Sabtu, 17 Maret 2012

Terra de la Catala Ch. 7


Chapter 7

Kami kembali berjalan merambah rawa-rawa itu dalam diam. Ada perang dingin menyesakkan antara aku dan Hugo, yang menolak bicara satu sama lain, karena masih kesal atas kejadian di hari sebelumnya. Kali ini, aku dan Naira berjalan lebih berhati-hati supaya tidak melesak di lumpur lagi seperti kemarin.
“Jangan tenggelam di lumpur lagi,” kata Hugo.
“Kaupikir aku mau tenggelam lagi?” balasku ketus.
“Kaupikir aku bicara dengan siapa? Setidaknya kakakmu lebih sopan daripadamu.”
“Setidaknya adikmu lebih tenang daripadamu.”
“Stop, kita tidak pergi hanya untuk bertengkar,” lerai Enzo kesal.
“Dan dia jelas punya otak, tidak sepertimu!” tuduhku lagi.
Hugo membuka mulut untuk membalas, tapi Enzo melotot padanya. Hugo mendecak dan mempercepat langkah.
Aku menjulurkan lidah padanya, tapi tetap mengikutinya. Kalau sampai aku tertinggal, bisa dipastikan aku akan mati tenggelam dalam lumpur atau mati kering karena dehidrasi, mengingat bahwa aku sama sekali tidak bisa menentukan arah.
Saat aku berjalan, mendadak aku mendengar suara samar rumput-rumputan tersibak. Bukan oleh kaki kami berempat, sumber suaranya terdengar dari agak jauh (sebenarnya kutukanku ada sisi baiknya juga. Walau aku tidak bisa menyentuh apapun saat aku berubah dan sense waktuku jadi parah, tapi pendengaran dan penglihatanku jauh lebih bagus dari manusia biasa). Aku berusaha untuk menentukan dari mana asal suara itu sambil terus berjalan mengikuti yang lainnya, berusaha untuk tidak terlihat curiga akan suara itu.
Sesaat kemudian aku menyadari bahwa asal suara itu dari belakangku. Aku berbalik seketika, tepat saat orang yang mengikutiku itu menubrukku dengan kekuatan penuh.
“Oof!”
“Aduh!”
Aku jatuh terduduk ke tanah kering, menatap siapa yang menubrukku itu. “Tiera!” pekikku kaget.
“Hai, Shira,” kata Tiera, sedikit lemas, ada sinar kecewa di matanya. “Sial, padahal kukira kau tak akan menyadari kalau aku dan Jose mengikutimu.”
“Suara kakimu terdengar jelas. Apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku galak sementara ia berdiri.
“Siapa dia?” Hugo melangkah mendekatiku dan menarikku berdiri dengan seikit kasar.
“Tiera Spirit,” kataku. “Dia… satu sekolah denganku.”
“Kau tidak mau menyebutku sahabatmu?” tanyanya, menampilkan wajah tanpa bersalah yang dibuat-buat, sementara Jose menatapnya datar. Aku memelototinya sebagai jawaban atas pertanyaannya.
“Tiera Soul, ini Joseph Wolve,” kata Tiera pada Hugo.
“Hugo Mudparson,” kata Hugo.
“Dan dia?” Tiera menunjuk Naira.
“Naira Spirit.”
“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku pada Tiera galak.
“Kau tidak sadar kalau aku sudah mulai melacakmu sejak kau di café gelato itu, ya?” balas Tiera. “Suara kalian cukup keras untuk didengar. Kebetulan aku dan Jose ada di sana. Kami mendengarnya, jadi kami memutuskan untuk mengikuti kalian. Hanya saja kami salah perhitungan. Kami pikir kalian akan pergi sehari setelah pembicaraan itu, ternyata kalian langsung berangkat ke sini. Kami sempat kehilangan jejak, untungnya kami mendengar nama Vomica disebut-sebut. Setelah kami bertanya sedikit pada pemilik penginapan, barulah kami tahu kalau kalian sudah di sini. Kami segera menyusul.”
“Sejak kapan kalian mengikuti kami?” tanya Enzo pada Tiera.
“Sebetulnya sejak kemarin, tapi saat itu kami belum melihat kalian,” jawab Tiera. “Baru pagi ini kami berhasil menyusul.”
Aku melirik Naira. Berarti mereka tidak melihat kami berubah. Baguslah.
Hugo mengusap wajah. “Aku minta maaf kalau aku tidak sopan, tapi tolong pulanglah.”
Wow. Aku tidak menyangka dia bisa mengatakan kata ‘maaf’ dan ‘tolong’ seperti itu. Dia bahkan mengakui kalau dia tidak sopan!
Enzo mengangguk setuju. “Bisa dibilang kegiatan kami ini… tertutup.”
Tiera cemberut dan memandangku. “Aku sudah pergi sejauh ini. Biarkan aku ikut, oke?”
Aku saling melirik dengan Naira, lalu kami menggeleng kompak.
Tiera memandang Jose, Jose menatap Enzo tajam. Enzo membalas tatapannya datar.
“Kenapa kalian ingin sekali ikut?” tanya Naira akhirnya. “Ini hanya perjalanan biasa,” kecuali bahwa perjalanan ini luar biasa karena kami bukan manusia biasa, pikirku, “dan tempat ini membosankan,” kecuali bahwa tempat ini digunakan untuk menyembunyikan harta terkutuk, pikirku lagi, “dan kurasa kalian tidak akan benar-benar menyukai perjalanan ini karena Shira dan Hugo terus-menerus bertengkar,” yang itu benar, pikirku setuju, “jadi… untuk apa kalian ikut?”
Aku membentuk pistol dengan jemariku dan menembak Tiera. “Itu kenapa aku menolak. Tapi, Naira, kurasa kau terlalu jujur. Kalau kau membocorkannya aku tidak akan bisa benar-benar menikmati pertengkaranku dengan Hugo.”
“Kau memang aneh,” celetuk Hugo.
“Yang mengatakannya lebih aneh,” balasku.
“Oke, lanjutkan saja pertengkaran tidak berguna ini nanti,” Enzo langsung memotong kami. “Jadi, Tiera, Joseph, oke? Kalian lihat sendiri kalau Shira dan Hugo selalu bertengkar. Kalian tak akan merasa nyaman kalau terus-terusan mendengar mereka bertengkar, dan aku serius tentangnya.”
“Kami bisa membiasakan diri,” sambut Tiera langsung, diiringi anggukan Jose. “Kami ingin berjalan-jalan juga. Menyesatkan diri sendiri di rawa-rawa untuk beberapa saat… bukankah itu menyenangkan?”
“Tidak, itu membosankan,” jawab Hugo datar.
“Oh, ayolah…”
Aku berpandangan dengan Naira. Kalau mereka ikut, kami harus jauh lebih berhati-hati, jangan sampai kami berubah.
“Kami sudah membawa tenda sendiri kalau kalian tidak mau tidur bersama kami,” tambah Jose, membuatku terkejut. Dia jarang sekali bicara.
“Tapi kami ingin privasi – “
“Kami hanya akan ikut, tidak mengganggu privasi kalian.”
“Ini hanya perjalanan biasa yang membosankan – “
“Sedikit kebosanan tidak akan mengganggu.”
“Tapi… tapi…” Enzo kehabisan alasan. Ia menatap Hugo dengan wajah memelas.
Hugo mendesah. Sepertinya dia menyadari kalau tekad baja Tiera dan Jose tak mungkin dilumpuhkan. “Oke,” katanya. “Kalian ikut. Tapi ingat janji kalian. Tidak ada gangguan untuk privasi kami. Mengerti?”
“Tentu saja,” jawab Tiera tanggap. Jose mengangguk setuju.
Aku bertukar pandang dengan Naira sementara kami melanjutkan langkah. Ini buruk. Kalau sampai mereka melihat kami mendadak berubah di tempat ini, apa yang akan mereka lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar