Sabtu, 04 September 2010

Moonlight Thief chptr. 4: The Stolen Soul

Aku membuka kunci buku berat itu dan membukanya.
Terbuka.
Dengan cepat aku dan Andy mempelajari seluruh isinya.
“Bila seseorang terjebak di Moonlight Country, ia harus mencari penghubung kedua dunia untuk kembali ke Sunshine Country. Penghubung yang ada di Moonlight Country hanya ada satu, yaitu Moonlight Pearl. Moonlight Pearl ada mutiara yang indah, berwarna putih cemerlang dengan sedikit aksen keperakan. Dalam gelapnya malam, mutiara ini bersinar keperakan seperti sinar bulan. Konon mutiara ini asalnya adalah dari Sunshine Country, dibawa ke Moonlight Country oleh seorang pengelana dari Sunshine Country.”
Aku menghela nafas. “Moonlight Pearl…”
“Oke,” kata Robe yang mendadak muncul. “Berarti tugasmu untuk mengambilnya.”
Aku melotot ke arahnya. “Aku harus maling lagi, maksudmu?”
“Apa ada penjelasan yang lebih cocok?” tanya Robe dengan santai.
“Aku ikut denganmu,” kata Andy tiba-tiba.
“Apa?”
“Aku ikut denganmu. Sudah lama aku tidak mencuri malam-malam. Tak ada salahnya berolahraga sedikit, bukan?” Andy mengangkat bahu dengan sikap santai.
“Oke,” kataku akhirnya. “Aku toh tak akan menolak ditemani.”

*

Langit malam tampak bertabur bintang. Aku mengenakan topengku yang berbentuk seperti mata hitam itu. Andy mengikuti, ia mengenakan topengnya yang mirip denganku, bedanya miliknya tanpa bulu mata dan warnanya putih.
“Siap?” bisiknya.
“Selalu,” jawabku, juga berbisik.
Kami bertatapan sejenak, lalu mengagguk dan mulai melangkah cepat tanpa menimbulkan suara ke arah pintu.
Kini, kami harus mencuri di rumah Raja Arcas sendiri. Atau mudahnya, kastilnya. Hebat sekali bukan aku, senekat itu hendak merampok rumah raja? Raja yang telah mengikat perjanjian denganku dengan darah, pula. Herannya, tak ada penjaga. Tak ada prajurit. Kami masuk dengan mudah sekali, nyaris tanpa kesulitan. Kesulitan kami cuma satu, yaitu membuka pintu. Pintunya rangkap tiga.
Dengan cepat kami melintasi ruangan demi ruangan. Dengan sangat mudah karena tak ada prajurit, sekaligus dengan amat kebingungan karena kastil ini begitu luas, begitu… kompleks.
Tiba-tiba aku merasa ada yang membimbingku. Aku menarik Andy mengikutiku, dan kami berjalan menyusuri lorong-lorong gelap dan mencapai sebuah ruangan… yang di dalamnya menunggu mutiara itu.
Aku mengambil mutiara itu dan berbalik, dan saat itu juga tersandung sampai terjatuh.
Aku mengeluh. Aku tersandung apa itu tadi?
Sebuah kotak. Kotak perhiasan, berukir, terbuat dari perak dengan sepuhan emas. Amat indah.
Aku membuka kotak itu diiringi pandang penasaran Andy di sebelahku. Di dalam kotak itu, yang amat kecil ukurannya, ada tempat legok kecil. Seketika aku menyadari kalau kotak itu adalah tempat menyimpan mutiara ini… tak ada keraguan sedikitpun.
Aku memberi isyarat tentang itu pada Andy yang langsung paham. Aku menyimpan mutiara beserta kotak itu dan kami segera melangkah keluar.
“Di mana jalan keluarnya?” bisik Andy pelan.
Aku memandang berkeliling. Lewat mana?
‘Belok ke kiri di depan sana.’
Aku mengerjapkan mata. Siapa yang bicara?
‘Kita telah terikat, anakku. Kau tahu itu. Aku akan memberitahumu jalan keluarnya. Percayalah padaku.’
Aku mengernyitkan dahi. ‘Arcas…?’
‘Benar. Ikuti petunjukku. Cepatlah, kau harus keluar.’
Akhirnya, aku memilih untuk mengikuti perintah Arcas. Segera aku dan Andy berjalan ke luar kastil… dengan selamat.

*

“Bagaimana kau bisa tahu jalan keluarnya tadi?”
Aku menatap Andy. Percuma aku berusaha memberitahunya, tak akan ada kata-kata yang keluar dari bibirku.
“Insting?” kataku asal.
Andy tampak berpikir sejenak. “M… yah, kurasa aku tak bisa menarik penjelasan lain. sudahlah. Ayo, kita kembali ke tempat Robe.”
Aku mengangguk.
Kami berjalan menuju rumah Robe, tapi ternyata kami tak perlu pergi jauh-jauh. Robe membuat api unggun di bawah pohon yang mulai meranggas di dekat kastil.
“Sini,” ajaknya dengan ceria. “Kurasa malam ini malam yang baik untuk tidur beratapkan langit. Malam ini langit bersih, lihat, bintang-bintang terlihat jelas.”
Aku dan Andy mendekatinya, bergabung dengannya. Kami melepas topeng kami. Kemudian, tanpa repot-repot menunggu dipersilakan, duduk di dekat api unggun.
“Minumlah ini,” kata Robe, menyodorkan secangkir teh pada kami. Tanpa menunggu lama kami segera meneguknya karena kami memang merasa sangat haus.
“Nah, bagaimana tadi? Berhasil?”
Aku dan Andy mengangguk kompak. Aku mengeluarkan kotak itu dan membukanya, memperlihatkan Moonlight Pearl pada Robe. Seperti anak buah yang memamerkan hasil jarahannya pada bosnya.
Robe bersiul kagum. “Kalian benar-benar dewa-dewi pencuri. Hebat.”
Lalu Robe mulai mengoceh. Tentang bagaimana Moonlight Pearl bisa berada di Moonlight Country, kenapa disimpan di kastil Arcas, blah-blah-blah. Panjang lebar. Kurasa ia sudah mengoceh selama setidaknya… oh, sejam. Benar-benar seperti burung kenari, berkicau tak kenal lelah.
Aku menyandarkan punggung di batang pohon dan menguap. Aku mulai mengantuk.
Mendadak, kantukku hilang. Sebagai gantinya, muncul rasa sakit di sekujur tubuhku, terutama di kepala. Kepalaku serasa berdenyut-denyut. Sakit. Dan, yang membuatku makin tersiksa, aku tak dapat menjerit.
‘Benar begitu, nak. Jangan melawan.’
Aku meringis menahan sakit. ‘Arcas? Kenapa ini? Apa yang kaulakukan padaku? Itu sakit! Hentikan, itu menyakitkan…!’
‘Tentu saja menyakitkan. Apa kaupikir kau tidak akan merasa sakit kalau jiwamu ditarik keluar secara paksa dari tubuhmu?’
Aku terguncang. ‘Arcas! Kau bilang kita sudah terikat perjanjian!’
‘Benar,’ Arcas terdengar puas. ‘Dan perjanjian itu membuatku memiliki kendali atas jiwamu. Untuk sekarang ini, aku ingin memisahkan jiwamu dari tubuhmu.’
Aku tak memikirkan apa-apa lagi. Aku hanya bisa menahan sakit tanpa bisa melawannya. Apa sebetulnya rencana Arcas?

*

Andy
Andy menguap tak kentara. Bosan dengan cerita yang dilantunkan Robe dengan berapi-api itu. Robe menceritakannya seakan itu satu-satunya cerita terpenting di dunia. Sedangkan Andy sendiri tidak mempedulikannya.
Andy melempar pandang kepada Selene, hendak memberikan isyarat untuk mengajaknya kabur, saat ia melihat Selene duduk dalam posisi meringkuk. Wajahnya sepucat kertas, tubuhnya gemetaran hebat, matanya menyiratkan kesakitan amat sangat. Ia meringis, giginya bergemeletuk pelan. Ia menatap Andy sesaat, seakan meminta pertolongan, lalu ia menunduk dalam-dalam.
Andy merasa bingung. Kenapa Selene tampak begitu kesakitan?
Selene menatapnya dengan wajah tersiksa. Tubuhnya gemetaran makin hebat. Nafasnya mulai terengah.
“Selene, ada apa?” panggil Andy cemas, memotong cerita Robe.
Selene hanya diam, menggigil keras.
Tak mungkin dia kedinginan, kami ada di dekat api unggun, pikir Andy. Sakit? Sakit apa?
“Kenapa dia?” tanya Robe.
“Aku tak tahu,” jawab Andy, merasa bodoh.
Nafas Selene terengah makin hebat. Ia membuka mulutnya, menutupnya lagi, menelan ludah, lalu dengan suara pelan berkata,
“A… Arcas…”
Lalu, mendadak, getaran tubuhnya terhenti. Matanya tampak kosong, memandang tanpa melihat. Tak ada emosi di sana. Hanya kekosongan.
“Selene?”
Tak ada reaksi.
“Hei, Selene?”
Andy mengguncang pundak Selene. Selene sama sekali tidak memberikan reaksi apapun. Ia justru malah terjatuh, tubuhnya luruh bagai boneka kapas kosong.
Bahkan matanyapun tampak seperti mata boneka.
Andy menatap Robe dengan panik.
Robe memandangi Selene dengan tatap tajam, serius, penuh pertimbangan.
“Jadi,” katanya pelan, lambat. “Gadis ini sudah mengikat perjanjian darah dengan raja? Sungguh tindakan bodoh. Lihat apa akibatnya sekarang. Jiwamu menjadi miliknya sekarang. Kenapa kau sungguh ceroboh?”
Andy melongo. “Robe, bisakah kau menjelaskan ini padaku?”
“Temanmu sudah mengikat perjanjian dengan darah dengan Raja Arcas,” jelas Robe. “Mungkin saat kemarin jiwanya terpisah dari tubuhnya. Tapi sekarang, jiwanya terpisah lagi, dengan cara berbeda dan jauh lebih menyakitkan. Kalau ia sudah mengikat perjanjian darah dengan Raja, jiwanya menjadi milik Raja. Entah apa yang dikatakan Raja sehingga dia terpikat untuk mengikat diri dalam perjanjian itu.”
Andy merasakan keringat dingin menuruni punggungnya. “Maksudmu, jiwanya diambil paksa… dicuri?”
“Kau bisa menyebutnya begitu,” Robe mengangguk.
Robe mengangkat tubuh Selene yang terkulai lemas. Nafas Selene tenang dan teratur, seakan tertidur. Tapi matanya yang kosong seperti mata boneka itu membuat Andy merinding.
“Bagaimana cara menolongnya?” tanya Andy pada Robe.
Robe terdiam sejenak.
“Ada satu cara,” katanya akhirnya.

*

Gua itu tampak suram. Hanya ada sedikit cahaya di sana, dan cahaya kekuningan itu menyebarkan aura suram dengan lebih hebat lagi. Andy melangkah masuk ke sana dengan hati-hati.
Di sebelah mulut gua itu sebuah danau beku menggenang. Andy tahu esnya sudah cukup tebal sehingga ia akan tetap selamat walau menginjaknya, tapi ia tetap menolak menginjak esnya. Hawa dingin yang menguar dari sana membuatnya enggan mendekat.
Mulut gua itu amat rendah sehingga Andy harus berjalan terbungkuk saat melewatinya, tapi begitu memasuki gua itu Andy melihat kalau gua itu begitu luas. Langit-langitnya begitu tinggi dan lantainya lapang dan luas. Dan segalanya didekorasi.
“Ini gua alami atau buatan?” gumam Andy kagum.
“Dua-duanya,” jawab Robe yang baru masuk ke gua, tubuh Selene yang lemas tersampir di pundaknya. “Gua ini pada dasarnya sudah cukup luas dan lapang, dan untuk kepentingan kerajaan lalu diperluas lagi dengan tenaga manusia dan didekorasi.”
“Whoa.”
“Memang mengagumkan. Jadi, apa yang sedang dilakukan seorang pencuri di tempat ini?”
Andy mengerjap. Ia menyadari, itu bukan suara Robe. Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki yang mengenakan pakaian mewah dengan mahkota bertengger di atas kepalanya memandanginya penuh penilaian.
Lelaki itu berpaling pada Robe. Ia memberi isyarat kecil yang tidak dipahami Andy dan Robe berjalan mendekati lelaki itu, mengoper Selene padanya. Robe membungkuk hormat setelah melakukannya.
“Robe?!”
Robe tersenyum licik pada Andy. “Kenapa butuh waktu lama bagimu untuk menyadari kalau aku bukan temanmu? Sekarang semuanya sudah terlambat, tak sadarkah kau?”
“Tapi… tapi kukira kau…” Andy tak sanggup meneruskan perkataannya.
Robe tertawa. “Aku tidak pernah menjadi temanmu. Senang rasanya aku bisa melakukan hal ini padamu, pencuri kecil.”
Andy mengertakkan giginya dengan geram.
Selene terbaring di pangkuan Arcas, tanpa menanyakannya Andy tahu namanya. Arcas sendiri menepuk-nepuk lengan Selene dengan sikap sayang. Entah kenapa.
Andy meneguk ludah dengan gugup. “Bisakah kau mengembalikan jiwa Selene?”
Arcas menatapnya. “Dan apa yang membuatmu berpikir begitu? Aku tak akan mengembalikannya.”
“Kumohon,” Andy dengan memelas (dan percuma) memohon pada sang raja.
“Tidak, tidak,” Arcas mengulang tegas. “Tak akan. Aku tidak memudahkan segala pencurian kalian hanya untuk membebaskan kembali jiwa gadis ini.”
Andy membeku. “Apa maksudmu?”
Arcas menyeringai. “Kau mengira semua pencurian kalian berjalan lancar hanya karena keberuntungan? Salah. Aku membuatnya menjadi lebih mudah bagi kalian. Agar aku bisa mendapat jiwa gadis ini. Pencurian kunci, pencurian Moonlght Pearl. Semuanya.”
Andy merasakan nafasnya tersentak. Ia menatap raja itu dalam ketidakpercayaan.
“Jadi, selama ini… semuanya, dari kemunculan Robe, pencurian, semuanya termasuk rencanamu?” tanya Andy tak percaya.
“Robe tidak termasuk,” kata raja itu tenang. “Tapi ya, ia terlibat. Ia memberitahuku kalau kalian tinggal di rumahnya. Dan rencana itu tercetus begitu saja. Dan semuanya berjalan lancar. Semuanya. Bahkan aku sendiri tidak mempercayai kelancaranya.”
Andy mengertakkan gigi.
“Dan gadis ini! Mudah sekali aku membujuknya untuk melakukan perjanjian darah denganku. Terlalu mudah, sampai aku sendiri merasa bosan saat membujuknya. Dia amat mudah terperangkap. Sungguh menyedihkan.”
Andy merasakan amarahnya meledak. Mandadak ia merasa seperti ditarik keluar dari tubuhnya dan melihat kejadian itu, ia melihat dirinya sendiri menyerang raja itu dengan marah. Tapi sang raja menendang perutnya dan ia jatuh terpental, kesakitan. Lalu ia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia menyerang Arcas.
Arcas tertawa terbahak-bahak. “Bodoh! kaupikir kau bisa menyerangku?! Tak akan bisa! Kalau kau mau bertarung denganku, nak, bukan pertarungan langsung yang akan kaudapatkan, tapi melalui perantara lain!”
Andy menatap Arcas dengan curiga. Ia mendapat firasat buruk soal ini. Apa maksudnya, ‘melalui perantara lain’?
Andy mengawasi tiap gerakan Arcas. Ia menatap tanpa berkedip saat Arcas membungkuk di atas tubuh Selene dan menutup matanya, lalu berbisik di telinganya.
Andy terperanjat. Selene bangun!
Tapi itu bukan Selene, pikirnya dengan bingung. Matanya terlihat dingin, gerakannya lebih kuat dari biasanya seakan ia mendapat kekuatan baru, segalanya tampak berbeda.
Saat Selene menyerangnya, ia tersadar.
Selene diperalat!

*

Aku menatap Andy dengan cemas dari bola kristal tempatku dikurung yang ada di ujung tongkat berjalan Arcas. Tidak… tidak! Andy, jangan! Seharusnya kau tidak mengkhawatirkanku! Arcas bisa membunuhmu!
“Arcas! Hentikan!” seruku.
Suara Arcas terdengar menggema. “Tak akan! Jiwamu sudah menjadi milikku, tinggal tunggu waktu sampai jiwa anak itu juga menjadi milikku!”
“Apa?! Tidak! Jangan! Kau sudah punya aku! Jangan ambil Andy juga!” jeritku pilu. Kenapa seseorang bisa menjadi seserakah ini?
“Kalau aku tidak mengambil jiwanya juga, dia akan mencuri takhtaku,” kata Arcas dingin. “Jadi, jawabannya tetap sama, tidak.”
Aku mulai terisak putus asa. Kenapa dulu aku sampai mau mengikat perjanjian darah dengan Arcas? Sungguh bodoh!
Aku mulai merasa marah. Aku berteriak kesal.
“Dasar raja haus kuasa! Setan! Iblis! Tidak berperi kemanusiaan! Kalau kau yang dikurung begini, apa yang akan kaukatakan untuk membebaskan diri, hah?! Kau bukan manusia!!” jeritku marah.
“Terserah, kurasa kau memang perlu dikurung lebih lama,” Arcas terdengar kesal.
Aku memekik saat melihat aku sendiri menghajar Andy tanpa ampun. Arcas tertawa girang saat tubuhku melakukannya.
Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?

*

Andy
“Selene, hentikan!” seru Andy sambil berusaha menghindari serangan Selene. “Selene! Kumohon, sadarlah! Ini aku, Andy! Tak bisakah kau mengenaliku?”
Selene memandangnya dingin dan menyerangnya lagi. Andy mengerang keras saat sebuah tendangan telak menghantam perutnya. Ia terjatuh.
Selene hendak menginjak perutnya, tepat saat ia berguling ke kiri.
“Selene! Ayolah, sadar!” seru Andy putus asa.
Arcas tertawa terbahak-bahak. “Ia tak akan sadar kecuali aku menyadarkannya, bodoh. dan aku tak akan menyadarkannya sebelum tujuanku tercapai.”
Tak mempedulikan seruan Arcas, dengan pantang menyerah Andy berusaha menyadarkan Selene lagi.
“Selene!” pekik Andy putus asa.
Andy mulai terpojok. Serangan tanpa henti dari Selene memaksanya mundur ke mulut gua. Selene menendang perutnya lagi, dan ia terlempar ke luar gua. Ia berguling-guling sejenak di atas lapisan beku danau es, mata terpejam menahan sakit, sampai akhirnya ia berbaring kesakitan di atas es. Ia membuka mata dan terperanjat.
Di bawah lapisan buram es tebal yang ada di bawah perutnya, sebuah kota membeku dalam es. Matanya melebar saat ia menangkap tiap detail di sana: rumah batu, cerobong asap, sumur, jalan dari batu kali, gedung tinggi, pasar…
Sebuah kota yang membeku dalam es.
Mendadak, ia direnggut berdiri, membuyarkan lamunannya tentang kota membeku di bawahnya. Selenelah yang telah menariknya. Ia menatap mata dingin gadis di depannya dan memasrahkan diri. Ia merasa Selene pasti sudah siap membunuhnya.
“Selene,” katanya lemah, “Bunuh aku kalau kau mau. Tapi tolong, sadarlah. Ini bukan kau. Kembalilah jadi dirimu sendiri. Selene, ayolah. Sadarlah. Tatap mataku. Kembalilah jadi Selene yang kukenal…”
Andy menatap Selene lekat, menatapnya dalam-dalam dengan sungguh-sungguh, menatap matanya dengan penuh harapan. Tolong, katanya dalam hati, tolong sadarlah.
Andy mendekatkan wajahnya ke wajah Selene dan mengecup kening gadis itu dan memalingkan wajah, memasrahkan diri.
BRUAK!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar