Jumat, 10 Desember 2010

CHAPTER 13: DAPHNE’S TURN

“Pergi!” seruku kesal. “Hilang! Kabur! Apa-apaan Laurel itu, benar-benar tak
bertanggung jawab! Tugasnya apa, yang dilakukannya apa! dan sekarang?! Pergi dengan
membawa Theo dan Ares! Aaargh!”

“Terus saja mendumal,” kata Jason tampak kesal. “Itu tak akan mengubah apapun. Tak
akan mengambalikan Ares dan Theo, tak akan mengembalikan kemampuan Calypso.”

Mendengar kata-kata Jason, Calypso memekik keras dengan marah. “Laurel!!! Akan
kubunuh dia!”

“Bagaimana?” tanyaku datar. “Kemampuan saja kau tak punya, mau membunuhnya
bagaimana?”

“Aku… aku…” Calypso mendesah. “Tak bisa. Tapi aku ingin membalas dendam.”

Erato memeluk Thalia. “Hus. Jangan menangis.”

Thalia tak berkata apa-apa. Ia tetap menangis tanpa suara.

Argus menonjok dinding di sebelahnya. “Aku tak berguna.”

Aku hanya mendengus mendengar keluhannya itu. Yang tidak berguna bukan hanya dia,
tapi semua. Tak ada yang bisa menghentikan Laurel.

Gyle tampak berpikir keras. “Ada sesuatu yang membuatku merasa aneh,” katanya.

“Apa?” kataku risih, karena Gyle berpikir sambil memandangiku.

“Kemampuanmu itu… kekebalan dan manipulator masa depan, bukan?” tanya Gyle.

Aku mengangguk sebagai jawaban. “Memangnya kenapa?”

“Justru di situ anehnya,” kata Gyle. “Hanya dua.”

Aku mengernyitkan dahi. “Memangnya harusnya berapa?”

“Tiga,” jawab Gyle. “Manipulator masa depan selalu didampingi oleh satu kemampuan
lain yang menunjang kemampuannya untuk memanipulasi masa depan. Bukan hanya dalam
pengucapan, tapi juga ada hal lain. Apa bakatmu?”

“Bakat?” tanyaku bingung karena tiba-tiba percakapan ini melenceng dari kemampuan
khusus menjadi bakat.

“Ya,” jawab Gyle, “karena biasanya kemampuan seseorang berkaitan dengan bakat yang
dimilikinya.”

“Kalau itu sih mudah,” kata James. “Dia pandai melukis. Dia bisa membuat gambar
sketsa wajahmu sekarang juga dan pasti akan jadi sama persis dengan wajahmu.”

“Kuperkirakan, kemampuan penunjangmu adalah sebagai pelukis masa depan,” kata Gyle,
“Kemampuan yang membantumu memanipulasi masa depan.”

“Lalu kenapa tidak pernah ada yang menyadarinya?” tanyaku.

“Bukan tak pernah,” kata Gyle, tampak makin kesal. “Tak sempat.”

“Tak sempat?”

“Laurel mencuri kemampuanmu itu,” katanya. “Mungkin saat jiwa kalian bertemu di
mimpi. Kalau kemampuan seseorang dicuri pada saat-saat seperti itu, dia tak akan
mengingat dan merasakan kalau kemampuannya diambil.”

Aku mengerjap. “Pertemuan pertamaku dengan Laurel memang dalam mimpi.”

“Berarti dia sudah mencurinya,” kata Gyle dengan raut wajah marah. “Kita butuh
bantuan untuk mengalahkan Laurel. Kalau saat ini dia sudah mulai menyiapkan sketsa-
sketsa yang dibutuhkannya, kita butuh seseorang – atau lebih – yang tidak diduganya
dan tak akan sempat digambarnya.”

“Well,” kata Jason, “kalau begitu, cari bantuan. Masalahnya, siapa?”

“Dari dimensi waktu lain,” kata Argus tiba-tiba. “Laurel tak mungkin bisa
mengiranya, walaupun dia mendapatkan visi sekalipun.”

“Benar!” kata Calypso, mendadak tampak bersemangat. “Ambil saja beberapa orang dari
masa lalu. Sepasukan tentara juga boleh!”

“Calypso, jangan bicara ngawur,” kata Erato kesal. “Kalau sebanyak itu rumah ini tak
mungkin cukup.”

“Terserah,” kata Thalia. “Aku tak peduli. Asal bisa membawanya kembali…”

Aku menepuk-nepuk bahu Thalia. “Ya, ya, kami tahu. Tapi kalau sudah kembali,
nyatakan perasaanmu pada Theo, mengerti?”

Thalia melotot padaku.

“Oh, ayolah,” kataku sambil memutar bola mata. “Dari kepanikanmu tadi aku sudah tahu
kalau kau naksir Theo.”

Thalia menunduk, tampak pasrah. “Apapunlah…”

“Kalau kalian sudah selesai,” kata Gyle, “aku akan membuka portal di sini untuk
menjemput bantuan yang kuinginkan.”

*

Portal terbuka, dan dari sana terjatuh dua orang… seorang laki-laki dan seorang
perempuan.

Keduanya tampak amat mirip satu sama lain. seperti pinang dibelah dua. Astaga.
Mereka pasti kembar. Tepatnya kembar dampit, laki-laki dan perempuan.

“Apollo, Artemis,” kata Gyle, “Kalian berlatih pedang lagi?”

“Ayah!” seru keduanya bersamaan. “Kenapa Ayah memanggil kami?”

“Laurel mengacau.”

Keduanya ternganga.

“Masalah itu kesampingkan dulu,” kata Gyle lagi. “Perlu kalian perhatikan, sekarang
kita ada di dimensi waktu yang berbeda. Masa depan. Dan mereka adalah teman-teman kita.”

Keduanya menatapku dan teman-temanku.

Yang perempuan berdiri. “Hai, namaku Artemis,” katanya. Ia kira-kira seumuran
denganku, mungkin sedikit lebih muda. Rambutnya pirang panjang dan diikat tinggi
lalu dikepang, kemungkinan besar untuk mencegah rambutnya mengganggunya saat
berlatih pedang.

Ganti yang laki-laki berdiri. “Aku Apollo,” katanya. Ia sedikit lebih tinggi dari
kembarannya, Artemis. Rambutnya juga berwarna pirang, tapi sedikit lebih pekat.
Untuk ukuran laki-laki, rambutnya cukup panjang juga. Kira-kira sebahu, dan
berantakan sekali, walaupun ia sudah mengikatnya. Warna matanya biru laut, sama
dengan Artemis.

“Aku Daphne,” kataku.

“Jason,” kata Jason, lalu memperkenalkan semuanya sambil menunjuk mereka satu
persatu. “Calypso, Erato, Thalia. Er… sudah kenal Argus?”

Apollo mengangguk. “Ya, tentu saja. Halo, sepupu.”

“Hei, Apollo, Artemis,” Argus mengacak rambut Apollo yang sudah berantakan.
“Bagaimana rumah?”

“Kacau,” jawab Artemis. “Ibu panik karena Ayah tak pulang-pulang. Orangtuamu setiap
hari menggerecoki kami kalau-akalu ada kabar darimu. Tak ada!!!”

“Dan sekarang mungkin akan tambah kacau karena kami pergi juga,” tambah Apollo.

“Masalah mudah,” kata Gyle. “Begitu kalian pulang, jelaskan semuanya.”

“Apa?!” pekik Apollo dan Artemis bersamaan. “Jadi Ayah mau kami repot sendiri?!”

“Ayah tahu sendiri seperti apa Ibu kalau marah atau panik!” tambah Apollo diiringi
anggukan setuju saudarinya.

“Begitu Ayah pulang, Ayah juga akan jelaskan,” kata Gyle.

“Jadi kami pulang duluan, begitu?” tanya Artemis.

Gyle mengangguk.

“Nggak! Pulangnya harus bareng!” seru Apollo tak setuju.

“Kalau kami duluan nanti Ibu marah besarnya ke kami! Ayah hanya dapat sebagian
kecil!” tambah Artemis setuju.

Gyle menutup wajah dengan sebelah tangan. “Baiklah… nanti pulangnya bersama-sama.”

“Dengan Argus juga?”

“Memangnya dengan siapa lagi? Ayah tak mungkin membawa seseorang ke dimensi waktu
berbeda tanpa jaminan mereka akan dikembalikan ke dimensi waktu mereka sendiri lagi.”

Argus mendengus. “Menggelikan. Seingatku kau melakukannya, sekali, pada– “

“Jadi!!!” potong Gyle, tampak agak panik. “Masalah Laurel! Oke, masalah Laurel…”

“Ya,” kataku. “Bagaimana? Dia pergi, kita tak tahu di mana dia, satu kemampaunku
dicuri…” aku memaki kesal. “Laurel benar-benar minta dihajar.”

“Kurasa cara terbaik untuk mengalahkannya adalah dengan menyerangnya secara
mendadak,” kata Apollo.

“Ya, Laurel mudah dikejutkan, itu akan memberi kita poin tambahan,” timpal Artemis.

“Apa kalian tidak menghitug Ares, Theo dan James?” kataku pedas.

“Mereka hanya akan bergerak kalau Laurel menyuruh mereka bergerak,” kata Jason.
“Ares dan Theo ada dalam pengeruh hipnotis, James tak benar-benar jahat. Dia hanya
terbawa Laurel. Kalau dia bisa menghentikan Laurel, dia akan melakukannya. Tapi dia
tak bisa karena satu-satunya kemampuan yang tersisa darinya hanyalah pengelana waktu.”

“Berarti kita bisa memakai rencana itu,” kata Calypso.

“Ya, tapi kau jangan ikut,” kata Erato.

“Kenapa?” protes Calypso langsung.

“Tanpa kemampuanmu, kau tak berguna,” ucapku sarkastis.

“Tanpa kemampuanmu, kau tak akan bisa melindungi diri,” kata Jason seketika.

“Tapi dia bisa jadi umpan,” kata Argus.

“Dan meletakka nyawanya di ujung taduk?” kata Thalia.

“Tidak, bukan itu maksudku,” kata Argus buru-buru. “Hanya saja… yah, kalau ingin
kesan keterkejutannya lebih kuat, umpan akan sangat membantu…”

“Tapi sama saja dengan membunuhnya,” kataku pedas. Argus meringis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar