Rabu, 29 Desember 2010

CHAPTER 14: JASON’S TURN

“Dapat!” seruku gembira dan melangkah keluar dari kastil Gyle. Tadi aku masuk ke sana untuk mencar senjata yang cocok untukku. Well, ada satu. Itu sudah lebih dari
cukup karena di tangan Pengguna Senjata, senjata apapun bisa berubah jadi sangat
lemah atau sangat mematikan.

“Bagus!” seru Daphne, yang sepertinya sudah bosan menunggu. “Jadi kau sudah mendapat
senjata yang tepat untuk dirimu sendiri! Dan sejata itu adalah…” suaranya
menghilang. “…sebatang tongkat pendek?!” ia melanjutkan. “Kau pasti bercanda!
Maksudku, lihat tongkatmu! Tiga puluh sentipun tak ada! Mau diapakan tongkat
sependek itu?!”

Aku tersenyum melihat reaksi Daphne. “Jangan meremehkan kekuatan Pengguna Senjata, Daph. Di tangan seorang Pengguna Senjata…” aku melepaskan tongkat itu dalam posisi
horisontal di udara, dan tongkat pendek itu melayang ringan, “… senjata apapun…”
tongkat itu berubah bercahaya kebiruan, “… bisa jadi senjata yang amat mematikan…”
tongkat itu kini memanjang dan aku menangkapnya lagi sebelum terjatuh, dan kini
tongkat ini sudah sepanjang tinggi badanku, “… walau awalnya senjata itu hanyalah
benda yang terlihat tak berguna sekalipun.”

“Ya,” kata Daphne, berusaha menyembunyikan rasa malu karena meremehkanku tadi.
“Taoi, tongkat?”

Aku tersenyum lagi dan mengayunkan tongkat itu ke pepohonan di kejauhan. Kilatan
cahaya sesaat, dan…

Dahan itu terpotong.

Daphne ternganga. Aku tersenyum geli melihat ekspresinya, lalu berkata, “Aku sudah
bilang kalau senjata apapun bisa jadi sangat mematikan, kan? Bahkan toya yang
terlihat paling rapuh sekalipun bisa menjadi senjata paling mematikan sepanjang
masa.”

*

“Di mana mereka?”

Artemis dan Apollo menutup mata dan mendesis kesal. “Sabar sedikit!” seru mereka bersamaan.

“Mencari lokasi seseorang seperti ini bukan hal yang mudah!” tambah Apollo.

Setelah beberapa saat, kedua anak kembar itu membuka mata dan mendengus kesal.

“Apa kita pakai cara itu saja?” tanya Artemis.

“Kurasa sudah tak ada jalan lain,” sahut Apollo diiringi dengus kesal.

“Oke,” kata Artemis lagi. “Kalau begitu ayo.”

Keduanya berdiri berhadapan dan menautkan kedua tangan mereka. Kepala mereka
tertunduk dan mata mereka terpejam. Sesaat kemudian angin mulai mengamuk di
sekeliling mereka sementara bahasa aneh meluncur keluar dari mulut mereka. Setelah
beberapa saat, muncul bayangan samar di belakang mereka, lalu mereka menoleh dan
menatap bayangan samar itu.

“Tunjukkan pada kami di mana Laurel,” kata mereka serempak.

Dengan segera bayang-bayang itu membentuk suatu gambaran. Bentuk tubuh Laurel,
wajahnya, segalanya. Lalu sedikit demi sedikit menjauh, menunjukkan lokasi di mana
ia bersembunyi.

“Bakat yang hebat, bukan?” tanya Gyle tiba-tiba. Aku mengangguk menyetujuinya. Ia
melanjutkan, “Mereka terlahir sebagai pasangan pencari. Mau mencari sesuatu,
keduanya harus bekerja sama. Kemampuan yang lain adalah pencuri dan yang lain lagi
Pengguna Senjata.”

“Semua bakat mereka sama?” tanyaku.

Gyle mengangguk mengiyakan. “Kembar. Kalau ada yang berbeda justru malah aku heran.”

Aku mengangguk walau sebenarnya aku kurang mengerti. Memangnya kenapa kalau
kemampuan mereka berbeda?

“Kami berhasil menemukan mereka.”

“Di mana?” tanya Erato.

Artemis dan Apollo menunjuk ke arah hutan di dekat kastil Gyle. “Di sana,” kata
Apollo.

“Mereka bersembunyi di gua di sana,” kata Artemis. “Mungkin mereka menganggap kita
tak akan mencari ke sana karena terlalu dekat dengan kastil Ayah.”

Aku mengangguk. “Masuk akal. Ayo.”

*

Mengendap-endap ke arah musuh itu mdah. Yang sulit, bagaimana menjaga supaya orang
itu tidak menyadari kalau kita sedang berjalan ke arahnya. Yang membuatnya lebih
sulit lagi adalah, bagaimana menjaga supaya ia dan penjaganya tak mengetahui kalau
kita sedang mendekat. Dan kalau ternyata penjaganya lebih dari dua, itu membuat misi
yang sedang diemban nyaris mendapat predikat ‘impossible’. Sialnya, laurel dijaga
oleh Ares dan Theo, plus James yang sama sekali tak berniat menjadi penjaga.
Untungnya, dari ketidak niatannya ini kami mendapat keuntungan lebih. Walau hanya
sedikit.

Aku yang berjalan di depan tiba-tiba ditarik ke samping sehingga jantungku terasa
nyaris copot. Aku hampir berteriak kaget kalau aku tidak mendengar bisikan panik
James,

“Bagaimana kalian menemukan kami di sini?!”

Aku menatap James. “Apollo dan Artemis.”

Mata James melebar. “Mereka ke sini?”

Aku mengangguk. “Sekarang, bisa kau membantu kami untuk merebut semua Kepingan Waktu
dari Laurel?”

James terdiam sesaat, lalu mengangguk.

*

BRAK!!!

Aku menoleh. “Daphne! Kau tak apa?”

“Tak apa, kecuali fakta bahwa aku kaget sampai nyaris kena serangan jantung,” kata
Daphne, setengah terengah. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Kalimatnya
menunjukkan kalau dia baik-baik saja.

“Yang lain tak apa?”

Semua mengangguk, kecuali Calypso yang akhirnya tetap ikut.

“Kelli?”

“Jangan panggil aku Kelli,” protes Calypso. “Auw. Sepertinya kepalaku baru saja
dijatuhi batu besar.”

“Masa?”

“Tidak seperti itu, itu kiasan. Tapi, ya, kepalaku agak pusing. Tapi selain itu tak apa.”

Aku menarik nafas lega lalu berbalik.

Laurel telah mengetahui kedatangan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar