Jumat, 11 Juni 2010

Paviliun Beratap Kaca

Seorang pangeran gagah berani dan seorang putri cantik jelita

Dipersatukan oleh nasib saat mereka bertemu

Di sini, di taman ini

Di paviliun kecil beratap kaca, beratap lengkung ini

Mereka mengucap sumpah

Dan berdansa mengikat cinta

Dan di paviliun beratap mozaik kaca segala warna ini

Di paviliun berlantai mozaik keramik yang menampilkan gambar seorang pangeran dan putri

Yang tengah berdansa ini

Keduanya saling tersenyum

Di tengah taman mawar segala warna, keduanya dipersatukan oleh takdir

Di bawah pancaran sinar purnama

Mereka berdansa dan menari, suatu gambaran cinta kasih tiada batas

Mereka akan bersatu dalam tarian abadi hingga kematian memisahkan mereka

Dalam pelukan kematian lembut,

Selembut kecup manis bibir pasangannya

Jumat, 04 Juni 2010

If the Dreams Are the Truth

PROLOG

Valeriana tersenyum memandang lelaki itu. Tunangannya, kasihnya, cintanya. Ia berlari menyeberangi jalan tanpa melihat ke kanan-kiri terlebih dahulu…

BRAAAKKK!!!

Darah menetes dengan mengenaskan. Nyawanya telah melayang, namun jiwanya menolak pergi sebelum bisa menemukan benda dari kekasihnya itu…

Ya, benda miliknya yang paling berharga itu, yang ia janji akan ia jaga sampai kapanpun…



CHAPTER 1

Gadis itu merangkak-rangkak di semak-semak dan rerumputan sekitarnya. Aku menatapnya heran, lalu menghampirinya.

“Apa yang kaucari?” tanyaku. “Kau mau aku membantumu?”

“Benarkah… kau mau membantuku?” gumam gadis itu lirih.

“Tentu saja.”

“Sungguh?”

Gadis itu menoleh menatapku. Aku terkesiap. Wajah itu lagi… wajah yang sama… wajah
berdarah-darah mengerikan itu lagi…

“… lice…”

“Em…”

“Lice! Felice, hei, bangun!”

Aku membuka mata. Wajah kesal Feline, kakakku, menyambutku.

“Kau tidur jam berapa semalam?” tanyanya heran. “Sulit sekali kau dibangunkan.”

“Em… jam biasa…”

Aku memandang kakiku dengan waswas.

Lagi-lagi…

Tanah dan pasir. Rumput dan daun. Kakiku benar-benar kotor akan semua itu. Ada apa
sih sebenarnya?

“Kau berjalan dalam tidur lagi.”

Aku memandang Feline yang tampak prihatin. “Sudah, sana mandi. Kita tetap harus
sekolah.”

*

“Felicita Anindita.”

Aku mendongak, tersadar dari lamunan. Wajah Pak Asril, guru PKN di sekolahku,
memandangku dengan tatap kesal. “Kau melamun terus. Jawab pertanyaan bapak.”

“Ee…” aku berkata ragu-ragu. “Em… bisa diulang pertanyaannya, Pak?”

“Sebutkan satu tempat yang tidak boleh digunakan untuk acara penyampaian pendapat.”

“Um… rumah sakit?”

“Lulus.”

Aku menarik nafas lega. Kalau Pak Asril sudah bilang ‘lulus’, berarti jawabanku benar.

Pak Asril menjelaskan lagi, sambil sesekali menanyai murid. Syukurlah, aku tidak kena lagi…

*

Aku berjalan di antara rak-rak perpustakaan. Ini dia, buku yang kucari. Kendala Tidur dan Masalah-Masalah yang Tercatat Sering Dikeluhkan. Aku menarik buku itu dari rak, hendak membacanya, saat gangguan itu datang.

Kepalaku terasa berat dan pusing, dan tubuhku sulit digerakkan. Ini aneh, mengingat saat ini aku sehat-sehat saja. Sangat aneh malah.

Tanganku gemetar. Buku itu terjatuh dari tanganku. Aku segera berusaha menangkapnya sebelum jatuh ke lantai…

HUP!

Eh… siapa dia?

Laki-laki itu menyerahkan buku yang baru saja ditangkapnya itu padaku. “Ini,” katanya sambil tersenyum ramah.

“Terima kasih,” kataku sambil menerima buku itu.

Ia tampaknya anak kelas 11 seperti Feline, bukan kelas 10 sepertiku. Mungkin malah
teman sekelas Feline, yang sudah sering melihatku karena aku cukup sering
mengunjungi Feline di kelasnya.

“Kamu kelas berapa?” tanya laki-laki itu padaku.

“10 Pendet.”

“Oh… kukira kelas 11. Aku dari kelas 12 Kapuas.”

“Mmm…”

“Namamu Feline, kan?”

Aku berkedip. Olala… salah alamt rupanya, sodara-sodara! Aku tersenyum geli. “Bukan,
aku Felice. Feline itu kakakku. Kalau dia memang di kelas 11. Tepatnya 11
Batanghari.”

“Oh, maaf!” katanya, “wajah kalian mirip sekali.”

“Tidak apa. Kau bukan orang pertama yang salah.”

“Aku Tristan Kresna. Panggil Tristan, atau kalau mau singkat Trist.”

“Aku Felicita Anindita. Felice.”

“Kalau kakakmu?”

“Felinita Laksmita. Feline. Memangnya kenapa Feline? Kau suka padanya?”

Tepat sasaran. Wajah Tristan memerah, dengan cukup cepat pula. Sekejap saja ia jadi
tampak seperti kepiting rebus.

“Tenang saja,” kataku dengan seyum geli menghias bibir, “aku tak akan mengatakan
apa-apa padanya. Aku ini brankas dan gembok sekaligus kunci rahasia.”

Tristan tersenyum, tampak lega. “Thanks.”

“Ya.”

Aku mengedipkan mata karena pandanganku mendadak tampak mengabur. Tapi hanya
sedetik, sekarang sudah normal lagi.

“Felice?”

“Aku tidak apa-apa.”

“Tapi wajahmu pucat.”

“Aku sering mendadak pucat, tapi sebetulnya tidak apa-apa. Tenang saja.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

*

“FELICE!!!”

Aku terlonjak dan mendongak. Wajah kesal Feline tampak menatapku dengan sorot mata menuduh. Aku menoleh ke arah pintu kelas. Venny dan Derry menatapku dengan tatap meminta maaf.

“Kakakmu memaksa masuk, dan aku tidak melihat alasan untuk melarangnya, jadi aku
biarkan dia masuk,” jelas Elise tanpa ditanya.

“Felice! Sini, ikut aku!”

Tanpa persetujuanku, Feline langsung menyeretku ke toilet.

“Tadi kau di perpustakaan ketemu siapa?”

“E…Tristan.”

“Dia mengajakmu ngobrol?”

“Iya.”

“Kaujawab jujur?”

“Iya. Buat apa bohong?”

“Dia tanya apa saja?”

“Um… aku sudah janji padanya untuk merahasiakannya.”

Dengan heran aku menatap Feline yang tampak putus asa sekaligus marah. “Kenapa sih?”

“Ini masalah besar!”

“Kenapa jadi masalah…?”

“Kenapa? Kenapa? Kau tidak tahu kenapa?”

“Kalau aku tahu aku tidak akan tanya padamu, Line…”

Feline menatapku tajam. “Itu artinya Tristan naksir kamu, bodoh…”

“Lalu?”

“Itu artinya bencana! Kau pasti dikejar-kejar terus! Memangnya kau tidak tahu kalau
mantan pacarnya itu bejibun?!”

“Eee…”

“Lice… kamu itu sebenarnya polos, lugu atau bodoh, sih? Masa info kalau Tristan itu
playboy kamu nggak tahu?”

“Um…”

“Sudah! Mulai sekarang, kalau kamu mau ke perpustakaan, harus mampir kelasku dulu!
Aku pasti tahu kalau kamu mangkir, karena kelasku di dekat perpustakaan! Ke kantin
juga!”

“Eh?! Nggak bisa begitu, dong! Itu sih mengekang namanya!”

“Aku nggak mau kamu ikutan jadi korban Tristan, tahu! Udah, nurut sama kakakmu ini!”

“Tapi, Feline…”

“Dan harap dicatat, tidak ada kata tapi!”

“Feline…!”

“Dan apa yang aku bilang tadi, aturan-aturan itu, kalau kamu langgar, aku bakal
potong jatah uang jajanmu!”

Aku melongo. Ini sih keterlaluan! Papa dan Mama itu orangtua sibuk, saking sibuknya
sampai tidak bisa mengurus anak-anak mereka. Jadi kalau mau memberikan uang jajan
atau uang sekolah, diberikannya pada Feline, yang memang anak tertua (praktis kami
memang cuma dua bersaudara…) dan kalau sampai Feline memotong uang jajanku,
persoalannya pasti memang sudah gawat sekali!

Akhirnya, dengan pasrah, aku mengangguk, mengiyakan. “Iya deh, aturanmu itu aku
patuhi semua…”

*

Aku berpegangan pada pipa air itu dengan erat. Mataku terpejam rapat. Perutku terasa seperti diaduk-aduk dan berdiriku goyah.

Lagi-lagi seperti ini. Entah sudah berapa kali aku mengalami hal seperti ini.
Kepalaku terasa pusing sekali. Ini benar-benar aneh. Padahal saat dulu aku melakukan
pemeriksaan kesehatan, hasil yang keluar adalah aku sehat walafiat. Tapi kenapa aku
sering mengalami hal-hal seperti ini?

“Felice?”

Aku diam. Dalam hati aku mengira-ngira, suara siapa itu. Ini suara laki-laki… bukan
Feline. Feline pasti sedang di parkiran motor, mengambil motornya yang diparkir di
sana.

“Felice? Hei, Felice? Kau tidak apa-apa?”

Aku tetap tidak menjawab. Kepalaku masih pusing sekali. Kalau aku membuka mata,
pandanganku pasti tampak buram atau berputar. Sungguh bencana buatku.

“Kalau kau tidak menjawabku juga, aku gendong kau ke UKS sekarang.”

Aku membuka mata dan mendongak. Wajah Tristan menyambutku.

“Kau pucat sekali. Ayo, aku antar ke rumahmu.”

Aku menggeleng. “Tak usah. Aku sedang menunggu Feline. Dia sedang mengambil motornya
di parkiran. Sebentar juga ke sini.”

Dahi Tristan mengerut. “Aku yakin kakakmu mau kalau aku mengantarmu pulang. Wajahmu
sudah pucat sekali. Bisa-bisa kau pingsan di tengah jalan.”

Aku menggeleng lagi. “Tidak, terima kasih. Itu Feline sudah datang. Aku duluan, ya.”

Tanpa menunggu jawabannya, aku bergegas ke arah Feline, walau langkahku agak
sempoyongan.

“Kau bersama Tristan lagi. Bicara apa tadi?” tanya Feline galak.

“Bukan apa-apa,” kataku sambil mengenakan helm dan naik motor Feline. “Tadi aku agak
pusing, lalu…”

Feline memotong ucapanku, “Kau memang kelihatan pucat. Apa mau ke dokter saja?”

“Tidak. Sebentar juga sembuh lagi. Tak apa.”

Itu bohong. Aku tahu pasti, itu bohong. Tapi aku tak mau membuat Feline cemas. Biar
saja.



CHAPTER 2

Mimpi yang sama lagi. Gadis yang sama, merangkak di semak-semak. Tapi kali ini berbeda. Ini mimpiku. Seharusnya aku bisa mengendalikannya.

Aku mendekati gadis itu. Rambut pirang kecokelatannya menutupi wajah.

“Maaf… siapa kau?” tanyaku dengan sopan.

“Aku… Valeriana Voliery…” gumam gadis itu.

“Aku Felicita Anindita. Felice. Apa yang kau cari?”

“Jepit rambut dari kekasihku…”

“Seperti apa jepit rambut itu?”

“Itu… dua tulip yang saling memilin… Warnanya perak…”

Kali ini entah kenapa aku sudah tak bisa mengendalikan apa-apa lagi. “Kau mau aku
membantumu?” tanyaku. Seperti di mimpiku yang lainnya.

“Benarkah… kau mau membantuku?”

“Tentu saja.”

“Sungguh?”

Wajah berdarah-darah yang sama itu menatapku lagi, seperti biasa. Lalu aku terbangun
karena Feline.

“Astaga, Felice!” seru Feline dengan nada cemas. “Kau pucat sekali! Sudah, hari ini
absen saja! Nanti kau malah sakit!”

“Aku baik-baik saja,” kataku keras kepala. “Aku mau sekolah. Hari ini pengambilan
nilai olah raga.”

“Bisa susulan!”

“Tidak, ini pengambilan nilai secara kelompok.”

“Uh… terserah padamu sajalah. Tapi aku tidak tanggung kalau kau sampai sakit, ya.”

*

Sekarang aku menyesal kenapa aku tidak menuruti saran Feline untuk absen tadi. Pengambilan nilai ini benar-benar memuakkan.

Tiba-tiba Elise memekik.

“Elise? Kenapa?” tanya Derry, bencong kelas, dengan heran.

“Jepit rambutku! Hilang!” pekik Elise panik.

“Halah, cuma jepit rambut juga…” kata Ronald meremehkan.

Elise melotot memandangnya. “Itu peninggalan terakhir dari kakekku!”

“Oh. Maaf.”

“Elise, sudahlah. Hilangnya di mana?”

“Sepertinya di semak-semak situ… saat tadi aku merangkak-rangkak mengambil bola….”

Aku mendekati semak-semak itu dan merangkak mencari jepit rambut Elise.

Aneh… aku tidak ingat aku pernah melakukan ini, tapi kenapa kegiatan ini, merangkak-
rangkak di semak mencari sesuatu, terasa familier bagiku? Aku ingat mimpiku itu, dan
mulanya mengira kalau itulah alasan mengapa aku merasa familier, tapi tidak. Rasanya
tubuhku bergerak dengan otomatis mencari jepit rambut itu, bukan dengan perintah
otakku. Jadi kenapa…?

Aku melihat kilatan keemasan dari ranting di dekatku. Aku mengambil benda itu.

Jepit rambut Elise. Pasti ini jepit rambut Elise. Aku yakin itu.

Jepit rambut ini bagus sekali. Emas dengan dua hati yang saling bertumpuk, pinggiran
hatinya emas dan hatinya sendiri berwarna merah dan pink. Kesannya manis…

‘Bukan ini yang kucari!’ ada suara yang berkata dalam kepalaku. ‘Bukan ini! Buang! Cari yang aku mau!’

Aku nyaris membuang jepit rambut Elise ketika tersadar. Suara tadi… rasanya terdengar familier…

Sebuah nama keluar dalam kepalaku. Valeriana Voliery. Bukakah itu gadis yang merangkak-rangkak di semak mencari jepit rambutnya?

“Felice… sudah ketemu?”

Aku tersadar. “Iya, sudah!”

Aku memberikan jepit rambut itu pada Elise. “Thanks banget, ya…” kata Elise dengan
mata berbinar senang.

“Iya. Lain kali hati-hati, jangan sampai hilang lagi.”

“Iya.”

Aku memejamkan mata. Lagi-lagi… mataku terasa aneh, pandanganku mengabur.

“Felice?”

Aku membuka mata kembali. Sudah terasa normal lagi. Aku tersenyum. “Tidak apa. Ayo,
Pak Desta pasti sudah menunggu kita.”

*

Perpustakaan itu agak ramai kali ini. Cukup bisa dimaklumi sebenarnya, sebab teman-teman sekelas Felina dan Feline sendiri banyak yang di perpustakaan. Ada tugas menganalisis buku novel, katanya.

“Maaf Felice… aku harus mencari di deretan teenlit! Kau mencarinya di deretan novel
terjemahan dan novel fantasi, ya?” tanya Feline.

“Iya. Tidak apa, aku akan baik-baik saja.”

Feline meninggalkanku, lalu aku berpaling ke deretan buku fantasi dan terjemahan.

Aku melihat-lihat buku di situ. Wah, ada buku baru. Aku membaca judulnya. The Time
Travelers, The Time Machine, Magical Adventure: The Triangle of the Death,
Incognito, Nocturnal… wah, banyak benar!

“Ini bukunya bagus.”

Aku menoleh ke sumber suara. Tristan. Tangannya memegang buku berjudul The Treasure Hunters.

“Aku sudah membaca yang itu,” kataku sambil mengambil buku itu dari tangannya. “Memang bagus, sih.”

“Kau mencari buku apa?”

“Apa saja. Yang penting fantasi.”

“Ini sudah baca?” tanya Tristan sambil mengulurkan buku berjudul If the Dreams Are the Truth.

Aku mengambil buku yang cukup tebal itu. “Belum. Sebenarnya dari minggu lalu aku sudah mengincar buku ini, tapi raib. Jadi aku pinjam buku lain dulu.”

“Maaf, itu aku yang pinjam. Bacalah, buku ini bagus sekali.”

Aku tersenyum padanya. “Aku sudah punya perasaan kalau buku ini bagus. Terimakasih, aku mau pinjam ini dulu.”

Tristan membalas senyumanku. “Bareng, yuk? Aku juga mau pinjam buku ini,” katanya sambil menunjukkan buku berjudul Time Voyager.

Aku tidak melihat alasan untuk menolak ajakannya itu, jadi aku mengiyakan.

Aku melirik buku misteri.

“Tertarik?” tanya Tristan.

“Aku belum baca buku yang berjudul Black Cat karya Edgar Alan Poe,” kataku polos.

“Pinjam sekalian saja.”

“Tidak bisa. Aku masih punya pinjaman di rumah, yang judulnya De Buron,” kataku dengan agak menyesal.

“Kalau begitu aku saja yang pinjam, deh,” kata Tristan sambil mencomot buku Black Cat yang baru saja disebut-sebut itu.

Aku membalik buku If the Dreams Are the Truth dan membaca sinopsisnya lagi, untuk yang kedua kalinya.

Bagaimana kalau sesuatu yang kita yakini mimpi ternyata adalah kenyataan? Hal ini terjadi pada Veronica. Setiap malam ia bermimpi bertemu dengan seorang gadis yang berkata kalau tubuh Veronica menjadi tubuhnya tiap malam.

Dan ternyata, itulah kejadiannya. Gadis itu meminjam tubuh Veronica untuk mencari sesuatu yang sangat penting baginya. Tetapi tentu saja Veronica tidak setuju. Apalagi saat gadis itu mulai menggunakan tubuhnya untuk sesuatu yang cukup ekstrem. Kalau dibiarkan terus, bisa jadi nyawa Veronica melayang!

Apa sebetulnya yang dilakukan gadis itu? Terlebih, siapa gadis itu? Kenapa dia menggunakan tubuh Veronica untuk mencapai tujuannya? Apa hubungan Veronica dengan dirinya?

“Yuk.”

Aku mendongak. Tristan menunjuk konter peminjaman bukudengan satu alis terangkat.
Aku mengangguk.

“FELICE!!!”

Aku terlonjak. Suara Feline terasa seperti dikeraskan berkali-kali lipat dengan
pengeras suara superbesar.

“Kenapa, Line?” tanya Tristan, tampak heran.

Tanpa mempedulikan Tristan, Feline menyeretku ke sudut perpustakaan.

“Fe…liiiice!”

Aku memejamkan mata rapat-rapat. “Ssst, Feline! Ini perpustakaan!”

Feline tak mempedulikan. “Sudah kubilang, jangan dekati dia!”

Aku mengerutkan dahi. “Kapan kaubilang begitu? Aku tidak mendekatinya, kok. Dia yang
mendatangiku. Aku tidak melihat adanya alasan untuk menolak ajakannya meminjam buku
bersama, jadi ya aku iyakan saja.”

“Pokoknya, jangan sama dia! Itu saja!”

“Oh, baiklah.”

Karena Feline masih memelototiku, aku berkata, “Um… Feline? Boleh aku lewat? Aku mau
pinjam buku ini.”

Dengan dongkol, Feline membiarkan aku lewat.

*

“Yah… Feline! Terus aku sekolahnya gimana, dong?” tanyaku putus asa, memandang Feline yang berbaring karena sakit di kasurnya.

“Kamu kan bisa naik motor.”

“Tapi aku nggak punya SIM dan STNK!”

“Pakai punyaku saja. Pasti tidak ketahuan. Wajah kita kan miripnya seperti anak
kembar identik.”

Tak punya pilihan, terpaksa aku mengiyakan.

*

Aku duduk di kelas dan membaca buku yang kupinjam kemarin, If the Dreams Are the Truth. Aku sudah bilang pada teman-teman sekelas Feline kalau Feline sakit, tidak masuk sekolah.

“Felice! Ada yang cari, tuh!” seru Edwin.

“Siapa?”

“Tuh, lihat saja sendiri.”

Aku melongok keluar kelas. Sedikit celingukan.

Glek. Tristan?!

Tristan tersenyum saat pandanganku bertemu dengannya. Ia mendekatiku. Ragu, aku
keluar dari kelas.

“Ke kantin, yuk? Ini kan sudah istirahat kedua. Bohong kalau kamu bilang nggak
lapar,” ajak Tristan tanpa tedeng aling-aling.

“Nggak ah! Aku memang nggak lapar, kok,” tolakku halus.

KRUYUUUUK……………

Ups… kenapa di saat seperti ini malah perutku meminta haknya?

Tristan tersenyum geli sementara wajahku memerah. “Nggak lapar, ya? Kok perutnya
bunyi?” tanya Tristan, tepat sasaran.

“Sudah, temani aku ke kantin saja, ya?”

“Em… dompetku…”

“Aku traktir. Yuk!”

*

Aku bisa merasakan semua mata anak-anak perempuan di kantin menatapku dengan tak percaya dan sinis, juga iri.

“Ini,” Tristan menyodorkan semangkok somay ke hadapanku.

“Em… thanks, tapi…”

“Makan. Aku nggak terima kata tapi. Udah, cepet makan. Percuma aja aku traktir kalau
kamu nggak makan.”

Adduh… Tristan ini! Kok malah diomongin, sih? Semua mata yang menatapku jadi
terlihat makin garang, tuh…

“Em…”

“Makan.”

Karena tak punya pilihan lain, akhirnya aku menyantap somay di depanku. Diiringi tatap garang dari puluhan anak perempuan yang iri, tentunya.

*

“APA?!”

“Nggak bisa nolak, Line… keburu diseret duluan!”

“Udah, deh! Besok aku masuk sekolah lagi! Aku awasin kamu!”

Tepat saat itu juga, Feline terbatuk. Penyakitnya memang Cuma demam karena flu, tapi lumayan parah.

“Dengan kondisi seperti itu? Teman-teman sekelasmu bisa langsung ketularan nanti…”

“Uh…”

“Tenang saja. Aku bisa menjaga diri.”

*

Aku menekap mulutku dengan agak kesal. Lagi-lagi seperti ini. Kali ini mualnya parah sekali. Aku sama sekali tidak kuat.

“Felice…”

Tristan. Aku tahu itu. Tak perlu susah-susah menoleh.

“Lice… kenapa?”

Aku menggeleng. Mual. Pusing. Tak kuat.

“Ke UKS, yuk?”

Aku menggeleng lagi.

Aku membuka mata. Kali ini segalanya sudah normal lagi. Untunglah.

“Lice… benar nggak apa?”

Aku menatap Tristan, tersenyum dan mengangguk.

“Oke deh kalau begitu…”

*

“Kamu Felicita?!”

Bentakan itu membuatku terlonjak. Aku memang pulang agak terlambat karena tugas kelompok. Di depanku berdiri beberapa anak kelas 11 dan 12, menatapku galak. “Iya…?” kataku ragu.

“Sini, ikut kami.”

“Eh… tapi…”

“Halah, nggak usah pakai tapi-tapian! Cepat sini!”

Tanpa daya, aku diseret ke belakang sekolah. Di sana aku dipepet ke dinding.

Ada masalah apa lagi ini?



CHAPTER 3

DUKK!

Aku memejamkan mata, menahan sakit. Aku didorong keras-keras ke tembok.

“Jauhi Tristan,” kata salah sati dari gerombolan gadis-gadis itu penuh ancaman. Aku mulai merasa kesal, jadi kutantang saja mereka sekalian.

“Atau apa?” tanyaku berani.

“Kau akan menyesal.”

“Memangnya kenapa? Kau mau melakukan apa terhadapku?” tanyaku lagi, menantang mereka.

Anak yang tadi mendorongku ke dinding langsug membentakku. “Heh! Dasar tukang rayu!
Dengar, ya, pokoknya kamu harus menjauhi Tristan! Mengerti?!”

Dengan tampang datar, aku menatap mereka. “Memangnya siapa kalian, bisa menyuruh-
nyuruh aku seenak kalian?”

Mereka tampak makin murka. Salah satu dari mereka malah tampaknya sudah siap meledak.

“Memangnya siapa kalian, bisa menyuruh-nyuruh aku? Hm? Dengarkan aku, aku adalah
milikku sendiri. Tidak ada orang yang boleh menyuruh-nyuruh aku. Sebab aku pasti
tidak akan menuruti perintahnya. Camkan itu.”

Dengan mudah aku menyibakkan kerumunan anak-anak ‘Pecinta Tristan’ itu dan melangkah
pergi. Tapi memang dasar bencana itu datangnya tidak bisa diramalkan atau bahkan
dijadwalkan, mendadak aku mendapat serangan rasa mual dan pusing lagi.

Tak dapat melawan, aku menekap mulut dengan satu tangan dan bersandar di dinding,
tanganku yang tidak kugunakan untuk menekap mulut mencengkeram pipa air erat-erat.
Kupejamkan mataku rapat-rapat, berusaha mengusir pusing.

Aku bisa mendengar gerombolan ‘Pecinta Tristan’ itu tertawa puas. “Rasakan itu!”

Aku merasakan tubuhku dibalikkan dan disentakkan ke dinding.

“Mana keberanianmu saat melawan kami tadi, hah?! Sini! Lawan aku!”

Aku diam saja. Daripada malah muntah, lebih baik aku menjaga mulutku tetap terkatup
rapat. Aku masih memejamkan mata dan menekap mulut.

“Apa kau tuli mendadak?! Hah?! Sini! Kemarikan pipimu! Dasar tukang rayu!”

Aku bersipa mendapat tamparan. Tapi…

BRAK!!!

Aku membuka mata. Tamparan anak itu tidak sampai ke pipiku dan sebagai gantinya
tinju Tristan telah menghantam tembok. Wajah semua anak di situ kecuali Tristan
memucat. Bahkan juga wajahku yang sudah pucat duluan karena serangan mual dan pusing ini.

“Dia bukan perayu,” desis Tristan. Lirih, tapi galak. Wajah “Pecinta Tristan” itu
semuanya bertambah pucat.

“Sana, pergi,” usir Tristan galak. Tak perlu diperintah dua kali, semua anak-anak
itu langsung membalikkan badan dan lari terbirit-birit.

Aku jatuh terduduk di tanah. Kakiku terasa lemas. Rasa pusingku bertambah parah.

“Felice?”

Aku diam saja. Aku mulai membenci Tristan karena dia mendekatiku. Aku tahu itu bukan
salahnya, tapi aku merasa butuh kambing hitam di sini.

“Lice? Felice? Kenapa? Mau ke UKS?”

Aku menggeleng pelan. Ya, sekarang sudah normal lagi. Aku menatap Tristan. “Aku tidak apa-apa.”

“Tapi wajahmu pucat sekali.”

“Aku tidak apa, tenang saja. Aku ingin pulang, permisi.”

“Biar kuantar..”

“Tidak,” tolakku, agak letih. “Aku membawa motor sendiri. Permisi, Trist.”

Diiringi tatap sedih sekaligus tidak rela Tristan, aku meninggalakn tempat yang
menjadi temapt terlarang bagiku sampai aku lulus itu.

*

“Maaf, Felice…”

Aku mengernyitkan dahi pada Valeriana, yang kini tampak cantik dan manis karena bilur darah menghilang dari tubuhnya. “Memangnya kenapa? Kau tidak pernah melakukan sesuatu yang salah padaku, Valeriana.”

“Pernah,” desah Valeriana. “Aku selalu meminjam tubuhmu setiap malam.”

“Malam ini juga?”

“Malam ini tidak. Aku ingin bicara denganmu.”

“Kenapa kau meminjam tubuhku tiap malam?”

Valeriana tersenyum sedih. “Saat aku masih hidup, kekasihku memberikan sebuah jepit
rambut padaku. Aku berjanji padanya untuk menyimpan dan menjaga jepit itu sampai
kapanpun, dan ia percaya padaku…”

Air mata mulai menuruni wajah cantik Valeriana. “Tapi aku menghilangkannya saat aku
mengalami kecelakaan. Aku tidak bisa pergi dengan tenang sebelum aku bisa
mendapatkan jepit itu…”

Aku merasa kasihan pada Valeriana. Hanya karena jepit rambut dia tidak bisa pergi dengan tenang. Aku merasa harus membantunya. Cintanya pada kekasihnya itu pasti
besar sekali, sampai dia tidak bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang sebelum
mendapatkan jepit rambutnya itu kembali.

“Aku akan membantumu, Valeriana. Tak apa, pakai saja tubuhku di malam hari untuk
mencari jepitmu itu. Tak apa.”

Valeriana memandangku dengan wajah tak percaya. “Benarkah?”

“Ya, tentu saja. Tak apa,” jawabku sambil tersenyum.

“Terima kasih, Felice…”

*

Aku menguap lebar-lebar. Hebat juga Valeriana, bisa mengeksploitasi tubuh orang sampai separah ini.

‘Valeriana,’ kataku dalam hati, ‘kamu melakukan apa sih semalam? Sampai rasanya
tubuhku lelah sekali begini…’

‘Maaf, Felice…’ kata Valeriana dalam kepalaku, ‘Aku melakukannya agak keluar batas semalam. Aku benar-benar tidak tahan karena jepit itu belum ketemu juga.’

‘Lain kali jangan sampai separah ini, ya…’

‘Iya, maaf…’

*

“FELICITA ANINDITA!!!” aku terlonjak kaget. Bu Hera, guru matematikaku yang termasuk jajaran guru killer itu memelototiku dengan galak.

“E… iya, bu…?” jawabku ragu. Aduh, bodoh… kenapa malah ketiduran di sini?

“Tidur di kelas… Pintar sekali, ya?”

Jedenggggg!!! Gong perang pun berbunyi… Tepatnya perang satu arah, karena pasti Bu Hera hanya menyerang tanpa berusaha melindungi diri dan aku hanya bisa menerima serangan tanpa bisa melindungi diri maupun melawan.

“Sebagai hukumannya, sana kamu keluar kelas. Dua jam pelajaran ini, kamu tidak boleh ikut pelajaran saya!”

Dhuarrr! Bom atom sudah dijatuhkan, akupun mati langkah. Dengan pasrah, aku mengiyakan dan berjalan dengan agak sempoyongan keluar kelas.

Aku tidak ke kantin seperti pilihan kebanyakan anak kalau ada jam kosong atau dikeluarkan dari kelas, tapi ke UKS. Tidur. Dengan berpesan pada Valeriana supaya tidak mengeksploitasi tubuhku, tentunya.

*

“Felice! Tadi kamu dikeluarkan dari kelas, ya?” tanya Feline, yang sudah masuk sekolah, dengan nada cemas.

Aku menguap. “Iya… ketiduran di pelajarannya Bu Hera.”

Feline menggeleng-gelengkan kepala. “Ya ampun, Lice… Kalau mau ketiduran di kelas
pilih-pilih juga dong! Masa tidur di pelajarannya Bu Hera? Kalau di pelajarannya Pak
Satya, itu sih boleh! Orang gurunya sendiri sering ketiduran..”

Aku terkikik mendengar komentar ngaco Feline. “Ya mau bagaimana lagi? Namanya orang
ngantuk kan tidak bisa diatur…”

Aku berjalan ke perpustakaan bersama Feline, mengembalikan buku If the Dreams Are
the Truth dan De Buron yang sudah selesai kubaca.

“Mau pinjam buku apa lagi?”

“Black Cat.”

“Yang karangannya Edgar Alan Poe itu? Yang ceritanya di kastil besar, terus ada
orang yang menguburkan mayat istrinya dan seekor kucing hitam di tembok itu?”

“Iya.”

“Lice… kok kau kuat membaca novel mengerikan seperti itu, sih?”

Aku tertawa.

Saat memasuki perpustakaan, aku dan Feline menegang bersamaan. Tristan di
perpustakaan juga.

“Lice, nanti saja mengembalikan bukunya, ya?”

“Ini sudah hari terakhir…”

“Duh… ya sudah deh, biar aku jadi bodyguardmu lagi.”

*

Malam itu lagi-lagi aku bermimpi tentang Valeriana. Tapi kali ini lain. aku bermimpi aku sendiri juga merangkak-rangkak, membantu Valeriana mencari jepit rambutnya.

“Seperti apa jepit rambut itu, Valeriana?”

“Dua tulip yang saling memilin, warnanya perak.”

“Wah… agak sulit ditemukan.”

“…lice…”

Aku membuka mata. Feline sudah membangunkanku.

“Kenapa?”

“Sudah pagi.”

“Iya… aku tahu ini sudah pagi… Terus kenapa kalau sudah pagi?”

“Ini liburan semester 1 hari pertama!”

“Iya, aku tahu, lalu kenapa…?”

Feline memutar bola mata dengan kesal. “Lupa kalau hari ini kta janjian mau menginap
di tempat Elise?”

Aku menepuk dahiku. “Lupa sama sekali…”



CHAPTER 4

Ini bukan rumah. Ini bukan vila. Ini mesin.

Rumah itu sendiri adalah bagian dari mesin itu.

Rumah ini tak pernah diam. Ia berputar tiada henti dalam gerakan selambat jarum jam.
Rasanya seperti mengikuti gerak matahari. Aku dapat melihat matahari terbit dan
terbenam sekaligus dari rumah ini. Hebat sekali… Siapa yang menciptakannya?
Benar-benar hebat! Jenius! Brilian! Luar biasa!

“Ayahku membeli Machine House ini tahun lalu,” kata Elise.

Aku melirik Tristan yang rupanya juga ikut. Pantas saja Elise tidak bilang apa-apa
soal siapa saja yang ikut. Apalagi ternyata Tristan sepupunya. Mana berani dia
melarang kakak sepupunya sendiri untuk ikut?

Aku kembali menatap rumah itu. Hebat sekali. Dalamnya seperti rumah biasa, seperti
rumah sungguhan, tapi dari luar? Jauh! Seperti mesin jam. Roda gigi dan sekrup di
mana-mana, berputar di sana-sini. Warna metalik dan kuningan, juga merah karat di
beberapa tempat. Rumah ini punya empat tingkat, dan masing-masing punya arah putar
dan kecepatan berputar yang berbeda-beda. Satu-satunya bagian rumah ini yang tidak
berputar hanya ruang bawah tanah, yang hanya berisi generator dan mesin untuk
menggerakkan rumah. Temboknya bata, tapi ternyata bukan. Di dalam tembok bata itu
ada dinding besi, dinding asli, dinding sejati rumah itu. Rumahnya sendiri punya
empat pintu untuk keluar-masuk, nyaris tak terlihat karena berwarna perak.

Bahkan aku tak dapat merasakan geratan atau guncangan! Aku mencoba menyelidikinya,
ternyata ada semacam peredam guncangan dan suara di situ sehingga tak terdengar atau
terasa suara bising atau gerakannya.

Aku duduk di kamarku, kamarku sendiri, terpisah dari keramaian, di kasur, mendesah
puas. Senang sekali rasanya…

Aku berdiri dan tersandung.

“Aduh! “ pekikku saat dahiku menghantam lantai yang berkarpet.

Mataku menangkap kilatan emas dari bawah kasur. Penasaran, aku mencoba menarik benda
entah apa itu.

Sebuah kotak. Berkunci, bergembok. Aku mencoba membukanya, karena kunci dan
gemboknya digantung bersama. Kotak itu terbuka.

Di dalam kotak itu aku menemukan ada sebuah buku. Sepertinya buku harian. Dilihat
dari bentuk bukunya yang tebal dan bergembok kecil lain, itu memang buku harian
(sepertinya). Aku mencari kuncinya, siapa tahu ada di kotak itu juga.

Ada.

Aku membuka buku harian itu dan mulai membaca.


20 November
Aku sungguh senang! Hari ini aku bisa bertemu dengan Henry lagi. Oh, lelaki itu tampak semakin tampan! Andai aku bisa menjadi kekasihnya, aku pasti senang sekali…

25 Desember
Oh, katakan padaku ini hanya mimpi! Henry memberiku jepit rambut! Indah sekali. Dan tahukah? Dia melamarku! Henry, laki-laki yang kucintai itu, melamarku! Di hari Natal ini! Betapa membahagiakan!

Jepit rambut yang dia berikan indah sekali. Dua tulip perak yang saling memilin. Katanya, itu sebagai lambang supaya kami berdua bisa tetap bersatu selamanya. Dia romantis sekali… Aku berjanji padanya untuk selalu menyimpan dan menjaga jepit rambut itu sampai kapanpun…


Aku berhenti membaca. Dua tulip perak yang saling memilin? Ini… Valeriana?


1 Januari

Tahun baru ini aku dan Henry akan berkencan! Ah, sungguh membahagiakan… aku sudah memutuskan untuk menggunakan jepit rambut yang diberikannya padaku, supaya dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.


Aku berhenti membaca lagi. Aku kembali ke halaman pertama, tempat nama pemilik buku harian itu tertera.


Valeriana Voliery


Kini jelaslah semuanya bagiku. Ini memang buku harian Valeriana.

*

Aku memeriksa isi kotak itu lagi. Mungkin ada barang lain milik Valeriana yang bisa menjadi petunjuk bagiku. Aku mengeluarkan seluruh isi kotak itu dengan penuh rasa
penasaran, juga desakan aneh untuk segera menolong Valeriana beristirahat dengan
tenang. Kenapa ada dorongan semacam itu, aku tidak tahu. Tapi ada sesuatu yang
mengganjal di hatiku bila aku tidak menolong Valeriana.

Tidak ada. Hanya ada buku harian dan kunci itu, juga beberapa lembar foto yang agak
usang, dan beberapa lembar surat cinta dari Henry untuk Valeriana. Aku mendengus.
Apa benar-benar tidak ada petunjuk lagi?

Kini aku mulai mengamati kotak itu. Bagian dasarnya tebal… setidaknya lebih tebal
dari bagian atas atau dinding kotak itu.

Aku mulai berpikir. Apakah mungkin ada sesuatu yang penting disembunyikan di dalam
kayu penutup kotak ini?

Dengan segera aku menyelidiki kotak itu, mencari entah mekanisme pengunci atau kait
untuk membuka bagian bawahnya atau apalah…

Dan dengan rasa tak percaya, aku menemukannya.

Tuas itu kecil, nyaris tak terlihat, berada di dalam lekukan kayu yang menutupi dari
pandangan, tapi mataku tetap bisa menangkap bentuk tuas itu. Dengan cepat dan
hati-hati aku menarik tuas itu, dan, begitu saja, bagian dasar kotak itu terangkat
dan menunjukkan ruang kecil di dalam bagian kayunya yang tak terlihat.

Ada kilatan keperakan di situ.

Aku mengernyitkan dahi, menelengkan kepala. Kebingungan. Penasaran. Apa itu?

Dengan cepat aku mengulurkan tangan untuk mengambil benda berkilau itu.

Seuntai kalung. Seuntai kalung emas putih, untaian panjang dan halus, begitu indah.
Aku terperangah melihatnya. Dengan ujung tergantung di udara, kalung itu tampak amat
indah. Aku mulai mengamati liontinnya.

Liontin itu sederhana, tapi mengundang. Tampak cantik dan manis walau tak tampak
benar-benar istimewa. Aku tak tahu apa yang membuatku merasa mendadak sayang pada
liontin itu. Liontin itu tampak seperti tetesan air mata, bulat, polos, nyaris tanpa
hiasan. Hiasan yang ada di situ hanyalah sebutir berlian imitasi berwarna pink
keunguan, tapi entah bagaimana aku bisa menyadari kalau liontin ini sendiri terbuat
dari perak. Gagasan itu terbetik begitu saja dalam kepalaku, entah apa pemicunya.

Tersenyum, merasa jatuh cinta pada liontin itu, aku mengenakannya tanpa ragu. Aku
yakin Elise tak tahu kalau kotak itu ada di sini. Kalau tahu, kenapa dibiarkan
begitu saja? Pasti diambilnya kalau dia memang tahu.

Aku melangkah ringan keluar kamar, liontin itu membentur dadaku saat aku melangkah.
Aneh… rasanya aku merasa pernah mengenakan kalung dengan liontin seperti ini. Tapi
tidak, tidak pernah. Bermimpi mengenakan kalung seperti ini saja belum pernah. Tapi
kenapa aku merasa familier dengan benturan pelannya, kilau perak indahnya yang
tampak begitu selaras dengan langkah kakiku? Ini aneh.

*

“Kau yakin tidak mau ikut?”

Aku tersenyum memandang Feline, mengangguk.

“Okelah kalau begitu…”

Feline, Elise dan beberapa teman mau pergi ke danau dekat rumah ini, mesin ini,
bermain air sampai mereka puas. Sebelum Elise meinggalkan Machine House itu, aku
menarik lengannya lembut dan bertanya.

“Elise… ayahmu embeli rumah ini dari siapa?” tanyaku. Kalau sampai ada buku harian
Valeriana di sini, pasti ayah Elise membelinya dari seseorang yang berhubungan
dengan Valeriana, bahkan mungkin hubungan erat. Famili, atau teman dekat mungkin.

“Dari seorang laki-laki berambut merah…”

“Bukan agennya. Pemilik sebelumnya.”

“Ya ini si pemilik sebelumnya itu. Rambutnya pirang panjang, menutup punggung. Dia
kurus dan sehat, matanya berwarna biru.”

“Namanya?”

“Uhm, sebentar. Namanya agak sulit diingat…”

“Tapi bisakah kau mengingatnya?”

“Ya ini aku sedang berusaha mengingatnya… Namanya… sebentar, siapa ya? Ver…
Verminion Voliery? Ya, benar. Verminion Voliery.”

Dugaanku tepat. Kurasa ini sanak saudara Valeriana. Nama keluarganyanya sama: Voliery.

*

Aku berdiri melamun, menatap lekat bunga mawar di dalam vas itu. Rasanya ada sesuatu dalam ingatanku yang menggelitikiku… Sesuatu yang berhubungan dengan mawar. Wangi mawar yang memenuhi hidungku hampir membuatku teringat apa itu…

Saat itu juga terjadi lagi.

Dunia terbalik, aku terjungkir. Perutku serasa diaduk-aduk, mataku berkunang-kunang, pandanganku berputar. Aku terjatuh…

Tapi tidak menghantam lantai. Ada yang menyangga tubuhku.

Aku membuka mataku perlahan. Lalu mendongak, menatap seraut wajah yang memandangku dalam tatap sarat kecemasan.

Tristan.

“Kau pucat sekali. Kau harus duduk. Hati-hati, kau bisa pingsan.”

Ia membantuku duduk di sofa.

“Kau tidak apa?”

Aku mengangguk. “Kukira kau ikut Elise ke danau.”

Tristan tersenyum. “Aku punya pengalaman buruk dengan air, dan sebisa mungkin aku ingin menghindari air di sini.”

Aku mengangguk. Trauma. Mungkin dulu Tristan pernah tenggelam, atau diterkam ikan raksasa… Tunggu. Sejak kapan khayalanku jadi melayang sejauh ini?

“Aku punya lagu yang mungkin bisa membuatmu merasa lebih tenang.”

Tristan duduk bersila di lantai, kepala disandarkan ke lengan sofa tempatku duduk, sementara aku duduk diam memperhatikan Tristan. Ia merogoh kantong dan mengeluarkan handphonenya dari situ. Ia memutar lagu…

Melodi manis memenuhi udara. Aku tersenyum, menikmati lagu itu. Endless Love… Lagu ini romantis sekali. Ini termasuk salah satu lagu favoritku.

Kata-kata dalam lagu itu meresap dalam kepalaku. Aku ikut menyenandungkan melodinya, tapi akhirnya tak tahan untuk tidak menyanyikannya pelan.

“My love, there’s only you in my life, the only thing that’s bright. My first love, you’re every breath that I take, you’re every step I make. And I want to share all my love with you, no one else will do…”

Tristan ikut menyanyi pelan, dua suara bertindihan dengan dua suara lain. Yang satu dari handphone Tristan, yang satu dari kerongkonganku dan Tristan.

“And your eyes, your eyes, your eyes, they tell me how much you care, oh yes, you will always be my endless love…”

Aku berhenti menyanyi, diam tak bergerak, memejamkan mata, menikmati lagu itu. Tristan juga berhenti menyanyi, entah karena alasan apa.

Tiba-tiba sebuah bayangan, entah dari mana, menyeruak masuk, terbentuk dalam benakku.

Sebuah paviliun kecil beratap lengkung tanpa dinding pembatas antara paviliun dengan semak mawar di tengah taman mawar. Lantainya terbentuk dari ratusan, mungkin ribuan, keramik yang disusun menjadi mozaik, dengan samar menggambarkan pangeran dan putri yang berdansa di paviliun kecil beratap lengkung di tengah taman mawar. Warna atap lengkung itu sulit didefinisikan, sebab atapnya terbentuk dari mozaik jutaan potongan kaca, tercampur dalam warna-warna tak beraturan yang saling tumpang tindih di bawah pancaran cahaya perak bulan purnama. Di paviliun itu ada dua orang… seorang gadis muda berambut pirang panjang kecoklatan dan seorang pemuda berambut coklat gelap. Si pemuda mengulurkan tangan, menggandeng si gadis, lalu pemuda itu merangkul pinggang si gadis. Samar terdengar melodi Endless Love yang lain, jauh di dalam kepalaku, dan kulihat kedua orang itu kini mulai berdansa diiringi lagu itu…

“Felice…”

Bayangan itu memudar. Aku membuka mata, lagu Endless Love dari handphoneTristan sudah berakhir. Aku menoleh, memandang Tristan yang menatapku lekat.

“Ada apa?” tanyaku pelan. Tadi itu benar-benar mengejutkan… aku mengingat kenangan yang bahkan aku tidak ingat pernah alami, di tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, dalam mimpi sekalipun.

Itu tadi jelas bukan kenanganku, jelas bukan milikku. Tapi kalau bukan… lalu milik siapa?

Tristan memandangiku, lalu tersenyum manis. Ia menyangga dagu dengan lengannya yang kini beralih fungsi menjadi bantal, menyandarkannya dengan santai di bantalan tangan sofa. Ia berbisik pelan, tapi cukup keras untuk didengar.

“Kau tahu lagu Endless Love adalah lagu yang diputarkan Henry bagi Valeriana saat ia melamarnya di malam bulan purnama, di paviliun kecil beratap kaca lengkung dikelilingi taman mawar?”

Aku mengernyitkan dahi. “Benarkah? Valeriana…”

Kata-kataku berhenti di tengah jalan. Kenapa Tristan bisa tahu soal Valeriana?

“Kau… bagaimana…”

Tristan tersenyum. “Sama seperti Valeriana sudah menjadi bagian dari hidupmu, Henry juga sudah menjadi bagian dari hidupku.”

“Tapi…”

“Dalam dirimu ada jiwa Valeriana yang bereinkarnasi, pada diriku ada jiwa Henry yang bereinkarnasi. Percayakah kau pada semua itu?”



CHAPTER 5

Feline kembali saat aku masih bersama Tristan, melihat kami berdua mengobrol dengan asyik. Aku sedang menanyai Tristan tentang masalah jiwa yang bereinkarnasi ini, dan
Tristan sedang menjelaskan semua itu.

Tepat saat Feline hendak menyambarku pergi, Tristan menatap kakakku itu tajam dan berkata, “Feline juga tahu soal ini. Malah, dia terlibat. Benar, kan?”

Aku ternganga kaget. Feline, kakakku, terlibat? Berarti dia tahu semua masalah ini?

Feline memandang Tristan geram. “Sudah kubilang aku akan menjelaskan semuanya
padanya kalau sudah sampai pada waktunya.”

Tristan mengangkat sebelah alis. “Kapan? Kau berjanji seperti itu pada Verm, tapi
sampai sekarang anak ini masih buta sama sekali tentang masalah ini.”

“Aku akan menjelaskan, tapi tidak sekarang.”

“Lalu kapan? Besok? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Kau berjanji sejak tiga
bulan yang lalu, tepat sejak kau bilang dia mulai terkena serangan itu. Tapi sampai
sekarang?”

Aku mulai merasa kesal. Mereka membicarakanku seakan aku tidak ada di antara mereka.
Dengan kesal aku berkata, “Kalau tidak ada yang mau menjelaskan masalah ini padaku,
kurasa sebaiknya aku pergi supaya tidak mengganggu pertengkaran dua sejoli ini.”

Serempak, Feline dan Tristan berteriak, “Kami bukan sejoli!”

Aku memutar bola mata. “Kurasa kekompakan kalian ini justru menjelaskan sebaliknya.”

Lagi-lagi keduanya berseru dengan kompak, “Aku tidak sudi jadi kekasihnya!” Lalu,
lagi-lagi dengan kekompakan yang sama, keduanya mengetok kepala mereka, tiga kali,
dalam gerakan seirama. Aku memutar bola mata lagi. Kekompakan mereka berdua ini
mulai terasa seperti kekompakan anak kembar. Dan mereka masih menyangkal kalau
mereka tidak terlihat seperti sepasang kekasih? Dude.

“Kalau kalian tidak mau kuklaim sebagai kekasih, bisakah kalian menjelaskan padaku
semua ini? Serangan pusing, rasa mual yang sering melandaku, mimpi-mimpi anehku
tentang Valeriana, hubungan Machine House ini dengan semua ini, Valeriana, Henry,
sanak keluarga Valeriana, Verminion Voliery, semuanya?”

Feline menggeleng-gelengkan kepala. “Kadang kau benar-benar seperti bandit, Felice.”

“Jangan mengalihkan! Cepat jelaskan!” bentakku kesal.

“Valeriana dan Henry adalah dua roh yang terjebak di dunia ini karena cinta mereka
yang tidak bisa bersatu. Roh mereka terjebak, tapi jiwa mereka bereinkarnasi ke dua
tubuh. Satu tubuh menjadi wadah bagi jiwa Henry, dan itu tubuhku. Dan jiwa
Valeriana… yah, tidak bisa dibilang dua tubuh, sebenarnya. Tiga. Sebagian jiwa
Valeriana, ingatan Valeriana, kenangan, kemampuan Valeriana untuk merasuki tubuh si
wadah jiwanya, merasuk ke dalam tubuh Felice. Sedangkan sebagian jiwanya yang lain,
mimpi-mimpi dan ide-idenya, merasuk pada Feline. Karena itulah aku bilang dia
terlibat,” jelas Tristan.

“Tapi bagian terpentingnya, yaitu bakatnya untuk mewujudkan keinginan orang lain,
merasuk padamu, Felice,” kata Feline. “Tidak padaku. Kalau aku bilang aku ingin
mendapatkan cincin berlian, kau bisa langsung menciptakan benda itu dari udara
kosong. Itulah yang membuat kau diincar.”

Aku mengernyitkan dahi. “Diincar? Tapi…”

“Gadis-gadis yang memepetmu di tembok dulu setelah aku mentraktirmu. Mereka salah
satunya.”

“Tapi…”

“Dengar, Felice. Kau harus belajar dari Trist bagaimana cara mengendalikan kekuatan
itu, sebelum kau benar-benar teraancam bahaya,” kata Feline, wajahnya dipenuhi binar
keseriusan.

Aku menelengkan kepala heran. “Tapi… kenapa?”

“Karena bakat itu akan menguat seiring berjalannya waktu,” jelas Tristan, “Dan kau
harus tahu kalau itulah alasan mengapa Valeriana mati dan Henry bunuh diri
karenanya.”

“Henry bunuh diri?!”

“Ya. jangan tanya itu sekarang. Kau harus cepat berlatih agar kau bisa mengendalikan kemampuanmu, atau kau mungkin akan berakhir seperti Valeriana.”

“Tapi… Valeriana mati karena kecelakaan…”

“Yang disengaja. Ia dibunuh dengan kecelakaan itu, dengan sengaja, dan Henry dipaksa membantu pembunuhan itu. Karena itulah Henry bunuh diri; ia merasa ikut ambil bagian dalam kematian kekasihnya.”

“Tapi…”

“Menurut sajalah, Felice. Atau mungkin ada pembunuhan lain lagi di sini.”

Tak punya pilihan, aku mengangguk.

*

Dua bulan kemudian…

“Sekarang kita coba, Felice. Kerahkan kekuatanmu.”

Aku mengangguk, menarik nafas dalam-dalam, bersiap-siap. Tristan dan Feline tersenyum geli melihatku seperti itu, lalu saat penentuan ini dimulai.

“Berikan padaku handphoneku yang kuletakkan di meja kamarku.”

Aku memejamkan mata, berkonsentrasi.

Klotak!

Aku membuka mata. Tristan memungut handphone yang kini tergeletak di lantai itu. Ia tersenyum. “Sempurna. Kau lulus.”

Aku memejamkan mata lagi, menarik nafas lega. Sudah tiga kali aku menjalani tes
seperti ini dan baru di percobaan ketiga aku lulus. Selain itu, aku tidak mau
menderita lagi. Tristan bisa menjadi guru yang amat galak kalau dia mau.

“Sekarang, berhubung masalah kekuatan ini sudah selesai, aku ingin membahas soal
Valeriana dan Henry lagi.”

Tristan membeku, Feline tersandung.

Tanpa mempedulikan reaksi mereka, aku bertanya, “Bagaimana caranya agar Valeriana
dan Henry bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang? Kenapa sampai sekarang aku
masih sering terkena serangan pusing dan mual itu?”

“Serangan pusing dan mual itu terjadi karena tubuhmu tidak mau menyerahkan diri pada
roh Valeriana saat dia merasukimu. Wajar. Aku sendiri juga sering begitu kalau Henry
merasukiku,” jelas Tristan.

“Dan bagaimana caranya supaya mereka bisa bebas dari dunia ini?”

Feline mendesah. “Kau benar-benar bandit, Felice…”

“Bagaimana?”

“Jiwa mereka yang bereinkarnasi harus disatukan.”

Aku menepuk dahi. Aduh. “Aku dan Tristan atau Feline dan Tristan?”

Tristan tersenyum. “Kemungkinan besar kau dan aku karena bagian terkuat jiwa
Valeriana ada padamu.”

“Sudah kuduga…”

*

At Verminion’s Sight

Verminion memandang ketiga orang itu melalui bola kristalnya. Tristan Kresna,
reinkarnasi jiwa Henry. Felicita Anindita dan Felinita Laksmita, dua pecahan jiwa
Valeriana yang bereinkarnasi.

Verminion mengertakkan gigi. Pecahan jiwa adiknya yang bereinkarnasi.

*

Aku menelusuri ingatanku lagi. Mungkin ada bagian ingatan Valeriana lain yang bisa kutelusuri.

Ah… sayang sekali, tidak ada. Atau mungkin belum. Aku tidak bisa, belum bisa, mengingat hal lain selain paviliun mungil beratap kubah mozaik kaca itu. Tapi tak apalah… paviliun itu indah sekali. Aku ingin mengunjunginya kapan-kapan. Tapi di mana? Kapan? Aku tidak mengenal tempat itu. Di mana?

Tiba-tiba muncul wajah Tristan di depan wajahku, tersenyum. Aku terlonjak mundur karena kaget. Ini di sekolah, dan dia dengan santainya muncul begitu saja di depanku.

“Ada apa?” bisikku pelan. “Cepatlah, sebelum mantan-mantanmu menerkamku seperti macan kelaparan.”

Tristan terkekeh geli. “Itu bukan aku, itu Henry. Dia mencari jiwa Valeriana yang bereinkarnasi dengan cara itu. Cerdik, tapi beresiko.”

“Oh, sudahlah! Cepat jelaskan, mau apa?”

Tristan memasang raut wajah terluka. “Feline benar, kadang kau benar-benar seperti bandit. Ini, lihat.”

Trist menyodorkan handphonenya, yang di situ terpampang SMS yang pasti akan langsung dibaca orang, kecuali orang buta huruf.

‘Hai kau pewaris jiwa yang berkeliaran, waspadalah. Kau akan menghilang dari dunia, tak akan ada lagi yang melihatmu.
‘Saat bunga terjatuh, kabut menyelubungimu.
‘Saat jepit kautemukan, kabut mencekikmu.
‘Saat si gadis menemukan ingatannya, kabut melemparmu.
‘Saat si gadis mencarimu, kau menghilang di dalam kabut.’

“Kau pernah mendapat SMS seperti itu?” tanya Tristan, mengambil kembali handphonenya.

Aku mengernyitkan dahi. Isi SMS yang diterima Tristan mengerikan sekali. “Belum. Kau yakin itu bukan pekerjaan orang iseng?”

“Kurasa bukan. Kalau Cuma orang iseng, pasti isinya tidak segelap ini,” kata Tristan, menelengkan kepala.

“Benar juga.”

“Kabut… mengerikan. ‘Kabut menyelubungi’, ‘kabut mencekik’, ‘kabut melempar’, ‘hilang dalam kabut’. Tidakkah itu mengerikan?”

Aku mengangguk. “Memang mengerikan. Feline tahu soal ini?”

“Tahu, tapi dia bilang lebih baik aku bertanya padamu. Dia bilang kau lebih baik darinya dalam masalah sastra.”

Aku tertawa.

*

At Verminion’s Sight

Sudah terkirim. Pesan itu sudah terkirim. Degan begini permainan itu bisa dimulai.

Lagi.

*

Bu Nora sang guru musik memandangku dengan sorot mata putus asa. “Ayolah, Felice… berusahalah! Kau harus menyanyikan solo!”

Aku batuk. “Tidak bisa… tenggorokanku sakit.”

Bu Nora tampak terluka. “Untung saja ada pengganti… bagaimana kau bisa sakit di saat seperti ini?”

Aku menyeringai. Jangan tanya padaku, Bu, tanyalah Valeriana! Dia mengeksploitasi tubuhku lagi, dan jangan salahkan aku karena itu!

*

Tristan mengernyitkan dahi dengan heran.

“Kenapa?” tanyaFeline heran.

”Aneh,” kata Tristan, “siapa orang yang begitu kurang kerjaan sampai mengirimkan SMS yang isinya sama kepada satu orang, sampai empat kali?”

Aku langsung waspada. “SMS yang isinya tentang kabut itu?”

“Iya.”

“Sini pinjam sebentar.”

Aku menghitung kata kabut di situ. Empat, seperti dugaanku. Kurasa isi SMS ini serius…

“Tristan, berhati-hatilah,” kataku, “Kurasa pengirim pesan ini serius tentang masalah ini. Ia mengirimkan pesan itu sebanyak kata kabut di dalam pesan itu. Dan ada empat. Menurut info yang kudengar, empat itu angka sial. Angka kematian.”

Tristan mengernyitkan dahi. "Mungkin."

Saat itu juga, jepit rambutku yang berbentuk bunga terjatuh. Tepat saat jepit rambut itu menyentuh lantai, tubuh Tristan limbung.

“Trist…?”

“Aku tidak apa-apa…” gumam Tristan sambil menegakkan tubuh. “Hanya saja tiba-tiba pandanganku berkabut, dan aku agak pusing karenanya.”

Tanganku berhenti di udara, aku membeku dalam posisi membungkuk.

Pesan itu bukan sembarang pesan… Itu kutukan. Dan sekarang, bagian pertamanya sudah dimulai.



CHAPTER 6

Aku merenung di kamarku, berpikir. Kutukan bagian pertama sudah terjadi. ‘Kabut menyelubungi’… memang sudah menyelubungi pandangan Tristan. Berarti tinggal tunggu waktu saja sampai kutukan bagian kedua, ketiga dan keempat terjadi.

Aku mendesah. Kadang aku menyesal aku sudah terlahir sebagai reinkarnasi pecahan jiwa Valeriana.

*

Aku bermimpi lagi… Valeriana. Aku tidak bermimpi melihatnya merangkak-rangkak seperti biasa, tapi aku bermimpi ia duduk di salah satu bangku kafe, dekat dengan lokasi ia kecelakaan, membujuk seorang gadis berambut merah untuk memberikan jepit rambut yang digunakannya kepada Valeriana. Yah, memang jepit rambut yang sama. Tulip perak dua kuntum, saling membelit. Bahkan aku yakin itu memang jepit Valeriana. Tapi kenapa bisa dipakai gadis itu?

*

Aku diam menatap ke depan. Tristan mengeluh kalau beberapa hari belakangan ini pandangannya sering tampak berkabut. Ia sudah menerima pendapatku kalau pesan yang diterimanya itu adalah kutukan. Sebab memang isinya sesuai. Setidaknya yang pertama.

Aku berpikir keras. Kutukan itu jelas tidak bisa dihindari, kecuali kami bisa
menemukan si pengutuk. Tapi itu jelas mustahil. Sebab nomor siapa itupun tidak ada
di handphone Tristan. Nomornya tidak bisa dilacak karena sepertinya si pengirim
langsung menonaktifkan handphone yang digunakannya untuk mengirim pesan singkat
berisi kutukan itu setelah pesan itu terkirim. Bahkan mungkin membuang nomor itu.
Sial. Ruwet sekali permasalahannya.

Aku mendesah. Kabut… kenapa si pengirim pesan menggunakan kabut untuk kutukan itu?
Apakah dia ingin menimbulkan kesan menyesatkan seperti kabut? ‘Kabut menyelubungi’,
itu sudah terjadi. ‘Kabut mencekik’, itu lumayan gawat. Tapi sepertinya si pengirim
pesan tidak ingin membunuh Tristan lewat kutukan bagian itu. ‘Kabut melempar’,
bagian ini agak sulit dipahami. Ataukah pemeran ‘kabut’ kali ini adalah manusia? Dan
juga pemeran ‘kabut’ sebelumnya, ‘kabut mencekik’? Mungkin. Bagaimanapun itu memang
kemungkinan paling kuat. Dan yang terakhir…

‘Hilang dalam kabut’.

Ini yang paling mengerikan. Mungkin karena aku pecahan jiwa Valeriana dan Tristan
adalah jiwa Henry, bagaimanapun pasti ada perasaan dari situ, tapi tetap saja… Apa
kau rela kalau temanmu ada yang hilang dalam kabut karena kutukan? Sepertinya
kutukan di sini, ‘kabut’ ini bisa diartikan secara harfiah.

Kabut. Tanpa kutukan itu menjadikanku korban sekalipun sekarang rasanya pikiranku
sudah berkabut. Aku tersesat, menemui jalan buntu. Tidak bisa menemui jalan keluar
dari masalah ini. Masalah kutukan jahanam ini.

*

Kutukan Tristan. Itu memenuhi kepalaku selama berhari-hari. Aku sering kesulitan tidur karena memikirkannya. Apalagi sepertinya aku dan Feline juga terlibat dalam kutukan itu. Bukan sebagai si terkutuk, melainkan sebagai perantara berhasilnya kutukan itu. Kutukan pertama, ‘saat bunga terjatuh, kabut menyelubungimu’, itu terjadi setelah jepit rambutku yang berbentuk bunga terjatuh dari rambutku. Lalu
bagaimana dengan yang setelah-setelahnya? Bisa-bisa aku malah membunuh Tristan…

Stop! Singkirkan pikiran itu dari kepalamu, Felice! Sadar! Tidak mungkin kau membunuh Tristan, kau tahu itu!

“Lice…”

Aku menoleh. Feline tersenyum gembira. “Aku tahu di mana jepit rambut Valeriana! Ayo, kita ambil sekarang!”

Aku tertawa senang. “Ya, ayo! Perlukah kita mengajak Tristan?”

Feline menelengkan kepala. “Ya, ajak saja.”

*

At Tristan’s Sight

Tristan memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos tak ternoda. Ia memikirkan bagaimana cara mematahkan kutukan ini. Ia tahu kalau kutukan itu bisa dihilangkan kalau si pengutuk dibunuhnya, tapi itu sama sekali bukan solusi.
Kalaupun dia cukup kejam untuk membunuh orang itupun, dia tak tahu siapa
pengutuknya. Mana bisa?

Suara bel memecah keheningan ruangan. Tristan mendesah dan melangkah, membukakan
pitu bagi tamu itu. Ia merasa kaget saat mendapati Felice dan Feline menunggu di
depan pintunya. Sesaat ia mengira mereka berdua anak kembar… rambut panjang yang
sama, mata yang sama, bahkan kali ini mereka mengenakan pakaian yang sama. Jaket
kelabu, celana jeans panjang. Hanya kaos di balik jaket itu yang berbeda. Gaya
rambut mereka hari inipun sama, rambut terurai lepas dengan jepit rambut tanpa
hiasan yang menjepit poni mereka yang agak kepanjangan ke atas sehingga tidak
menganggu mata. Dengan penampilan mereka yang seperti ini, Tristan merasa ia hanya
bisa membedakan mereka dari tinggi badan mereka.

“Tristan!” seru Felice (setidaknya Tristan merasa itu Felice) dengan wajah berbinar
gembira. “Feline sudah menemukannya! Jepit rambut Valeriana! Kita bisa mengambilnya
sekarang!”

“Walaupun harus kuingatkan, ini agak sulit,” kata Feline dengan wajah serius.
“Kurasa orang yang membawa jepit rambut Valeriana sekarang merasa kalau jepit itu
benar-benar miliknya. Perlu usaha ekstra untuk mengambilnya kembali.”

“Kurasa kalian pasti bisa mengambilnya,” kata Tristan cepat. “Aku ganti baju dulu,
sebentar. Aku tidak mungkin pergi keluar rumah dengan kaos dekil lusuh seperti ini.
Tunggu sebentar. Kalian perlu tumpangan?”

“Sudah pasti.”

“Kalau begitu sekalian aku keluarkan mobil ayahku. Tunggu.”

*

Kafe. Ramai penuh pengunjung. Aroma semerbak kopi, teh, hot chocolate, iced chocolate, susu, vanila, stroberi dan segala macam yang bisa dijadikan minuman memenuhi udara, menabrak hidungku dengan ganas hingga aku sempat bersin beberapa kali. Aku heran bagaimana pengunjung di sini bisa tahan dengan semua ini. Mungkin mereka sudah terbiasa. Atau mungkin hidungku jauh lebih peka? Teman-temanku selalu bilang kalau hidungku sangat peka… tapi pendengaranku agak buruk, hahaha. Feline malah kebalikanku. Telinganya peka sekali, tapi penciumannya agak buruk. Kadang hubungan ini membuat kami terbahak bersamaan.

“Itu,” kata Feline, menunjuk. Aku mengikuti arah tunjukannya.

Seorang gadis berambut merah, usianya kurang lebih sama dengan kami berdua. Mungkin
malah lebih muda. Feline benar, sepertinya gadis itu menganggap jepit rambut
Valeriana adalah miliknya. Caranya mengelus jepit itu, caranya memasang kembali
jepit itu, caranya mengagumi diri di cermin, menatap bayangan dirinya yang
mengenakan jepit rambut itu. Ia tersenyum dengan bangga, santai menyisir rambutnya
yang pendek. Ia meraba jepit itu di rambutnya dan tersenyum, tak diragukan lagi
menganggap dirinya amat cantik mengenakan jepit rambut itu. Jepit rambut Valeriana,
jepit rambutku. Aku mendengus jijik dan marah melihatnya memperlakukan jepit itu
sebagai barang penghias kepala, bukan benda berharga yang sepatutnya dijaga. Aku
merasa marah. Seharusnya itu menkadi tanda sayang Henry untuk Valeriana, dan
sekarang malah menjadi barang tanpa harga yang bertengger di kepala gadis bodoh
berambut merah.

Dengan marah, aku berjalan ke arah gadis yang masih mematut diri di cermin kecilnya
itu, hendak melabraknya, tapi Feline menarikku masuk ke sedan Tristan lagi. Tristan
tampaknya juga kesal memandang gadis itu, tapi tidak berkata apa-apa.

“Jangan bergerak begitu saja. Kita butuh strategi yang tepat,” kata Feline di
telingaku, tak diragukan ia juga jijik dengan kelakuan gadis berambut merah itu,
terlihat dari kerutan samar di dahinya. “Aku punya rencana.”

“Yang harus hanya dilakukan kalian berdua,” kata Tristan dari bangku pengemudi.

“Kenapa?”

“Aku menolak terlibat. Aku merasa agak gelisah, entah kenapa. Dan kalau aku gelisah,
biasanya aku agak kesulitan berpikir jernih.”

“Oh, baiklah.”

Aku punya firasat samar kalau kegelisahan Tristan ada hubungannya dengan kutukan
yang didapatnya dulu, tapi aku tak mengatakan apa-apa.

“Jadi, Feline,” kataku, “Apa rencanamu?”

*

Aku berjalan ke arah gadis itu saat ia mengangkat tangan untuk meneguk tehnya. Dengan ketidaksengajaan yang disengaja, aku terpeleset dan menubruk gadis itu, sehingga tehnya membasahi pakaiannya.

“Maaf!” kataku dengan kekagetan yang dibuat-buat.

“Tidak apa,” kata gadis itu walau jelas sebetulnya itu apa-apa.

“Maaf. Kau tidak apa-apa? Ini, saputangan. Bersihkan pakaianmu dengan ini,” kataku,
mengulurkan selembar saputangan pada gadis itu. Aku duduk di kursi di depannya.
Gadis itu hanya sendirian. Aku meringis melihat ketidaksengajaanku yang dibuat-buat
itu ternyata lumayan fatal. Rambut merah gadis itu yang dipotong seleher tampak agak
basah dan lengket, pakaiannya yang berwarna biru pucat terlihat basah menyedihkan.
Gadis itu cepat-cepat membersihkan pakaiannya.

“Aku Felice,” kataku saat gadis itu mengembalikan saputanganku.

“Aku Crystal,” kata gadis itu sambil tersenyum berterima kasih.

“Itu apa di kepalamu?” tanyaku polos sambil menunjuk jepit rambut perakku di
kepalanya.

“Oh, ini?” tanya Crystal, melepaskan tulip berpilin perak itu dari kepalanya. “Jepit
rambut. Bagus, ya?”

“Boleh kulihat?”

Crystal mengangguk dan memberikan jepit itu padaku. Aku memeriksa jepit itu.

Rasa dingin menenangkan menelusuri jemariku saat aku menyentuh jepit itu. Rasa
dingin familier itu menjalari tanganku. Suatu kenangan bangkit daalam kepalaku…

“Ini untukmu, Valeriana.”

“Oh, benarkah, Henry? Ini bagus sekali…”

“Akan amat serasi denganmu, Valeriana. Kenakanlah. Ini untukmu.”

Valeriana mengenakan jepit rambut itu. “Baguskah?”

“Sangat,” kata Henry, tersenyum lembut dan aku terperanjat menyadari kalau senyumnya
itu amat mirip dengan senyum Tristan.

“Valeriana, selama ini aku menyukaimu… selalu. Maukah…”

“Maukah apa?”

“Cinta…”

Valeriana memeluk Henry, rambut pirang kecoklatannya yang panjang agak mengikal berkibar. “Tentu saja, Henry…”

“Felice?”

Lamunanku buyar, aku ditarik kembali ke dunia nyata.

Aku tersenyum pada Crystal. Senyum yang dengan sengaja kubuat terlihat agak ragu.
Rencana Feline harus tetap berjalan. “Crystal… di mana kau mendapat jepit ini?”

Crystal tersenyum samar. “Di sini.”

“Di… sini?”

“Beberapa tahun yang lalu ada kecelakaan di sini. Entah dari mana, jepit ini
melayang dan mendarat langsung di pangkuanku. Aku menganggap pasti ada orang yang
melemparkannya padaku dan aku merasa sepertinya dengan sengaja. aku mencoba mencari
pemiliknya, tapi tidak ketemu. Karena jepit ini bagus sekali, jadi kuputuskan akulah
pemiliknya sekarang.”

Aku merasakan kemarahan mengisi dadaku. Pemilik sah jepit ini adalah aku, bukan
Crystal! Sebab akulah renkarnasi dari jiwa Valeriana! Mungkin aku dan Feline, tapi
tetap saja… Crystal mengklaim jepitku miliknya di depanku langsung!

Aku mulai menjalankan taktik Feline. Kubiarkan air mata kemarahan menggenangi
mataku, tetapi bersikap seakan itu air mata kesedihan. Crystal, kebingungan,
menatapku. “Felice? Kenapa menangis?”

*

Taktik Feline berjalan lancar. Setelah Feline menggabungkan diri di kancah pertempuran, akhirnya aku bisa mengambil kembali jepit rambut Valeriana dari Crystal.

Aku dan Feline berjalan kembali ke sedan Tristan, dan terperanjat.

Tristan dicekik!

*

At Tristan’s Sight

Tristan tersenyum saat melihat strategi Feline berhasil. Lumayan pintar dan meminimalisir kebohongan. Felice harus berpura-pura menjadi gadis pirang yang dulu mengalami kecelakaan dan ingin jepitnya kembali sambil menangis tersedu dan Feline, berperan sebagai kakaknya, menekan gadis berambut merah itu sampai akhirnya gadis itu mau memberikan jepit rambutnya kembali. Cerdas. Efektif. Tapi agak repot.

Tristan menoleh ke arah jalan saat si gadis berambut merah itu memberikan jepit rambut Valeriana ke tangannya. Tepat saat itu Tristan mendengar suara. Parau.
Mengerikan. Memikat sekaligus menakutkan. Dengan waswas Tristan menyadari kalau
suara itu berasal dari…

Bangku belakang sedannya.

Ia menoleh dengan cepat dan terperanjat. Seseorang dengan baju putih keruh seperti kabut membawa tambang kasar. Ia tersenyum pada Tristan, dan berkata, “Jiwa yang bereinkarnasi. Seperti kutukan itu, kau tahu, aku akan mencekikmu.”

Dan sebelum Tristan sempat bersuara, orang itu menyentakknya hingga ia kembali menghadap roda kemudi dan sebelum Tristan dapat memekik ia melilitkan tambang di tangannya di leher Tristan. Mencekiknya kuat-kuat.

*

“TRISTAN!!!”

Jeritanku mungkin agak kurang keras. Orang yang mencekik Tristan dengan tambang itu tak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali ia mencekik Tristan makin kuat. Wajah Tristan memucat, bibirnya memutih. Matanya terpejam erat, menunjukkan kesakitan yang amat sangat.

“Lepaskan aku…” bisik Tristan parau. Ia mencakar tambang di lehernya dengan lemah, dengan sia-sia.

Aku tak mampu menahandiri lagi, begitu juga dengan Feline. Serempak aku dan Feline berlari ke arah orang itu, jepit rambut tulip perak tersimpan aman di kantong celana.
Orang itu menceracau dengan suara parau saat aku memukulinya dengan ganas, sementara Feline mencakari tangannya supaya ia melepaskan tambangnya. Setelah beberapa saat, akhirnya orang itu berontak dan berlari pergi. Tambangnya dilepaskan begitu saja walau sebelum pergi ia sempat menarik tambang itu kuat-kuar sampai Tristan meraung kesakitan.

“Yah! Kok kabur, sih?!” seru Feline dengan kesal. Sepertinya dia masih ingin
menghajar orang itu.

Aku mendekat Tristan dan melepas tambang dari lehernya. Tristan terbatuk.

“Kutukan kedua sudah terjadi,” bisiknya parau sebelum kepalanya terkulai, kehilangan kesadaran.

Aku tersentak. Aku teringat baris kedua kutukan itu.

‘Saat jepit kautemukan, kabut mencekikmu.’

Orang itu tadi memang mengenakan pakaian putih kabut! Tristan benar…

Kutukan kedua sudah terlaksana.



CHAPTER 7

Rasa sakit. Rasa takut. Rasa marah. Emosi-emosi negatif, sebut saja semuanya. Itulah yang paling cocok untuk menggambarkan perasaan Tristan sekarang. Aku tak perlu repot-repot berempati, itu terlihat dari ekspresinya.

Aku tak mau repot-repot mengajaknya bicara. Dia tampaknya siap membakar kota kalau diberi obor dan minyak. Cukup satu gedung paling berpengaruh dan yang cukup besar sehingga api menjalar kemana-mana tanpa sempat dipadamkan sehingga bisa menjalar ke sekelilingnya… dan setidaknya seperempat kota bisa terbakar. Yah, mungkin seperdelapan. Tapi tetap saja, kerugian yang didapat pasti besar.

Otot di pelipis Tristan berkedut. Rasa marah pada pengutuknya, kurasa. Kadang kalau
orang sedang marah, ia bisa sangat menyeramkan. Tak terkecuali Tristan.

Marah pada si pengutuk. Yah, kalau aku ada di posisi Tristan. Tapi apa amarahnya itu
harus disalurkan pada orang tak bersalah sepertiku dan Feline? Bahkan tadi Feline
sempat saling bentak dengan Tristan sebelum akhirnya aku menjerit frustasi. Ributnya
mereka itu keterlaluan sekali. Aku yang pecinta ketenangan jelas tidak tahan.

*

“Felice!”

Aku menoleh memandang Venny dan Derry. Aku memutar bola mata. Derry itu apa tidak
punya teman cowok, ya? Mainnya sama cewek terus. Jangan-jangan kalau didandani dia
malah kelihatan lebih cantik dari anak gadis biasa.

“Apa?”

“Ini.”

Venny menyodorkan selembar kertas. Aku menerimanya dan membacanya dengan seksama.
Isinya tentang retret yang akan diikuti anak-anak kelas 10.

“Kenapa?”

“Baca saja sampai selesai,” kata Derry, berkedip genit. Aku meringis jijik. Hiyekh!
Kalau dia kira dia imut dengan berkedip seperti itu, dia salah besar! Yang benar,
memuakkan dan memualkan! Tapi aku ikuti juga perintahnya. Aku membaca lagi dengan
seksama.

Aku melongo pada bagian terakhir.

‘Berikut adalah panitia yang ikut retret untuk menjaga ketertiban siswa-siswi kelas 10: Felinita Laksmita, Robert Dika, Rista Handayani, Tristan Kresna, Topan Andromeda, Elisabeth Padmadewi, Hanita Aresta,…’

“Kalian mau memberitahuku kalau Tristan juga ikut, begitu maksudnya?” tanyaku, mengembalikan lembaran kertas itu pada Derry.

“Iya.”

“Yah, mau memberitahu kalau Feline ikut juga.”

Aku memutar bola mataku, lagi. Kenapa rasanya aku dan Feline selalu terikat? Rasanya
susah sekali melepaskan diri darinya barang sehari saja.

“Lalu, kami ke sini juga mau mengingatkanmu…”

Aku langsung menatap mereka waspada. “Soal apa?”

Derry tersenyum jahil. Hati-hati kalau mau pacaran di sana. Nanti kalau ketahuan
guru bisa repot!”

Tanpa buang waktu aku langsung menjitak kepalanya yang berambut lebat agak
kepanjangan itu.

“Kalau bilang aneh-aneh lagi aku suruh operasi ganti kelamin beneran mau?!” seruku
kesal.

“Tidak usah! Aku kan memang perempuan!”

Aku dan Venny melongo mendengar jawaban Derry, lalu serempak tawa kami bertiga pecah berderai-derai.

*

Suara Pak Satya si guru tua tukang tidur itu membosankan sekali. Sebagai guru PKN, ia amat berbakat membuat murid-muridnya tertidur di kelas. Kalau begini sih aku lebih memilih dengan Pak Asril. Walaupun ia termasuk jajaran guru killer, tapi setidaknya dia tidak pernah membiarkan muridnya tidur di kelas. Caranya mudah, menanyai mereka yang terlihat malas dengan disertai tatap tajam bagai elang pemangsa. Tapi sesekali ia membuatnya jadi terlihat seperti game. Walau dia guru killer, sebenarnya kalau semua atribut killer itu dilepas darinya ia akan terlihat seperti guru biasa.

Aku menutup mulut saat menguap. Membosankan sekali. Pak Satya memandang berkeliling.
Matanya menangkap segerombolan anak perempuan di belakangku yang asyik mengobrol dalam bisikan. Ia menanyai mereka dan aku tertawa dalam hati. Rasakan, siapa suruh ngobrol terus? pikirku kejam.

Tapi terus terang aku sendiri juga kesulitan memusatkan konsentrasi pada penjelasan Pak Satya yang kelewat ‘memabukkan’ itu. Terlalu, ini sih benar-benar undangan untuk tidur mendengkur di kelas! pikirku kesal. Aku memandang buku catatanku yang
bertuliskan huruf acak-acakan. Hebat. Sejak kapan tulisanku jadi kacau begini? Aku
mendengarkan penjelasan Pak Satya lagi sambil berusaha merapikan catatanku.

Tapi tetap saja itu sulit. Aku malah teringat paviliun kecil beratap kubah mozaik kaca di tengah kerimbunan taman mawar yang menjadi tempat Henry melamar Valeriana.

Aku mengambil pensil. Aku menghadirkan bayangan paviliun itu. Menelengkan kepala, berpikir, mengingat-ingat tiap detailnya, setiap potongan dan pecahan mozaiknya, atapnya, lantainya, setiap kelopak mawarnya, setiap helai daun semak mawarnya.

Pelan, aku menggoreskan pensil. Kutuangkan ingatan tentang paviliun itu ke atas kertas halaman belakang buku catatanku. Kulukis tiap pecahan mozaiknya, kulukis tiap
guratannya, kulukis tiap goresannya. Aku mengingat-ingat gambar mozaik keramik
lantainya, pangeran dan putri yang berdansa di paviliun beratap kubah kecil di
tengah taman mawar. Tak lupa kulukiskan tiap bunga mawarnya, tiap helai kelopak
bunga dan daunnya, tiap duri kecilnya. Juga suasana malam itu, bulan purnama. Tak
lupa kulukis juga siluet dua orang yang berdansa di paviliun itu…

“Gambar yang bagus, tapi ini kelas PKN, bukan kelas seni rupa.”

Suara serak Pak Satya membuatku terlonjak karena kaget. Aku menoleh.

“Ini pelajaran PKN, bukan seni rupa. Silakan simpan pensil itu.”

Aku menuruti perintah Pak Satya. Kumasukkan pensilku ke tempat pensil milikku, dan
buku catatan kukembalikan ke halaman yang menampakkan tulisan acak-acakanku. Pak
Satya mengangguk, lalu ia melangkah ke depan kelas.

*

Tempat retretku ada di pegunungan. Dingin. Tapi sangat sesuai untuk retret. Suasana damai di sana membuatku merasa nyaman. Walaupun hawanya dingin, tapi kami toh akan banyak beraktivitas. Jadi dingin sedikit tak apalah. Justru lebih baik. Dari pada kepanasan?

“Bergabung dengan kelompok masing-masing!” suara Miss Lana sang guru bahasa Inggris
menembus benakku, membuyarkan lamunan. Dengan segera aku berkumpul dengan Venny,
Elise, Derry dan Ronald.

“Terus terang sampai sekarang aku menyesal, kenapa aku bisa dikepung perempuan
seperti ini…” kata Ronald dengan raut wajah mengejek. Jelas incarannya adalah Derry.

“Ih! Bilang saja begini, Ron, ‘Aku bahagia karena bisa sekelompok dengan perempuan secantik Derrysa!’” balas Derry sinis. Ejekan sekaligus panggilannya di kelas memang Derrysa. Nama perempuan. Dia memang seperti perempuan, sih.

Ronald langsung memasang tampang jijik. “Memangnya siapa yang mau memujimu cantik? Kalau wajah Elise, Venny dan Felice memang manis, tapi kalau wajahmu lebih pantas dikatakan sebagai wajah janda tua beranak dua yang kesepian! Catatan, yang kumaksud janda tua ini adalah janda tua buruk rupa yang keriput! Dan kalau dalam kasusmu, Rysa, itu berarti ditambah dengan kebiasaan berbicara sembarangan!”

Tawaku, Elise dan Venny pecah seketika. Derry merengut, tak mampu membalas. Kartu As sudah dikeluarkan, ia tak bisa mengelak lagi. Sebab memang semua orang menyebutnya seperti itu, bahkan ada yang dengan santainya memanggilnya Janda!

“Kelompok yang di sana! Jangan tertawa terus, sekarang masuk, bawa barang-barang
kalian, ambil kamar kalian!”

“Siap Miss Lana!”

*

Aku memejamkan mata, kembali mencoba melatih kemampuan Valeriana. Aku sedang di kamar mandi sekarang, jelas tidak akan ada yang melihatku menggunakan kemampuan itu.

Berhasil. Aku berhasil mengambil tisu di seberang ruangan hanya dengan memikirkannya. Semakin lama ini terasa semakin mudah. Tapi aku tahu kalau aku harus berhati-hati agar tidak mengungkap rahasia kekuatanku ini pada teman-temanku begitu saja.

Aku keluar dari kamar mandi. Di kamar yang memang kugunakan bertiga dengan Elise dan Venny ini aku menemukan mereka sedang tertawa terbahak-bahak. Entahlah, mungkin membicarakan Janda Tua Derrysa lagi. Aku tidak ingin menanyakan itu. Aku menyisir rambutku lembut.

Aku menjepit rambutku dengan jepit rambut Valeriana. Aku merasakan sensasi nyaman familier mengaliri nadiku. Ini memang jepit Valeriana, jepitku.

Suara ketukan di pintu membuat Elise bangkit dan membukakan pintu. Feline berdiri di sana.

“Ada apa?” tanyaku sambil berjalan mendekati Feline.

“Sini. Kita perlu bicara.”

*

“Tidakkah kau merasa cemas?”

Aku mengerutkan kening. “Cemas pada apa?”

“Ini! Tempat ini! Kutukan Tristan! Ini di gunung, kalau di subuh atau sore pasti tempat ini berselimut kabut! Tidakkah kau memikirkannya?”

Aku tercenung. “Benar. Kenapa aku baru kepikiran sekarang?”

Feline memutar bola matanya. “Sejak kapan otakmu jadi tumpul begini?”

Aku tidak menanggapi. Bel tanda kegiatan dimulai sudah berbunyi.

*

Aku mengerutkan kening. Taman ini… aku kenal taman ini. Aku pernah ke sini. Tempat ini bukan tempat biasa. Pasti ada sesuatu…

Aku memejamkan mata. Ingatan Valeriana berkelebat di dalam benakku.

Ini dia.

Taman ini adalah tempat di mana Valeriana dan Henry bertemu pertama kali. Di malam hari juga, seperti saat ini. Karena itulah aku merasa familier dengan taman ini.
Lalu… patung di tengah taman itu…

Aku juga kenal. Aku kenal semua ini. Aku kenal gedung retret ini. Aku kenal
lingkungan tempat gedung retret ini berada. Aku pernah berada di sini. Semua ingatan
Valeriana dapat kuingat kalau aku mejelajahi tempat ini.

Aku melirik jam. Masih waktu bebas sebelum tidur.

Dengan cepat aku bangkit berdiri, lalu melangkah keluar kamar.

“Felice! Mau ke mana?” seru Elise dan Venny saat aku hendak menutup pintu.

“Keluar, jalan-jalan sebentar. Cari angin.”

*

Aku kenal gereja di kejauhan itu. Aku kenal pepohonan rimbun berkesan angker itu.
Aku kenal kolam aneh itu. Aku kenal semuanya.

Aku mengerutkan kening, berusaha menggali ingatan Valeriana, saat kudengar suara
langkah kaki di dekatku. Aku menoleh.

“Kenapa masih di luar?” tanya Tristan, berdiri di sampingku.

“Mau cari angin. Di dalam sesak.”

Tristan mengangguk-angguk paham. “Biar kutemani. Jadi kalau ada apa-apa kau bisa
beralasan aku memaksamu ikut aku ke luar.”

Aku mendengus. “Kau tahu aku tak akan menjerumuskan teman, Trist.”

Tristan tersenyum, tidak mengatakan apa-apa lagi.

Aku kembali menatap tempat itu. Aku kenal semua ini. Aku tahu itu.

Aku memejamkan mata, menggali ingatan Valeriana. Aku tak menyadari saat kabut mulai
turun menutupi tempat itu. Aku tak mendengar gigil panik Tristan.

Semua ingatan Valeriana berkelebat dalam kepalaku tanpa mampu kuhentikan. Aku telah
menemukan ingatanku yang terpendam.

Suara teriakan parau Tristan menyadarkanku.

Aku mengikuti arah pandang mata Tristan yang tampak ketakutan. Aku terperanjat.

Laki-laki berbaju putih kabut!

Ia tampak samar di balik tebalnya kabut di sekitarnya. Walaupun itu dapat dimaklumi
karena memang pakaiannya berwarna putih kabut. Dan ia sendirian.

“Gadis itu telah menemukan ingatannya, Nak,” geram laki-laki itu parau. “kau tahu
apa artinya itu.”

Tristan memucat. “Apa… yang mau kaulakukan?”

Laki-laki itu tertawa parau. “Apa yang disebutkan dalam kutukan itu?”

Tristan menarikku dan berlari kencang ke dalam gedung retret. Dan dengan segera,
laki-laki berbaju putih kabut itu mengejar kami.

*

Terjepit! Hanya itu yang bisa kukatakan.

Aku dan tristan sudah lari sampai ke atap gedung. Tidak bisa lari lagi karena kalau
mau lari hanya ada satu tempat untuk kabur: ke kematian. Terjun bebas ke bawah, dan
itu jelas sama sekali bukan pilihan. Lagipula, orang yang mau bunuh diri itu cuma
orang bodoh gila tak berotak yang sudah amat putus asa dan memilih mengakhiri hidup
saja. Dan aku dan Tristan jelas tidak termasuk golongan orang-orang itu. Bodoh,
mungkin iya. Putus asa? Mungkin iya, tapi tidak separah itu untuk mendorong kami
mengakhiri hidup bersama seperti Romeo dan Juliet.

“Mau lari ke mana lagi, kalian?” tanya orang itu parau. Aku merasa heran, kenapa dia
terlihat santai sekali?

“Tidak ke mana-mana. Aku tahu kami sudah terjepit.” Aku memandang Tristan meminta
persetujuan. Ia mengangguk, tapi wajahnya pucat pasi.

Orang itu terbahak. “Gadis pintar.”

“Tidak sepintar itu,” kataku murung. “Kalau aku memang pintar aku pasti tidak
akan lari ke sini.”

Orang itu menyeringai. Matanya tak terlihat, tapi aku tahu kalau sekarang pasti matanya berkilat berbahaya.

“Sekarang, minggir. Urusanku hanya dengan bocah itu.”

Tanpa mampu melawan, aku ditarik pergi. Aku dihempaskan ke dekat pintu, tapi aku
masih bisa melawan. Aku bangkit berdiri dan mencekal tangan orang itu…

Dan dengan sia-sia aku dihempaskan kembali ke pintu. Kali ini dengan keras. Aku
merintih kesakitan.

Laki-laki itu menyerang Tristan, Tristan menghindar dengan cepat. Tristan sama
sekali tak berusaha untuk menyerang. Atau mungkin ia menunggu si lelaki berbaju putih kabut itu kelelahan dulu, baru menyerang.

Tapi tak bisa. Laki-laki itu terlalu kuat. Dia menyerang Tristan, terus-menerus
mengincar kakinya, atau perutnya. Aku tak mampu bergerak karena ketakutan.

Semenit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Bermenit-menit pertarungan tak imbang
itu berlangsung, karena jelas si lelaki berbaju kabut itu jauh lebih kuat dari
Tristan. Hanya sebentar saja Tristan sudah kewalahan.

Akhirnya, serangan lelaki itu mengenai Tristan, tepat di perutnya. Tristan terbatuk,
darah meluncur dari bibirnya. Tristan terjatuh.

Si lelaki berpakaian kabut itu menyeringai dan mengangkat Tristan, melemparnya ke
bawah…

Ke kabut di bawah. Terjun bebas di udara.

Spontan aku menjerit keras-keras. “TRISTAN!!!!!”

Si lelaki berpakaian kabut itu menyeringai, lalu melompat, terjun bebas menyusul
Tristan di bawah. Aku membeku ketakutan. Selamatkan Tristan?

Aku tersadar bagai ditampar. Mana mungkin selamat! Dia jatuh dari atap gedung
berlantai tiga, kalau selamatpun minimal tulangnya retak atau bahkan patah! Aku
segera berdiri dan berlari turun ke arah halaman tempat Tristan tadi dilempar.

Aku menoleh ke kanan-kiri, mencari Tristan. “Tristan!” panggilku, berbisik tapi
cukup keras untuk didengar.

“Tristan! Di mana kau?”

Aku merasa sepertinya aku tak akan menemukan Tristan… tapi kenapa?

Tiba-tiba aku tersadar.

‘Saat si gadis menemukan ingatannya, kabut melemparmu.’

‘Saat si gadis mencarimu, kau menghilang di tengah kabut.’

Menghilang di tengah kabut.

Aku menggigil. Tidak… tapi inilah kenyataannya…

Kutukan itu telah terjadi, semuanya, secara lengkap.

Tristan sudah hilang di dalam kabut.

*

At Verminion’s Sight

Verminion tersenyum puas. Akhirnya permainan ronde pertama itu berakhir.

Dengan kemenangan di tangannya.

Verminion berbalik dan menatap sangkar es di hadapannya dengan senyum puas sekaligus
jahat tersungging di bibirnya. Di dalam sangkar es itu ada tubuh seorang pemuda yang
tergolek diam, terlelap, tak sadarkan diri. Tristan. Bibir pemuda itu membiru karena
dinginnya es yang menjadi kurungannya, begitu pula ujung-ujung jemarinya. Wajahnya
tak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan ekspresinya terlihat cenderung nyaman, tapi
Verminion tahu, jauh dalam lubuk hati pemuda itu, dia merasa marah dan terpojok.

Tanpa sadar, Verminion tertawa puas. Dengan begini, kemampuan itu akan bisa segera dimilikinya…



CHAPTER 8

“APA?!”

Tanpa sadar aku mulai terisak. Ini salahku, benar-benar salahku. Aku yang menyebabkan Tristan hilang. Kalau saja aku tidak pergi dan menggali ingatanku, mungkin sekarang aku dan Feline masih bisa tertawa bersama Tristan. Aku bodoh…

Tatapan Feline melunak. “Felice… maaf aku membentakmu, tapi kau yakin kau benar?”

Aku menjerit frustasi. “Feline!!! Aku sudah berlari kalang kabut mencarinya dan kau
pikir aku masih salah?!” seruku, tak dapat menahan diri. “Kalau kau ada di posisiku,
apa yang akan kaulakukan?! Aku sudah setengah mati mencarinya, berkeliling taman
persis orang gila, dan kaupikir aku masih salah juga?!”

Feline tampak kebingungan menghadapi tingkahku yang seperti anak kecil ngambek. Ia menekap mulutku. “Lice! Tenang! Bukan begitu maksudku! Saat itu kau sedang berada dalam keadaan tertekan, kau pasti…”

Aku melolong dengan suara menyanyat hati, makin frustasi. “FELINE! Kau mau aku bunuh
diri dulu, baru kau bisa mempercayaiku?! Aku benar-benar kebingungan saat
mencarinya, itu benar, tapi aku sudah mencarinya berkeliling taman, bolak-balik tak
tentu arah selama satu jam lebih! Dan kau pikir aku masih tidak bisa menemukannya?!”

Feline tampak terperanjat. “Ya, kau benar,” bisiknya lirih. “Seharusnya aku tidak boleh meragukanmu.”

“Kau tidak marah karena aku mengingat semua ingatan Valeriana?” tanyaku agak tak
percaya.

Feline tersenyum lemah. “Sekalipun aku ingin, aku tidak bisa. Cepat atau lambat kau
pasti akan mengingatnya dan kutukan Tristan akan terlaksana. Hanya saja aku tidak
menyangka kalau akan terjadi secepat ini.”

Tangisku terpecah. Aku tak mampu menahan diri lagi.

“Eh! Felice, jangan menangis lagi! Aku kan tidak mau memarahimu!”

*

“Siapa kira-kira yang bisa mengutuk Tristan?”

Pertanyaan Feline mengguncangku. Bahuku mulai bergetar. Aku masih belum bisa
menerima kenyataan kalau Tristan benar-benar sudah lenyap dalam kabut kutukan.

“Huss, jangan menangis lagi! Ingatan Valeriana dalam dirimu sudah bangkit dan aku
tahu pasti ada seseorang yang cukup kuat dan cukup kejam untuk itu.”

Menyadari kebenaran kata-kata Feline, aku mulai menyusuri labirin ingatan Valeriana.
Siapa kira-kira yang cukup kuat dan kejam untuk itu?

Sebuah nama terbentuk dalam kepalaku dan aku membelalakkan mata tak percaya. Tidak
mungkin dia… tidak mungkin dia!

“Siapa?”

Aku menyusuri ingatan Valeriana lagi. Pasti ada kesalahan! Pasti ada orang lain yang
cukup kuat! Tak mungkin dia! Walaupun Valeriana sudah melihat sendiri kekuatannya,
tapi tetap saja tak mungkin dia!

Tapi memang tak ada calon menjanjikan lagi selain dia… Walau begitu aku tak bisa
percaya! Mana mungkin dia? Tapi benar-benar tidak ada lagi orang lain yang mungkin
melakukannya!

“Felice?”

Aku menelan ludah. “Verminion Voliery. Kakak dari Valeriana Voliery sendiri.”

*

At Tristan’s Sight

Tristan membuka mata dengan pelan. Rasa dingin itulah yang sudah membangunkannya.
Rasa dingin mengerikan yang menggigit hingga ke dalam tulang, rasa dingin yang
begitu dingin hingga terasa nyaris seperti membakar. Entah sudah berapa lama ia
pingsan, ia tak tahu. Mungkin hanya sebentar, mungkin sudah lama. Entahlah.

Tristan bangkit dari posisi berbaringnya, duduk tenang dengan rasa bingung. Ingatan tentang kejadian di hari sebelumnya mulai membajiri kepalanya. Sensasi mengerikan saat ia terjatuh di udara, jeritan ketakutan Felice, si lelaki berbaju kabut, rasa
sakit di sekujur tubuhnya saat ia masih melayang di udara, tepat sebelum ia
menghantam tanah… rasa sakit apa itu? Apa karena kutukan itu, yang menyatakan ia
akan hilang dalam kabut?

Kutukan.

Matanya melebar ketakutan. Kutukan itu… semua sudah terlaksana. Lalu dimana dia
sekarang?

Tristan memeriksa sekelilingnya dan menyaradi kalau ia dikurung dalam semacam
sangkar burung raksasa berbentuk silinder, terbuat dari es. Mulai dari jeruji hingga
lantai maupun langit-langitnya terbuat dari es padat yang berpendar kebiruan.

Tristan menggigil. Ini terlalu dingin untuknya. Ia tak kuat menahan dingin yang
menusuknya tanpa ampun itu. Ia menguapi tangannya, jemarinya, berusaha menghilangkan kebekuan dari ujung jemarinya yang membiru, tapi sia-sia. Kebekuan itu tetap tak bisa dihilangkan.

Aku harus keluar dari sini, pikir Tristan yang mulai panik, tak peduli bagaimana
caranya, aku harus secepatnya keluar dari sangkar ini sebelum aku menjadi ikan beku!

Ia segera berdiri dengan susah payah karena tubuhnya terasa kaku dan dingin, lalu
menyentuh jeruji es itu.

Ia berteriak kesakitan. Jeruji itu menyetrumnya. Ada aliran listrik di situ, entah
dari mana. Jeruji itu berdinar biru terang saat tangannya menyentuhnya, dan Tristan
merasakan rasa dingin mengerikan kembali menjalari tubuhnya.

Tristan menarik tangannya. Ia tahu ia tak akan bisa keluar tanpa persetujuan si
pengurungnya. Atau mungkin si pengutuknya.

Dengan cepat ia berbalik, mencari titik lemah sangkar itu. Tapi ia tak menemukan
apa-apa selain fakta bahwa ia tak mungkin bisa keluar. Jerujinya dialiri listrik,
langit-langitnya walau tipis tapi terlalu tinggi bahkan untuk disentuh saat ia
melompat setinggi mungkin, dan lapisan es di bawah kakinya terlalu tebal untuk
diremukkan tanpa alat bantu.

“Keluarkan aku,” bisik Tristan, tak mampu berteriak karena kedinginan. Ia menggigil
lagi. Terlalu dingin. Giginya bergemeletuk karena kedinginan.

“Tristan. Sudah sadar kau rupanya. Jiwa Henry kini telah ada di tanganku.”

Tristan menoleh dengan waswas, masih gemetaran kedinginan. Ia membelalakkan mata
kaget dan menggigil makin hebat, bukan hanya karena hawa dingin itu, tapi juga
karena ketakutan.

“Verminion…” bisiknya di sela gigilannya.

*

Feline memekik tak percaya. “VERMINION?!”

Aku mengangguk lemas. “Tak kutemukan kandidat yang lebih meyakinkan.”

Feline menggeleng. “Tak mungkin dia.”

“Aku juga berpikir begitu, tapi kalau menurut ingatan Valeriana, tak ada yang lebih mungkin dari dia!”

“Tidak mungkin dia! Mana mungkin, kalau aku dan Tristan saja sudah bekerja untuknya
sekian lama!”

Aku membeku, terperangah. “Tunggu… kau bilang ‘bekerja’?”

Feline menekap mulutnya sendiri. “Tidak… maksudku…”

Aku menarik tangannya lepas dari mulutnya. “Katakan padaku. Apa maksudmu? Rahasia
apa lagi yang kau dan Tristan sembunyikan dariku? ‘Bekerja’? Jelaskan padaku,
Feline, jelaskan! Aku ingin tahu semuanya!”

Feline menggeleng. “Tidak. Tidak pent..”

“Penting!” potongku tajam. “Jangan banyak omong, cepat jelaskan saja padaku!”

Feline mendesah. “Dasar bandit.”

Setelah itu mengalirlah cerita itu dari mulutnya.

*

At Tristan’s Sight

“Kenapa?” gigil Tristan dengan tak percaya. “Kenapa kau mengutukku? Aku sudah bekerja untukmu cukup lama!”

Verminion tertawa kejam. “Lama untukmu, nak. Sebentar untukku.”

“Jelaskan, kenapa kau mengutukku?”

Verminion menyeringai buas. “Kemampuan Valeriana selalu kudambakan. Kau adalah umpan
bagiku.”

Tristan memeluk diri sendiri, menggigil lagi. Ia menggosok-gosokkan telapak
tangannya dengan lengannya, berusaha menciptakan kehangatan, tapi percuma. Nafasnya
berubah menjadi uap di udara. “Kenapa kau menginginkan kekuatan Valeriana? Kekuatan
sihirmu ini sudah cukup kuat, bukan?”

“Tidak cukup kuat untuk tujuanku.”

Tristan menoleh, menggigil lagi. “Tujuan?”

“Untuk memotong putus rantai reinkarnasi yang mengikat Valeriana dan Henry supaya
mereka bisa beristirahat dengan tenang.”

Tristan menelengkan kepala. “Bukankah rantai reinkarnasi itu bisa diputus bila cinta
mereka bersatu?”

Verminion tertawa. “Justru itu masalahnya. Aku ingin memotong putus rantai
reinkarnasi itu tanpa melibatkan mereka berdua dalam hubungan cinta.”

“Kenapa?”

“Tak akan kuberitahu. Tidak sekarang.”

Tristan gemetaran makin hebat. “Aku tidak akan memaksamu menjelaskan lebih lanjut,
tapi bisakah kau lepaskan aku dari kurungan es ini? Ini terlalu dingin untukku. Aku
butuh kehangatan.”

Verminion tertawa lagi. “Sayangnya kalau itu permintaanmu, jawabannya adalah tidak.”

“Tolonglah. Aku bisa mati beku di sini.”

Verminion mengangkat tangan dan berucap, “Daripada kau berisik minta dibebaskan,
lebih baik kau tidur siang di sana dulu.”

Kelopak mata Tristan terasa berat. Kantuk mulai menguasainya. Sekuat tenaga Tristan
berusaha melawan, tapi percuma. Kantuk tetap menggerogoti kesadarannya, dan akhirnya
ia terjatuh dalam tidur lelap tanpa mimpi.

Samar didengarnya Verminion tertawa puas.

*

Aku terhenyak. “Kenapa dia mencari jiwa Valeriana?”

“Kalau itu aku tak tahu. Tapi karena ternyata pecahan jiwa Valeriana adalah aku dan
kamu, dia menginginkanmu juga. Saat aku mendengarnya, aku melawan. Aku kan pecahan
Valeriana juga. Tapi Verm bilang dia hanya ingin kamu. Entah kenapa. Mungkin karena
kemampuan Valeriana ada pada dirimu.”

Aku menutup wajah dengan tangan, menggelengkan kepala berulang-ulang. “Aku bingung
dengan jalan pikiran orang-orang ambisius sepertinya…”

“Percayalah, dia bukan hanya sekedar ambisius. Dia bisa menyihir.”

Aku mengerang. “Kalau begitu kenapa masih menginginkanku juga?! Menginginkan
kemampuan Valeriana?!”

Feline menggelengkan kepala. “Entahlah.”

*

“Di mana kira-kira tempat Verminion menyekap Tristan?”

“Eh?”

“Feline, kau tahu persis apa maksudku. Di mana tempat yang paling mungkin digunakan
Verminion untuk menyekap Tristan? Tak mungkin ia membunuhnya, aku tahu itu.”

Feline berpikir sejenak.

Ia mengangguk. “Ya. Aku tahu di mana. Kita ke sana sekarang juga.”



CHAPTER 9

Aku memandang gedung tinggi menjulang di depanku. Entah bagaimana aku bisa merasakan
keberadaan Tristan di dalam sana. Aku tak tahu, mungkin ini karena hubungan batin
antara Valeriana dan Henary yang kuat. Mungkin saat jiwa mereka bereinkarnasi
menjadi Tristan, Feline dan aku, hubungan itu tetap ada karena begitu kuatnya mereka.

“Di sini,” kataku yakin. “Di sini. Aku yakin dia di sini.”

“Begitu juga denganku,” kata Feline, kilat keseriusan muncul di matanya.

“Ayo.”

Kami berdua berjalan mendekati pintu. Terkunci.

“Tidak bisa masuk,” kata Feline, kemuraman menyelimuti wajahnya.

“Belum tentu.”

Feline memandangku dengan tatap penuh tanda tanya.

Aku tersenyum kecil. “Kau lupa dengan kemampuan Valeriana, kemampuanku?”

Aku menjebol pintu itu, nyaris tanpa berusaha dan sama sekali tanpa suara. Dengan
santai aku mendorong pintu itu dengan ujung jariku, dan pintu itu ambruk ke depan
seperti pohon tumbang. Feline ternganga.

“Kenapa?”

Feline mengatupkan mulutnya. “Aku tidak menyangka kau sudah sekuat itu. Dulu saja
untuk mengambil benda yang jaraknya dekat denganmu kau perlu usaha ekstra. Sekarang
kekuatanmu sudah meningkat.”

Aku tertawa kecil. “Aku kan latihan juga.” Aku berpaling ke pintu itu. “Ayo.”

*

“Trist!”

Kurungan es. Sangkar burung raksasa dari es. Jerujinya berpendar kebiruan. Langit-
langitnya begitu tinggi namun tipis, sedangkan lantainya begitu tebal. Entahlah,
kurasa sekitar dua puluh sentimeter. Itu sudah cukup tebal.

Tristan dikurung dalam kurungan es itu.

Mungkin ia dikurung tanpa sadar. Ia berbaring miring, bibirnya membiru, jemarinya
membeku. Matanya terpejam rapat dan ekspresinya datar. Entah pingsan, entah tidur,
tak jelas.

Aku mencoba menyadarkannya dengan kekuatan Valeriana, tapi tidak bisa. Kerangkeng
itu pasti dilapisi sihir. Verminion itu penyihir, bukan?

Aku menyentuh jerujinya. Aku memekik. Jemariku serasa dialiri listrik.

“Felice dan Feline… akhirnya setelah aku lama menunggu, kalian datang.”

Aku menoleh. Wajah itu… suara itu… tak salah lagi. Dia mantan kakakku dan Feline,
Verminion Voliery. Si penyihir yang entah karena alasan apa membenci adiknya
sendiri, Valeriana Voliery.

“Ada apa, Felice? Kau tidak mengenali kakakmu sendiri?”

Aku menelengkan kepala. “Bagaimana mungkin aku tidak mengenali orang yang sudah
membunuhku dulu?”

Feline memandangku kaget. “Apa?!”

“Dialah yang telah membunuh Valeriana dulu, lewat kecelakaan yang disengaja. Lewat
ketidaksengajaan yang disengajanya.”

Mataku berkilat penuh amarah. Kenangan Valeriana membanjiri benakku. “Kenapa dulu
kau membunuh Valeriana? Dia adikmu sendiri. Dia menyayangimu. Dia selalu
menyayangimu. Kenapa kau membencinya? Bukan salahnya kalau dia punya kemampuan itu.”

Verminion menatapku tajam. “Aku selalu membencinya sejak dia mulai mengeluarkan
kemampuan itu.”

Tristan dari dalam sangkarnya mengeluarkan suara seperti mengeluh.

Aku menoleh, mengawasi Tristan. Verminion memandang Tristan tajam dan Tristan
kembali terlelap seperti anak kucing yang baru diberi susu.

Aku memandang Verminion tak percaya. “Kau menyihirnya tidur?!”

Verm tersenyum buas, seperti hewan liar. “Dan kakakmu Feline juga.”

Di sampingku, Feline tiba-tiba terjatuh, tubuhnya meluruh selemas kain. Ia terjatuh
dan tanpa harus berpikir dua kali aku tahu kalau dia juga disihir tidur.

“Feline!”

Percuma. Dia tetap tergolek lemas tak sadarkan diri.

Aku mendesis marah. “Sadarkan mereka berdua.”

Verm terbahak penuh kekejaman. “Kau pikir aku sebodoh itu? Tidak, ini urusan kita
beruda. Hanya kita. Mereka tak terlibat.”

Aku mengeluh sedih. “Memangnya apa urusanmu itu? Aku tidak merasa kita ada urusan
seperti itu. Apa ada hubungannya dengan kemampuanku, kemampuan Valeriana?”

Verm menatapku dengan tajam. “Kau baru saja mengatakannya dan kau masih bertanya-
tanya? Kadang cara pikir orang membuatku heran.”

Aku mendesah. “Kalau kau berharap cara pikir semua orang sepertimu, itu tak akan
terjadi. Lagipula kalau semua orang sepertimu, dunia ini akan kiamat seratus tahun
lebih cepat.”

Verm tertawa lagi. “Tak perlu bicara soal itu. Sekarang, berikan kemampuan Valeriana
padaku.”

“Untuk apa?”

“Untuk memotong putus rantai reinkarnasi Valeriana dan Henry.”

“Satukan saja cinta mereka supaya rantai itu putus.”

“Cinta mereka tidak boleh bersatu.”

Aku mengerutkan kening dengan heran. “Kenapa?”

Wajah Verm mendadak diliputi ekspresi marah. Matanya berkilat berbahaya. “Valeriana.
Dia selalu mengambil apa yang seharusnya milikku. Aku selalu membencinya.”

“Apa maksudmu?”

“Tak sadarkah kau? Sejak dia mengeluarkan kemampuannya, dia selalu mendapat apa yang
diinginkannya. Dia selalu bisa melakukan apapun yang dia mau. Dia selalu mengambil
apa yang seharusnya menjadi milikku.”

Mata Verminion berkilat penuh kemarahan. “Kemampuan itu seharusnya adalah milikku!
Akan kuambil semua miliknya, biar dia merasakan apa yang kurasakan dulu! Akan
kuputus rantai reinkarnasinya dan Henry, tanpa harus menyatukan mereka dalam
hubungan cinta! Biar dia menderita, biar dia tahu apa yang kurasakan dulu!”

Aku mundur selangkah. Orang ini pasti sudah gila. “Tapi dia adikmu! Adikmu sendiri!
Dia tidak mungkin melakukannya secara sengaja! aku sudah menelusuri ingatannya dan
yang kutemukan adalah fakta bahwa ia benar-benar menyayangimu! Tak tahukah kau?”

“Aku tidak tahu, tidak mau tahu, dan yang jelas aku tidak peduli! Aku hanya ingin
kemampuan itu. Kemampuan itu seharusnya milikku! Dia mencurinya dariku!”

Aku mulai merasa kesal sekarang. Valeriana, aku di masa lalu, mencurri kemampuannya
itu?

“Bagaimana kalau Valeriana tidak memilih kemampuan itu?” tanyaku dengan bisikan keras. Kemarahan menggelegak terdengar dari suaraku.

“Apa maksudmu? Dia jelas…”

“Tidak, tidak jelas. Dia tidak memilih kemampuan itu, Verm, sadarilah itu. Dia tidak terlahir dengan memilih untuk menggunakan kemampuan itu, dia tak bisa memilihnya. Seorang anak tidak bisa memilih siapa orangtuanya, siapa keluarganya, di mana ia tinggal, dalam suku bangsa apa, dan dengan kemampuan apa. Dia tak bisa memilihnya, sadarilah itu. Kemampuan itu yang memilihnya, memilihku, bukan kau, bukan Feline, tapi Valeriana, aku. Kemampuan itu telah memilih Valeriana dulu, dan Valeriana hanya bisa menerima, ia tidak bisa menolak. Bagaimana mungkin ia disalahkan bila begitu? Ini bukan salahnya.”

Verminion memandangku tajam, dan aku tahu aku telah memilih langkah yang salah. Ia
makin marah.

Ah, sudahlah. Sudah basah kecipratan, nyebur saja sekalian. Mau bagaimana lagi?
Pancing kemarahannya lebih parah, memang berbahaya. Tapi kalau aku berhenti
sekarang, sama saja aku menunjukkan kalau aku lemah. Dan aku benci, sangat benci
dianggap lemah.

“Katakan padaku, Verm. Apakah kau terlahir setelah memilih siapa orangtuamu? Tidak,
bukan? Kau hanya lahir, hidup. Begitu pula Valeriana. Bukan salahnya kalau dia
terlahir dengan kemampuan itu. Tidak ada yang salah padanya. Kesalahannya hanyalah
bahwa dia terpaksa menerima kemampuan itu sebagai bagian dari hidupnya, titik.”
Verminion memandangku geram. “Katakan padaku, Felicita, siapa kau sampai berani menguliahiku tentang hukum tanpa dasar ini? Aku tidak peduli siapa kau dan siapa Valeriana, siapa Feline, siapa Tristan, siapa Henry. Aku adalah aku dan aku akan mendapatkan kemampuanmu. Hanya itu tujuanku.”

Aku menghela nafas, memandang Feline dan Tristan yang tersihir di dekatku. Mereka
jelas tidak bisa dibangunkan tanpa bantuan Vermninion.

Atau bisa? Sebuah ide mendadak terbersit di kepalaku, terbetik begitu saja. Mungkin
aku bisa membangunkan mereka dengan kemampuanku dan lari dari sini… kalau beruntung,
aku bisa saja tidak tertangkap Verminion. Dan kalau keberuntungan itu tahan lama,
mungkin aku bisa lepas darinya untuk waktu yang lama.

Tidak, tidak bisa. Itu hanya menunda masalah. Cepat atau lambat aku harus berhadapan
dengan Verminion lagi, jelas.

Tapi mungkin bisa untuk waktu yang lama. Itu artinya aku bisa bersiap-siap kalau dia
mau mencoba membunuhku lagi.

Aku menatap sangkar es Tristan dengan tatap serius. Bisakah itu dijebol? Sepertinya
sihir Verm lumayan kuat.

Tapi tak ada salahnya dicoba, bukan?

Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi.

“Apa yang akan kaulakukan?” tanya Verm, suaranya terdengar waspada.

Sangkar es Tristan rusak. Hancur lebur menjadi air yang menciprat ke mana-mana,
membasahi wajah Tristan dan Feline sehingga keduanya langsung tersadar.

“Jangan! Dasar bodoh, kau merusak semuanya!” teriak Verm penuh kemarahan. Ia
menerjang ke arahku. Wajahnya tampak garang sementara tubuhnya yang kurus seperti
ranting itu melompat ke arahku.

Aku memekik ngeri. Aku tak sempat menghindar, aku tahu itu tak akan sempat. Dengan
cepat aku menciptakan perisai pelindung. Verm, menabrak pelindungku, terlontar ke
belakang.

Tristan dan Feline, yang sudah sadar sepenuhnya, menarikku dan berlari secepat
mereka bisa ke arah pintu, kabur secepat mungkin, menyeretku yang masih terbengong-
bengong karena tak menyangka akan diseret sedemikian rupa.




CHAPTER 10

“Kita harus menyatukan Valeriana dan Henry secepatnya, sebelum Verm mengacau lagi.”
Tristan dan Feline memandangku.

Aku memutar bola mata. “Oh, ayolah. Kalau mereka tidak disatukan, rantai reinkarnasi
mereka tak akan terputus dan roda itu akan terus berputar sampai kapanpun. Aku tidak
mau hudup lama-lama. Satukan saja dan rantai itu terputus. Selain itu, Verm juga
tidak akan bisa membalas dendam pada Valeriana, bukan? Kalau dia mengambil kemampuan
itu toh akan menjadi percuma karena memang Valeriana dan Henry sudah bersatu duluan.”

“Entahlah, Felice…” kata Tristan ragu. “Kalau memang cinta mereka harus disatukan,
berarti kita yang kena masalah. Sebab kalau begitu pasti mereka memakai tubuh kita
dan ujung-ujungnya…”

“Apa?” tanyaku heran saat kata-kata Tristan terhenti, wajahnya memerah.

“Cium. Bibir.”

“APA?!” aku membelalakkan mata, memandang Feline tak percaya.

“Memangnya apa lagi? Dari zaman sebelum masehi juga semua masalah-masalah seperti
ini, cinta-cintaan, pasti diselesaikan dengan ciuman, kan? Memangnya Snow White dan
Sleeping Beauty bisa bangun kalau tidak dicium si Pangeran?” tanya Feline dengan
santai. Datar, malah.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu aku pilih tidak…”

“Pilihan bagus, saudaraku. Aku juga pasti tidak akan mau kalau ada di posisimu. Kita
bicarakan yang lebih penting saja.”

“Apa?”

“Verm. Siapa lagi?”

Aku mengerjapkan mata. Kenanganku kembali ke saat di mana aku dan Verm berdebat
tentang masalah kemampuan Valeriana dulu. Mungkin tidak pantas kalau dibilang
berdebat, tapi tetap saja isinya tentang perbedaan pendapat kami.

“Feline?”

Aku berkedip. “Uhm? Apa?”

“Melamun. Ini bukan masalah kecil, kau tahu itu. Kalau dibiarkan bisa saja nyawa
kita melayang karena Verm. Sepertinya dia tidak mau menyerah sebelum berhasil
mengambil kemampuan Valeriana darimu. Dan itu otomatis akan membunuhku, juga aku.”

Aku memandang Feline dengan tatap penuh tanya. “Kenapa bisa? Itu kan kemampuanku?”

“Hello… kau lupa kalau ada sebagian jiwa Valeriana dalam tubuhku?” tanya Feline,
mengetok kepalaku lembut.

Aku meringis. Aku memang lupa.

“Kita tidak bisa kabur terus,” kata Tristan. Rona merah sudah sepenuhnya menghilang
dari wajahnya. “Karena kalau kita hanya kabur, kurasa itu sama saja dengan menunda sekaligus memperbanyak masalah. Verm sudah mulai marah.”

“Tahu dari mana?”

“Lihat jendela.”

Serempak, aku dan Feline menoleh memandang jendela, lalu memekik tak percaya.

“Verm menguasai ilmu necromancy. Dia bisa membangkitkan apa dan siapa yang sudah
mati dari kubur mereka dan membuat mereka terus mematuhi perintahnya.”

Aku memandang Tristan ngeri. “Maksudmu, dia…”

“Necromancer, benar sekali. Seratus untukmu,” kata Tristan sambil berdiri. Ia
melangkah keluar dari ruangan tempatku dan Feline masih berpandangan dengan tak
percaya.

“Kurasa mereka tidak bisa dikalahkan,” kata Tristan dengan nada santai, kepalanya
menyembul dari pintu. “Kecuali oleh Felice. Kalahkan mereka, Felice. Kalau dengan
kekuatanmu pasti bisa. Singkirkan mereka dari sini. Kekuatanmu sangatlah kuat, aku
tahu itu. Kau bisa mencabut nyawa orang dengan kemampuanmu kalau kau mau. Karena itu
aku yakin kau pasti bisa melakukannya.”

Aku memandang zombie-zombie menjijikkan itu dengan pandang ngeri, lalu mencoba
menggunakan kemampuanku seperti usul Tristan.

Dan, rupanya, untung sekali, berhasil. Tumpukan tulang menyebar di mana-mana. Dengan
kemampuanku, aku menyingkirkan semua tulang belulang itu ke dalam ketiadaan.

“Wow…” bisik Feline, takjub.

“Sudah kuduga kau mampu melakukannya,” kata Tristan dengan nada sambil lau, masuk
kembali ke dalam ruangan dengan membawa bantal di tangannya. “Tapi kau pasti lelah
karena menggunakan kemampuanmu seperti itu. Ini, bantal, kalau kau mau tidur.”

*

Aku melamun, memikirkan cara agar bisa lepas sepenuhnya dari Verm. Tapi bagaimana?
Kurasa sulit sekali. Apalagi dia bisa membangkitkan mereka yang sudah mati dari alam
kematian dan memperalat mereka. Tragis sekali nasibku, harus berurusan dengan salah
satu spesies manusia bodoh nan keras kepala seperti dia…

“DOR!!!”

“HUA!”

Aku menoleh dengan jantung berdebar kencang karena kaget, lalu langsung membentak
marah. “CITRA, ICAL! KALIAN MAU AKU SAKIT JANTUNG, APA?!?!”

Ical, nama aslinya Faizal, dan entah kenapa bisa diplesetkan menjadi Ical, terbahak
geli. “Salah sendiri melamun di sekolah. Di kelas pula. Kan aku jadi tidak tahan
untuk tidak menjahilimu.”

“Iya, setuju. Apalagi kau melamunnya serius begitu. Pasti mengundang orang untuk
jahil, mana mungkin tidak?” tanya Citra dengan wajah polos yang dibuat-buat.

“Memangnya kau melamun apa?” tanya Derry, mengusap telinganya yang sudah pasti sakit
karena dekat dengan posisiku saat menjerit menyalahkan Ical dan Citra.

“Ah, aku tahu…” kata Citra, binar jahil muncul di matanya. “Pasti melamunkan
Tristan!”

Aku menjitak kepalanya kesal. “Salah! Buat apa juga aku melamunkan dia?”

“Lho, kalian kan pacaran?” tanya Ical dengan wajah lugu yang jelas dipaksakan di
sela senyum jahilnya.

Giliran kepala Ical yang kena jitakan. “Dapat teori dari mana kalau aku pacaran
dengannya?”

“Kalian dekat sekali, jadi kami menyimpulkan begitu,” Derry menyambar kesempatan
untuk menggodaku. Aku bersandar pada kursiku, mendesah. Kesal juga lama-lama.

“Tidak, kami tidak pacaran. Cuma teman.”

Walaupun memang mungkin hubungan kami terlalu dekat untuk disebut teman, renungku
dalam hati.

“Masa, sih? Kalian dekat sekali, lho,” tanya Elise tak percaya, ikut-ikutan
menggodaku.

Aku membuat tanda silang besar di depan dada dengan lenganku. “Cukup sesi
pertanyaannya! Felice tidak melayani pertanyaan lagi! Miss Derrysa sendiri,
bagaimana? Ups, maaf… maksudku Janda Tua Beranak Dua Derrysa!”

Derry langsung cemberut dengan raut wajah kesal. “Aku ini cowok tulen, tahu!”

“Cewek tulen, kali!”

“Cowok!”

“Oke, cowok. Tapi yang baru habis operasi ganti kelamin. Iya, kan?” goda Ical sambil
tertawa jahil.

“Pasti iya!” tandas Citra dengan bersemangat. “Tampang saja manis begitu. Pasti iya.”

“Kalau yang kaumaksud dengan manis adalah wajah seseorang yang membuat sukses
membuat orang lain ingin muntah, aku setuju denganmu,” kata Elise kalem, disusul
dengan anggukan takzim yang menyatakan persetujuanku. Derry, yang kesal berat,
langsung menggembungkan pipi dan cemberut seperti anak kecil.

Mati kutu dia… Kalau sudah dikeroyok begini, dia tidak akan bisa membalas ejekan
orang.

Tawaku terhenti saat Feline, dari luar kelas, memanggilku. Keningku berkerut rapat,
aku mendekatinya.

“Ada apa? tanyaku saat aku sudah berhadap-hadapan dengannya.

“Entah kenapa rasanya aku gelisah sekali,” jawab Feline, raut wajahnya menegaskan
perkataannya. “Berkali-kali aku mendengar bisikan seperti mantra, tapi tidak ada
siapa-siapa di dekatku yang bisa melakukannya. Dan…” kata-katanya terhenti. Ia
tampak makin gelisah.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Dan… Felice… suara bisikan itu mirip suara Verminion…”

Aku menegang. “Kau serius?”

“Tentu saja ku serius. Lagipula aku tidak pernah meragukan telingaku, kau tahu itu.”

Aku menelengkan kepala, berpikir keras. “Kemungkinan dia melakukan sesuatu memang
tak bisa dicoret, mengingat sifatnya yang menyebakan itu. Tapi kurasa kau tidak
perlu secemas ini, Feline.”

“Kenapa?”

“Yah…” aku mendesah. “Dia memang seperti itu… tapi aku ragu dia berani melakukannya
di tengah orang banyak seperti ini. Kurasa nanti kita harus memikirkan cara agar
bisa lepas darinya.”

“Jangan khawatir, aku sudah memikirkan caranya.”

“EH?! Kenapa tidak bilang?”

“Aku sudah bilang pada Tristan, tapi belum padamu. Dia sendiri setelah kupaksa
sedikit akhirnya mau, tapi aku tahu aku harus memaksamu lebih keras. Butuh kerja
keras, itu jelas. Kau tahu, sulit sekali memkasamu, bukan?”

Aku merasakan firasat buruk. Jangan-jangan rencana Feline ini…

“Jadi, begini. Kupikir idemu dulu itu seharusnya segera dilaksanakan. Cinta
Valeriana dan Henry harus disatukan, berarti kau dan Tristan harus siap menjadi
tumbal.”

Sudah kuduga! Aku ternganga memandang Feline sementara dia nyengir lebar seperti
orang bodoh.

“Tidak!!!” seruku, langsung refleks menolak mentah-mentah. Saat aku menyadari kalau
teman-teman sekelasku, bahkan Rista, yang paling pendiam dan sebodo amat dengan
urusan teman-teman sekelas dan suara-suara ribut, memandangku dengan berbagai
ekspresi: penasaran, kesal, terganggu, bingung, dan lain-lain, aku sadar kalau aku
berteriak terlalu keras. Aku tersenyu minta maaf pada mereka dan menghadapi Feline
lagi.

“Maksudku… aku belum bisa berhadapan dengannya langsung! Kau gila? Itu benar kalau
aku reinkarnasi Valeriana, dia reinkarnasi Henry, tapi kau tidak bisa begitu saja
memaksa kami, bukan?”

Feline nyengir menyebalkan. “Bisa saja. Buktinya dia setuju.”

Aku mendengus kesal. “Setelah kauberi guna-guna maksudmu?”

“Yah, sesungguhnya tidak. Tapi untuk kasusmu, kurasa kau memang harus diberi sedikit
sihir seperti itu. Sihir hipnotis, mungkin? Atau sedikit pengendalian jiwa? Yang
jelas Valeriana akan sangat bisa diandalkan untuk urusan ini.”

Aku melongo. Tak percaya. Sejak kapan kakakku ini jadi sekejam ini?

*

Aku tertawa terbahak-bahak melihat Derry(sa) yang menjadi korban lagi. Entah untuk keberapa kalinya dia dikerjai karena sifatnya yang seperti perempuan itu. Di istirahat kedua ini, bahagia sekali rasanya bisa santai sebentar. Dua jam pelajaran terakhir hampir selalu membuatku nyaris ketiduran.

Tristan dan Feline muncul di pintu kelasku. Tawaku menghilang, lenyap seketika, digantikan ekspresi dingin yang sama sekali belum pernah kutunjukkan sebelumnya. Aku tahu pasti ini masalah apa. Pemaksaan! Memangnya apa lagi?

Aku mendekati mereka dengan pandang dingin membekukan di mataku.

“Felice,” kata Tristan, tampak salah tingkah. “Ini…”

“Tak perlu menjelaskan,” potongku dingin. Aku memusatkan kemampuanku, dan bibir Tristan terkatup rapat karena es yang menambalnya. Ia menjilat lapisan tipis es itu, yang langsung mencair kerkena lidahnya. “Jawabanku hanya satu. Tidak.”

“Tapi…’

“Tidak sekarang, tidak hari ini. Tidak.”

Tristan mendesah. “Apa kubilang, Feline? Pasti tidak mau.”

“Oh, harus mau!” Feline melotot memandangku. Aku memandangnya datar. “Kita
laksanakan rencana kita nanti.”

Aku menelan ludah dengan gugup. Aku mau diapakan?

*

Aku berjalan melewati areal sekolah yang sudah sepi. Entah Feline melakukan apa, tapi yang jelas itu manjur sekali. Elise, Venny, Ronald dan Derry mendadak ingat kalau kelompok kami belum membuat laporan tentang kegiatan retret dulu, dan memaksa untuk menahanku di sekolah untuk mengerjakan laporan sial itu.

Dan sekarang, aku pasti habis dikerjai Feline dan Tristan. Tepatnya Feline.

Aku menghela nafas sedih. Aku sudah pasrah. Mau diapakan juga sepertinya aku tidak akan isa melawan.

Aku mendengar suara gemerisik dari semak di belakangku. Aku langsung merasa waspada.
Aku menoleh dengan tatap tajam terarah ke semak itu.

Tidak ada apa-apa. Itu hanya angin. Kurasa aku terlalu tegang.

Aku kembali menatap ke depan, berjalan ke arah parkiran sepeda motor. Sepertinya
Feline menungguku di sana. Yah, sudahlah, terima nasib saja kalau dikerjai. Daripada
menginap di sekolah.

Suara gemerisik lagi. Kali ini aku curiga. Tidak ada angin. Kenapa terdengar suara
mencurigakan macam itu? Dari mana asalnya –

SRAK!

“WUA… Uph!”

Aku meronta sekuat tenaga. Apa-apaan ini?! Aku tahu Feline berniat mengerjaiku, tapi
sepertinya kalau ada masalah penculikan segala sudah termasuk skala tidak masuk
akal. Yang benar saja, masa aku diterjang dan dibekap dari belakang? Ini sih
keterlaluan!

Aku meronta makin keras saat cengkeraman orang itu makin kuat. Aku meronta,
menggeliat, menendang-nendang, sampai berjoget tak jelas seperti lele untuk
melepaskan diri. Setengah mati aku berusaha melepaskan diri, setengah mati pula
orang itu berusaha menggenggamku makin kuat.

Habis sabar, aku menggigit tangan orang yang membekapku kuat-kuat. Terdengar teriak
kesakitannya. Refleks, dia melepaskan tangannya dari mulutku. Aku langsung melompat
menjauh darinya.

Lalu terperanjat. “Tristan?!”

Ia meringis. “Feline memaksaku… maaf.”

Aku menjitak kepalanya kuat-kuat sampai ia mengaduh, tak peduli walau ia lebih tua
dariku. “Kau bisa membuatku sakit jantung!” seruku marah.

“Jangan salahkan aku… Feline sendiri juga memaksaku.”

“Lalu kau bisa seenaknya mengkambinghitamkannya, begitu? Kau sendiri juga menuruti
perintahnya, apa bedanya?”

Tristan meringis. “Aku terpaksa. Maaf.”

Aku merasa benar-benar kesal. Aku membalikkan badan dan melanjutkan langkah ke
parkiran sepeda motor, meninggalkan Tristan yang masih berdiam diri di sana tanpa
peduli.

Atau setidaknya itu rencanaku. Siapa yang menduga kalau mendadak aku terkena
serangan pusing dan mual lagi?

Ini bahkan jauh lebih parah daripada yang terakhir kualami. Kalau biasanya aku
aerasa dunia berputar tak jelas, kali ini lebih parah lagi. Aku merasa dunia
berputar 180 derajat, sangat ekstrem, dalam kecepatan yang ekstrem pula. Spontan aku
menutup mata dan mulut. Perutku bergejolak, dan aku terjatuh karena rasa pusing
mengerikan ini.

“Felice!”

Aku tak menggubris. Ini terlalu parah. Lagipula apa yang bisa kauharapakan dari
seorang gadis yang mendadak merasa lantai ada di kepalanya dan langit ada di kakinya?

“Lice! Felice! Hei!”

Aku tak bisa menjawab. Kalau aku membuka mulutku, bahkan hanya untuk bernafas saja
sekalipun, aku pasti akan langsung muntah. Ini parah sekali. Aku tak kuat.

Inikah rencana Feline? Tidak, kurasa tidak. Memangnya dia baru melakukan apa, sampai
bisa membuatku seperti ini? Meracuniku? Tidak mungkin. Dia kakak yang baik, mana
mungkin meracuni adik sendiri? Tak masuk akal.

Suara panggilan Tristan yang makin lama terdengar makin panik itu terasa menjauh.
Kegelapan menelanku. Suara Tristan makin jauh, makin jauh, makin jauh…

Hilang sama sekali. Dan aku tahu kalau aku telah jatuh ke dalam ketidaksadaran
mengerikan.

*


At Feline’s Sight

Feline memekik kaget. Rencananya memang adalah untuk mengagetkan Felice agar bisa
diseret ke belakang sekolah agar bisa dipaksa menyatukan Valeriana dan Henry, tapi
ia sama sekali tak menyangka kalau adiknya itu bisa sampai masuk ke taraf tak
sadarkan diri.

“Apa yang sudah kaulakukan?!” bentak Feline pada Tristan.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Dia kena serangan pusing legi, lalu pingsan. Kurasa
kali ini serangannya cukup kuat. Sudah, jangan pikirkan masalah rencanamu itu lagi.
Yang jelas bawa Felice ke rumahmu sekarang juga. Kasur, itu yang dibutuhkannya
sekarang.”

Feline mengangguk. Ia tak lagi peduli pada rencana yang diusulkannya tadi. Biar saja
ide gila itu hilang, yang penting adiknya selamat.

Yang tidak disadarinya adalah Tristan di sampingnya tersenyum dengan raut kejam.

*

At Tristan’s Sight

Tristan mengerang pelan. Rasa sakit menguasai tubuhnya. Ia duduk perlahan dan
memandang ke balik semak. Ia ingat Feline menceritakan rencananya. Ia juga ingat ia
sedang berjalan di balik semak, mengintai gerakan Felice. Tapi yang terakhir
diingatnya adalah tonjokan di perutnya yang dilakukan oleh…

Tristan menegang. Verminion, tidak diragukan lagi pasti dia, telah membuat
duplikatnya dengan sempurna dari sihir. Dan sekarang…

Ia menajamkan penglihatan, memandang ke balik semak. Ia membeku seketika. Felice!
Pingsan dalam pelukan duplikatnya! Ia segera bergerak, hendak menolong Felice, tapi
Feline yang keluar dari persembunyiannya membuatnya berhenti bergerak. Kalau Feline
melihat ada dua Tristan di sana, ia pasti bingung. Dan mungkin Felice malah
dilupakan. Padahal yang paling penting sekarang adalah Felice.

Selain itu, ia menyadari kalau ia tak dapat pergi ke mana-mana. Tangan dan kakinya
diikat sehingga ia tak dapat bergerak, dan rahangnya terkunci oleh mantra sihir. Ia
tak dapat meminta bantuan.
Yang jadi masalah sekarang, pertanyaan yang pasti terngiang di kepalanya adalah…

Apakah Verminion memang sudah bergerak, ataukah ada musuh lain yang mengintai?

*

Aku membuka mata perlahan. Rasa sakit di sekujur tubuhku karena terjatuh tadi masih membekas. Aku mengerang sakit. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku kesakitan
parah begini.

“Felice!”

Aku menoleh. Feline memandangku khawatir. Aku langsung cemberut karena kesal. “Habis
ngapain kamu?” tanyaku kesal.

Feline tampak salah tingkah. “Maaf, aku tidak bermaksud…”

“Aku tahu maksudmu hanya untuk menyeretku dan memaksaku, tapi apa rencana seperti
penculikan itu perlu?”

Kening Feline berkerut rapat. “Penculikan?”

“Tadi Tristan jelas-jelas menerkamku dari belakang! Seperti penculik!”

Kening Feline tidak hanya berkerut sekarang, tapi alisnya sampai menyatu. “Tunggu.
Itu bukan instruksi yang kuberikan pada Tristan.”

Ganti keningku yang berkerut sekarang. “Lalu instruksi siapa? Apa mungkin Verm…”

Aku dan Feline terdiam, mulut terbuka dalam kekagetan, berpandangan dengan mata
terbelalak tak percaya.

“Verm!”

*

At Verminion’s Sight

Saat ia menyamar menjadi Tristan dan menyerang pemuda itu hingga ia pingsan,
Verminion sempat tergoda untuk menculik pemuda itu lagi. Tapi otaknya segera
berputar, dan ia mengenyahkan ide basi itu dari kepalanya. Sekarang pemuda itu tak
asyik lagi dijadikan mainan.

Ia segera berbalik menuju Felice. Mungkin kalau ia menculik Felice langsung, akan
lebih mudah. Kemampuan Valeriana bisa langsung dicuri darinya. Itu memang ide yang
amat menggiurkan.

Tapi tidak. Anak perempuan itu dijaga terlalu ketat. Lagipula sepertinya ia tak
terlalu peduli pada nasibnya sendiri. Permainan itu takkan menjadi mengasyikkan bila
tak ada jerit dan tangis.

Verm menyeringai. Mungkin Feline bisa dimanfaatkan.

Ya. Kini Feline adalah targetnya.

*

Aku memandang Tristan dengan wajah menyelidik. “Kau Tristan asli, kan?”

Tristan melotot bulat-bulat, memandangku seakan aku kelinci dan ia seekor elang yang
sudah seminggu tak makan. “Tentu saja aku yang asli! Verm tak dapat meniruku sebagus
itu!”

“Dia asli,” Feline menyimpulkan sambil mengangguk-angguk tenang. Ganti dia yang
dipelototi sedemikian rupa.

Aku tertawa geli. Masa Trist tidak sadar kalau dia dikerjai?



CHAPTER 11

Aku melamun lagi. Tepatnya merenung. Mungkin Feline benar, sepertinya satu-satunya
cara untuk lepas dari Verm adalah dengan menyatukan Valeriana dan Henry. Tapi aku
tidak mau dijadikan tumbal. Memangnya dia mau? Semua orang waras pasti menolak!

Oke, baiklah, semua orang waras kecuali fans-fans Tristan. Tapi walaupun mereka
waras, bagiku mereka sudah memasuki taraf sakit jiwa. Sepertinya mereka rela menjual
diri asal bisa mendapat kehormatan untuk berkencan dengan Tristan, biar hanya sekali
saja. Apakah aku berlebihan?

“Lice.”

Aku tidak menggubris Ronald yang duduk sebangku denganku. Biar saja. Paling dia mau
iseng.

“Lice, Felice!”

“Uhm…”

“Lice! Hei, Felice!”

“Apaan…?”

Ronald terdengar kesal sekaligus kagum dan tak percaya. “Aku baru sadar kalau kau
pembelot sekali.”

“Memangnya kenapa?”

“Sadar tidak kalau Pak Asril sudah datang?”

Aku menoleh cepat ke arah meja guru. Pak Asril tengah menatapku tajam seperti elang
mengintai kelinci.

Mampus… sepertinya aku bukan hanya akan menjadi korban Verminion dan Valeriana. Pak
Asril juga ikut memeriahkan acara!

*

“Lice, ayolah. Supaya Verm tidak punya alasan untuk tetap mengejar kita.”

“Kurasa dia akan tetap mengejar. Dia tidak peduli apa ada alasan atau tidak, baginya
yang penting ada kesenangan.”

Feline memandangku tak percaya. “Jadi dia separah itu?”

“Memangnya kau pikir separah apa?” balasku, memandangnya datar, nyaris dengan tatap
tak peduli.

Feline menggeleng-gelengkan kepala kesal. “Dia pasti sakit jiwa.”

“Dia memang gila, tak perlu repot-repot mengatainya sakit jiwa.”

“Tapi kalau rencana ini berhasil, dia tidak akan memburu kita segencar ini, kan?”

Aku mendengus.

“Salah, ya? Sulit.”

“Terlalu sulit, memang benar. Aku tidak mau Feline, titik. Itu keputusanku sekarang, mungkin sampai nanti.”

Feline memandangku sedih. “Jadi kau biarkan saja Verm mengejar kita terus menerus?”

Aku mendengus lagi. “Feline, kakakku yang tercinta, belahan jiwaku, cintaku,
segalanya dalam hidupku, apapun milikku, terserah, Verm tak akan peduli selama dia bisa mendapat kesenangan! Motif utamanya memang kemampuan Valeriana dan pemutusan rantai reinkarnasi Valeriana dan Henry, tapi motif keduanya adalah kesenangan! Kalau motif pertamanya tidak bisa dipuaskannya, motif keduanya menjadi motif utamanya, dan sebagai pengganti motif utamanya itu, akan ada motif baru lagi, yaitu balas dendam! Balas dendam karena kita sudah memutus rantai reinkarnasi itu terlebih dahulu! Paham maksudku sekarang?” teriakku kesal.

Feline tampak terpukul. “Kalau begitu sepertinya pemutusan rantai reinkarnasi itu
tak bisa dilakukan.”

“Sadar juga kau akhirnya.”

*

At Tristan’s Sight

Ia sedang duduk di kasurnya, sibuk menggambar gambar sketsa anjing peliharaannya, Gendut, saat tiba-tiba kertas itu terobek tanpa tersentuh.

Ia mengernyitkan dahi dengan bingung. Kenapa terobek begitu saja? Detik berikutnya ia menyadari kalau pasti ada sihir di situ.

Dengan waspada ia mengawasi kamarnya. “Verm, keluarlah. Aku tahu kau ada di sini,” katanya dengan suara keras.

Verminion muncul di depannya, bagai bayang-bayang. Sosoknya tampak pudar seperti kabut pada awalnya, lalu tampak menguat dan menegas sedikit demi sedikit. “Salam, Tristan,” sapanya dengan wajah mengejek.

Tristan tidak mempedulikan salam itu, tak mau repot-repot membalas. “Apa maumu? Kenapa datang ke rumahku tanpa diundang seperti ini?”

“Sopan sekali,” komentar Verm sinis.

“Tak perlu memujiku, aku memang sangat sopan,” balas Tristan, nyaris tak peduli.

“Terlalu sopan, malah. Baru kali ini aku disambut seperti ini.”

“Baru kali ini aku didatangi seseorang yang begitu kurang kerjaan sepertimu. Buat
apa memakai sihir di rumah orang? Aku tidak mau mendengar yang macam-macam. Katakan
saja, apa maumu?”

Verm memandangnya dengan tatap tersinggung. “Kau benar-benar tak tahu sopan santun.”

“Seingatku tadi kau memujiku amat sopan, senapa sekarang bilang aku tidak tahu sopan
santun? Cepat katakan apa maumu.”

“Hanya mengunjungi kawan lama.”

“Sejak kapan kau menjadi kawanku?”

“Dan memberi peringatan.”

Kata-kata terakhir Verm ini membuat Tristan langsung meningkatkan kewaspadaan.
“Peringatan apa?”

Verm tersenyum manis, namun senyum itu memuakkan bagi Tristan. “Peringatan bahwa
mungkin salah satu gadis itu akan menjadi korban berikutnya.”

Angin bertiup kencang di kamar Tristan, kertas-kertas melayang kesana kemari dalam
putaran tiada henti. Angin bertiup berputar-putar tak tentu arah, mengamuk tanpa
peduli. Tristan menyipitkan mata yang terasa perih karena kering dan melindungi
wajah dari sabetan benda-benda melayang di kamarnya dengan lengan. Wajahnya sendiri
sudah coreng moreng karena tersabet bolpoin, pena dan terkena sepercik tumpahan
tinta.

“Siapkan gadis-gadis itu, Tristan Kresna. Siapkan pula dirimu. Pesta akan dimulai
kembali dan kini salah satu dari mereka akan menjadi bintang tamunya. Selamat
tinggal.”

Verm tampak memudar kembali seperti kabut, menyatu dengan angin di kamar Tristan,
dan kemudian lenyap sama sekali bersama angin itu sendiri.

Tristan membeku sejenak. Kemudian, tanpa mempedulikan kamarnya yang berantakan, ia
menyambar jaket dan mencuci mukanya yang kotor, mengambil kunci dan bergegas mencari
Felice dan Feline.

*

Aku sudah tahu kalau yang akan dibicarakan Tristan bukanlah hal baik. Itu terlihat dari sikapnya yang terburu-buru, padahal biasanya dia santai, wajahnya yang terlihat ada corengan tinta samar, dan nada suaranya yang terdengar mendesak.

“Katakan saja, Trist. Ada apa?”

Tristan tampak amat gelisah, ia menoleh kiri-kanan sebelum akhirnya mau
berkata-kata. Tapi, eeh… yang dikatakannya itu masih juga bukan persoalan yang
dihadapinya.

“Mana Feline?”

Aku memutar bola mata. “Tidur siang. Dia kalau sudah tidur sih jangan ditanya,
persis kebo. Ada apa?”

“Bangunkan dia. Ini juga menyangkut dia. Dia harus tahu.”

*

Aku membelalakkan mata tak percaya. “Kau pasti bercanda!” seruku kaget.

Tristan menggeleng. “Tidak, aku serius. Kalau aku bercanda, buat apa aku repot-repot
mendatangi kalian begini? Verm sendiri yang sudah mengatakannya padaku.”

Feline masih tampak mengantuk. “Mungkin dia sendiri tidak serius,” katanya dengan
mata sayu nyaris terpejam.

“Tidak, dia serius. Kau tahu watak Verm,” Tristan menggeleng tak setuju.

Aku berpikir-pikir sambil menggigiti jariku. “Salah satu dari kami. Aku atau Feline.
Kenapa aku sendiri merasa tenang sekali? Bintang tamu dia bilang? Huh, dia pasti
tidak pernah membuka kamus. Ini sih namanya tawanan.dia memang merepotkan sekali.”

Tristan ikut berpikir keras. “Kalau begini harus ada orang yang selalu siap menjadi
bodyguard bagi kalian. Verm terlalu keras kepala untuk dilawan.”

“Begitu, ya?” kuap Feline tanpa peduli. “Yah, memang dia sangat keras kepala. Kalau
boleh aku usul, kau sendiri saja yang menjadi bodyguard bagi kami, Trist. Bagiku kau
sudah cukup memenuhi standar itu.”

Tristan mengernyitkan dahi. “Itu memang benar, tapi…”

“Tak ada tapi. Menyewa bodyguard betulan hanya buang uang. Kau saja, Trist. Kau
sudah cukup untuk itu,” kilah Feline, lalu ia menguap lagi dan mengusap mata.

“Tapi…”

“Aku sudah bilang, tidak ada tapi. Bagiku persoalan ini sudah selesai, trims. Aku ingin melanjutkan tidur siangku yang diganggu adikku ini,” kata Feline, lalu melenggang masuk ke kamarnya, dan jelas langsung tenggelam dalam tidur lagi.

Aku menoleh pada Tristan, memandangnya datar. “Aku sudah bilang kalau dia tidur
seperti kerbau, kan?”

Trist meringis.

*

“Ada teman baru untuk kalian.”

Kata-kata Pak Asril yang memang guru wali kelasku itu berhasil mengalihakn oerhatianku dari lamunanku. Aku menoleh memandangnya.

“Siapa, Pak?”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Kalau perempuan jejerkan denganku, ya, Pak…”

“Ronald ngaco! Terus aku mau ditaro mana?”

“Buang aja ke selokan! Derry kan jelek!”

Aku terkekeh menatap perseteruan Ronald dengan Derry itu. Hari ini mereka memang duduk sebangku. Agak aneh mengingat Derry yang bencong itu benci sekali kalau dicela Ronald.

“Hia! Ronald, hajar aja tuh si janda tua!”

“Ayo Ron, jangan buang waktu!”

“Go Ronald, Go Ronald!”

“Eeeh!!! Kok semuanya pada mendukung Ronald, sih? Mana suporterku?”

“Nggak ada! Buat apa ngesuporterin bencong? Mending nyuporterin yang jenis kelaminnya jelas aja, ketimbang nyuporterin yang kelamin ganda!”

“Benaaar… Ical pintar!”

“Betuuul… Citra cerdas!”

“Terima kasih, terima kasih…”

“Huahahahaha…”

Pak Asril menggebrak meja guru, seisi kelas langsung terdiam sunyi seperti kuburan. Sedetik kemudian, Ronald menyeletuk, “Kok pada diem? Kayak kuburan begini. Perasaan tadi rame?”

Serentak semua penghuni kelas itu langsung tertawa terbahak-bahak lagi, bahkan Pak Asril yang biasanya serius juga tersenyum geli. Setelah semua tawa reda, barulah beliau membuka suara lagi.

“Teman baru kalian ini perempuan, dan Ronald, jangan ribut karena dia tidak akan Bapak jejerkan dengan tukang buat onar sepertimu. Crystal, masuklah.”

Aku mengerjap. Crystal? Crystal, yang dulu mengambil jepit rambut Valeriana itu? Crystal yang itukah?

Kepala berambut merah pendek yang sama menjenguk masuk ke dalam. Rambutnya masih sama. Rambut merah pendek yang menutup leher dengan sempurna, berkesan manis. Poninya yang tak rata juga masih sama. Di kepalanya bertengger jepit rambut pita berwarna hitam, terlihat mencolok di tengah lautan ombak merah di kepalanya itu.

“Permisi,” bisiknya pelan. Ia melangkah ke dalam kelas dengan cepat, tapi malu-malu.
Aku agak kaget melihat perilakunya yang malu-malu itu. Saat dulu aku bertemu
dengannya pertama kali, ia tampak amat percaya diri.

“Perkenalkan dirimu, Crystal. Jangan malu-malu,” perintah Pak Asril tenang.

Crystal menarik mafas panjang, lalu berkata, “Selamat pagi, teman-teman. Aku Crystal, Crystalline Vania. Aku pindah sekolah karena ayahku dipindahtugaskan. Kuharap kita semua bisa menjadi teman baik.”

Ia melempar senyum manisnya pada semua anak di kelas, membuat beberapa anak laki-laki di belakang kelas memandangnya dengan tatap memuja. Aku memandang mereka jijik. Biasa saja, apa mereka tidak bisa?

Pandanganku dan Crystal bertemu. Sejenak ia tampak kaget, dan sekaligus… tunggu, senang, kesenangan yang tampak sadis… kenapa?

Kurasa itu hanya perasaanku saja. Ia tampak normal lagi.

“Nah, Crystal, Bapak rasa kau bisa duduk sebangku dengan Felice, di sana.”
Crystal berjalan menghampiriku, lalu duduk di sampingku. “Apa kabar?”

“Baik,” jawabku, tersenyum padanya. “Kau sendiri?”

“Yah… cukup baik. Walaupun terus terang aku tidak suka kalau dipandangi anak-anak
laki-laki di belakang itu.”

Aku mendengus. “Gerombolan bodoh. tak usah kaupedulikan, mereka pasti akan mencoba
mencari perhatianmu.”

Crystal mengangguk. “Terimakasih atas peringatanmu, akan kuingat itu.”

*

“Huahuhuhu… Felice…”

Aku menoleh terkejut, melupakan lamunanku sejenak (kok sepertinya aku jadi hobi melamun, ya?) dan mendapati Ronald duduk dengan wajah tertelungkup di atas lengan, belagak menangis. Weitz… tunggu. Dia… memang menangis!!! Oh, my, ada apa gerangan di sini?

“Ronald, hush! Ada apa, kenapa? Kok mendadak… em, kau tidak menangis betulan, kan?”

Ronald, mengangkat kepalanya, menatapku sedih. “Kalaupun aku tidak menangis betulan, hatiku remuk redam! Hancur lebur menjadi debu! Sakit… rasanya…”

Aku mengerutkan dahi dengan bingung. Istirahat ini kelas sepi sekali, sekarang ini yang ada di kelas hanyalah aku, Ronald, Elise, Rista, Derry, dan Venny. Serempak, akmi semua, bahkan Rista, mendekati Ronald yang terpuruk.

“Kenapa, sih sebenarnya? Cerita, dong. Kan kau di sini, menghampiriku begini, untuk curhat, kan? Tumben. Biasanya kalau ada yang curhat nyela, sekarang malah curhat,” kataku setengah menyindir.

“Argh, jangan buat aku merasa lebih buruk! Memangnya aku tahu kalau ternyata patah hati sesakit ini?!” omel Ronald, putus asa. Aku berkedip. Patah hati?

“Memangnya kau naksir siapa?” tanya Derry, menatap berkeliling, memeriksa apakah ada sua oknum tukang gosip dan tukang jahil, Citra dan Ical. Kalau sampai kabar ini tersebar, Ronald bisa bolos sekolah sesemaster lamanya.

“Crystal…” bisik Ronald pelan.

“APAAA?!”

“EEEE?!”

“DIA?!”

“RONALD! MASA KAU SERIUS?!”

Rista, memandang Ronald dengan ketertarikan yang belum pernah kulihat sebelumnya, membetulkan letak kacamatanya, dengan tertarik ia bertanya, “Kau pasti baru saja menembaknya, kan?”

Ronald mengangguk.

“Dan ditolak?”

Ronald mengempaskan diri, kepala tepatnya, menjedukkannya sekali tapi keras ke meja.

“Cup cup cup… kasihan si Ronald…”

“Sabar, ya, Ron… Masih ada banyak cewek di luar sana…”

“Dan kalau mau bukti, nih, kamu dikelilingi cewek sekarang…”

“Tapi jangan mengincar Derrysa ya. Dia kan bencong.”

“Hei, memangnya ini saat yang tepat untuk mengejekku?!”

“Ups, maaf. Yang jelas, Ron, kalau kamu patah hati sekarang, kau harus bersyukur. Sebab kalau sekarang kau patah hati, besok-besok kalau kau patah hati kau sudah tahu bagaimana rasanya. Jadi tidak kaget lagi.”

“Iya, tuh Ron, dengerin si Elise. Santai aja, kalau memang Crystal bukan jodohmu,
pasti nanti kau bertemu dengan perempuan malang yang memang jodohmu, kok.”

“Malang?”

“Hehe, maaf… bercanda. Yang jelas pasti akan ada cewek yang memang sudah ditakdirkan
jadi jodohmu.”

“Iya. Kalau ternyata nggak ada cewek yang mau jadi jodohmu, gampang. Jadi pastor. Begitu, tak usah repot.”

“Hua, jangan jadi pastor! Nanti gerejanya kebakaran! Tenang, Ron, jadi perjaka tua juga nggak bakal ada yang marahin kok. Tetap sah di mata hukum.”

Ronald mengerang keras, mengangkat kepala dari meja. “Kalian ini! Sebenarnya kalian itu niat menghibur atau menghina, sih?! Kenapa dari tadi yang diomong yang jelek-jelek terus?! Ini orang baru patah hati malah diejekin! Dasar, kalian itu memang hobi benar ya menghina orang!”

“Lah, kau sendiri juga hobi menghina orang!”

Ronald mengerang lagi, menjatuhkan kepala di lengannya lagi, kalah.

Rista menggeleng-gelengkan kepala prihatin. “Sudahlah, Ron. Kalau memang tidak ada cewek yang mau jadi pacarmu, aku masih mau, kok!” wajahnya memerah saat ia mengatakannya.

Semua mata, termasuk mata Ronald yang tadinya menelungkup di meja, melotot menatapnya dengan tak percaya.

“Em… itu… walaupun memang niatku sekarang Cuma menghibur, aku serius…”

Rista yang pemalu itu! Dia menundukkan kepala dalam-dalam, malu, wajahnya semerah tomat. Aku, Venny, Derry, Elise dan Ronald memandangnya tak percaya, kehilangan suara. Kini wajah Ronald ikut memerah. Aku, Venny, Derry dan Elise memandang dua orang itu tak percaya, masih belum menemukan suara kami. Rista dan Ronald? Astaga, ini perpaduan yang ajaib sekali! Rista yang pendiam, bersama Ronald si biang onar!

Detik barikutnya kami menemukan kembali suara yang kami kira hilang itu, dan langsung menjerit gila-gilaan, tak percaya.

“APAAAA?!?! RISTA DAN RONALD?!?!?! NGGAK MUNGKIN!!!!!!!!!!”



CHAPTER 12

Crystal sama sekali tak tampak heran saat melihat semua mata anak laki-laki di kelas memandangnya dengan tatap terluka. Padahal aku sendiri heran. Memangnya kenapa?

“Hei… kenapa mereka semua memandangimu?” tanyaku heran padanya.

“Mereka?” tanyanya sambil melirik semua anak laki-laki di belakang. “Oh. Mereka
semua menembakku tadi. Kutolak saja.”

Aku melotot kaget. “Semua?”

“Iya.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Hebat. Sepertinya sebentar lagi anak-anak kelas
sebelah akan mulai memburumu.”

*

“Plisss…” mohon Crystal, wajahnya nyaris menempel di wajahku. Aku menjauh.

“Tidak, Cryst. Tidak sekarang. Tidak hari ini,” tolakku agak kesal.

“Oh, ayolah, Lice! Aku ingin tahu di mana rumahmu!”

Aku mengerang kesal. Feline pasti akan marah. Hari ini dia tidak ingin menerima
tamu. Sejak pagi ia sudah merasa tidak enak.

Melihat Crystal memohon seperti itu, akhirnya aku luluh. “Oh, baiklah. Tapi jangan
ganggu kakakku. Dia sedang tidak enak badan.”

Wajah Crystal langsung tampak cerah.

*

“Ini rumahmu?”

Aku mengangguk. Walau dalam hati aku berkata dongkol, Memangnya rumah siapa lagi? Rumah pembantuku?

“Ayo,” ajakku sambil meraih tangannya.

Kami memasuki rumah dengan langkah tenang. Crystal tampaknya senang sekali.
Mengherankan. Aneh, memangnya dia belum pernah main ke rumah temannya sebelumnya?

“Felice?”

Aku menoleh. Tristan dan Feline sedang duduk di sofa (dua sofa yang berbeda, sofa
berlengan yang memang hanya untuk satu orang), berhadap-hadapan, kini memandangku
dengan tatap gelisah. Aku mengerutkan dahi.

“Maaf, Crystal. Kurasa sebaiknya kau tunggu di taman depan sebentar, di ayunan.
Kurasa aku dan kakakku harus bicara sebentar.”

Crystal mengangguk, lalu berjalan keluar sambil bersenandung riang. Bahkan
jalannyapun melompat-lompat. Sepertinya dia senang sekali. Aneh benar.

“Ada apa?” tanyaku sambil berjalan mendekati mereka, meletakkan tas di lantai dan
duduk di sofa panjang.

“Aku merasa benar-benar gelisah,” kata Feline, menggigiti kukunya, kebiasaan buruk
yang selalu dilakukannya kalau ia gugup. “Sejak tadi pagi aku merasa mendengar suara
Verm di dalam kepalaku. Membisikkan mantra-mantra… aku gelisah sekali.”

“Tenanglah sedikit,” kataku, menarik tangan Feline agar ia tidak menggigitinya lagi.

“Tapi aku tidak bisa!” kini Feline nyaris menjerit. Histeris sekali dia. “Ini
benar-benar mengerikan. Aku tak kuat lagi! Dan suara bisikan itu makin mengeras!
Kini sudah seperti suaramu kalau bicara pelan padaku!”

Airmata ketakutan mengalir menuruni pipinya. Tristan memberinya sekotak tisu, yang
langsung diambilnya tanpa melihat.

“Tenanglah,” kata Tristan, berusaha menenangkannya. “Tenang sedikit. Kau akan
baik-baik saja. Verm pasti akan ke sini untuk menculik salah satu dari kalian, dan
aku yakin dia harus berhadapan denganku dulu. Santai.”

Feline mengangguk patuh, walau masih menangs. Ia menghapus airmatanya.

“Felice… permisi…”

Aku menoleh. Crystal berdiri di depan pintu.

“Boleh aku masuk? Aku ingin ke kamar kecil,” pintanya sambil tersenyum malu-malu.

“Biar aku saja yang mengantarnya,” kata Feline, berdiri. “Tristan ingin bicara
denganmu sebentar.”

Feline dan Crystal menghilang, masuk ke dalam rumah, ke kamar kecil. Aku berpaling
ke arah Tristan. “Kenapa?”

Tristan menarik nafas dalam-dalam. “Aku mulai mengkhawatirkan kondisi Feline,”
katanya kemudian.

“Khawatir?” tanyaku heran. “Memangnya dia kenapa?”

“Dia benar-benar gelisah, tahu. Bahkan di sekolah, saat ia sedang jam istirahat
kemarin, saat ia bertemu denganku di kantin, ia menangis. Aku sampai dicurigai
penjaga kantinnya habis mengapa-apakan kakakmu itu.”

Aku mengerutkan dahi lagi, semakin heran. Apa dia memang segelisah itu?

“AAAAA…!!!!!”

Suara jeritan itu menyentakkanku. “Feline! Crystal! Suara itu dari kamar kecil!
Mereka sedang di sana!”

Aku segera berlari ke arah kamar kecil. Tak ada siapapun di sana. Yang ada hanyalah
bau gosong aneh yang tertinggal di udara. Aku menoleh kanan-kiri, bahkan menoleh ke
atas, berusaha mencari tanda-tanda keberadaan Verm. Ini jelas ulahnya.

Tapi tak ada siapa-siapa di sini.

Tristan melangkah masuk. “Mereka benar-benar tak ada.”

“Kalau ada pasti aku sudah menemukan mereka dari tadi!” seruku dongkol. Aku mulai
cemas sekarang. Feline… sepertinya kegelisahannya memang beralasan.

Tiba-tiba secarik kertas melayang turun dari langit-langit. Secepat seekor kucing
menyambar burung, aku menyambar kertas itu.

Gotcha.
Aku sudah dapat kakakmu. Apakah aku juga akan mendapatkanmu?
Kalau kau ingin kakakmu kembali, datanglah ke tempat yang sama. Sekarang. Aku akan menunggumu sampai lusa. Kalau lusa kau tetap tidak datang juga… mungkin kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan kakamu lagi.
~ V ~

‘V’… Verminion. Kurangajar… jadi dia mengincar Feline?

Gelegak kemarahan mengisi dadaku. Akan kuberi dia pelajaran. Pasti!

Aku berbalik dan berlari keluar. Tristan memandangku kaget.

“Felice!” panggilnya keras. Aku tidak menggubris. Aku tetap berlari ke garasi,
hendak mengambil motor Feline.

“Felice! Hei, Felice! Tunggu, dengarkan aku dulu! Hei, Felice!”

Aku tidak menggubris. Aku menyambar kunci motor Feline dan meraih jaket, siap pergi.

“FELICE!” habis sabar, Tristan menyambar lenganku. Ia menahanku agar tidak berlari
lagi. Aku langsung memberontak.

“Lepaskan aku!” seruku. “Aku harus menjemput Feline! Aku harus mengambilnya kembali!
Lepaskan aku! Biarkan aku pergi!”

“Tidak akan kubiarkan!” Tristan berteriak. “Verm tidak akan membiarkanmu menjemput
Feline begitu saja! Dia pasti akan melakukan sesuatu! Dan bisa jadi kau nanti akan
mati karenanya!”

“Aku tidak peduli!”

“Felice! Bagaimanapun, aku tidak akan menijinkanmu pergi!”

Aku mulai terisak. Tristan… tega benar kau. “Tapi aku harus pergi! Kumohon!”

“Tidak. Bagaimanapun, aku tidak akan mengijinkanmu.”

“Tapi…”

“Kecuali, aku ikut kamu.”

*

Tempat itu masih sama seperti sebelumnya. Sunyi dan suram. Aku melangkah mendekati bangunan itu dengan pelan.

“Sebentar,” kata Tristan, menahanku. Ia menunjuk ke arah semak. “Bisakah kau
menyibakkan semak itu? Mungkin Verm sudah menyiapkan mata-mata di situ.”

Aku memusatkan kekuatan dan menyibakkan semak itu. Secepat kilat, bayang-bayang
putih melesat ke arahku. Aku menciptakan perisai pelindung, nyaris tanpa berusaha.
Tapi saat aku melihat apa bayang-bayang putih itu, aku ternganga. Tulang?

“Ingat, Verm adalahseorang Necromancer. Dia bisa mengendalikan mereka yang
seharusnya sudah mati,” kata Tristan di telingaku. “Buatlah perisai pelindung yang
lebih besar, yang dome. Mungkin ada peluru tulang dari atas yang akan menghujam
kepalamu.”

Aku menurutinya. Tepat saat perisai dome itu selesai kubuat, tulang berderak di atas
kepalaku. Aku dan Tristan saling lirik.

“Tepat,” kataku datar.

Tiba-tiba tanah di bawah kakiku merekah. Tulang belulang meremas kakiku dan kaki
Tristan.

Sial. Aku lupa sama sekali tentang tanah!

Sekuat tenaga aku dan Tristan memberontak. Tengkorak-tengkorak itu sendiri kini
sudah ada di dalam dome perlindungan buatanku. Tapi karena ia menggelayutiku, aku
kehilangan konsentrasi. Dome perlindungankupun hancur leburlah sudah.

Aku memberontak sekuat tenaga. Tristan juga melakukan hal yang sama. Aku dan Tristan
berteriak dan memberontak sekuat tenaga. Tapi tak juga kami dilepaskan. Yang ada
malah kami digelayuti makin parah, oleh makin banyak tulang belulang.

Saat aku nyaris menyerah, tiba-tiba taktik mereka berubah: bukannya menggelayutiku,
mereka malah mengangkatku dan membawaku masuk ke dalam bangunan itu. Begitu pula
Tristan.

“Hei…hei! Turunkan aku!” seruku kaget.

“Tenang saja, Felice. Mereka akan menurunkanmu kalau aku memerintahkan mereka untuk
melakukannya.”

Aku menoleh kaget. Verminion.

“Kembalikan kakakku!” seruku, tak peduli walau posisiku sekarang ini sangat tidak
memungkinkan untuk memintanya mengembalikan Feline.

“Oh, tentu saja, tentu saja. Akan kukembalikan dia. Anak-anak, lepaskan mereka.”

Aku dan Tristan dijatuhkan begitu saja di lantai, mengaduh kesakitan. Keterlaluan.
Turunkan pelan-pelan saja kenapa?

Tulang-belulang itu mundur teratur dan keluar dari ruangan.

“Mana kakakku?” tanyaku pada Verm, berdiri dan menatapnya tepat di manik mata.

Verminion tersenyum memandangku. “Feline, keluarlah.”

Dan, begitu saja, Feline melangkah masuk ke ruangan.

Pakaian Feline berbeda dengan yang terakhir kali dikenakannya. Tadi ia mengenakan
seragam, kini ia mengenakan kaos tanpa lengan putih dan hotpants hitam, plus sepatu
bot setinggi lutut. Di luar kaos tanpa lengan itu ia mengenakan jaket hitam panjang.
Rambut panjangnya diurai, namun sebagian dari rambutnya diikat sehingga tidak
menghalangi pandangan.

Aku memandang Verm heran. “Buat apa kau memberinya baju seperti itu?”

“Iseng saja.”

Aku kembali memandang Feline. Ia tampak sedikit… berbeda. Tapi apanya yang beda? Dia
tetap sama, sejauh yang dapat kulihat. Ini aneh.

“Lakukan apa yang sudah kuperintahkan padamu, Feline, sayangku.”

Aku menatapnya kaget. Sayangku dia bilang? Feline pasti mengamuk.

Benar, Feline mengamuk. Dia langsung melancarkan tendangan kuat. Sayangnya,
tendangan itu bukan ditujukan pada Verm.

Tapi kepadaku.



CHAPTER 13

Aku, yang tak menyangka akan diserang sedemikian rupa, langsung terdorong mundur, sampai jatuh terlentang menggelebak. Tendangan Feline begitu kuat, telak menghantam
dadaku. Sejak kapan dia bisa menguasai seni bela diri sesempurna itu?

Nafasku terengah tak berdaya. Aku terbatuk. Tristan baru saja menghampiriku untuk
membantuku berdiri, tapi saayangnya saat itu juga Feline menendang perutnya hingga
ia terlontar jauh ke belakang.

Aku duduk dengan susah payah. Masih terbatuk. Tapi Feline langsung menendangku
hingga aku terlontar jauh ke belakang lagi, tak memberiku waktu untuk bernafas lega
barang sedetikpun.

Saat Feline sudah menunjukkan gelagat hendak menendangku lagi, secepat kilat aku
melompat berdiri dan membungkuk untuk menghindari kakinya yang menyapu rambutku.
Untungnya aku selamat.

“Verm! Kauapakan kakakku?!” teriakku sambil menghindari sapuan kaki Feline yang
tiba-tiba melakukan sliding kick dengan lincahnya.

“Dia? Kuapakan? Hahaha. Lucu, Felice. Tebaklah sendiri.”

Aku berputar 90 derajat ke samping untuk menghindari tonjokan Feline. “Jangan bilang
kalau kau menyihirnya!” seruku marah.

“Sayangnya aku memang menyihirnya. Memangnya kenapa? Feline, hentikan permainan ini
sebentar, manisku. Kurasa sedikit diskusi antara aku dan adikmu akan membantunya
memahami situasi ini.”

Feline berhenti, ia melangkah mendekati Verm. Ia menatapku, dan seketika aku sadar
apa yang aneh darinya.

Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Ia memandangku, tapi tak ada bahkan setitikpun emosi dalam pandangannya. Ia hanya
memandang, ia tidak melihat. Gerakannyapun tak menunjukkan emosi apapun. Ia
menatapku dengan pandangan kosong, bagaikan selongsong tubuh tanpa jiwa.

“Kembalikan kakakku seperti semula!” seruku pada Verminion.

“Dia bukanlah orang yang biasanya kau suka untuk kaujadikan korban sihirmu, Verm,”
kata Tristan yang sudah sampai ke dekatku. “Kenapa kau memilihnya?”

Verm tertawa kejam. “Untuk kesenangan, tentu saja.”

Aku merasakan kemaraham membuncah dalam dadaku. “Yang benar saja!!!” seruku, memukul
lantai kuat-kuat. “Kau memperalat orang seenakmu sendiri, hanya untuk kesenanganmu
semata?! Dasar manusia berdarah dingin! Kau bahkan tak bisa disebut manusia! Mana
ada manusia yang melakukan hal-hal seperti ini?! Cabut sihirmu dari kakakku,
kembalikan dia seperti semula!!!”

Verm memandangku datar. “Kau berteriak seperti anak kecil. Kakamu sendiri yang
memberikan diri disihir, lalu apa aku bisa begitu saja menolak keinginannya?”

Aku memandangnya tak percaya. “Apa…? Feline… dia sendiri yang minta…?”

Verm tersenyum kejam. “Sepertinya kau tidak mempercayaiku.”

“Katakan sejujurnya! Kakakku tak akan memintamu menyihirnya begitu saja! Kalaupun ia
memang minta disihir, tak mungkin dia minta disihir olehmu!” seruku keras kepala.

“Tapi dia memang melakukannya.”

Aku memandang Feline tak percaya. Ia memandangku dengan tatapan tanpa ekspresi itu.
Seakan jiwa yang ada di dalam tubuhnya sudah dicuri begitu saja.

Tiba-tiba Feline terjatuh. Matanya terpejam. Ia berbaring miring di kaki Verm.

“Feline!” seruku dan Tristan bersamaan.

“Ck,” decak Verm kesal, “Masih belum sempurna rupanya.”

Aku menatapnya kaget. “Apanya?”

“Sihirku.”

Verm mengangkat tubuh Feline, membopongnya, lalu berbisik di telinganya. Membisikkan
entah apa… kurasa itu mantra. Aku ingin menolong Feline, tapi tak bisa. Tak bisa
kulakukan sekarang. Kalau aku menyerang Verm sekarang, bisa-bisa dia malah
menggunakan Feline sebagai tameng hidup. Kalau begitu aku bisa malah melukai Feline.

Verm menurunkan Feline kembali. Ia membaringkan Feline dalam posisi telentang,
menatap Feline lekat.

“Bangunlah, Feline, rembulan hidupku. Kau tahu ada tugas yang menunggumu, cantik.”

Feline membuka mata perlahan. Ia duduk pelan-pelan dan berdiri dengan lebih pelan
lagi. Ia berjalan sempoyongan, tapi terjatuh. Sebelum ia sempat menghantam lantai,
Verm menangkap tubuhnya dan berbisik di telinganya lagi. Mantra lain, aku yakin itu.
Dan aku benar. Buktinya, langkah Feline langsung tegap lagi. Dan ia bahkan langusng
melancarkan tendangan berputar padaku. Beruntung aku berhasil menghindarinya.

Tapi sayangnya Tristan tidak. Ia terlontar jauh.

“Trist!” seruku.

“Dan Tristan, kawan kecilku, sebaiknya kau tidak mengganggu kawan kita ini,” kata
Verm, menarik Tristan dan menyeretnya pergi.

“Tidak!” seru Tristan, melepaskan diri dari Verm dan menatapnya dangan pandang
menantang. “Aku tidak akan ke mana-mana.”

“Kalau itu maumu,” kata Verm, mendadak tatapannya menjadi datar, “berarti kau harus
melawanku sekarang.”

“Akan kulakukan.”

“Dan itu berarti kerja ekstra untuk si manis di sana,” kata Verm, dan tiba-tiba
Feline memukul Trist kuat-kuat. Ia berteriak kesakitan.

“Selamat bersenang-senang. Aku akan menonton kalian dari sini,” kata Verm sambil
duduk di lantai dengan sikap meremehkan.

Pusat pengendalian Feline adalah Verm, pikirku, itu berarti Verm harus dihancurkan.
Dia harus dibunuh.

Aku berkonsentrasi dan dengan usaha tersulit, aku berhasil bicara dengan Trist dalam
bentuk telepati.

Aku mengutarakan semua itu. Trist setuju, ia mau melakukan apapun sesuai rencanaku.

Ia akan menahan Feline, aku akan menghabisi Verm.

Itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, jelas. Feline begitu kuat. Kena
pukulan sekali saja lebamnya pasti akan tertinggal sampai lama sekali. Selain itu,
dia melindungi Verm dengan ketat sekali. Aku tak bisa menemukan celah untuk
menyerangnya. Verm benar-benar pengecut. Apa dia tidak bisa bertarung dengan
tangannya sendiri?

Akhirnya, Tristan berhasil menemukan celah. Saat itu mendadak gerakan Feline berubah
sempoyongan lagi. Kehilangan energi atau kehabisan efek mantra, entahlah. Yang jelas
saat itu Feline lalu terjatuh ke pelukan Tristan, tapi lalu memberontak kuat.
Tristan sampai kesulitan menahan gerakannya.

Aku langsung berpaling ke arah Verm. Tapi rupanya si pengecut itu sudah siap. Ia
langsung menyerangku, menendangku telak di dagu. Aku mundur, mengusap daguku yang
sakit. Tapi dengan cepat aku berhasil menguasai diri dan kembali menghadapinya.

*

Aku tersengah kelelahan. Sial… stamina apa itu sebenarnya? Sudah lama sekali dia
menyerang dan aku menghindar, tapi staminanya masih tetap bagus. Sementara aku sudah
lemas sekali. Gila… dia pasti bukan manusia!

“Ini penutupnya, Felice…” desisnya tepat di atas wajahku.

Ia mengangkatku, tangannya di leherku, mencekikku kuat-kuat. Aku tersedak kekurangan
nafas.

“Kekuatanmu akan keluar di sela-sela nafas terakhirmu, dan aku akan mengambilnya,”
katanya dengan senyum kejam terukir di wajahnya.

Ia mengangkatku makin tinggi, lalu berucap, “Selamat tinggal… Felice!!!”

Lalu ia melemparku ke arah tembok terdekat. Aku menjerit keras.

Tapi aku tidak menghantam sesuatu yang keras. Aku menghantam sesuatu yang empuk…

Aku membuka mata yang tadi kupejemkan karena takut. Aku menoleh ke belakang.

“Feline! Tristan!” seruku tak percaya.

“Tepat lima belas menit yang lalu dia tersadar dari mantra Verm,” kata Tristan, yang
menjadi bantalan bagiku saat aku terjatuh.

“Aku terpaksa menyetujui saat dia mau menyihirku,” kata Feline sambil memelukku
lembut. “Aku tak mau kehilanganmu. Dia mengancam akan membunuhmu kalau aku menolak
menjadi bonekanya.”

Aku tersenyum memandangnya. Meringis tepatnya, karena luka di perutku yang
diakibatkan oleh pukulan beruntun Verm terasa sakit.

“Kenapa?”

“Bukan apa-apa. Kau tahu sekujur tubuhku lebam dihajar Verm.”

“Kalau begitu, ayo kita balas dendam!” seru Feline, kembali ke perilakunya yang
serampangan dan berapi-api.

Aku tersenyum memandangnya, lalu ikut meneggelamkan diri ke dalam perilakunya yang
serampangan. “Ya, ayo!”

*

Aku memandang tubuh di depanku dengan tatap kosong.

Verminion sudah mati. Semua tulang belulang tak aksn menuruti panggilannya lagi. Tak akan ada sihir yang bisa dilakukannya lagi.

Kini semua sudah selesai.

22.06.10
Eve