

Siulan Gyle berakhir dalam nada tinggi mendecit yang tak harmonis dengan nada
sebelumnya, lalu ia menatapku dengan tajam. “Kau mau mengorbankan drimu sendiri agar
semua temanmu selamat? Kau ini bodoh atau terlalu naif? Tak semua orang sebaik yang
kau kira.”

Aku tak menjawab. Aku menatap Gyle dengan penuh kesungguhan.

Gyle menyeringai lebar. “Kau serius.”

Aku tak menjawab.

“Baiklah kalau begitu,” kata Gyle lagi, “ikutlah denganku.”

Gyle menarikku ke sisinya dan mulai memudar. Tubuhku ikut memudar bersama dengannya.
Aku menarik nafas tertahan. Apa ini? Ke mana dia akan membawaku?

“Daph!”

Aku menoleh kaget. “Jason, jangan ikut!”

Terlambat. Jason sudah mencengkram lenganku dan juga memudar. Sedetik kemudian,
diiringi teriak panik semua teman-teman kami, aku dan Jason menghilang bersama
dengan Gyle.

*

Aku terbatuk-batuk. “Perjalanan apaan tadi itu? Sama sekali tak bisa dibilang mulus!
Itu perjalanan paling mengerikan yang pernah kualami!”

“Diam!” bentak Gyle. Aku memandangnya dengan tatap benci, lalu memalingkan wajah.
Apa yang bisa kuperbuat? Jason ada di sini, Gyle punya kartu asnya. Kalau aku
melawan, Jason bisa disihir lagi.

“Jadi, Jason,” kata Gyle, “kau sudah ingat, hm? Apa bedanya? Kau tetap akan lupa
lagi, bukan?”

Terdengar suara nafas tertahan. Aku menoleh kaget dan memekik. “Jangan – “

Terlambat.

Jari telunjuk Gyle telah menyentuh dahi Jason. Mata Jason tampak berkabut sejenak,
dan setelah beberapa saat, ketika matanya sudah jernih kembali, sinar hangat dan
cemas yang tadinya ada di sana menghilang. Hanya ada dingin dan tak peduli.

Aku mendesah sedih. “Jason…”

“Bawa dia ke dalam,” perintah Gyle pada Jason.

*

“Turunkan aku! Turunkan! Aku bisa jalan sendiri, kenapa kau terus menggendongku
seperti ini, memalukan, ayo turunkan aku…”

BRAK!

“Aduh!”

Jason berbalik sementara aku mengaduh-aduh karena dijatuhkan di lantai yang keras.
Dalam sel bawah tanah, pula! Gyle mengerikan, ternyata dia punya kastil.

“Jason!” seruku saat Jason hampir meninggalkanku. “Jason!”

Jason tak peduli. Tak menoleh. Aku menggigit bibir. Aku harus melakukan sesuatu…

“Kakak!” seruku akhirnya.

Jason berhenti. Ia menoleh padaku, matanya tampak kaget. Tapi ia lalu berbalik
kembali dan pergi meninggalkanku.

“JASON!!!”