Selasa, 28 September 2010

Maut

Pedang beradu di udara
Percikan bunga api muncul
Dalam kegelapan Sang Ksatria berdiri
Menentang maut dan petaka
Api di belakang punggungnya berkobar di langit malam
Tampak indah sekaligus berbahaya
Cahaya merah dan jingga mendominasi udara
Menantang maut dan marabahaya
Merenggut lepas semua tetes keberanian
Meninggalkan takut yang tersisa
Pedangnya teracung tinggi
Mencari korban darah dari yang berdosa
Darah tertumpah, nyawa melayang
Sebuah permainan maut
Yang kuat menang
Yang kalah tersingkir ke kematian
Sang Ksatria melangkah gagah berani
Tanpa takut akan resiko mati
Namun siapa yang mau mengikuti permainan ini?
Permainan di mana yang kalah akan mati?
Haruskah kita mati hanya karena permainan kecil?
Apakah maut memang sesuatu yang pantas ditantang?
Mungkinkah seseorang kembali hidup setelah pergi ke kematian?

Eve
28/9/2010

Sabtu, 04 September 2010

Moonlight Thief chptr 6: The Fallen King

Andy
Baru beberapa detik ia berada dalam air, ia telah merasakan siksaan terberat dalam hidupnya. Air yang demikian dinginnya membuatnya merasa seperti terbakar. Ia tersedak, kehabisan nafas. Ia mencakar-cakar air, menendang-nendang dengan panik, berusaha kabur dari siksaan itu, namun percuma. Segala yang dilakukannya terasa sia-sia. Tubuhnya membeku. Jemarinya mulai mati rasa. Ia tak dapat lagi menggerakkan tubuhnya. Ia tenggelam.
Mendadak tubuhnya ditarik kembali ke permukaan, entah oleh siapa. udara dingin menusuk wajahnya, dengan terburu-buru ia menghirupnya. Ia terbatuk dengan parah. Terengah. Tubuhnya terasa terbakar. Ia menggigil dengan perasaan tersiksa.
“Tenanglah,” kata seseorang, suara lembut laki-laki, di telinganya. “Hiruplah udara dengan tenang. Jangan terburu-buru. Aku tahu kau merasa tubuhmu seperti terbakar walau sebetulnya tubuhmu membeku. Tapi aku tak bisa memindahkanmu sekarang. Diamlah di sini dulu.”
Tak terpikir oleh Andy untuk menjawab. Ia hanya mampu menggigil dan diam. Matanya terpejam rapat menahan siksaan itu. Ia merasa mengenali suara laki-laki yang menyelamatkannya, tapi siapa?
Ia membuka mata. Udara dingin menusuk matanya hingga matanya berair. Segalanya tampak buram. Ia menangkap sosok samar seorang lelaki sedang berlari menjauhinya. Kegelapan perlahan mendominasi pandangannya, dan ia kehilangan kesadarannya.

*

Aku terbangun dan melihat Arcas berlutut di atasku, tangan kanannya membawa belati yang terangkat hendak menusuk jantungku. Aku menjerit dan berkelit. Dengan kemarahan dan kesakitan di matanya, Arcas mengejarku. Belatinya terangkat tinggi, siap menusukku, menumpahkan darahku. Dengan panik aku berlari dan dengan bodohnya tergelincir di es. Sial, padahal aku mengenakan sepatu karet.
Arcas kembali mengangkat belatinya dan aku segera berlari. Kali ini aku berhasil kabur. Belati Arcas menancap di es. Ia mencabutnya dan dengan kegilaan penuh mengejarku lagi. Aku terus berusaha kabur.
Aku menyadari sesuatu dengan mendadak. Mana Andy?
Aku menoleh ke kanan-kiri. Aku menemukan Andy berbaring lemas di atas es, tubuhnya basah kuyup, menggigil kedinginan. Di sebelahnya es berlubang amat lebar. Seketika aku menyadari, ia pasti tercebur ke dalam es. Tapi bagaimana bisa?
Robe berlari ke arah Arcas. Tubuhnya juga basah kuyup. Ia menubruk Arcas dengan kuat. Dengan segera keduanya bergulat di atas es. Robe mematahkan tongkat Arcas dan membuang belatinya jauh-jauh.
Aku berlari ke arah Andy. Ia pingsan tak sadarkan diri. Tapi ia menggigil.
Dia harus dipindahkan ke tempat yang lebih hangat, pikirku. Aku mengecek suhu air. Dingin… amat dingin. Memang amat dingin. Sebetulnya aku yakin aku tak akan separah Andy kalau aku yang tercebur, tapi sejak dulu Andy memang tak pernah tahan dingin.
Robe dan Arcas terlibat dalam perkelahian. Keduanya saling menyerang dengan penuh semangat. Setelah beberapa lama, Robe akhirnya bisa memojokkan Arcas dan menceburkannya ke lubang es tempat tadi Andy tercebur.
BRUASH!!!
Dengan segera Robe membungkuk di atas lubang itu dan membisikkan sesuatu. Es di atasnya menutup dengan cepat, walau tipis. Ia mendatangiku dan Andy.
“Kenapa kau membantu kami?” tanyaku langsung.
“Selama ini aku menurut pada raja gila itu karena dia memberikan mantra yang membuat kami seluruh rakyat di sini harus tunduk padanya. Saat kau menyerangnya menggunakan koneksinya tadi, mantra itu patah. Aku bisa melawannya. Dia harus dilenyapkan kalau kami mau negeri kami kembali damai. Dan caranya memang menenggelamkannya di sana. Ia akan mati beku.”
Robe menatap Andy. “Dia harus dipindahkan. Ayo.”

*

Andy tersadar dua hari setelah ia pingsan.
Aku melonjak girang saat melihatnya tersadar. Akhirnya dia sembuh!
“Apa yang terjadi?” tanya Andy.
Aku menceritakan semuanya. Robe membantuku beberapa kali saat aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan semuanya. Andy mengangguk tanda mengerti saat akhirnya aku selesai bercerita.
“Kami memerlukan raja baru di sini,” kata Robe tiba-tiba. “Pemimpin amatlah dibutuhkan. Kalian telah menunjukkan kalau kalian mampu menjadi pemimpin yang baik. Apa kalian mau tinggal dan memerintah di sini?”
Aku dan Andy berpandangan sejenak dan menggeleng serempak.
“Tidak.”
“Kenapa?”
Aku mendesah. “Kehidupan kami berbeda dengan kehidupanmu, Robe. Kami hanya ingin pulang ke negeri kami sendiri. Hanya itu. Tak ada keinginan lain. maaf. Tapi beban untuk menjadi pemimpin terasa terlalu berat. Lagipula di sini pasti ada orang lain yang mempu melakukannya.”
Robe menunduk. “Apa tak ada yang bisa kulakukan untuk membujukmu melakukannya?”
Andy menggeleng. “Maaf. Keputusan kami ini sudah tak bisa diubah lagi. Kami hanya ingin pulang.”
Robe mengangguk. “Baiklah. Kalau itu memang keinginan kalia, aku tak bisa memaksa.”

*

Gua itu gelap dan dingin. Aku dan Andy melangkah melalui lorong itu dengan cepat. Kami telah mengenal jalan di sini. Dengan cepat kami mencapai pintu. Aku mengambil Moonlight Pearl yang ada di kantongku. Mutiara itu bersinar dalam kegelapan. Aku menggenggamnya dan membuka pintu itu.
Terbuka.
Aku dan Andy segera melangkah ke perpustakaan. Mutiara itu hilang mendadak dari tanganku. Memang tempat mutiara itu adalah di Moonlight Country, bukan di Sunshine Country.
“Kenapa kalian bisa ada di situ?”
Kami menoleh pada Kak Nike, penjaga perpustakaan. Kami nyengir.
“Asal main-main saja, Kak.”
Kami melihat jam dinding. Ternyata menurut waktu Sunshine Country, kami hanya pergi selama lima menit. Waktu berjalan dengan berbeda.
Dari belakang Kak Nike muncul Ditta.
“Sally!” serunya. “Jangan ngambek karena kau dikerjai saat di kelas tadi, dong! Masa baru dikerjai sedikit begitu kau sudah ngambek? Kami tidak mengerjaimu tanpa alasan, tahu!”
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat. Memang saat di hari aku pergi ke Moonlight Country, hari ini, aku dikerjai oleh teman-teman sekelas. Aku memang sangat kesal waktu itu. Tapi apa hubungannya dengan perkataan Ditta?
Ditta menarikku dan Andy keluar dari lorong belakang lemari buku yang berdebu itu. Ia membimbing kami menuju ke kelas.
Ia membuka pintu, dan…
“DOOOR!!!”
“SELENE! HAPPY BIRTHDAY, KETUA KELAS!”
Aku ternganga. Inikah kenapa saat itu mereka mengerjaiku? Astaga, aku bahkan lupa kalau ini hari ulang tahunku!
Ditta tertawa terbahak-bahak dengan puas. “Terkejut?”
Ia membawakan kue ulang tahun. Aku meniup lilin, tertawa bersama mereka, dan…
CEPROT!
“DITTAAAAAAA!!!”
Kue itu hancur di wajahku. Aku amat kesal, sekaligus senang. Aku telah kembali ke kehidupan normalku. Tanpa raja gila bernama Arcas, tanpa sebuah negeri bernama Moonlight Country.
Aku mengucapkan selamat datang kembali pada kehidupan normalku. Dengan ceria aku melerkan krim di wajahku ke wajah Ditta yang langsung menjerit protes, juga ke pipi Andy, Tika, Guntur, Ira, dan semua teman-temanku. Semuanya langsung protes dan membalas. Kelas kami ribut oleh jeritan, tawa dan seruan-seruan protes.
“APAAN INI, RAMAI SEKALI! KALIAN SADAR ATAU TIDAK KALAU INI SUDAH SAATNYA PULANG SEKOLAH?!”
“Hyaaa, itu Bu Hera!”
“Mati, Killer Whale itu tahu?!”
“Kabur!!!”
“Whua!!! Ampun Bu, ampun!”
“Hiya, Didot ketangkep!”
“Ah, Ibu! Masa main-main sebentar di sekolah tidak boleh?”
“Iya, Bu Hera nih… nggak seru ah!”
“Ini kan ulang tahun Selene, Bu! Mau dirayakan nih di sini!”
“KENAPA TIDAK MINTA IJIN SEKOLAH DULU?!”
“Kyaaa, ampun!”
“Kalian ini gimana, sih, udah tahu Bu Hera itu orangnya gimana, kenapa masih pake acara ngeles juga? Udah, jangan lama-lama bujuk guru ini, kabur aja cepetan!”
“Setuju! Andy pintar! Ayo teman-teman, kabur sekarang juga! Pasukan kelas sembilan Troya, kaburr!!! Maju, jalan!”
“Siap kapten!!!”
Dengan tawa terbahak diiringi jerit marah Bu Hera yang telah seratus persen berhasil dikerjai, kai sekelas berlari kabur ke lapangan basket. Dan, dengan segera dikejar beberapa guru yang membantu Bu Hera. Kehidupan sekolah yang menyenangkan dan penuh masalahpun dimulai lagi. Aku terbahak puas.

4.8.2010
Story by Eve

Moonlight Thief chptr 5: The Connection

Aku terjatuh dengan kekagetan melingkupiku. Apa? bagaimana? Kenapa aku bisa langsung kembali? Apa karena ciuman Andy di keningku tadi? Mengingat itu, wajahku memerah sedikit.
“Selene!” panggil Andy, wajahnya tampak sumringah. “Kau kembali!”
Lalu, bersama seruan itu, Andy memelukku dengan gembira, membuatku menjerit kaget.
“Andy!” seruku. “Aku tahu kau bahagia karena aku kembali seperti semula, tapi apa memelukku itu perlu?! Dan kenapa tadi kau mencium keningku?!”
Andy melepaskan pelukannya. “Kau ingat?”
“Mana mungkin tak ingat.”
Ganti wajah Andy yang memerah. Secara fatal, sampai wajahnya semerah tomat. Aku terkekeh geli melihatnya.
Aku menunduk ke bawah, menatap menembus lapisan keruh es yang ada di bawah kakiku.
“Kota yang membeku,” bisikku pelan.
Terdengar raungan marah dari gua. Aku dan Andy segera menoleh ke sana dengan waspada. Arcas melangkah keluar dengan marah, di belakangnya Robe membuntuti dengan raut wajah gelisah dan takut.
“Jadi,” Arcas berkata dengan suara bergetar menahan amarah, “kau sudah berhasil membebaskan diri dari mantra yang mempertahankan perjanjian darah itu? Kau harus tahu kalau kau adalah satu-satunya orang yang berhasil membebaskan diri dari mantra itu.”
“Betulkah?” tanyaku, pura-pura polos. “Wow. Aku merasa bangga mengetahuinya, Yang Mulia,” dua kata terakhir kuucapkan dengan nada mengejek.
Arcas menggeram marah. Ia melotot padaku dengan marah. Aku menatapnya dengan penasaran. Apa yang hendak dilakukannya sekarang?
Arcas memejamkan matanya, tampak berkonsentrasi. Aku berpandangan dengan Andy, merasakan firasat buruk. Apa yang akan dilakukan raja gila itu?
Mendadak, Arcas tersenyum, membuatku dan Andy merasa kaget. Apa yang akan dilakukannya? Kenapa tersenyum? Apa yang dipikirkannya? Apapun itu, pasti itu bukanlah hal baik, setidaknya untukku dan Andy.
Arcas tersenyum makin lebar, dengan raut wajah licik. Apa yang mau dilakukannya?
“Aku merasa bangga sudah melakukan perjanjian darah denganmu, anakku,” katanya dengan nada mencemooh. “Kau melupakan kalau kau memiliki bekas luka yang menjadi penanda perjanjian kita, bukan? Tanda di lengan kirimu, yang berbentuk bulan sabit dan tiga bintang?”
Aku terkesiap. Aku menggulung lengan bajuku yang sebelah kiri. Bekas luka itu terpampang di sana, sangat jelas, sejelas siang.
Arcas terbahak puas dan licik. “Kau memang berhasil melepaskan diri dari mantraku, kuakui itu. Tapi kau hanya lolos dari mantra yang memerangkapmu. Jiwamu masih milikku. Aku tetap bisa melakukan apapun terhadapmu, walau kini ada pengecualian, yaitu memanfaatkanmu menjadi alatku seperti tadi. Aku tetap bisa melakukan apa yang mau kulakukan padamu tanpa ada halangan apapun. Masih ada koneksi yang membuatku bisa melakukan sesuatu. Misalnya, ini.”
Bersamaan dengan kata terakhir Arcas, aku merasakan sakit yang mengerikan mencengkram seluruh tubuhku. Aku menjerit dan terjatuh di atas es.
Es yang seharusnya terasa amat dingin itu kini terasa membakar. Tubuhku terasa terbakar, memperkuat siksaan itu. Andy yang panik menyentuh lenganku, dan anehnya sentuhannya terasa sedingin es. Secara harfiah, dan dingin itu dikalikan sepuluh kali lipat. Dan tanpa tahu itu, ia tetap membiarkan tangannya menempel di lenganku. Siksaan mengerikan, karena di satu sisi tubuhku terasa terbakar parah, dan di sisi lainnya tubuhku terasa membeku dalam es. Aku menjerit makin keras karena makin lama siksaan itu bertambah parah. Tiap detik terasa seperti seabad, mengabadikan siksaan mengerikan itu. Sulit rasanya untuk mengambil nafas, dan amat mustahil untuk bergerak. Sungguh mengerikan. Aku berbaring di atas es, menggelung tubuh seperti kucing, terisak kesakitan. Samar kudengar suara Arcas yang tertawa.
“Dengan begini, tak akan ada yang merebut takhta dariku!” suara Arcas terdengar timbul-tenggelam di telingaku.
Aku memejamkan mata. Menggigil kesakitan. Aku tak sanggup lagi menjerit karena rasa sakit itu terlalu hebat hingga tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali berdiam diri. Menjerit terasa sia-sia dan menyiksa. Siksaan ini terlalu hebat untukku.
Pandangan mataku mulai tampak timbul-tenggelam. Aku merasa berhalusinasi. Aku melihat wajah-wajah teman-temanku tertawa di depanku. Aku melihat Robe tersenyum padaku. Aku melihat Arcas menatapku ramah. Bahkan, Andy tertawa lebar padaku. Jauh lebih lebar dari teman-temanku yang lain.
Aku kebingungan. Ini halusinasi atau bukan? Ini terasa terlalu nyata untuk ukuran halusinasi. Ya, ini nyata. Tak mungkin ini halusinasi.
“Kenapa?” gumamku tak jelas. “Kenapa kalian tertawa? Kenapa kalian tertawa padaku saat aku kesakitan?”
Hanya ada kata ‘kenapa’ di pikiranku. Kenapa mereka menertawaiku? Di saat aku kesakitan seperti ini? Apa sebetulnya yang ada di pikiran mereka, menertawai orang kesakitan seperti itu? Kenapa mereka bisa seenak itu menertawai orang? Tak sadarkah mereka kalau aku kesakitan parah?
“Selene,” terdengar suara Andy di telingaku. Terdengar timbul tenggelam dan tak jelas. Tapi aku masih bisa menangkap kata-katanya. “Selene. Bertahanlah. Jangan mati dulu. Tahan.”
“Aku tak mau mati,” isakku pelan.
“Tahanlah dulu. Tadi Arcas bilang kalau koneksi itu masih ada. Dan ia memanfaatkannya untuk menyiksamu. Tapi kalau kalian berdua memang masih terhubung, seharusnya kaupun juga bisa menggunakan koneksi itu untuk membalikkan serangan ini padanya.”
Aku menatap Andy sayu. Wajahnya tampak buram. “Apa aku masih punya kekuatan untuk itu?” bisikku.
“Punya,” jawab Andy mantap. “Kalau kau mau, kalau kau yakin kau bisa, kau pasti punya kekuatan untuk itu. Lakukanlah, Selene. Hanya kau satu-satunya yang bisa melakukannya.”
Aku memejamkan mata rapat dan menundukkan kepala hingga daguku menyentuh dada. Aku mendesis kesakitan.
“Aku tak yakin aku bisa,” gumamku tak jelas. “Aku kesakitan, aku kelelahan, aku…”
Andy membekap mulutku. “Kata-kata itulah yang membuatmu tak mampu melakukannya. Kau pasti bisa. Cobalah dulu.”
Aku menatapnya lagi. Ia memandangku serius. Sorot serius memenuhi matanya, serius dan juga lembut. Dan ada secercah sinar lain di sana… kepercayaan.
Aku tak ingin mengkhianati kepercayaan Andy.
“Akan kucoba,” kataku akhirnya.
Aku memejamkan mata lagi. Rasa sakit itu entah bagaimana berangsur menghilang. Menyisakan ketenangan dan kedamaian. Aku berusaha menyusup ke pikiran Arcas, memutarbalikkan mantranya sehingga dia sendirilah yang menderita sakit ini, bukan aku. Pembalasan dendam yang menurutku cukup setimpal. Selain itu…
Selain itu, mungkin kalau dia mati aku baru bisa kembali ke Sunshine Country.
Kegelapan yang melingkupiku terasa makin pekat. Rasa panas membara es di bawah tubuhku menghilang. Aku merasa seperti melayang. Rasanya seperti terpisah dari tubuhku dan melayang menuju ke tempat lain.
Aku membuka mata. Aku tak lagi berbaring di atas lapisan beku danau yang membekukan sebuah kota. Di depanku ada sebuah gerbang besar, terbuat dari besi. Ukir-ukiran memenuhi seluruh permukaannya. Ukiran tanaman anggur yang merambat melilit pohon apel yang berbunga, sulur ivy yang tersambung di sulur anggur itu yang lalu melilit sesosok tubuh manusia… Sesosok laki-laki. Telanjang, tapi tertutup oleh sulur ivy tadi. Wajah laki-laki itu cukup tampan juga… Siapa dia sebenarnya?
Aku memperhatikan wajahnya dengan rasa penasaran. Siapa dia sebenarnya?
Aku menyadari siapa dia, dan terpekik.
“Tak mungkin!” pekikku kaget. “Arcas?! Apa dia memang setampan itu saat masih muda?”
Gerbang itu terbuka perlahan. Aku mengabaikan keterkejutanku dan berjalan masuk ke sana.
Sebuah aula besar. Bukan besar lagi, tapi malah raksasa. Dengan cepat aku berjalan melintasinya, menuju ke pusat ruangan. Sebuah buku besar tua menarik perhatianku. Letaknya ada di tengah aula itu.
Aku mencapai tengah aula itu. Aku menyentuh buku itu.
BRUAKKKK!!!

*

Andy
Lima belas menit telah berlalu sejak mendadak Selene kehilangan kesadarannya. Ia masih bernafas walau lemah, dan detak jantungnya juga masih terasa walau lemah. Andy terus menunggui Selene dengan setia, berharap gadis itu kembali dengan selamat.
“Berhasillah, Selene,” gumamnya pelan. “Berhasillah. Kalau sampai rencana yang satu ini gagal, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Ayolah.”
Mendadak ia direnggut hingga terangkat dari es tempatnya berpijak. Arcas menyeringai jahat padanya.
“Sudah cukup waktumu untuk berdoa. Sekarang, gadis itu sudah berhasil kusingkirkan. Kini giliranmu telah tiba.”
Arcas melemparnya dan ia jatuh terbanting di es. Ia berteriak kesakitan. Rasa dingin es menyengat kulitnya. Ia menggigil.
Arcas menunjuknya menggunakan tongkatnya. Ia mengarahkan tongkat itu ke atas, dan tubuh Andy ikut terangkat. Lalu, dengan kejam, Arcas membantingnya dengan kuat ke es lagi.
Andy terbatuk, memuntahkan darah. Darah yang tercecer di lapisan es itu dengan segera membeku karena hawa dingin yang keterlaluan itu. Merah di atas putih. Abstrak dan indah, sekaligus kejam dan mengerikan. Keindahan yang sadis.
Kembali, tubuhnya terangkat. Lagi, tubuhnya melayang di udara beberapa detik sebelum akhirnya dibanting ke atas es lagi. Dan lagi, darah yang keluar dari mulutnya membentuk lukisan abstrak indah yang kejam. Terulang, terus dan terus.
Arcas terus membantingnya di lapisan es yang sama. Di titik yang sama. Es di titik itu perlahan mulai retak. Sedikit demi sedikit. Perlahan, retak, retak, retak, sedikit lagi akan hancur. Dan tubuh Andy akan meluncur masuk melalui lubang yang terbentuk, terjun menuju air dingin. Dan membeku.
Andy sudah nyaris tak bisa berpikir. Tubuhnya terasa amat sakit, dan Arcas terus memanting-banting tubuhnya dengan bersemangat seakan ia adalah mainan menarik bagi anak kecil, bola karet anti pecah yang tak akan rusak. Tubuhnya dipenuhi lebam dan pakaiannya sudah merah karena darah.
Es itu kembali retak. Cukup sekali lagi ia terbanting, dan ia akan terjun ke dalam air yang sedingin es…
Tapi ia tak melayang lagi. Ia hanya diam di atas lapisan es. Terbaring miring mengenaskan. Darah mengotori tubuh.
Ia menoleh dan menemukan Arcas telah jatuh berlutut. Arcas mengerang kesakitan, dan Andy melonjak girang dalam hati. Selene telah berhasil!
Arcas mengerang kesakitan lagi. Raja itu menatap Andy dengan tatap bengis. Ia menggeram marah.
“Kau…” engahnya. “Kau! Kau yang menyuruh gadis itu menggunakan koneksi kami untuk menyerangku! Kau… Aku akan membunuhmu!”
Andy merasakan kengerian mencengkramnya saat lagi-lagi tubuhnya melayang. Tubuhnya melesat jatuh, ia menjerit, tubuhnya menabrak lapisan es retak yang langsung pecah. Air dingin menyambut tubuhnya. Ia tenggelam dalam air sedingin es yang menyiksanya dengan mengerikan.

*

BRUAKKK!!!
Buku itu terbuka diiringi suara benda jatuh yang begitu keras. Aku terlonjak karena kaget. Aku menenangkan diri dan mengintip ke dalam buku itu. Apa isinya?
“Biarkan kesakitan itu berbalik pada ia yang mengirimkannya,” aku membaca dengan pelan. “Siksaan yang diberikan akan berbalik menyiksa yang memberikan. Yang mendapatkan pertama kali akan terbebas, yang mengirimkan pertama kali akan terperangkap. Kata-kata yang diberikan si pengirim tak akan menimbulkan masalah apapun lagi bagi penerima, namun kata-kata penerima akan menjadi malapetaka bagi yang mengirim.”
Aula itu bergetar seolah diguncang gempa bumi. Tapi aku terus membaca. Entah bagaimana aku merasa kalau aku harus membaca buku itu kalau aku ingin keluar dengan selamat dari sini.
“Bagi sang pengirim, malapetaka yang dikirim penerima akan menjadi siksaan terberatnya,” lanjutku tanpa peduli. “ Siksaan yang akan menimbulkan kematian. Biarkan jiwa-jiwa yang telah melayang karena perbuatan pengirim menuntut balasnya lewat perkataan penerima, dan nyawa pengirim akan pergi menuju kegelapan dunia kematian.”
Guncangan di aula itu makin hebat. Aku membaca dengan makin cepat.
“Sang pengirim tak akan pernah bisa mengirim kutukan apapun lagi. Kini mantranya telah patah dan segalanya tamat baginya. Zaman baru telah dimulai. Tak akan ada yang bisa menghalangi penerima menerima apa yang seharusnya menjadi haknya. Dan kini biarlah sang penerima mendapatkan keselamatannya, jiwa yang tak berdosa akan kembali bersatu dengan apa yang seharusnya menjadi miliknya.”
Aula itu runtuh. Tubuhku berubah menjadi cahaya perak, dan aku melesat terbang menuju keselamatan.

Moonlight Thief chptr. 4: The Stolen Soul

Aku membuka kunci buku berat itu dan membukanya.
Terbuka.
Dengan cepat aku dan Andy mempelajari seluruh isinya.
“Bila seseorang terjebak di Moonlight Country, ia harus mencari penghubung kedua dunia untuk kembali ke Sunshine Country. Penghubung yang ada di Moonlight Country hanya ada satu, yaitu Moonlight Pearl. Moonlight Pearl ada mutiara yang indah, berwarna putih cemerlang dengan sedikit aksen keperakan. Dalam gelapnya malam, mutiara ini bersinar keperakan seperti sinar bulan. Konon mutiara ini asalnya adalah dari Sunshine Country, dibawa ke Moonlight Country oleh seorang pengelana dari Sunshine Country.”
Aku menghela nafas. “Moonlight Pearl…”
“Oke,” kata Robe yang mendadak muncul. “Berarti tugasmu untuk mengambilnya.”
Aku melotot ke arahnya. “Aku harus maling lagi, maksudmu?”
“Apa ada penjelasan yang lebih cocok?” tanya Robe dengan santai.
“Aku ikut denganmu,” kata Andy tiba-tiba.
“Apa?”
“Aku ikut denganmu. Sudah lama aku tidak mencuri malam-malam. Tak ada salahnya berolahraga sedikit, bukan?” Andy mengangkat bahu dengan sikap santai.
“Oke,” kataku akhirnya. “Aku toh tak akan menolak ditemani.”

*

Langit malam tampak bertabur bintang. Aku mengenakan topengku yang berbentuk seperti mata hitam itu. Andy mengikuti, ia mengenakan topengnya yang mirip denganku, bedanya miliknya tanpa bulu mata dan warnanya putih.
“Siap?” bisiknya.
“Selalu,” jawabku, juga berbisik.
Kami bertatapan sejenak, lalu mengagguk dan mulai melangkah cepat tanpa menimbulkan suara ke arah pintu.
Kini, kami harus mencuri di rumah Raja Arcas sendiri. Atau mudahnya, kastilnya. Hebat sekali bukan aku, senekat itu hendak merampok rumah raja? Raja yang telah mengikat perjanjian denganku dengan darah, pula. Herannya, tak ada penjaga. Tak ada prajurit. Kami masuk dengan mudah sekali, nyaris tanpa kesulitan. Kesulitan kami cuma satu, yaitu membuka pintu. Pintunya rangkap tiga.
Dengan cepat kami melintasi ruangan demi ruangan. Dengan sangat mudah karena tak ada prajurit, sekaligus dengan amat kebingungan karena kastil ini begitu luas, begitu… kompleks.
Tiba-tiba aku merasa ada yang membimbingku. Aku menarik Andy mengikutiku, dan kami berjalan menyusuri lorong-lorong gelap dan mencapai sebuah ruangan… yang di dalamnya menunggu mutiara itu.
Aku mengambil mutiara itu dan berbalik, dan saat itu juga tersandung sampai terjatuh.
Aku mengeluh. Aku tersandung apa itu tadi?
Sebuah kotak. Kotak perhiasan, berukir, terbuat dari perak dengan sepuhan emas. Amat indah.
Aku membuka kotak itu diiringi pandang penasaran Andy di sebelahku. Di dalam kotak itu, yang amat kecil ukurannya, ada tempat legok kecil. Seketika aku menyadari kalau kotak itu adalah tempat menyimpan mutiara ini… tak ada keraguan sedikitpun.
Aku memberi isyarat tentang itu pada Andy yang langsung paham. Aku menyimpan mutiara beserta kotak itu dan kami segera melangkah keluar.
“Di mana jalan keluarnya?” bisik Andy pelan.
Aku memandang berkeliling. Lewat mana?
‘Belok ke kiri di depan sana.’
Aku mengerjapkan mata. Siapa yang bicara?
‘Kita telah terikat, anakku. Kau tahu itu. Aku akan memberitahumu jalan keluarnya. Percayalah padaku.’
Aku mengernyitkan dahi. ‘Arcas…?’
‘Benar. Ikuti petunjukku. Cepatlah, kau harus keluar.’
Akhirnya, aku memilih untuk mengikuti perintah Arcas. Segera aku dan Andy berjalan ke luar kastil… dengan selamat.

*

“Bagaimana kau bisa tahu jalan keluarnya tadi?”
Aku menatap Andy. Percuma aku berusaha memberitahunya, tak akan ada kata-kata yang keluar dari bibirku.
“Insting?” kataku asal.
Andy tampak berpikir sejenak. “M… yah, kurasa aku tak bisa menarik penjelasan lain. sudahlah. Ayo, kita kembali ke tempat Robe.”
Aku mengangguk.
Kami berjalan menuju rumah Robe, tapi ternyata kami tak perlu pergi jauh-jauh. Robe membuat api unggun di bawah pohon yang mulai meranggas di dekat kastil.
“Sini,” ajaknya dengan ceria. “Kurasa malam ini malam yang baik untuk tidur beratapkan langit. Malam ini langit bersih, lihat, bintang-bintang terlihat jelas.”
Aku dan Andy mendekatinya, bergabung dengannya. Kami melepas topeng kami. Kemudian, tanpa repot-repot menunggu dipersilakan, duduk di dekat api unggun.
“Minumlah ini,” kata Robe, menyodorkan secangkir teh pada kami. Tanpa menunggu lama kami segera meneguknya karena kami memang merasa sangat haus.
“Nah, bagaimana tadi? Berhasil?”
Aku dan Andy mengangguk kompak. Aku mengeluarkan kotak itu dan membukanya, memperlihatkan Moonlight Pearl pada Robe. Seperti anak buah yang memamerkan hasil jarahannya pada bosnya.
Robe bersiul kagum. “Kalian benar-benar dewa-dewi pencuri. Hebat.”
Lalu Robe mulai mengoceh. Tentang bagaimana Moonlight Pearl bisa berada di Moonlight Country, kenapa disimpan di kastil Arcas, blah-blah-blah. Panjang lebar. Kurasa ia sudah mengoceh selama setidaknya… oh, sejam. Benar-benar seperti burung kenari, berkicau tak kenal lelah.
Aku menyandarkan punggung di batang pohon dan menguap. Aku mulai mengantuk.
Mendadak, kantukku hilang. Sebagai gantinya, muncul rasa sakit di sekujur tubuhku, terutama di kepala. Kepalaku serasa berdenyut-denyut. Sakit. Dan, yang membuatku makin tersiksa, aku tak dapat menjerit.
‘Benar begitu, nak. Jangan melawan.’
Aku meringis menahan sakit. ‘Arcas? Kenapa ini? Apa yang kaulakukan padaku? Itu sakit! Hentikan, itu menyakitkan…!’
‘Tentu saja menyakitkan. Apa kaupikir kau tidak akan merasa sakit kalau jiwamu ditarik keluar secara paksa dari tubuhmu?’
Aku terguncang. ‘Arcas! Kau bilang kita sudah terikat perjanjian!’
‘Benar,’ Arcas terdengar puas. ‘Dan perjanjian itu membuatku memiliki kendali atas jiwamu. Untuk sekarang ini, aku ingin memisahkan jiwamu dari tubuhmu.’
Aku tak memikirkan apa-apa lagi. Aku hanya bisa menahan sakit tanpa bisa melawannya. Apa sebetulnya rencana Arcas?

*

Andy
Andy menguap tak kentara. Bosan dengan cerita yang dilantunkan Robe dengan berapi-api itu. Robe menceritakannya seakan itu satu-satunya cerita terpenting di dunia. Sedangkan Andy sendiri tidak mempedulikannya.
Andy melempar pandang kepada Selene, hendak memberikan isyarat untuk mengajaknya kabur, saat ia melihat Selene duduk dalam posisi meringkuk. Wajahnya sepucat kertas, tubuhnya gemetaran hebat, matanya menyiratkan kesakitan amat sangat. Ia meringis, giginya bergemeletuk pelan. Ia menatap Andy sesaat, seakan meminta pertolongan, lalu ia menunduk dalam-dalam.
Andy merasa bingung. Kenapa Selene tampak begitu kesakitan?
Selene menatapnya dengan wajah tersiksa. Tubuhnya gemetaran makin hebat. Nafasnya mulai terengah.
“Selene, ada apa?” panggil Andy cemas, memotong cerita Robe.
Selene hanya diam, menggigil keras.
Tak mungkin dia kedinginan, kami ada di dekat api unggun, pikir Andy. Sakit? Sakit apa?
“Kenapa dia?” tanya Robe.
“Aku tak tahu,” jawab Andy, merasa bodoh.
Nafas Selene terengah makin hebat. Ia membuka mulutnya, menutupnya lagi, menelan ludah, lalu dengan suara pelan berkata,
“A… Arcas…”
Lalu, mendadak, getaran tubuhnya terhenti. Matanya tampak kosong, memandang tanpa melihat. Tak ada emosi di sana. Hanya kekosongan.
“Selene?”
Tak ada reaksi.
“Hei, Selene?”
Andy mengguncang pundak Selene. Selene sama sekali tidak memberikan reaksi apapun. Ia justru malah terjatuh, tubuhnya luruh bagai boneka kapas kosong.
Bahkan matanyapun tampak seperti mata boneka.
Andy menatap Robe dengan panik.
Robe memandangi Selene dengan tatap tajam, serius, penuh pertimbangan.
“Jadi,” katanya pelan, lambat. “Gadis ini sudah mengikat perjanjian darah dengan raja? Sungguh tindakan bodoh. Lihat apa akibatnya sekarang. Jiwamu menjadi miliknya sekarang. Kenapa kau sungguh ceroboh?”
Andy melongo. “Robe, bisakah kau menjelaskan ini padaku?”
“Temanmu sudah mengikat perjanjian dengan darah dengan Raja Arcas,” jelas Robe. “Mungkin saat kemarin jiwanya terpisah dari tubuhnya. Tapi sekarang, jiwanya terpisah lagi, dengan cara berbeda dan jauh lebih menyakitkan. Kalau ia sudah mengikat perjanjian darah dengan Raja, jiwanya menjadi milik Raja. Entah apa yang dikatakan Raja sehingga dia terpikat untuk mengikat diri dalam perjanjian itu.”
Andy merasakan keringat dingin menuruni punggungnya. “Maksudmu, jiwanya diambil paksa… dicuri?”
“Kau bisa menyebutnya begitu,” Robe mengangguk.
Robe mengangkat tubuh Selene yang terkulai lemas. Nafas Selene tenang dan teratur, seakan tertidur. Tapi matanya yang kosong seperti mata boneka itu membuat Andy merinding.
“Bagaimana cara menolongnya?” tanya Andy pada Robe.
Robe terdiam sejenak.
“Ada satu cara,” katanya akhirnya.

*

Gua itu tampak suram. Hanya ada sedikit cahaya di sana, dan cahaya kekuningan itu menyebarkan aura suram dengan lebih hebat lagi. Andy melangkah masuk ke sana dengan hati-hati.
Di sebelah mulut gua itu sebuah danau beku menggenang. Andy tahu esnya sudah cukup tebal sehingga ia akan tetap selamat walau menginjaknya, tapi ia tetap menolak menginjak esnya. Hawa dingin yang menguar dari sana membuatnya enggan mendekat.
Mulut gua itu amat rendah sehingga Andy harus berjalan terbungkuk saat melewatinya, tapi begitu memasuki gua itu Andy melihat kalau gua itu begitu luas. Langit-langitnya begitu tinggi dan lantainya lapang dan luas. Dan segalanya didekorasi.
“Ini gua alami atau buatan?” gumam Andy kagum.
“Dua-duanya,” jawab Robe yang baru masuk ke gua, tubuh Selene yang lemas tersampir di pundaknya. “Gua ini pada dasarnya sudah cukup luas dan lapang, dan untuk kepentingan kerajaan lalu diperluas lagi dengan tenaga manusia dan didekorasi.”
“Whoa.”
“Memang mengagumkan. Jadi, apa yang sedang dilakukan seorang pencuri di tempat ini?”
Andy mengerjap. Ia menyadari, itu bukan suara Robe. Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki yang mengenakan pakaian mewah dengan mahkota bertengger di atas kepalanya memandanginya penuh penilaian.
Lelaki itu berpaling pada Robe. Ia memberi isyarat kecil yang tidak dipahami Andy dan Robe berjalan mendekati lelaki itu, mengoper Selene padanya. Robe membungkuk hormat setelah melakukannya.
“Robe?!”
Robe tersenyum licik pada Andy. “Kenapa butuh waktu lama bagimu untuk menyadari kalau aku bukan temanmu? Sekarang semuanya sudah terlambat, tak sadarkah kau?”
“Tapi… tapi kukira kau…” Andy tak sanggup meneruskan perkataannya.
Robe tertawa. “Aku tidak pernah menjadi temanmu. Senang rasanya aku bisa melakukan hal ini padamu, pencuri kecil.”
Andy mengertakkan giginya dengan geram.
Selene terbaring di pangkuan Arcas, tanpa menanyakannya Andy tahu namanya. Arcas sendiri menepuk-nepuk lengan Selene dengan sikap sayang. Entah kenapa.
Andy meneguk ludah dengan gugup. “Bisakah kau mengembalikan jiwa Selene?”
Arcas menatapnya. “Dan apa yang membuatmu berpikir begitu? Aku tak akan mengembalikannya.”
“Kumohon,” Andy dengan memelas (dan percuma) memohon pada sang raja.
“Tidak, tidak,” Arcas mengulang tegas. “Tak akan. Aku tidak memudahkan segala pencurian kalian hanya untuk membebaskan kembali jiwa gadis ini.”
Andy membeku. “Apa maksudmu?”
Arcas menyeringai. “Kau mengira semua pencurian kalian berjalan lancar hanya karena keberuntungan? Salah. Aku membuatnya menjadi lebih mudah bagi kalian. Agar aku bisa mendapat jiwa gadis ini. Pencurian kunci, pencurian Moonlght Pearl. Semuanya.”
Andy merasakan nafasnya tersentak. Ia menatap raja itu dalam ketidakpercayaan.
“Jadi, selama ini… semuanya, dari kemunculan Robe, pencurian, semuanya termasuk rencanamu?” tanya Andy tak percaya.
“Robe tidak termasuk,” kata raja itu tenang. “Tapi ya, ia terlibat. Ia memberitahuku kalau kalian tinggal di rumahnya. Dan rencana itu tercetus begitu saja. Dan semuanya berjalan lancar. Semuanya. Bahkan aku sendiri tidak mempercayai kelancaranya.”
Andy mengertakkan gigi.
“Dan gadis ini! Mudah sekali aku membujuknya untuk melakukan perjanjian darah denganku. Terlalu mudah, sampai aku sendiri merasa bosan saat membujuknya. Dia amat mudah terperangkap. Sungguh menyedihkan.”
Andy merasakan amarahnya meledak. Mandadak ia merasa seperti ditarik keluar dari tubuhnya dan melihat kejadian itu, ia melihat dirinya sendiri menyerang raja itu dengan marah. Tapi sang raja menendang perutnya dan ia jatuh terpental, kesakitan. Lalu ia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia menyerang Arcas.
Arcas tertawa terbahak-bahak. “Bodoh! kaupikir kau bisa menyerangku?! Tak akan bisa! Kalau kau mau bertarung denganku, nak, bukan pertarungan langsung yang akan kaudapatkan, tapi melalui perantara lain!”
Andy menatap Arcas dengan curiga. Ia mendapat firasat buruk soal ini. Apa maksudnya, ‘melalui perantara lain’?
Andy mengawasi tiap gerakan Arcas. Ia menatap tanpa berkedip saat Arcas membungkuk di atas tubuh Selene dan menutup matanya, lalu berbisik di telinganya.
Andy terperanjat. Selene bangun!
Tapi itu bukan Selene, pikirnya dengan bingung. Matanya terlihat dingin, gerakannya lebih kuat dari biasanya seakan ia mendapat kekuatan baru, segalanya tampak berbeda.
Saat Selene menyerangnya, ia tersadar.
Selene diperalat!

*

Aku menatap Andy dengan cemas dari bola kristal tempatku dikurung yang ada di ujung tongkat berjalan Arcas. Tidak… tidak! Andy, jangan! Seharusnya kau tidak mengkhawatirkanku! Arcas bisa membunuhmu!
“Arcas! Hentikan!” seruku.
Suara Arcas terdengar menggema. “Tak akan! Jiwamu sudah menjadi milikku, tinggal tunggu waktu sampai jiwa anak itu juga menjadi milikku!”
“Apa?! Tidak! Jangan! Kau sudah punya aku! Jangan ambil Andy juga!” jeritku pilu. Kenapa seseorang bisa menjadi seserakah ini?
“Kalau aku tidak mengambil jiwanya juga, dia akan mencuri takhtaku,” kata Arcas dingin. “Jadi, jawabannya tetap sama, tidak.”
Aku mulai terisak putus asa. Kenapa dulu aku sampai mau mengikat perjanjian darah dengan Arcas? Sungguh bodoh!
Aku mulai merasa marah. Aku berteriak kesal.
“Dasar raja haus kuasa! Setan! Iblis! Tidak berperi kemanusiaan! Kalau kau yang dikurung begini, apa yang akan kaukatakan untuk membebaskan diri, hah?! Kau bukan manusia!!” jeritku marah.
“Terserah, kurasa kau memang perlu dikurung lebih lama,” Arcas terdengar kesal.
Aku memekik saat melihat aku sendiri menghajar Andy tanpa ampun. Arcas tertawa girang saat tubuhku melakukannya.
Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?

*

Andy
“Selene, hentikan!” seru Andy sambil berusaha menghindari serangan Selene. “Selene! Kumohon, sadarlah! Ini aku, Andy! Tak bisakah kau mengenaliku?”
Selene memandangnya dingin dan menyerangnya lagi. Andy mengerang keras saat sebuah tendangan telak menghantam perutnya. Ia terjatuh.
Selene hendak menginjak perutnya, tepat saat ia berguling ke kiri.
“Selene! Ayolah, sadar!” seru Andy putus asa.
Arcas tertawa terbahak-bahak. “Ia tak akan sadar kecuali aku menyadarkannya, bodoh. dan aku tak akan menyadarkannya sebelum tujuanku tercapai.”
Tak mempedulikan seruan Arcas, dengan pantang menyerah Andy berusaha menyadarkan Selene lagi.
“Selene!” pekik Andy putus asa.
Andy mulai terpojok. Serangan tanpa henti dari Selene memaksanya mundur ke mulut gua. Selene menendang perutnya lagi, dan ia terlempar ke luar gua. Ia berguling-guling sejenak di atas lapisan beku danau es, mata terpejam menahan sakit, sampai akhirnya ia berbaring kesakitan di atas es. Ia membuka mata dan terperanjat.
Di bawah lapisan buram es tebal yang ada di bawah perutnya, sebuah kota membeku dalam es. Matanya melebar saat ia menangkap tiap detail di sana: rumah batu, cerobong asap, sumur, jalan dari batu kali, gedung tinggi, pasar…
Sebuah kota yang membeku dalam es.
Mendadak, ia direnggut berdiri, membuyarkan lamunannya tentang kota membeku di bawahnya. Selenelah yang telah menariknya. Ia menatap mata dingin gadis di depannya dan memasrahkan diri. Ia merasa Selene pasti sudah siap membunuhnya.
“Selene,” katanya lemah, “Bunuh aku kalau kau mau. Tapi tolong, sadarlah. Ini bukan kau. Kembalilah jadi dirimu sendiri. Selene, ayolah. Sadarlah. Tatap mataku. Kembalilah jadi Selene yang kukenal…”
Andy menatap Selene lekat, menatapnya dalam-dalam dengan sungguh-sungguh, menatap matanya dengan penuh harapan. Tolong, katanya dalam hati, tolong sadarlah.
Andy mendekatkan wajahnya ke wajah Selene dan mengecup kening gadis itu dan memalingkan wajah, memasrahkan diri.
BRUAK!!!!!

Moonlight Thief chptr.3: The Dream

Aku berdiri dalam aula besar megah. Pilar-pilar penopangnya bersepuh emas. Langit-langitnya tinggi dan berbentuk kubah. Semuanya bernuansa emas dan perak. Di ujung depan sana ada singgasana megah dari emas. Dan di belakangku ada pintu raksasa dari batu obsidian berukir.
Di singgasana itu duduk seorang pria. Ia masih muda. Umurnya mungkin baru sekitar tiga puluhan. Oom-oom. Tapi aku tidak berani mengatainya ‘tua’ atau ‘oom-oom’ secara terang-terangan karena di kepalanya bertengger mahkota emas. Raja.
Sang Raja tampak cemberut. Ekspresinya marah. Ia menatap si jenderal yang baru saja kemalingan anak gadis: aku. Tatapannya pada jenderal itu tampak mengerikan. Seakan ia siap meremas-remas si jenderal dan melempaskannya ke sel bawah tanah seumur hidup si jenderal. Sungguh mengerikan.
“Apa,” katanya dengan suara menggemuruh marah, “maksudmu kunci itu telah dicuri?!”
“Y… Yang Mulia,” cicit si kenderal ketakutan, “itu bukan salah saya… semalam ada anak perempuan mengembilnya… ia mengaku bernama Moonlight Thief…”
Raja marah itu menggebrak singgasananya. “Anak perempuan?!?!” serunya murka. “Kau ini jenderal perang atau bukan?! Bagaimana bisa benda sepenting itu sampai dicuri?! Oleh anak perempuan, pula! Kau mau dipecat?!”
“T – tidak, Yang Mulia!” seru si jenderal panik. “Saya berjanji hal seperti ini tak akan terjadi lagi! Tidak akan!”
Sang Raja tampak menjadi sedikit lebih tenang. Ia menyandarkan punggung di singgasananya.
“Bagus,” katanya, suaranya melunak. “Jaga mutiara itu. Jangan sampai yang satu itu hilang. Itu satu-satunya penghubung antara Moonlight Country dengan Sunshine Country. Kalau sampai yang satu itu hilang, akan kupacung kau.”
“M – mutiara?”
“Moonlight Pearl! Astaganaga Daniel, apa kau sudah kehilangan otakmu?!”
“Moonlight – oh! Mutiara itu!”
“Ya. jangan sampai yang satu itu hilang. Kau mengerti?!”
“Ya, Yang Mulia. Tak akan saya biarkan mutiara itu dicuri.”
“Bagus.”
Lalu, raja itu menoleh dan menatapku dengan tatap licik. Ia menyeringai lebar.
“Karena itu, gadis pencuri, dewi pencuri, berhati-hatilah. Aku tahu kau mengincar mutiara itu.”
Aku membeku. Aku tak dapat menggerakkan tubuhku sedikitpun. Apa ini sihir? Aku pasti bermimpi!
“Kemarilah.”
Tak kusangka kalau tubuhku bisa bergerak dengan kemauannya sendiri, tanpa perintah dari otakku. Benar, tubuhku mulai bergerak mendekati raja itu. Setengah mati aku berusaha menahan tubuhku, tapi yang ada hanyalah kegagalan. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri.
Aku berdiri di depan raja itu dan berlutut di kakinya.
“Selamat datang di negeri ini, gadis pencuri,” kata lelaki itu dengan nada mencemooh.
Aku menatap matanya dengan tatap penuh tantangan. “Apa maumu? Aku tak takut padamu.”
“Sebaiknya kau takut, gadis kecil,” desis raja jelek itu sambil menggoyang-goyangkan jaritelunjuknya. “Kalau kau tidak ingin jadi seperti itu, sebaiknya kau takut.”
Ia menunjuk si jenderal. Aku menoleh, menatap si jenderal. Mendadak jenderal itu menjerit keras dengan kesakitan. Tubuhnya berasap, dan ia tampak mengecil, mengecil, mengecil… hilang sama sekali, berubah menjadi bubungan asap putih.
Aku menekap mulutku dan menatap pakaian si jenderal yang masih tergeletak di lantai: kenangan terakhir dari jenderal itu.
“Aku pasti bermimpi,” kataku pelan. “Aku pasti bermimpi. Aku harus bangun. Astaga. Katakan padaku ini hanya mimpi.”
“Ini bukan mimpi.”
Aku menatap raja itu sesaat, lalu memalingkan muka. Kenapa ia tega melakukan itu pada jenderal perangnya sendiri? Mengerikan. Berdarah dingin!
“Siapa namamu?”
Aku menatap raja itu lagi. “Apa ini saat yang tepat untuk berkenalan? Kurasa tidak.”
“Beritahu aku siapa namamu.”
“Sebelum kau bertanya siapa nama orang, perkenalkan dirimu terlebih dahulu!” kataku cepat sebelum menyadarinya. Kebiasaan saat di kelas. Sulit dihilangkan.
“Hm, benar juga,” raja itu mengangguk-angguk. “Perkenalkan, aku Arcas, raja dari Moonlight Country.”
“Aku...” aku berpikir sejenak. “Luna.”
“Luna, hm?” kata si raja, Arcas, lagi. “Kau bohong. Aku tahu itu bukan nama aslimu.”
“Tahu dari mana?”
“Aku bisa mendeteksinya. Nah, sekarang maukah kau bersikap jujur dan memberitahuku nama aslimu?”
Aku menghela nafas, “Selene,” kataku akhirnya.
“Selene. Dari mana asalmu?”
Aku ingin berbohong, tapi aku tahu itu percuma. Raja ini akan bisa mendeteksinya. Maka aku berkata jujur.
“Dari Sunshine Country.”
“Nama orangtuamu?”
Aku memalingkan wajah. Aku tak tahu siapa nama orangtuaku. Aku adalah anak buangan yang dulu dipungut oleh keluarga Andy, yang sama hancur-hancurannya dengan keluargaku.
Aku menggeleng sebagai jawaban kepada Arcas.
“Kau tak tahu atau tak mau memberi tahu?”
Aku hanya menunduk. Aku menggigit bibir. Kata-kata itu seakan menusukku. Sakit rasanya. Sejak dulu aku selalu ingin tahu siapa orangtua kandungku tapi aku tak tahu. Tak akan pernah tahu.
“Aku mengerti,” kata Raja Arcas dengan suara lembut, membuatku heran. Dia sanggup bersikap seburuk itu pada jenderalnya tapi ia bersikap begitu manis padaku. Tidakkah itu aneh?
“Selene, gadis pencuri dari Sunshine Country, dengan ini kunyatakan jiwamu terikat padaku.”
Aku mendongak kaget. Apa kata Raja Arcas barusan?
“Nasib dan takdirmu kini kuketahui, segalanya darimu adalah milikku, dan kau terikat padaku, jiwa dan ragamu. Suatu saat nanti akan kusahkan kata-kataku bila saatnya sudah tepat. Dan ini perintah, bukan permintaan. Tak masalah bagiku siapa kau, tapi aku bisa menjadi pengganti orangtuamu. Kemarilah.”
Aku menatapnya ragu. Tak ada paksaan lagi sekarang. Tapi apa aku bisa mempercayai orang ini? Aku tak yakin.
“Percayalah padaku, nak.”
Aku bimbang sesaat dan Raja Arcas mengulurkan tangan kanannya. Aku menatapnya dan menurut. Kusambut uluran tangannya.
Arcas merobek lengan bajuku, yang sebelah kiri. Lalu ia mengambil pedang dan menggoreskannya di sana sampai berdarah, tanpa perlawananku. Entah kenapa aku tidak merasa harus melawan. Malah aku merasa harus menurut.
Kemudian ia menggores lengan kirinya sendiri dengan gerakan yang sama dengan gerakannya di lenganku, dan aku merasakan sakit luar biasa di lengan kiriku… aku menjerit.
Setelah beberapa saat, sakitnya mereda. Kini goresan itu, yang masih berdarah, telah berubah bentuk. Tidak lagi berupa goresan garis yang membosankan tapi memiliki bentuk tertentu. Bulan sabit dan tiga bintang, luka yang jelas akan membekas.
“Kita telah melakukan perjanjian dengan darah, anakku,” kata Arcas dengan ekspresi lembut yang entah kenapa terlihat licik. Ia mencolek sedikit darahku dan menjilat tangannya.
“Jilat sedikit darahku untuk mengesahkan pernjanjian ini.”
Aku melakukan apa yang diperintahkannya dengan patuh. Segera setelah darah asin itu melewati tenggorokanku, lukaku mengering dan menjadi bekas luka yang terlihat… artistik.
“Dengan begini perjanjian kita telah sah,” kata Arcas. “Bekas luka itu adalah tanda kita. Kini jiwa kita terikat satu sama lain dan kau tak akan bisa memberitahu siapapun, demikian juga denganku. Aku bisa dengan mudah berkomunikasi denganmu kalau aku mau.”
“Bagaimana?” tanyaku penasaran.
Arcas tertawa. “Belum waktunya bagimu untuk tahu, Sayang. Sekarang, aku yakin kau telah lelah. Perjanjian sihir seperti tadi menguras banyak energi. Sekarang, tidurlah, kau perlu beristirahat.”
Ia membelai rambutku dan aku merasakan tubuhku terjatuh, mataku tertutup. Arcas menangkap tubuhku yang memang limbung ke arah dadanya. Ia tersenyum.
“Kini, jiwamu milikku,” bisiknya di telingaku dan aku jatuh tertidur.

*

Aku terbangun dan mendapati aku telah berada di kamarku di rumah Robe lagi. Aku mengernyitkan dahi. Jangan-jangan aku cuma mimpi betulan?
Aku mencoba mengecek lengan kiriku dan membeku. Bekas luka perjanjian itu ada di lenganku. Jadi itu kenyataan?
“Selene!”
Aku menoleh.
“Selene, astaga, kau hidup!”
Aku memandang Andy dengan heran. “Tentu saja aku hidup. Aku belum mati, kan? Lihat.”
Andy menatapku dengan tatap tak percaya. “Tapi… tapi… semalam kau tidak bernafas! Jantungmu bahkan tidak berdetak! Aku dan Robe mengira kau sudah mati!”
Aku membeku.
“Itu karena jiwanya terpisah.”
Aku menoleh lagi, Robe kini berbicara.
“Dia melakukan perjalanan spiritual. Jiwanya terpisah. Tapi ia kembali lagi, selamat. Ke mana kau pergi dalam perjalanan spiritualmu?”
Aku membuka mulut untuk menjawab kalau aku bertemu dengan Arcas, tapi lalu menutupnya lagi. Aku tak bisa mengatakannya. Mantra Arcas, jelas.
“Aku tak ingat,” kataku akhirnya.
Robe menatapku tajam sesaat, lalu berlalu.