Sabtu, 04 September 2010

Moonlight Thief chptr.3: The Dream

Aku berdiri dalam aula besar megah. Pilar-pilar penopangnya bersepuh emas. Langit-langitnya tinggi dan berbentuk kubah. Semuanya bernuansa emas dan perak. Di ujung depan sana ada singgasana megah dari emas. Dan di belakangku ada pintu raksasa dari batu obsidian berukir.
Di singgasana itu duduk seorang pria. Ia masih muda. Umurnya mungkin baru sekitar tiga puluhan. Oom-oom. Tapi aku tidak berani mengatainya ‘tua’ atau ‘oom-oom’ secara terang-terangan karena di kepalanya bertengger mahkota emas. Raja.
Sang Raja tampak cemberut. Ekspresinya marah. Ia menatap si jenderal yang baru saja kemalingan anak gadis: aku. Tatapannya pada jenderal itu tampak mengerikan. Seakan ia siap meremas-remas si jenderal dan melempaskannya ke sel bawah tanah seumur hidup si jenderal. Sungguh mengerikan.
“Apa,” katanya dengan suara menggemuruh marah, “maksudmu kunci itu telah dicuri?!”
“Y… Yang Mulia,” cicit si kenderal ketakutan, “itu bukan salah saya… semalam ada anak perempuan mengembilnya… ia mengaku bernama Moonlight Thief…”
Raja marah itu menggebrak singgasananya. “Anak perempuan?!?!” serunya murka. “Kau ini jenderal perang atau bukan?! Bagaimana bisa benda sepenting itu sampai dicuri?! Oleh anak perempuan, pula! Kau mau dipecat?!”
“T – tidak, Yang Mulia!” seru si jenderal panik. “Saya berjanji hal seperti ini tak akan terjadi lagi! Tidak akan!”
Sang Raja tampak menjadi sedikit lebih tenang. Ia menyandarkan punggung di singgasananya.
“Bagus,” katanya, suaranya melunak. “Jaga mutiara itu. Jangan sampai yang satu itu hilang. Itu satu-satunya penghubung antara Moonlight Country dengan Sunshine Country. Kalau sampai yang satu itu hilang, akan kupacung kau.”
“M – mutiara?”
“Moonlight Pearl! Astaganaga Daniel, apa kau sudah kehilangan otakmu?!”
“Moonlight – oh! Mutiara itu!”
“Ya. jangan sampai yang satu itu hilang. Kau mengerti?!”
“Ya, Yang Mulia. Tak akan saya biarkan mutiara itu dicuri.”
“Bagus.”
Lalu, raja itu menoleh dan menatapku dengan tatap licik. Ia menyeringai lebar.
“Karena itu, gadis pencuri, dewi pencuri, berhati-hatilah. Aku tahu kau mengincar mutiara itu.”
Aku membeku. Aku tak dapat menggerakkan tubuhku sedikitpun. Apa ini sihir? Aku pasti bermimpi!
“Kemarilah.”
Tak kusangka kalau tubuhku bisa bergerak dengan kemauannya sendiri, tanpa perintah dari otakku. Benar, tubuhku mulai bergerak mendekati raja itu. Setengah mati aku berusaha menahan tubuhku, tapi yang ada hanyalah kegagalan. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri.
Aku berdiri di depan raja itu dan berlutut di kakinya.
“Selamat datang di negeri ini, gadis pencuri,” kata lelaki itu dengan nada mencemooh.
Aku menatap matanya dengan tatap penuh tantangan. “Apa maumu? Aku tak takut padamu.”
“Sebaiknya kau takut, gadis kecil,” desis raja jelek itu sambil menggoyang-goyangkan jaritelunjuknya. “Kalau kau tidak ingin jadi seperti itu, sebaiknya kau takut.”
Ia menunjuk si jenderal. Aku menoleh, menatap si jenderal. Mendadak jenderal itu menjerit keras dengan kesakitan. Tubuhnya berasap, dan ia tampak mengecil, mengecil, mengecil… hilang sama sekali, berubah menjadi bubungan asap putih.
Aku menekap mulutku dan menatap pakaian si jenderal yang masih tergeletak di lantai: kenangan terakhir dari jenderal itu.
“Aku pasti bermimpi,” kataku pelan. “Aku pasti bermimpi. Aku harus bangun. Astaga. Katakan padaku ini hanya mimpi.”
“Ini bukan mimpi.”
Aku menatap raja itu sesaat, lalu memalingkan muka. Kenapa ia tega melakukan itu pada jenderal perangnya sendiri? Mengerikan. Berdarah dingin!
“Siapa namamu?”
Aku menatap raja itu lagi. “Apa ini saat yang tepat untuk berkenalan? Kurasa tidak.”
“Beritahu aku siapa namamu.”
“Sebelum kau bertanya siapa nama orang, perkenalkan dirimu terlebih dahulu!” kataku cepat sebelum menyadarinya. Kebiasaan saat di kelas. Sulit dihilangkan.
“Hm, benar juga,” raja itu mengangguk-angguk. “Perkenalkan, aku Arcas, raja dari Moonlight Country.”
“Aku...” aku berpikir sejenak. “Luna.”
“Luna, hm?” kata si raja, Arcas, lagi. “Kau bohong. Aku tahu itu bukan nama aslimu.”
“Tahu dari mana?”
“Aku bisa mendeteksinya. Nah, sekarang maukah kau bersikap jujur dan memberitahuku nama aslimu?”
Aku menghela nafas, “Selene,” kataku akhirnya.
“Selene. Dari mana asalmu?”
Aku ingin berbohong, tapi aku tahu itu percuma. Raja ini akan bisa mendeteksinya. Maka aku berkata jujur.
“Dari Sunshine Country.”
“Nama orangtuamu?”
Aku memalingkan wajah. Aku tak tahu siapa nama orangtuaku. Aku adalah anak buangan yang dulu dipungut oleh keluarga Andy, yang sama hancur-hancurannya dengan keluargaku.
Aku menggeleng sebagai jawaban kepada Arcas.
“Kau tak tahu atau tak mau memberi tahu?”
Aku hanya menunduk. Aku menggigit bibir. Kata-kata itu seakan menusukku. Sakit rasanya. Sejak dulu aku selalu ingin tahu siapa orangtua kandungku tapi aku tak tahu. Tak akan pernah tahu.
“Aku mengerti,” kata Raja Arcas dengan suara lembut, membuatku heran. Dia sanggup bersikap seburuk itu pada jenderalnya tapi ia bersikap begitu manis padaku. Tidakkah itu aneh?
“Selene, gadis pencuri dari Sunshine Country, dengan ini kunyatakan jiwamu terikat padaku.”
Aku mendongak kaget. Apa kata Raja Arcas barusan?
“Nasib dan takdirmu kini kuketahui, segalanya darimu adalah milikku, dan kau terikat padaku, jiwa dan ragamu. Suatu saat nanti akan kusahkan kata-kataku bila saatnya sudah tepat. Dan ini perintah, bukan permintaan. Tak masalah bagiku siapa kau, tapi aku bisa menjadi pengganti orangtuamu. Kemarilah.”
Aku menatapnya ragu. Tak ada paksaan lagi sekarang. Tapi apa aku bisa mempercayai orang ini? Aku tak yakin.
“Percayalah padaku, nak.”
Aku bimbang sesaat dan Raja Arcas mengulurkan tangan kanannya. Aku menatapnya dan menurut. Kusambut uluran tangannya.
Arcas merobek lengan bajuku, yang sebelah kiri. Lalu ia mengambil pedang dan menggoreskannya di sana sampai berdarah, tanpa perlawananku. Entah kenapa aku tidak merasa harus melawan. Malah aku merasa harus menurut.
Kemudian ia menggores lengan kirinya sendiri dengan gerakan yang sama dengan gerakannya di lenganku, dan aku merasakan sakit luar biasa di lengan kiriku… aku menjerit.
Setelah beberapa saat, sakitnya mereda. Kini goresan itu, yang masih berdarah, telah berubah bentuk. Tidak lagi berupa goresan garis yang membosankan tapi memiliki bentuk tertentu. Bulan sabit dan tiga bintang, luka yang jelas akan membekas.
“Kita telah melakukan perjanjian dengan darah, anakku,” kata Arcas dengan ekspresi lembut yang entah kenapa terlihat licik. Ia mencolek sedikit darahku dan menjilat tangannya.
“Jilat sedikit darahku untuk mengesahkan pernjanjian ini.”
Aku melakukan apa yang diperintahkannya dengan patuh. Segera setelah darah asin itu melewati tenggorokanku, lukaku mengering dan menjadi bekas luka yang terlihat… artistik.
“Dengan begini perjanjian kita telah sah,” kata Arcas. “Bekas luka itu adalah tanda kita. Kini jiwa kita terikat satu sama lain dan kau tak akan bisa memberitahu siapapun, demikian juga denganku. Aku bisa dengan mudah berkomunikasi denganmu kalau aku mau.”
“Bagaimana?” tanyaku penasaran.
Arcas tertawa. “Belum waktunya bagimu untuk tahu, Sayang. Sekarang, aku yakin kau telah lelah. Perjanjian sihir seperti tadi menguras banyak energi. Sekarang, tidurlah, kau perlu beristirahat.”
Ia membelai rambutku dan aku merasakan tubuhku terjatuh, mataku tertutup. Arcas menangkap tubuhku yang memang limbung ke arah dadanya. Ia tersenyum.
“Kini, jiwamu milikku,” bisiknya di telingaku dan aku jatuh tertidur.

*

Aku terbangun dan mendapati aku telah berada di kamarku di rumah Robe lagi. Aku mengernyitkan dahi. Jangan-jangan aku cuma mimpi betulan?
Aku mencoba mengecek lengan kiriku dan membeku. Bekas luka perjanjian itu ada di lenganku. Jadi itu kenyataan?
“Selene!”
Aku menoleh.
“Selene, astaga, kau hidup!”
Aku memandang Andy dengan heran. “Tentu saja aku hidup. Aku belum mati, kan? Lihat.”
Andy menatapku dengan tatap tak percaya. “Tapi… tapi… semalam kau tidak bernafas! Jantungmu bahkan tidak berdetak! Aku dan Robe mengira kau sudah mati!”
Aku membeku.
“Itu karena jiwanya terpisah.”
Aku menoleh lagi, Robe kini berbicara.
“Dia melakukan perjalanan spiritual. Jiwanya terpisah. Tapi ia kembali lagi, selamat. Ke mana kau pergi dalam perjalanan spiritualmu?”
Aku membuka mulut untuk menjawab kalau aku bertemu dengan Arcas, tapi lalu menutupnya lagi. Aku tak bisa mengatakannya. Mantra Arcas, jelas.
“Aku tak ingat,” kataku akhirnya.
Robe menatapku tajam sesaat, lalu berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar