Chapter 7
Kami kembali berjalan merambah rawa-rawa itu dalam
diam. Ada perang dingin menyesakkan antara aku dan Hugo, yang menolak bicara
satu sama lain, karena masih kesal atas kejadian di hari sebelumnya. Kali ini,
aku dan Naira berjalan lebih berhati-hati supaya tidak melesak di lumpur lagi
seperti kemarin.
“Jangan tenggelam di lumpur lagi,” kata Hugo.
“Kaupikir aku mau tenggelam lagi?” balasku ketus.
“Kaupikir aku bicara dengan siapa? Setidaknya kakakmu
lebih sopan daripadamu.”
“Setidaknya adikmu lebih tenang daripadamu.”
“Stop, kita tidak pergi hanya untuk bertengkar,” lerai
Enzo kesal.
“Dan dia jelas punya otak, tidak sepertimu!” tuduhku
lagi.
Hugo membuka mulut untuk membalas, tapi Enzo melotot
padanya. Hugo mendecak dan mempercepat langkah.
Aku menjulurkan lidah padanya, tapi tetap
mengikutinya. Kalau sampai aku tertinggal, bisa dipastikan aku akan mati
tenggelam dalam lumpur atau mati kering karena dehidrasi, mengingat bahwa aku
sama sekali tidak bisa menentukan arah.
Saat aku berjalan, mendadak aku mendengar suara samar
rumput-rumputan tersibak. Bukan oleh kaki kami berempat, sumber suaranya
terdengar dari agak jauh (sebenarnya kutukanku ada sisi baiknya juga. Walau aku
tidak bisa menyentuh apapun saat aku berubah dan sense waktuku jadi parah, tapi
pendengaran dan penglihatanku jauh lebih bagus dari manusia biasa). Aku
berusaha untuk menentukan dari mana asal suara itu sambil terus berjalan
mengikuti yang lainnya, berusaha untuk tidak terlihat curiga akan suara itu.
Sesaat kemudian aku menyadari bahwa asal suara itu
dari belakangku. Aku berbalik seketika, tepat saat orang yang mengikutiku itu
menubrukku dengan kekuatan penuh.
“Oof!”
“Aduh!”
Aku jatuh terduduk ke tanah kering, menatap siapa yang
menubrukku itu. “Tiera!” pekikku kaget.
“Hai, Shira,” kata Tiera, sedikit lemas, ada sinar
kecewa di matanya. “Sial, padahal kukira kau tak akan menyadari kalau aku dan
Jose mengikutimu.”
“Suara kakimu terdengar jelas. Apa yang kaulakukan di
sini?” tanyaku galak sementara ia berdiri.
“Siapa dia?” Hugo melangkah mendekatiku dan menarikku
berdiri dengan seikit kasar.
“Tiera Spirit,” kataku. “Dia… satu sekolah denganku.”
“Kau tidak mau menyebutku sahabatmu?” tanyanya,
menampilkan wajah tanpa bersalah yang dibuat-buat, sementara Jose menatapnya
datar. Aku memelototinya sebagai jawaban atas pertanyaannya.
“Tiera Soul, ini Joseph Wolve,” kata Tiera pada Hugo.
“Hugo Mudparson,” kata Hugo.
“Dan dia?” Tiera menunjuk Naira.
“Naira Spirit.”
“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku pada Tiera galak.
“Kau tidak sadar kalau aku sudah mulai melacakmu sejak
kau di café gelato itu, ya?” balas
Tiera. “Suara kalian cukup keras untuk didengar. Kebetulan aku dan Jose ada di
sana. Kami mendengarnya, jadi kami memutuskan untuk mengikuti kalian. Hanya
saja kami salah perhitungan. Kami pikir kalian akan pergi sehari setelah
pembicaraan itu, ternyata kalian langsung berangkat ke sini. Kami sempat
kehilangan jejak, untungnya kami mendengar nama Vomica disebut-sebut. Setelah
kami bertanya sedikit pada pemilik penginapan, barulah kami tahu kalau kalian
sudah di sini. Kami segera menyusul.”
“Sejak kapan kalian mengikuti kami?” tanya Enzo pada
Tiera.
“Sebetulnya sejak kemarin, tapi saat itu kami belum
melihat kalian,” jawab Tiera. “Baru pagi ini kami berhasil menyusul.”
Aku melirik Naira. Berarti mereka tidak melihat kami
berubah. Baguslah.
Hugo mengusap wajah. “Aku minta maaf kalau aku tidak
sopan, tapi tolong pulanglah.”
Wow. Aku tidak menyangka dia bisa mengatakan kata
‘maaf’ dan ‘tolong’ seperti itu. Dia bahkan mengakui kalau dia tidak sopan!
Enzo mengangguk setuju. “Bisa dibilang kegiatan kami
ini… tertutup.”
Tiera cemberut dan memandangku. “Aku sudah pergi
sejauh ini. Biarkan aku ikut, oke?”
Aku saling melirik dengan Naira, lalu kami menggeleng
kompak.
Tiera memandang Jose, Jose menatap Enzo tajam. Enzo
membalas tatapannya datar.
“Kenapa kalian ingin sekali ikut?” tanya Naira
akhirnya. “Ini hanya perjalanan biasa,” kecuali bahwa perjalanan ini luar biasa
karena kami bukan manusia biasa, pikirku, “dan tempat ini membosankan,” kecuali
bahwa tempat ini digunakan untuk menyembunyikan harta terkutuk, pikirku lagi,
“dan kurasa kalian tidak akan benar-benar menyukai perjalanan ini karena Shira
dan Hugo terus-menerus bertengkar,” yang itu benar, pikirku setuju, “jadi…
untuk apa kalian ikut?”
Aku membentuk pistol dengan jemariku dan menembak
Tiera. “Itu kenapa aku menolak. Tapi, Naira, kurasa kau terlalu jujur. Kalau
kau membocorkannya aku tidak akan bisa benar-benar menikmati pertengkaranku
dengan Hugo.”
“Kau memang aneh,” celetuk Hugo.
“Yang mengatakannya lebih aneh,” balasku.
“Oke, lanjutkan saja pertengkaran tidak berguna ini
nanti,” Enzo langsung memotong kami. “Jadi, Tiera, Joseph, oke? Kalian lihat
sendiri kalau Shira dan Hugo selalu bertengkar. Kalian tak akan merasa nyaman
kalau terus-terusan mendengar mereka bertengkar, dan aku serius tentangnya.”
“Kami bisa membiasakan diri,” sambut Tiera langsung,
diiringi anggukan Jose. “Kami ingin berjalan-jalan juga. Menyesatkan diri
sendiri di rawa-rawa untuk beberapa saat… bukankah itu menyenangkan?”
“Tidak, itu membosankan,” jawab Hugo datar.
“Oh, ayolah…”
Aku berpandangan dengan Naira. Kalau mereka ikut, kami
harus jauh lebih berhati-hati, jangan sampai kami berubah.
“Kami sudah membawa tenda sendiri kalau kalian tidak
mau tidur bersama kami,” tambah Jose, membuatku terkejut. Dia jarang sekali
bicara.
“Tapi kami ingin privasi – “
“Kami hanya akan ikut, tidak mengganggu privasi
kalian.”
“Ini hanya perjalanan biasa yang membosankan – “
“Sedikit kebosanan tidak akan mengganggu.”
“Tapi… tapi…” Enzo kehabisan alasan. Ia menatap Hugo
dengan wajah memelas.
Hugo mendesah. Sepertinya dia menyadari kalau tekad
baja Tiera dan Jose tak mungkin dilumpuhkan. “Oke,” katanya. “Kalian ikut. Tapi
ingat janji kalian. Tidak ada gangguan untuk privasi kami. Mengerti?”
“Tentu saja,” jawab Tiera tanggap. Jose mengangguk
setuju.
Aku bertukar pandang dengan Naira sementara kami
melanjutkan langkah. Ini buruk. Kalau sampai mereka melihat kami mendadak
berubah di tempat ini, apa yang akan mereka lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar