Sabtu, 31 Maret 2012

Terra de la Catala ch. 8


Chapter 8

“Shira!”
Aku bisa merasakan urat-urat di dahiku timbul saat Tiera menubrukku dari belakang dengan kekuatan penuh. “Menyingkir dariku, Tiera.”
“Kau jahat sekali!”
“Terserah apa katamu. Minggir.”
Tiera cemberut sementara ia menyingkir dariku. “Kau menyebalkan.”
“Kau mengganggu,” balasku datar.
“Berdarah dingin.”
“Tidak berguna.”
“Apa?!”
“Hei, stop!” lerai Enzo kesal. “Shira! Kemarin dengan Hugo, sekarang dengan Tiera. Kau ini magnet pertengkaran, ya?”
Aku menjulurkan lidah padanya dan terus berjalan. Hugo menatapku dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapapun pasti tahu kalau aku sedang kesal. Jelas, karena Tiera.
Sudah seharian dia mengikuti kami. Ya, dia menepati janjinya untuk tidak mengganggu kami, dan dia tidak menanyakan niat kami ke sini. Sialnya dia menghujaniku dengan jutaan pertanyaan tidak berguna dan ribuan terjangan dari belakang punggung. Maksudku, hei, ini rawa-rawa! Bagaimana kalau aku tahu-tahu jatuh dan terbenam dalam lumpur, lagi? Aku tidak mau berubah di depan Tiera dan Jose!
Kami terus berjalan melewati rawa-rawa itu selama berjam-jam. Tiera benar-benar bayi; ia mengeluh kakinya pegal, butuh manikur-pedikur begitu sampai di rumah, dan jutaan keluhan manja lainnya. Sial kau Tiera, kau pikir aku kakiku tidak pegal?
Untungnya Jose menutup mulut. Seperti biasa ia nyaris tidak pernah bicara. Walaupun aura diamnya itu bisa terasa sangat mengerikan, setidaknya suaranya yang nyaris selalu absen itu tidak membuatku makin gila. Cukup satu orang saja yang berceloteh seperti monyet (sebut nama? Tiera), yang lainnya tidak usah.
Aku menatap sekeliling sambil berjalan. Rawa ini makin lama makin aneh saja – sekarang malah ada rumput ilalang setinggi pinggang seperti di savana. Kurasa makin ke dalam rawa suasananya akan makin aneh, dan berbahaya. Kalau tertutup rumput begini mana tahu kalau di depan ada genangan lumpur lagi?
“Wah!”
Tiera lagi? Aku mendengus dan berbalik. “Oke, sekarang rengekan macam apa lagi yang…” suaraku menghilang.
“Shira, tolong…” ucap Tiera memelas, satu kakinya terbenam dalam lumpur.
“Astaga, jangan lagi!” teriak Hugo dari belakangku. Sudah beberapa hari belakangan ini Tiera terus-menerus terbenam lumpur. Sialnya, genangan lumpur yang ini bandel; Tiera terbenam cepat, dan tidak bisa ditarik keluar lagi, walaupun kami berlima sudah menariknya bersama-sama. Yang ada malah dia berteriak kesakitan.
Ini sama denganku dan Naira dulu. Walau ditarik seperti apapun juga dia tak akan bisa keluar dari lumpur, dia hanya akan terbenam makin dalam. Sialnya, pada kasus Tiera, lumpur yang menariknya makin dalam menarik dengan kecepatan yang menyebalkan. Dibiarkan setengah jam lagi saja Tiera pasti sudah terbenam sampai kepala.
Tiera menatap Jose dengan tatapan yang belum pernah kulihat darinya. Pasrah tapi nekad. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan?
“Tak ada pilihan lain?” tanya Jose pada Tiera. Tiera menggeleng, melotot padanya. Jose mengangkat bahu dan memejamkan mata.
Kemudian, ia berubah.
Ia berjongkok dan meletakkan tangannya di atas pundak Tiera, dan tubuhnya tampak beriak seperti air. Sedetik berlalu, dan tiba-tiba pakaiannya menghilang digantikan bulu berwarna cokelat kemerahan, dan sekujur tubuhnya dipenuhi bulu berwarna sama. Hidungnya memanjang menjadi moncong serigala. Telinganya meruncing, ekor kuat muncul dari pantatnya. Dengan ngeri aku menyadari kalau Jose adalah manusia serigala.
Kemudian, perubahan terjadi pada Tiera. Hanya saja ia tidak berubah menjadi binatang. Ia berubah transparan. Seperti roh.
Seperti hantu.
Aku menatapnya tak percaya, lalu teringat nama keluarganya. Soul. Tentu saja.
Namun bagian paling mengerikan dari semua itu adalah, gelombang energi yang dikirimkan Jose dan Tiera membuatku berubah juga. Setengah mati aku berusaha menahan diri, tapi tubuhku tetap berubah kelabu dan mataku berubah biru. Tubuhku menjadi transparan, walau tak setembus pandang Tiera. Satu perbedaan antara aku dan Tiera: saat aku berubah menjadi hantu tubuhku menjadi kelabu dan transparan, sedangkan Tiera tetap berwarna namun transparannya terbilang cukup parah.
Aku menatap sekeliling dan menyadari kalau Naira berusaha setengah mati untuk menjauh dari Hugo tanpa lari, Enzo (dalam wujud manusia lumpur) memegangi Hugo (dalam wujud manusia lumpur yang jauh lebih jelek dari Enzo) yang mengamuk dan meronta-ronta, jelas berusaha untuk menyerangku dan Naira. Menyadari kalau situasi mulai di luar kendali, Tiera dan Jose kembali berubah normal. Setengah mati aku memaksa diri untuk berubah kembali, begitu pula Naira dan Enzo. Sayangnya Hugo benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Enzo terpaksa harus menonjok perutnya (saat Hugo masih berupa setengah lumpur) sehingga Hugo terjatuh ke tanah, pingsan.
Segera setelah kami semua menarik Hugo ke tempat teduh, aku menatap Tiera dan Jose galak.
“Aku mau penjelasan,” tuntutku.

Sabtu, 17 Maret 2012

Terra de la Catala Ch. 7


Chapter 7

Kami kembali berjalan merambah rawa-rawa itu dalam diam. Ada perang dingin menyesakkan antara aku dan Hugo, yang menolak bicara satu sama lain, karena masih kesal atas kejadian di hari sebelumnya. Kali ini, aku dan Naira berjalan lebih berhati-hati supaya tidak melesak di lumpur lagi seperti kemarin.
“Jangan tenggelam di lumpur lagi,” kata Hugo.
“Kaupikir aku mau tenggelam lagi?” balasku ketus.
“Kaupikir aku bicara dengan siapa? Setidaknya kakakmu lebih sopan daripadamu.”
“Setidaknya adikmu lebih tenang daripadamu.”
“Stop, kita tidak pergi hanya untuk bertengkar,” lerai Enzo kesal.
“Dan dia jelas punya otak, tidak sepertimu!” tuduhku lagi.
Hugo membuka mulut untuk membalas, tapi Enzo melotot padanya. Hugo mendecak dan mempercepat langkah.
Aku menjulurkan lidah padanya, tapi tetap mengikutinya. Kalau sampai aku tertinggal, bisa dipastikan aku akan mati tenggelam dalam lumpur atau mati kering karena dehidrasi, mengingat bahwa aku sama sekali tidak bisa menentukan arah.
Saat aku berjalan, mendadak aku mendengar suara samar rumput-rumputan tersibak. Bukan oleh kaki kami berempat, sumber suaranya terdengar dari agak jauh (sebenarnya kutukanku ada sisi baiknya juga. Walau aku tidak bisa menyentuh apapun saat aku berubah dan sense waktuku jadi parah, tapi pendengaran dan penglihatanku jauh lebih bagus dari manusia biasa). Aku berusaha untuk menentukan dari mana asal suara itu sambil terus berjalan mengikuti yang lainnya, berusaha untuk tidak terlihat curiga akan suara itu.
Sesaat kemudian aku menyadari bahwa asal suara itu dari belakangku. Aku berbalik seketika, tepat saat orang yang mengikutiku itu menubrukku dengan kekuatan penuh.
“Oof!”
“Aduh!”
Aku jatuh terduduk ke tanah kering, menatap siapa yang menubrukku itu. “Tiera!” pekikku kaget.
“Hai, Shira,” kata Tiera, sedikit lemas, ada sinar kecewa di matanya. “Sial, padahal kukira kau tak akan menyadari kalau aku dan Jose mengikutimu.”
“Suara kakimu terdengar jelas. Apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku galak sementara ia berdiri.
“Siapa dia?” Hugo melangkah mendekatiku dan menarikku berdiri dengan seikit kasar.
“Tiera Spirit,” kataku. “Dia… satu sekolah denganku.”
“Kau tidak mau menyebutku sahabatmu?” tanyanya, menampilkan wajah tanpa bersalah yang dibuat-buat, sementara Jose menatapnya datar. Aku memelototinya sebagai jawaban atas pertanyaannya.
“Tiera Soul, ini Joseph Wolve,” kata Tiera pada Hugo.
“Hugo Mudparson,” kata Hugo.
“Dan dia?” Tiera menunjuk Naira.
“Naira Spirit.”
“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku pada Tiera galak.
“Kau tidak sadar kalau aku sudah mulai melacakmu sejak kau di café gelato itu, ya?” balas Tiera. “Suara kalian cukup keras untuk didengar. Kebetulan aku dan Jose ada di sana. Kami mendengarnya, jadi kami memutuskan untuk mengikuti kalian. Hanya saja kami salah perhitungan. Kami pikir kalian akan pergi sehari setelah pembicaraan itu, ternyata kalian langsung berangkat ke sini. Kami sempat kehilangan jejak, untungnya kami mendengar nama Vomica disebut-sebut. Setelah kami bertanya sedikit pada pemilik penginapan, barulah kami tahu kalau kalian sudah di sini. Kami segera menyusul.”
“Sejak kapan kalian mengikuti kami?” tanya Enzo pada Tiera.
“Sebetulnya sejak kemarin, tapi saat itu kami belum melihat kalian,” jawab Tiera. “Baru pagi ini kami berhasil menyusul.”
Aku melirik Naira. Berarti mereka tidak melihat kami berubah. Baguslah.
Hugo mengusap wajah. “Aku minta maaf kalau aku tidak sopan, tapi tolong pulanglah.”
Wow. Aku tidak menyangka dia bisa mengatakan kata ‘maaf’ dan ‘tolong’ seperti itu. Dia bahkan mengakui kalau dia tidak sopan!
Enzo mengangguk setuju. “Bisa dibilang kegiatan kami ini… tertutup.”
Tiera cemberut dan memandangku. “Aku sudah pergi sejauh ini. Biarkan aku ikut, oke?”
Aku saling melirik dengan Naira, lalu kami menggeleng kompak.
Tiera memandang Jose, Jose menatap Enzo tajam. Enzo membalas tatapannya datar.
“Kenapa kalian ingin sekali ikut?” tanya Naira akhirnya. “Ini hanya perjalanan biasa,” kecuali bahwa perjalanan ini luar biasa karena kami bukan manusia biasa, pikirku, “dan tempat ini membosankan,” kecuali bahwa tempat ini digunakan untuk menyembunyikan harta terkutuk, pikirku lagi, “dan kurasa kalian tidak akan benar-benar menyukai perjalanan ini karena Shira dan Hugo terus-menerus bertengkar,” yang itu benar, pikirku setuju, “jadi… untuk apa kalian ikut?”
Aku membentuk pistol dengan jemariku dan menembak Tiera. “Itu kenapa aku menolak. Tapi, Naira, kurasa kau terlalu jujur. Kalau kau membocorkannya aku tidak akan bisa benar-benar menikmati pertengkaranku dengan Hugo.”
“Kau memang aneh,” celetuk Hugo.
“Yang mengatakannya lebih aneh,” balasku.
“Oke, lanjutkan saja pertengkaran tidak berguna ini nanti,” Enzo langsung memotong kami. “Jadi, Tiera, Joseph, oke? Kalian lihat sendiri kalau Shira dan Hugo selalu bertengkar. Kalian tak akan merasa nyaman kalau terus-terusan mendengar mereka bertengkar, dan aku serius tentangnya.”
“Kami bisa membiasakan diri,” sambut Tiera langsung, diiringi anggukan Jose. “Kami ingin berjalan-jalan juga. Menyesatkan diri sendiri di rawa-rawa untuk beberapa saat… bukankah itu menyenangkan?”
“Tidak, itu membosankan,” jawab Hugo datar.
“Oh, ayolah…”
Aku berpandangan dengan Naira. Kalau mereka ikut, kami harus jauh lebih berhati-hati, jangan sampai kami berubah.
“Kami sudah membawa tenda sendiri kalau kalian tidak mau tidur bersama kami,” tambah Jose, membuatku terkejut. Dia jarang sekali bicara.
“Tapi kami ingin privasi – “
“Kami hanya akan ikut, tidak mengganggu privasi kalian.”
“Ini hanya perjalanan biasa yang membosankan – “
“Sedikit kebosanan tidak akan mengganggu.”
“Tapi… tapi…” Enzo kehabisan alasan. Ia menatap Hugo dengan wajah memelas.
Hugo mendesah. Sepertinya dia menyadari kalau tekad baja Tiera dan Jose tak mungkin dilumpuhkan. “Oke,” katanya. “Kalian ikut. Tapi ingat janji kalian. Tidak ada gangguan untuk privasi kami. Mengerti?”
“Tentu saja,” jawab Tiera tanggap. Jose mengangguk setuju.
Aku bertukar pandang dengan Naira sementara kami melanjutkan langkah. Ini buruk. Kalau sampai mereka melihat kami mendadak berubah di tempat ini, apa yang akan mereka lakukan?

Terra de la Catala Ch. 6


Chapter 6

Enzo membeku dengan wajah pucat, Naira terperangah tak percaya, dan Hugo, tanpa merasa bersalah, langsung menabok kepalaku dengan tidak terlalu keras.
“Kau mau membahayakan kita semua?!” bentaknya.
“Kaupikir ada cara lain?” tanyaku kesal. “Kau berubah jadi manusia lumpur? Silakan. Kami juga akan langsung berubah jadi hantu. Sama saja!”
“Tapi, Shira, kau tahu aku tak sepertimu,” kata Naira. “Aku tidak bisa berubah seenak hati sepertimu.”
“Kalau aku berubah, aku curiga Hugo juga akan berubah karena, tidak sepertiku dan Enzo, dia tidak bisa mengontrol kekuatannya, benar?” tanyaku pada Hugo, dan ia mengangguk. “Kalau begitu, kau juga pasti akan segera berubah. Dengan begitu kita bisa segera keluar dari kolam lumpur ini, lalu segera berubah kembali.”
“Tapi kalau aku sudah berubah – “
“Naira, percayalah. Lebih mudah berubah kembali dari berubah menjadi hantu.”
Naira tampak ragu sesaat, tapi saat ia menyadari kalau ia terbenam makin dalam, ia mengangguk padaku. Aku menatap Enzo, memberinya isyarat untuk berusaha mengontrol dirinya dan kakaknya. Kemudian aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, dan memaksa tubuhku untuk berubah.
Seperti biasa, prosesnya menyakitkan. Tapi tidak sesakit biasanya. Kubuka mataku kembali dan tubuhku telah berubah menjadi abu-abu suram, tidak solid, mataku berubah biru cemerlang. Dengan mudah aku mengangkat kakiku dari lumpur dan berjalan mundur ke tanah yang lebih solid.
Dengan waswas aku menatap Enzo dan Hugo. Seperti dugaanku, mata Enzo telah berubah kuning terang, setengah tubuh Hugo telah berubah menjadi lumpur. Hugo tampaknya berusaha mati-matian untuk menerjangku dan melenyapkanku. Aku harus bersyukur Enzo tidak terlalu terpengaruh.
Aku mengalihkan pandang ke Naira yang juga telah berubah menjadi hantu. Ia mengangkat tubuhnya dan berdiri menjajariku. Aku segera berubah kembali menjadi manusia. Naira, dengan sedikit kesulitan, berubah kembali. Namun matanya yang biasanya berwarna cokelat muda tetap tampak sedikit beraksen kelabu-perak. Matakupun tetap berwarna biru terang. Akhirnya, setelah beberapa saat, Hugo kembali seperti semula. Matanya yang normalnya berwarna cokelat tua, seperti Enzo, tetap tampak kekuning-emasan. Mata Enzopun juga tetap tampak kuning terang.
“Jangan,” engah Hugo, “jangan pernah kau berani-berani bertindak seperti itu lagi.”
“Maaf,” kataku sungguh-sungguh.
Hugo tampak amat kelelahan. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangannya, tubuhnya oleng ke arah Enzo. Enzo segera menyangga tubuhnya dengan tanggap.
“Dia selalu kelelahan setelah berubah,” kata Enzo. “Kurasa sebaiknya kita beristirahat sekarang.”
Naira menunjuk daerah sekering gurun sekitar beberapa meter dari kami. “Kalau begitu di sana saja.”
Kami segera berjalan ke tempat itu dan duduk di tanah, di bawah pohon yang mengering. Di sana, kami menenggak minum dan makan sedikit makanan ringan yang kami bawa. Dari semuanya, Hugolah yang menghabiskan paling banyak makanan.
“Kau ini,” katanya dengan nada menyalahkan, kata-katanya jelas ditujukan padaku. “Kau tahu kau bisa membahayakan kita semua, dan kau masih melakukannya?”
“Kalau aku tidak berubah, kita semua akan tetap berada di sana,” aku menunjuk tempat di mana tadi aku dan Naira terbenam lumpur – kaki kami yang tadinya berada di sana meninggalkan lubang lumpur besar seperti cetakan – dan menatap Hugo kesal, “dan mungkin kita akan terus berada di sana tanpa bisa keluar. Apa kau punya solusi yang lebih baik dari berubah? Kau tidak mengatakan apapun, kuanggap itu sebagai tidak.”
“Kita bisa saja kembali ke desa untuk minta bantuan.”
“Terlalu lama, kami akan tenggelam sebelum bantuan datang.”
“Kau – “
“Hentikan!” Naira tidak bisa menahan kesabarannya lagi. “Hentikan pertengkaran tidak berguna ini. Masalah sudah teratasi, jangan ribut-ribut lagi soal ini.”
“Naira!” protesku kesal.
“Kau diam saja!” bentak Hugo. “Kalau kau tidak terbenam lebih dulu, kita tak mungkin terjebak dalam situasi seperti tadi.”
Naira tampak marah, tapi sebelum dia bisa melakukan atau mengatakan apapun lagi, aku sudah memukul wajah Hugo keras-keras. Beraninya dia menyalahkan kakakku. Memangnya dia bisa mencegah siapapun terbenam dalam lumpur waktu itu? Tidak!
Enzo tampak kaget, begitu pula Naira. Namun, tak seperti Naira yang langsung memucat saat melihat telinga Hugo memerah karena emosi, ia malah tampak tertarik. Ia menjulurkan lehernya panjang-panjang ke arah kami dan mengamatiku dan Hugo bertengkar.
“Kau berani memukulku?” tanya Hugo, jelas marah.
Aku menyentakkan kepalaku untuk menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku dengan gaya menantang.
Naira menatapku dan Hugo dengan waswas. Jelas, ia sudah bisa mengendus masalah dan perkelahian.
“Oke, stop,” kata Enzo akhirnya. “Saat ini sudah senja. Kita sudah berjalan seharian penuh. Sebaiknya kita mendirikan tenda di sini untuk bermalam, besok kita bisa berangkat lagi.”
Aku dan Hugo kembali menatap satu sama lain dengan penuh kemarahan, lalu berbalik memunggungi satu sama lain.
Naira berpandangan dengan Enzo. Ia menggumamkan ‘terima kasih’ tanpa suara. Enzo mengangguk sebagai renspon.

*

Malam itu, aku melangkah keluar dari tendaku, walau itu bukan giliran jagaku, karena tidak bisa tidur. Enzo duduk di luar, rupanya saat itu adalah gilirannya menjaga. Aku duduk di sebelahnya.
“Kenapa saat aku dan Hugo bertengkar, kau tampak tertarik?” tanyaku padanya.
Enzo menatapku kaget. “Terlihat?”
“Jelas sekali.”
Enzo tersenyum. “Kau orang pertama yang berani memukul Hugo. Biasanya orang melihatnya sudah malas berurusan dengannya. Kau malah langsung menonjoknya. Menarik, kau tahu.”
Aku mengangkat bahu. “Aku memang berbeda dengan orang biasanya.”
“Aku tahu. Memangnya siapa lagi yang bisa berubah jadi hantu?”
“Mmm… Naira.”
Enzo tertawa, lalu menatap langit. “Bulannya masih belum penuh,” katanya. “Makhluk apa yang mencabik-cabik orang-orang?”
“Kurasa kita akan segera tahu,” kataku, menatap kejauhan.
Semalaman itu aku dan Enzo terjaga bersama, menjaga tenda kami, menatap ke kejauhan, menanti kedatangan makhluk yang katanya telah mencabik orang-orang itu.
Makhluk itu tak pernah datang.
Setidaknya, tidak malam itu.

Sabtu, 24 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 5


Chapter 5

Aku dan Naira menunggu dengan bosan di kursi café dekat sekolah itu, manyantap gelato dan menyeruput espresso (Naira menyukai kopi yang keras, walaupun kafeinnya membuatnya tidak bisa tidur semalaman) dan caramel machiatto (vanilla latte dengan krim dan karamel lengket di atasnya). Gelato rasa mintku sudah habis dari tadi, aku mengunyah sisa cone wafflenya yang masih ada dengan kebosanan total.
Akhirnya, setelah begitu lama menunggu – aku sudah tak tahu lagi aku menunggu berapa lama, sense waktuku juga lumayan parah, tapi kurasa lebih karena aku setengah hantu; hantu kan bukan makhluk yang dibatasi waktu – akhirnya Enzo datang. Di belakangnya berjalan kakaknya – laki-laki seumuran Naira dengan rambut acak-acakan dan dandanan khas Sam dan Dean Winchester dari Supernatural. Untungnya Enzo tidak mengikuti gayanya, walaupun jaketnya serupa.
“Maaf,” kata Enzo, duduk di sebelahku. “Kakakku bukan orang yang tepat waktu. Aku Enzo, Enzo Mudparson,” kata Enzo pada Naira, bersalaman dengannya.
“Naira Spirit,” balas Naira.
“Naira, Shira, ini kakakku, Hugo,” kata Enzo sambil menunjuk kakaknya.
“Hugo Mudparson,” kata laki-laki berambut acak-acakan itu. Ia duduk di sebelah Naira, lalu dengan asalnya mengambil sisa cone waffleku yang berlum termakan dan melahap semuanya.
“Hei!” protesku kesal.
“Maaf, dia belum makan siang,” jelas Enzo. Ia segera memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya – gelato cokelat dan cappuccino untuknya sendiri, dan gelato stroberi dan mocha untuk Hugo. Ia juga memesan dua gelato vanila untukku dan Naira sebagai permintaan maaf karena terlambat – sebenarnya dia juga ingin membelikan minuman lagi, tapi minumanku dan Naira masih banyak. Aku menatap Hugo, tak percaya kalau orang sepertinya, laki-laki pula, suka makan gelato stroberi.
“Dia suka manis,” jelas Enzo langsung.
Begitu gelato yang dipesan Enzo datang, aku langsung menyantapnya tanpa malu-malu. “Jadi, kita langsung ke Terra de la Catala?”
“Kalau tidak, kau mau ke mana lagi?” tanya Hugo sinis. “Shopping department?”
Aku menatapnya kesal. “Oh, ya, dan kau bisa pergi ke gym.”
“Ya, kita langsung ke sana,” potong Naira sebelum kami mulai bertengkar mulut. Aku baru mengenalnya beberapa menit dan aku sudah tahu kalau aku tak mungkin cocok dengannya. Bagus.
Enzo mengeluarkan petanya. “Jadi, pertama-tama, kita harus ke desa di dekat Terra de la Catala untuk menyewa tenda dan barang-barang yang kita belum punya untuk berkemah di sana. Berarti desa… Vomica.”
“Oh, bagus,” celetuk Hugo.
“Bagus? Bagus apa?”
“Vomica itu bahasa Latin untuk kutukan.”
Aku menyeruput caramel machiatoku dengan kalem. Sepertinya perjalanan ini memang ditakdirkan untuk menjadi perjalanan yang buruk.
Naira melirik jamnya. “Kurasa kita harus cepat. Waktu kita hanya seminggu. Kita harus bergerak cepat. Setidaknya besok pagi-pagi kita harus sudah di Terra de la Catala.”
Aku mengangguk, Enzo mengangguk, Hugo mendengus.
“Kenapa buru-buru?” katanya malas. “Seminggu itu lama.”
Mau tidak mau, aku merasa benar-benar kesal melihatnya seperti itu. “Kalau begitu pulang sana. Tidak usah ikut.”
Hugo langsung menegakkan duduknya. “Aku tidak mau diperintah anak perempuan, terutama yang lebih muda dariku.”
Aku menaikkan sebelah alis. “Oh? Kalau begitu pergi saja. Kau pikir aku mau terjebak bersama pemalas tidak berguna sepertimu?”
Hugo tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak menonjokku. Tapi ia mengangguk pada Naira, menyatakan persetujuan yang jelas setengah hati. Ia menghabiskan gelatonya dalam tiga sendokan, menghabiskan cone wafflenya dalam tiga gigitan, dan menenggak mochanya dalam satu tegukan, lalu menyuruh kami untuk cepat, dan, menyadari kebenaran kata-katanya, kami semua menurut.
Setelah membayar semua pesanan kami, kami segera menaiki bus ke pinggiran kota dan berjalan cepat ke Vomica yang jaraknya tidak terlalu jauh dari halte. Namun, karena bus dari kota ke daerah dekat Vomica itu jauh sekali, saat kami sampai di Vomica sudah sore. Akhirnya kami menginap di penginapan kecil di Vomica dan mendapat diskon sedikit setelah beberapa lama membujuk si pemilik penginapan. Tentu saja, kami memesan dua kamar. Aku bersama Naira dan Enzo bersama Hugo.
Keesokan paginya, kami menyewa tenda, kompor, dan barang-barang lain untuk perlengkapan berkemah kami di rawa-rawa pada si pemilik penginapan.
“Kalian mau berkemah di rawa-rawa?” tanya si pemilik penginapan dengan suara sengaunya. “Hati-hati, pada malam hari sering ada hal aneh di sana.”
Keberadaan kami sendiri sudah cukup aneh, pikirku. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa berubah jadi hantu dan lumpur?
“Aneh bagaimana?” tanya Enzo pada si pemilik penginapan.
 “Orang yang hilang di tengah malam saat bulan sabit. Atau mayat-mayat tercabik yang ditemukan di malam purnama. Atau mayat-mayat yang berselimut lumpur yang ditemukan di malam bulan mati.”
Aku berpandangan dengan Enzo. Yang terakhir jelas manusia lumpur. Mungkin masih ada keluarga Mudparson yang tinggal di sini. Tapi dua yang lain? Aku bahkan tidak berani menebak.
“Yah, tapi inilah anak-anak muda jaman sekarang,” kata si pemilik penginapan. “Selalu mencari masalah. Ini tenda kalian, kompor kalian, kantong tidur kalian. Kalian bisa membayar semuanya setelah kembali. Dan,” si pemilik penginapan melirikku dan Enzo dengan kerlingan nakal, “hati-hati, jangan lakukan yang tidak-tidak.”
Aku mengerjap tak paham, tapi Enzo jelas paham. Wajahnya memerah seketika, dan ia menghindari pandanganku.
“Apa?” tanyaku bingung.
Si pemilik penginapan tertawa. “Bukan apa-apa. Bawa semuanya, kembalikan kalau sudah selesai. Ingat, hati-hati, terutama saat bulan muncul.”
Aku dan Enzo mengangguk, lalu membawa semua barang sewaan kami ke halaman penginapan itu, tempat Naira dan Hugo menunggu. Kami berempat segera membagi tugas dan bawaan di bawah instruksi Hugo yang tampaknya sudah terbiasa berkemah. Hugo dan Enzo membawa tenda dan kompor, sedangkan aku dan Naira membawa kantong tidur dan alas tidur yang jelas lebih ringan dari kompor dan tenda.
Kami berjalan di tanah becek namun cukup solid untuk ditapaki selama beberapa jam sambil membicarakan di mana kira-kira harta itu disembunyikan. Aku bahkan sempat terjebak perang mulut dengan Hugo lagi, namun Naira dan Enzo dengan cepat melerai kami.
Secara umum, Naira berjalan dengan setengah melamun; kebiasaannya saat ia sedang berpikir. Ia akan berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya, tanpa menyadari bahwa ada dunia di sekitarnya. Dia akan tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Naira, ini rawa-rawa, jangan melamun,” kataku padanya setengah hati. Seperti dugaanku, ia tidak menyadari peringatanku. Aku mendesah dan kembali memperhatikan jalanku sendiri.
Kami berjalan kembali, kini dalam sunyi. Aku mulai tenggelam dalam pikiranku sendiri. Malam bulan mati, mayat berselimut lumpur, itu jelas saudara-saudara Enzo dan Hugo. Malam bulan purnama… mungkinkah itu manusia serigala? Bukannya tidak mungkin. Lalu, orang hilang? Aku sama sekali tidak tahu. Apakah semacam pemakan daging manusia atau apa? Mengerikan. Apa sebenarnya yang ada di rawa-rawa ini? Kenapa seaneh ini?
Bahkan saat aku baru berpikir tentang keanehan tempat itu, aku melihat kalau tanah di jarak beberapa meter dari tempatku sekering gurun. Ya, tempat ini jelas tidak normal.
Aku mendesah. Di tempat ini, sense arahku yang sudah parah makin bertambah parah. Saat aku berada di Vomica, si pemilik penginapan memberitahuku kalau rawa ini ada di arah barat dari Vomica. Setelah berbelok beberapa kali, aku bahkan sudah tak bisa tahu lagi ke mana arahku berjalan. Untungnya Hugo cukup berpengalaman untuk tahu kalau ia perlu membawa kompas. Dan Naira, walau saat ini ia jelas tidak menyadari kehadiranku, memiliki sense arah yang bagus sekali.
Aku menunduk, masih mempertahankan kecepatan langkahku. Pikiranku mengembara ke mana-mana, tapi segera kembali ke dunia saat mendengar jeritan kaget dan panik Naira.
Aku menoleh kaget. “Naira!”
Naira telah terbenam di lumpur rawa hingga selutut. Aku melangkah mendekatinya, tapi kakiku langsung terbenam sampai di pergelangan kaki. Aku tak bisa menariknya lagi. Untungnya aku mengenakan sepatu bot kulit lusuh sehingga kakiku tidak kotor.
Aku mencoba menarik kakiku lagi, tapi yang ada kakiku hanya terbenam makin dalam.
“Sial,” bisikku kesal.
“Seharusnya kalian perhatikan jalan kalian,” gerutu Hugo. “Enzo, bantu aku menarik Naira.”
Mereka segera berusaha menarik Naira yang posisinya jelas lebih gawat dariku. Namun tarikan mereka tidak berguna, Naira tidak bisa keluar. Ia hanya bisa melenguh kesakitan karena tarikan Hugo dan Enzo.
“Tidak, tidak bisa,” kata Naira.
“Kalau begitu coba Shira dulu, nanti dia bisa bantu menarik Naira,” kata Enzo, kakaknya mengangguk. Mereka segera berusaha menarikku, tapi hasilnya sama saja dengan Naira. Aku tidak bisa ditarik keluar.
“Kurasa hanya ada satu cara bagiku untuk keluar,” kataku setengah berbisik.
“Apa?”
“Berubah,” jawabku.

Senin, 12 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 4


Chapter 4


Chiarra

Chiarra menatap ke meja di depannya. Suasana pasar yang ramai serasa menggempur gendang telinganya dengan keras. sementara itu, si pedagang barang-barang antik di depannya mulai tampak tak sabar, begitu pula pemuda di sebelahnya, teman dekat Chiarra, Paolo.
Akhirnya, Chiarra menatap si pedagang, bapak tua berkumis tebal seperti walrus – dengan tubuh yang gendut bulat, membuatnya tampak nyaris persis walrus, hanya saja si pak tua mengenakan kaos yang bertuliskan ‘I LOVE HUNTING WALRUS’, mungkin karena sebal disebut mirip walrus. Mana mungkin walrus membunuh sesamanya. Selain itu, di bagian punggung kaos itu ada tulisan ‘I HATE WALRUS VERY MUCH’ dan di gantungan pribadi si pedagang ada beberapa kaos lain, dengan tulisan ‘I LOVE EATING WALRUS’, ‘WALRUS ARE DANGEROUS BEASTS’, dan ‘I AM NOT A WALRUS’. Si pedagang telah dengan jelas menyatakan kalau ia tidak suka disebut walrus.
“Bisakah anda mencarikan sesuatu untuk saya?” tanya Chiarra sopan pada si walrus – si pedagang.
Wajah si pedagang langsung tampak cerah kembali. “Kenapa tidak dari tadi?” tanyanya. Ia membungkuk dan mengambil sebuah kotak kayu berukir, membukanya, menampilkan dua cincin di dalamnya. Yang satu cincin perak berukir dan yang lainnya cincin emas berukir. Keduanya tampak identik, kecuali bahwa bahan dasarnya berbeda.
“Cincin?” setelah sekian lama, akhirnya Paolo membuka suara.
“Tentu saja,” kata si pedagang, tersenyum, kumis walrus besarnya berkedut. “Cincin-cincin ini bagus. sudah cukup tua, tapi terawat. Dan, cocok untuk pasangan seperti kalian berdua.”
Wajah Chiarra memerah seketika. “Kami bukan pasangan,” sangkalnya setengah hati.
Si pedagang hanya tertawa. “Bagaimanapun, kurasa kalian akan tetap merasa tertarik pada cincin-cincin ini.”
Paolo menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”
Si pedagang melirik ke kanan-kiri seakan mengawasi sekitar, lalu memberi isyarat pada Chiarra dan Paolo untuk mendekat. Keduanya mendekat, lalu mendengarkan si pedagang berbisik pada mereka.
“Kedua cincin ini adalah kunci ke harta karun.”
Walau nafas si pedagang berbau busuk, namun kata-katanya memang membuat Chiarra dan Paolo tertarik. Chiarra menatap si pedagang dengan antusiasme tinggi, sementara Paolo menatap kedua cincin itu dengan wajah tertarik sekaligus ragu.
Si pedagang tertawa terbahak-bahak. “Kau meragukannya, bukan?” tanyanya. “Harta yang akan dibuka kedua cincin ini sebenarnya bisa dibilang tidak ada. Ada begitu banyak orang yang mencarinya, tapi hanya ada satu yang berhasil kembali hidup-hidup, namun akan lebih baik kalau dia mati.”
“Bagaimana bisa?” tanya Chiarra heran.
“Dia terus-menerus meracau tentang monster dan lain sebagainya seperti orang gila,” desah si pedagang, menyipitkan matanya, sesaat tampak makin mirip dengan walrus. “Kurasa dia memang sudah gila. Lagipula, semua orang yang mencari harta itu mati, hanya orang itu yang selamat. Bukan tidak mungkin kalau yang dikatakannya itu benar, tapi kurasa hanya hewan buas saja, sebagian lainnya hanyalah halusinasinya sendiri.”
Chiarra dan Paolo berpandangan. Keduanya tahu, mereka tertarik pada harta itu.
Mereka meraih cincin itu – Chiarra menyentuh yang perak, Paolo menyentuh yang emas, dan seketika dunia berputar. Kilasan-kilasan gambaran tampak di depan mereka; rawa-rawa dan tanah tandus, danau besar berair jernih, gua, pintu batu besar dalam gua tersebut dengan gambar yinyang emas dan perak. Hanya dengan sekali lirik saja Chiarra dan Paolo tahu kalau cincin mereka akan menjadi kunci di yinyang tersebut. Kemudian, pintu batu itu terbuka, dan keduanya seakan ditarik ke dalam pintu itu, lalu ke atas. Permukaan air menghilang, tampak harta di mana-mana.
Lalu semuanya menghilang.

*

“Kita tak bisa pergi berdua saja,” kataku pada Enzo.
“Kenapa?” tanya Enzo heran, kepolosan tampak jelas di matanya.
Aku memutar bola mata. “Chiarra dan Paolo pergi berdua saja, kan? Pada akhirnya mereka pulang dengan keadaan terkutuk. Bagaimana dengan kita? Aku tak mau membawa dua kutukan sekaligus, satu saja sudah cukup mengerikan.”
“Oh,” Enzo mengangguk paham. “Lalu siapa?”
“Kurasa aku bisa mengajak kakakku, Naira,” jawabku. “Lagipula, dia pintar geografi. Pintar membaca arah.”
“Kau sendiri?”
Wajahku memerah malu. “Tolong jangan tanyakan soal itu.” Sense arahku jelek sekali. Bahkan di rumahku sendiri, aku sering kesulitan membedakan mana utara, selatan, timur, dan barat. Bahkan, kadang antara kanan dan kiri saja terbalik. Membaca peta bagiku sama sulitnya dengan menggarap soal matematika dan fisika – yang, bagiku, sulit sekali.
“Kalau begitu mungkin aku bisa membawa kakakku,” kata Enzo, menyebut kakaknya seakan ia barang. “Namanya Hugo. Mungkin bisa dibilang dialah yang akan menjadi algojo, penjaga kita nanti. Walau mungkin bagimu aku tampak kalem,” nyaris tak punya emosi, pikirku, “Hugo tidaklah sepertiku. Dia tukang kelahi.”
“Kau sendiri?”
“Aku lebih suka menghindari masalah.”
Aku mengangguk. “Jadi, kita akan berangkat minggu depan bersama kakak-kakak kita?”
Enzo mengangkat bahu. “Makin cepat makin baik, bukan? Lagipula, minggu depan siklus bulan purnama, bukan bulan mati. Seharusnya kita bisa tetap selamat.”

*

“Naira, ada sesuatu yang harus kuberi tahu padamu.”
Naira menutup majalah yang sedang dibacanya. “Ada apa?”
“Sebelum kukatakan apa itu, kumohon, berjanjilah jangan menjerit atau berteriak, jangan bertingkah terlalu aneh atau orangtua kita akan curiga,” kataku.
Naira menaikkan sebelah alisnya. “Oke,” katanya perlahan.
“Pergilah bersamaku mencari harta yang dulu dicari Chiarra dan Paolo.”
Tidak seperti dugaanku, rupanya Naira malah mendengus geli. “Yang benar saja, Shira. Harta itu tidak ada.”
“Bagaimana kalau ada?” tanyaku. “Lagipula, ini bisa jadi adalah cara untuk melepaskan kutukan kita.”
“Tapi kita dari keluarga Spirit. Bagaimana dengan keluarga Mudparson?”
“Jangan khawatir. Anak pindahan di kelasku adalah seorang Mudparson.”
Naira mengerjap, lalu duduk lebih tegak dan menatapku dengan serius. “Aku mendengarkan.”
“Minggu depan kita libur karena kelas dua belas ujian. Kau kelas sebelas, aku kelas sepuluh. Kita bisa mencarinya bersama.”
“Lalu, temanmu? Kita akan pergi bertiga?”
“Tidak, Enzo akan membawa kakaknya. Jadi kita berempat.”
Naira mengangguk. “Kau yakin?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kuncinya?”
“Kunci?”
“Legenda menyatakan bahwa harta itu dikunci dalam gua dan memerlukan dua kunci.”
“Kuncinya cincin. Cincin keluarga kita. Dan keluarga Mudparson.”
“Lalu, kau tahu tempatnya di mana?”
Aku menatap Naira lekat, bersiap untuk memberinya kejutan. “Terra de la Catala.”
Bahkan sebelum aku menutup mulutku, Naira sudah menatapku dengan pandang ngeri. “Aku tidak ikut. Bahkan walaupun minggu depan siklus bulan purnama, kutukan di Terra de la Catala akan diperkuat. Aku tak mau terjebak di sana bersama dua orang Mudparson.”
“Naira! Ini kesempatan kita untuk melepaskan kutukan ini.”
“Tapi kita bahkan tidak tahu apakah harta itu memang ada!”
“Tadi kau antusias, sekarang kau begitu skeptis. Ayolah, Naira. Tidakkah kau ingin melepaskan diri dari kutukan ini?”
Naira menunduk dan melirik ke atas, menatap mataku lekat. Ia menimbang-nimbang, berpikir. Satu lirikan saja sudah cukup untuk memberitahuku kalau keputusan ini sulit baginya.
Akhirnya, Naira mendesah. “Oke, aku ikut. Tapi jangan beritahu Ayah dan Ibu. Bilang saja kalau kita berkemah dengan teman-teman kita.”
Aku mengangguk cepat. “Ya. Seharusnya mereka tidak memprotes, mereka bilang mereka ingin kita lebih terbuka pada teman-teman kita.”
Naira mengangguk. “Semoga kita tidak berubah.”
Aku hanya bisa berharap.