Chapter 6
Enzo membeku dengan wajah pucat, Naira terperangah tak
percaya, dan Hugo, tanpa merasa bersalah, langsung menabok kepalaku dengan
tidak terlalu keras.
“Kau mau membahayakan kita semua?!” bentaknya.
“Kaupikir ada cara lain?” tanyaku kesal. “Kau berubah jadi
manusia lumpur? Silakan. Kami juga akan langsung berubah jadi hantu. Sama
saja!”
“Tapi, Shira, kau tahu aku tak sepertimu,” kata Naira.
“Aku tidak bisa berubah seenak hati sepertimu.”
“Kalau aku berubah, aku curiga Hugo juga akan berubah
karena, tidak sepertiku dan Enzo, dia tidak bisa mengontrol kekuatannya,
benar?” tanyaku pada Hugo, dan ia mengangguk. “Kalau begitu, kau juga pasti
akan segera berubah. Dengan begitu kita bisa segera keluar dari kolam lumpur
ini, lalu segera berubah kembali.”
“Tapi kalau aku sudah berubah – “
“Naira, percayalah. Lebih mudah berubah kembali dari
berubah menjadi hantu.”
Naira tampak ragu sesaat, tapi saat ia menyadari kalau
ia terbenam makin dalam, ia mengangguk padaku. Aku menatap Enzo, memberinya
isyarat untuk berusaha mengontrol dirinya dan kakaknya. Kemudian aku memejamkan
mata, menarik nafas dalam-dalam, dan memaksa tubuhku untuk berubah.
Seperti biasa, prosesnya menyakitkan. Tapi tidak
sesakit biasanya. Kubuka mataku kembali dan tubuhku telah berubah menjadi
abu-abu suram, tidak solid, mataku berubah biru cemerlang. Dengan mudah aku
mengangkat kakiku dari lumpur dan berjalan mundur ke tanah yang lebih solid.
Dengan waswas aku menatap Enzo dan Hugo. Seperti
dugaanku, mata Enzo telah berubah kuning terang, setengah tubuh Hugo telah
berubah menjadi lumpur. Hugo tampaknya berusaha mati-matian untuk menerjangku
dan melenyapkanku. Aku harus bersyukur Enzo tidak terlalu terpengaruh.
Aku mengalihkan pandang ke Naira yang juga telah
berubah menjadi hantu. Ia mengangkat tubuhnya dan berdiri menjajariku. Aku
segera berubah kembali menjadi manusia. Naira, dengan sedikit kesulitan,
berubah kembali. Namun matanya yang biasanya berwarna cokelat muda tetap tampak
sedikit beraksen kelabu-perak. Matakupun tetap berwarna biru terang. Akhirnya,
setelah beberapa saat, Hugo kembali seperti semula. Matanya yang normalnya
berwarna cokelat tua, seperti Enzo, tetap tampak kekuning-emasan. Mata Enzopun
juga tetap tampak kuning terang.
“Jangan,” engah Hugo, “jangan pernah kau berani-berani
bertindak seperti itu lagi.”
“Maaf,” kataku sungguh-sungguh.
Hugo tampak amat kelelahan. Ia membenamkan wajahnya
dalam kedua tangannya, tubuhnya oleng ke arah Enzo. Enzo segera menyangga
tubuhnya dengan tanggap.
“Dia selalu kelelahan setelah berubah,” kata Enzo. “Kurasa
sebaiknya kita beristirahat sekarang.”
Naira menunjuk daerah sekering gurun sekitar beberapa
meter dari kami. “Kalau begitu di sana saja.”
Kami segera berjalan ke tempat itu dan duduk di tanah,
di bawah pohon yang mengering. Di sana, kami menenggak minum dan makan sedikit
makanan ringan yang kami bawa. Dari semuanya, Hugolah yang menghabiskan paling
banyak makanan.
“Kau ini,” katanya dengan nada menyalahkan,
kata-katanya jelas ditujukan padaku. “Kau tahu kau bisa membahayakan kita
semua, dan kau masih melakukannya?”
“Kalau aku tidak berubah, kita semua akan tetap berada
di sana,” aku menunjuk tempat di mana tadi aku dan Naira terbenam lumpur – kaki
kami yang tadinya berada di sana meninggalkan lubang lumpur besar seperti
cetakan – dan menatap Hugo kesal, “dan mungkin kita akan terus berada di sana
tanpa bisa keluar. Apa kau punya solusi yang lebih baik dari berubah? Kau tidak
mengatakan apapun, kuanggap itu sebagai tidak.”
“Kita bisa saja kembali ke desa untuk minta bantuan.”
“Terlalu lama, kami akan tenggelam sebelum bantuan
datang.”
“Kau – “
“Hentikan!” Naira tidak bisa menahan kesabarannya
lagi. “Hentikan pertengkaran tidak berguna ini. Masalah sudah teratasi, jangan
ribut-ribut lagi soal ini.”
“Naira!” protesku kesal.
“Kau diam saja!” bentak Hugo. “Kalau kau tidak
terbenam lebih dulu, kita tak mungkin terjebak dalam situasi seperti tadi.”
Naira tampak marah, tapi sebelum dia bisa melakukan
atau mengatakan apapun lagi, aku sudah memukul wajah Hugo keras-keras.
Beraninya dia menyalahkan kakakku. Memangnya dia bisa mencegah siapapun
terbenam dalam lumpur waktu itu? Tidak!
Enzo tampak kaget, begitu pula Naira. Namun, tak
seperti Naira yang langsung memucat saat melihat telinga Hugo memerah karena
emosi, ia malah tampak tertarik. Ia menjulurkan lehernya panjang-panjang ke
arah kami dan mengamatiku dan Hugo bertengkar.
“Kau berani memukulku?” tanya Hugo, jelas marah.
Aku menyentakkan kepalaku untuk menyingkirkan rambut
yang menutupi wajahku dengan gaya menantang.
Naira menatapku dan Hugo dengan waswas. Jelas, ia
sudah bisa mengendus masalah dan perkelahian.
“Oke, stop,” kata Enzo akhirnya. “Saat ini sudah
senja. Kita sudah berjalan seharian penuh. Sebaiknya kita mendirikan tenda di
sini untuk bermalam, besok kita bisa berangkat lagi.”
Aku dan Hugo kembali menatap satu sama lain dengan
penuh kemarahan, lalu berbalik memunggungi satu sama lain.
Naira berpandangan dengan Enzo. Ia menggumamkan
‘terima kasih’ tanpa suara. Enzo mengangguk sebagai renspon.
*
Malam itu, aku melangkah keluar dari tendaku, walau
itu bukan giliran jagaku, karena tidak bisa tidur. Enzo duduk di luar, rupanya
saat itu adalah gilirannya menjaga. Aku duduk di sebelahnya.
“Kenapa saat aku dan Hugo bertengkar, kau tampak
tertarik?” tanyaku padanya.
Enzo menatapku kaget. “Terlihat?”
“Jelas sekali.”
Enzo tersenyum. “Kau orang pertama yang berani memukul
Hugo. Biasanya orang melihatnya sudah malas berurusan dengannya. Kau malah
langsung menonjoknya. Menarik, kau tahu.”
Aku mengangkat bahu. “Aku memang berbeda dengan orang
biasanya.”
“Aku tahu. Memangnya siapa lagi yang bisa berubah jadi
hantu?”
“Mmm… Naira.”
Enzo tertawa, lalu menatap langit. “Bulannya masih
belum penuh,” katanya. “Makhluk apa yang mencabik-cabik orang-orang?”
“Kurasa kita akan segera tahu,” kataku, menatap
kejauhan.
Semalaman itu aku dan Enzo terjaga bersama, menjaga
tenda kami, menatap ke kejauhan, menanti kedatangan makhluk yang katanya telah
mencabik orang-orang itu.
Makhluk itu tak pernah datang.
Setidaknya, tidak malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar