Chapter 8
“Shira!”
Aku bisa merasakan urat-urat di dahiku timbul saat
Tiera menubrukku dari belakang dengan kekuatan penuh. “Menyingkir dariku,
Tiera.”
“Kau jahat sekali!”
“Terserah apa katamu. Minggir.”
Tiera cemberut sementara ia menyingkir dariku. “Kau
menyebalkan.”
“Kau mengganggu,” balasku datar.
“Berdarah dingin.”
“Tidak berguna.”
“Apa?!”
“Hei, stop!” lerai Enzo kesal. “Shira! Kemarin dengan
Hugo, sekarang dengan Tiera. Kau ini magnet pertengkaran, ya?”
Aku menjulurkan lidah padanya dan terus berjalan. Hugo
menatapku dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapapun pasti tahu kalau aku sedang
kesal. Jelas, karena Tiera.
Sudah seharian dia mengikuti kami. Ya, dia menepati
janjinya untuk tidak mengganggu kami, dan dia tidak menanyakan niat kami ke
sini. Sialnya dia menghujaniku dengan jutaan pertanyaan tidak berguna dan
ribuan terjangan dari belakang punggung. Maksudku, hei, ini rawa-rawa!
Bagaimana kalau aku tahu-tahu jatuh dan terbenam dalam lumpur, lagi? Aku tidak
mau berubah di depan Tiera dan Jose!
Kami terus berjalan melewati rawa-rawa itu selama
berjam-jam. Tiera benar-benar bayi; ia mengeluh kakinya pegal, butuh
manikur-pedikur begitu sampai di rumah, dan jutaan keluhan manja lainnya. Sial
kau Tiera, kau pikir aku kakiku tidak pegal?
Untungnya Jose menutup mulut. Seperti biasa ia nyaris
tidak pernah bicara. Walaupun aura diamnya itu bisa terasa sangat mengerikan,
setidaknya suaranya yang nyaris selalu absen itu tidak membuatku makin gila.
Cukup satu orang saja yang berceloteh seperti monyet (sebut nama? Tiera), yang
lainnya tidak usah.
Aku menatap sekeliling sambil berjalan. Rawa ini makin
lama makin aneh saja – sekarang malah ada rumput ilalang setinggi pinggang
seperti di savana. Kurasa makin ke dalam rawa suasananya akan makin aneh, dan
berbahaya. Kalau tertutup rumput begini mana tahu kalau di depan ada genangan lumpur lagi?
“Wah!”
Tiera lagi? Aku mendengus dan berbalik. “Oke, sekarang
rengekan macam apa lagi yang…” suaraku menghilang.
“Shira, tolong…” ucap Tiera memelas, satu kakinya
terbenam dalam lumpur.
“Astaga, jangan lagi!” teriak Hugo dari belakangku.
Sudah beberapa hari belakangan ini Tiera terus-menerus terbenam lumpur.
Sialnya, genangan lumpur yang ini bandel; Tiera terbenam cepat, dan tidak bisa
ditarik keluar lagi, walaupun kami berlima sudah menariknya bersama-sama. Yang
ada malah dia berteriak kesakitan.
Ini sama denganku dan Naira dulu. Walau ditarik
seperti apapun juga dia tak akan bisa keluar dari lumpur, dia hanya akan
terbenam makin dalam. Sialnya, pada kasus Tiera, lumpur yang menariknya makin
dalam menarik dengan kecepatan yang menyebalkan. Dibiarkan setengah jam lagi
saja Tiera pasti sudah terbenam sampai kepala.
Tiera menatap Jose dengan tatapan yang belum pernah
kulihat darinya. Pasrah tapi nekad. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan?
“Tak ada pilihan lain?” tanya Jose pada Tiera. Tiera menggeleng,
melotot padanya. Jose mengangkat bahu dan memejamkan mata.
Kemudian, ia berubah.
Ia berjongkok dan meletakkan tangannya di atas pundak
Tiera, dan tubuhnya tampak beriak seperti air. Sedetik berlalu, dan tiba-tiba
pakaiannya menghilang digantikan bulu berwarna cokelat kemerahan, dan sekujur
tubuhnya dipenuhi bulu berwarna sama. Hidungnya memanjang menjadi moncong
serigala. Telinganya meruncing, ekor kuat muncul dari pantatnya. Dengan ngeri
aku menyadari kalau Jose adalah manusia serigala.
Kemudian, perubahan terjadi pada Tiera. Hanya saja ia
tidak berubah menjadi binatang. Ia berubah transparan. Seperti roh.
Seperti hantu.
Aku menatapnya tak percaya, lalu teringat nama
keluarganya. Soul. Tentu saja.
Namun bagian paling mengerikan dari semua itu adalah,
gelombang energi yang dikirimkan Jose dan Tiera membuatku berubah juga. Setengah
mati aku berusaha menahan diri, tapi tubuhku tetap berubah kelabu dan mataku
berubah biru. Tubuhku menjadi transparan, walau tak setembus pandang Tiera. Satu
perbedaan antara aku dan Tiera: saat aku berubah menjadi hantu tubuhku menjadi
kelabu dan transparan, sedangkan Tiera tetap berwarna namun transparannya
terbilang cukup parah.
Aku menatap sekeliling dan menyadari kalau Naira
berusaha setengah mati untuk menjauh dari Hugo tanpa lari, Enzo (dalam wujud
manusia lumpur) memegangi Hugo (dalam wujud manusia lumpur yang jauh lebih
jelek dari Enzo) yang mengamuk dan meronta-ronta, jelas berusaha untuk
menyerangku dan Naira. Menyadari kalau situasi mulai di luar kendali, Tiera dan
Jose kembali berubah normal. Setengah mati aku memaksa diri untuk berubah
kembali, begitu pula Naira dan Enzo. Sayangnya Hugo benar-benar sudah tidak
bisa dikendalikan lagi. Enzo terpaksa harus menonjok perutnya (saat Hugo masih
berupa setengah lumpur) sehingga Hugo terjatuh ke tanah, pingsan.
Segera setelah kami semua menarik Hugo ke tempat
teduh, aku menatap Tiera dan Jose galak.
“Aku mau penjelasan,” tuntutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar