Sabtu, 31 Maret 2012

Terra de la Catala ch. 8


Chapter 8

“Shira!”
Aku bisa merasakan urat-urat di dahiku timbul saat Tiera menubrukku dari belakang dengan kekuatan penuh. “Menyingkir dariku, Tiera.”
“Kau jahat sekali!”
“Terserah apa katamu. Minggir.”
Tiera cemberut sementara ia menyingkir dariku. “Kau menyebalkan.”
“Kau mengganggu,” balasku datar.
“Berdarah dingin.”
“Tidak berguna.”
“Apa?!”
“Hei, stop!” lerai Enzo kesal. “Shira! Kemarin dengan Hugo, sekarang dengan Tiera. Kau ini magnet pertengkaran, ya?”
Aku menjulurkan lidah padanya dan terus berjalan. Hugo menatapku dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapapun pasti tahu kalau aku sedang kesal. Jelas, karena Tiera.
Sudah seharian dia mengikuti kami. Ya, dia menepati janjinya untuk tidak mengganggu kami, dan dia tidak menanyakan niat kami ke sini. Sialnya dia menghujaniku dengan jutaan pertanyaan tidak berguna dan ribuan terjangan dari belakang punggung. Maksudku, hei, ini rawa-rawa! Bagaimana kalau aku tahu-tahu jatuh dan terbenam dalam lumpur, lagi? Aku tidak mau berubah di depan Tiera dan Jose!
Kami terus berjalan melewati rawa-rawa itu selama berjam-jam. Tiera benar-benar bayi; ia mengeluh kakinya pegal, butuh manikur-pedikur begitu sampai di rumah, dan jutaan keluhan manja lainnya. Sial kau Tiera, kau pikir aku kakiku tidak pegal?
Untungnya Jose menutup mulut. Seperti biasa ia nyaris tidak pernah bicara. Walaupun aura diamnya itu bisa terasa sangat mengerikan, setidaknya suaranya yang nyaris selalu absen itu tidak membuatku makin gila. Cukup satu orang saja yang berceloteh seperti monyet (sebut nama? Tiera), yang lainnya tidak usah.
Aku menatap sekeliling sambil berjalan. Rawa ini makin lama makin aneh saja – sekarang malah ada rumput ilalang setinggi pinggang seperti di savana. Kurasa makin ke dalam rawa suasananya akan makin aneh, dan berbahaya. Kalau tertutup rumput begini mana tahu kalau di depan ada genangan lumpur lagi?
“Wah!”
Tiera lagi? Aku mendengus dan berbalik. “Oke, sekarang rengekan macam apa lagi yang…” suaraku menghilang.
“Shira, tolong…” ucap Tiera memelas, satu kakinya terbenam dalam lumpur.
“Astaga, jangan lagi!” teriak Hugo dari belakangku. Sudah beberapa hari belakangan ini Tiera terus-menerus terbenam lumpur. Sialnya, genangan lumpur yang ini bandel; Tiera terbenam cepat, dan tidak bisa ditarik keluar lagi, walaupun kami berlima sudah menariknya bersama-sama. Yang ada malah dia berteriak kesakitan.
Ini sama denganku dan Naira dulu. Walau ditarik seperti apapun juga dia tak akan bisa keluar dari lumpur, dia hanya akan terbenam makin dalam. Sialnya, pada kasus Tiera, lumpur yang menariknya makin dalam menarik dengan kecepatan yang menyebalkan. Dibiarkan setengah jam lagi saja Tiera pasti sudah terbenam sampai kepala.
Tiera menatap Jose dengan tatapan yang belum pernah kulihat darinya. Pasrah tapi nekad. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan?
“Tak ada pilihan lain?” tanya Jose pada Tiera. Tiera menggeleng, melotot padanya. Jose mengangkat bahu dan memejamkan mata.
Kemudian, ia berubah.
Ia berjongkok dan meletakkan tangannya di atas pundak Tiera, dan tubuhnya tampak beriak seperti air. Sedetik berlalu, dan tiba-tiba pakaiannya menghilang digantikan bulu berwarna cokelat kemerahan, dan sekujur tubuhnya dipenuhi bulu berwarna sama. Hidungnya memanjang menjadi moncong serigala. Telinganya meruncing, ekor kuat muncul dari pantatnya. Dengan ngeri aku menyadari kalau Jose adalah manusia serigala.
Kemudian, perubahan terjadi pada Tiera. Hanya saja ia tidak berubah menjadi binatang. Ia berubah transparan. Seperti roh.
Seperti hantu.
Aku menatapnya tak percaya, lalu teringat nama keluarganya. Soul. Tentu saja.
Namun bagian paling mengerikan dari semua itu adalah, gelombang energi yang dikirimkan Jose dan Tiera membuatku berubah juga. Setengah mati aku berusaha menahan diri, tapi tubuhku tetap berubah kelabu dan mataku berubah biru. Tubuhku menjadi transparan, walau tak setembus pandang Tiera. Satu perbedaan antara aku dan Tiera: saat aku berubah menjadi hantu tubuhku menjadi kelabu dan transparan, sedangkan Tiera tetap berwarna namun transparannya terbilang cukup parah.
Aku menatap sekeliling dan menyadari kalau Naira berusaha setengah mati untuk menjauh dari Hugo tanpa lari, Enzo (dalam wujud manusia lumpur) memegangi Hugo (dalam wujud manusia lumpur yang jauh lebih jelek dari Enzo) yang mengamuk dan meronta-ronta, jelas berusaha untuk menyerangku dan Naira. Menyadari kalau situasi mulai di luar kendali, Tiera dan Jose kembali berubah normal. Setengah mati aku memaksa diri untuk berubah kembali, begitu pula Naira dan Enzo. Sayangnya Hugo benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Enzo terpaksa harus menonjok perutnya (saat Hugo masih berupa setengah lumpur) sehingga Hugo terjatuh ke tanah, pingsan.
Segera setelah kami semua menarik Hugo ke tempat teduh, aku menatap Tiera dan Jose galak.
“Aku mau penjelasan,” tuntutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar