Sabtu, 04 September 2010

Moonlight Thief chptr 6: The Fallen King

Andy
Baru beberapa detik ia berada dalam air, ia telah merasakan siksaan terberat dalam hidupnya. Air yang demikian dinginnya membuatnya merasa seperti terbakar. Ia tersedak, kehabisan nafas. Ia mencakar-cakar air, menendang-nendang dengan panik, berusaha kabur dari siksaan itu, namun percuma. Segala yang dilakukannya terasa sia-sia. Tubuhnya membeku. Jemarinya mulai mati rasa. Ia tak dapat lagi menggerakkan tubuhnya. Ia tenggelam.
Mendadak tubuhnya ditarik kembali ke permukaan, entah oleh siapa. udara dingin menusuk wajahnya, dengan terburu-buru ia menghirupnya. Ia terbatuk dengan parah. Terengah. Tubuhnya terasa terbakar. Ia menggigil dengan perasaan tersiksa.
“Tenanglah,” kata seseorang, suara lembut laki-laki, di telinganya. “Hiruplah udara dengan tenang. Jangan terburu-buru. Aku tahu kau merasa tubuhmu seperti terbakar walau sebetulnya tubuhmu membeku. Tapi aku tak bisa memindahkanmu sekarang. Diamlah di sini dulu.”
Tak terpikir oleh Andy untuk menjawab. Ia hanya mampu menggigil dan diam. Matanya terpejam rapat menahan siksaan itu. Ia merasa mengenali suara laki-laki yang menyelamatkannya, tapi siapa?
Ia membuka mata. Udara dingin menusuk matanya hingga matanya berair. Segalanya tampak buram. Ia menangkap sosok samar seorang lelaki sedang berlari menjauhinya. Kegelapan perlahan mendominasi pandangannya, dan ia kehilangan kesadarannya.

*

Aku terbangun dan melihat Arcas berlutut di atasku, tangan kanannya membawa belati yang terangkat hendak menusuk jantungku. Aku menjerit dan berkelit. Dengan kemarahan dan kesakitan di matanya, Arcas mengejarku. Belatinya terangkat tinggi, siap menusukku, menumpahkan darahku. Dengan panik aku berlari dan dengan bodohnya tergelincir di es. Sial, padahal aku mengenakan sepatu karet.
Arcas kembali mengangkat belatinya dan aku segera berlari. Kali ini aku berhasil kabur. Belati Arcas menancap di es. Ia mencabutnya dan dengan kegilaan penuh mengejarku lagi. Aku terus berusaha kabur.
Aku menyadari sesuatu dengan mendadak. Mana Andy?
Aku menoleh ke kanan-kiri. Aku menemukan Andy berbaring lemas di atas es, tubuhnya basah kuyup, menggigil kedinginan. Di sebelahnya es berlubang amat lebar. Seketika aku menyadari, ia pasti tercebur ke dalam es. Tapi bagaimana bisa?
Robe berlari ke arah Arcas. Tubuhnya juga basah kuyup. Ia menubruk Arcas dengan kuat. Dengan segera keduanya bergulat di atas es. Robe mematahkan tongkat Arcas dan membuang belatinya jauh-jauh.
Aku berlari ke arah Andy. Ia pingsan tak sadarkan diri. Tapi ia menggigil.
Dia harus dipindahkan ke tempat yang lebih hangat, pikirku. Aku mengecek suhu air. Dingin… amat dingin. Memang amat dingin. Sebetulnya aku yakin aku tak akan separah Andy kalau aku yang tercebur, tapi sejak dulu Andy memang tak pernah tahan dingin.
Robe dan Arcas terlibat dalam perkelahian. Keduanya saling menyerang dengan penuh semangat. Setelah beberapa lama, Robe akhirnya bisa memojokkan Arcas dan menceburkannya ke lubang es tempat tadi Andy tercebur.
BRUASH!!!
Dengan segera Robe membungkuk di atas lubang itu dan membisikkan sesuatu. Es di atasnya menutup dengan cepat, walau tipis. Ia mendatangiku dan Andy.
“Kenapa kau membantu kami?” tanyaku langsung.
“Selama ini aku menurut pada raja gila itu karena dia memberikan mantra yang membuat kami seluruh rakyat di sini harus tunduk padanya. Saat kau menyerangnya menggunakan koneksinya tadi, mantra itu patah. Aku bisa melawannya. Dia harus dilenyapkan kalau kami mau negeri kami kembali damai. Dan caranya memang menenggelamkannya di sana. Ia akan mati beku.”
Robe menatap Andy. “Dia harus dipindahkan. Ayo.”

*

Andy tersadar dua hari setelah ia pingsan.
Aku melonjak girang saat melihatnya tersadar. Akhirnya dia sembuh!
“Apa yang terjadi?” tanya Andy.
Aku menceritakan semuanya. Robe membantuku beberapa kali saat aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan semuanya. Andy mengangguk tanda mengerti saat akhirnya aku selesai bercerita.
“Kami memerlukan raja baru di sini,” kata Robe tiba-tiba. “Pemimpin amatlah dibutuhkan. Kalian telah menunjukkan kalau kalian mampu menjadi pemimpin yang baik. Apa kalian mau tinggal dan memerintah di sini?”
Aku dan Andy berpandangan sejenak dan menggeleng serempak.
“Tidak.”
“Kenapa?”
Aku mendesah. “Kehidupan kami berbeda dengan kehidupanmu, Robe. Kami hanya ingin pulang ke negeri kami sendiri. Hanya itu. Tak ada keinginan lain. maaf. Tapi beban untuk menjadi pemimpin terasa terlalu berat. Lagipula di sini pasti ada orang lain yang mempu melakukannya.”
Robe menunduk. “Apa tak ada yang bisa kulakukan untuk membujukmu melakukannya?”
Andy menggeleng. “Maaf. Keputusan kami ini sudah tak bisa diubah lagi. Kami hanya ingin pulang.”
Robe mengangguk. “Baiklah. Kalau itu memang keinginan kalia, aku tak bisa memaksa.”

*

Gua itu gelap dan dingin. Aku dan Andy melangkah melalui lorong itu dengan cepat. Kami telah mengenal jalan di sini. Dengan cepat kami mencapai pintu. Aku mengambil Moonlight Pearl yang ada di kantongku. Mutiara itu bersinar dalam kegelapan. Aku menggenggamnya dan membuka pintu itu.
Terbuka.
Aku dan Andy segera melangkah ke perpustakaan. Mutiara itu hilang mendadak dari tanganku. Memang tempat mutiara itu adalah di Moonlight Country, bukan di Sunshine Country.
“Kenapa kalian bisa ada di situ?”
Kami menoleh pada Kak Nike, penjaga perpustakaan. Kami nyengir.
“Asal main-main saja, Kak.”
Kami melihat jam dinding. Ternyata menurut waktu Sunshine Country, kami hanya pergi selama lima menit. Waktu berjalan dengan berbeda.
Dari belakang Kak Nike muncul Ditta.
“Sally!” serunya. “Jangan ngambek karena kau dikerjai saat di kelas tadi, dong! Masa baru dikerjai sedikit begitu kau sudah ngambek? Kami tidak mengerjaimu tanpa alasan, tahu!”
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat. Memang saat di hari aku pergi ke Moonlight Country, hari ini, aku dikerjai oleh teman-teman sekelas. Aku memang sangat kesal waktu itu. Tapi apa hubungannya dengan perkataan Ditta?
Ditta menarikku dan Andy keluar dari lorong belakang lemari buku yang berdebu itu. Ia membimbing kami menuju ke kelas.
Ia membuka pintu, dan…
“DOOOR!!!”
“SELENE! HAPPY BIRTHDAY, KETUA KELAS!”
Aku ternganga. Inikah kenapa saat itu mereka mengerjaiku? Astaga, aku bahkan lupa kalau ini hari ulang tahunku!
Ditta tertawa terbahak-bahak dengan puas. “Terkejut?”
Ia membawakan kue ulang tahun. Aku meniup lilin, tertawa bersama mereka, dan…
CEPROT!
“DITTAAAAAAA!!!”
Kue itu hancur di wajahku. Aku amat kesal, sekaligus senang. Aku telah kembali ke kehidupan normalku. Tanpa raja gila bernama Arcas, tanpa sebuah negeri bernama Moonlight Country.
Aku mengucapkan selamat datang kembali pada kehidupan normalku. Dengan ceria aku melerkan krim di wajahku ke wajah Ditta yang langsung menjerit protes, juga ke pipi Andy, Tika, Guntur, Ira, dan semua teman-temanku. Semuanya langsung protes dan membalas. Kelas kami ribut oleh jeritan, tawa dan seruan-seruan protes.
“APAAN INI, RAMAI SEKALI! KALIAN SADAR ATAU TIDAK KALAU INI SUDAH SAATNYA PULANG SEKOLAH?!”
“Hyaaa, itu Bu Hera!”
“Mati, Killer Whale itu tahu?!”
“Kabur!!!”
“Whua!!! Ampun Bu, ampun!”
“Hiya, Didot ketangkep!”
“Ah, Ibu! Masa main-main sebentar di sekolah tidak boleh?”
“Iya, Bu Hera nih… nggak seru ah!”
“Ini kan ulang tahun Selene, Bu! Mau dirayakan nih di sini!”
“KENAPA TIDAK MINTA IJIN SEKOLAH DULU?!”
“Kyaaa, ampun!”
“Kalian ini gimana, sih, udah tahu Bu Hera itu orangnya gimana, kenapa masih pake acara ngeles juga? Udah, jangan lama-lama bujuk guru ini, kabur aja cepetan!”
“Setuju! Andy pintar! Ayo teman-teman, kabur sekarang juga! Pasukan kelas sembilan Troya, kaburr!!! Maju, jalan!”
“Siap kapten!!!”
Dengan tawa terbahak diiringi jerit marah Bu Hera yang telah seratus persen berhasil dikerjai, kai sekelas berlari kabur ke lapangan basket. Dan, dengan segera dikejar beberapa guru yang membantu Bu Hera. Kehidupan sekolah yang menyenangkan dan penuh masalahpun dimulai lagi. Aku terbahak puas.

4.8.2010
Story by Eve

Tidak ada komentar:

Posting Komentar