Sabtu, 24 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 5


Chapter 5

Aku dan Naira menunggu dengan bosan di kursi café dekat sekolah itu, manyantap gelato dan menyeruput espresso (Naira menyukai kopi yang keras, walaupun kafeinnya membuatnya tidak bisa tidur semalaman) dan caramel machiatto (vanilla latte dengan krim dan karamel lengket di atasnya). Gelato rasa mintku sudah habis dari tadi, aku mengunyah sisa cone wafflenya yang masih ada dengan kebosanan total.
Akhirnya, setelah begitu lama menunggu – aku sudah tak tahu lagi aku menunggu berapa lama, sense waktuku juga lumayan parah, tapi kurasa lebih karena aku setengah hantu; hantu kan bukan makhluk yang dibatasi waktu – akhirnya Enzo datang. Di belakangnya berjalan kakaknya – laki-laki seumuran Naira dengan rambut acak-acakan dan dandanan khas Sam dan Dean Winchester dari Supernatural. Untungnya Enzo tidak mengikuti gayanya, walaupun jaketnya serupa.
“Maaf,” kata Enzo, duduk di sebelahku. “Kakakku bukan orang yang tepat waktu. Aku Enzo, Enzo Mudparson,” kata Enzo pada Naira, bersalaman dengannya.
“Naira Spirit,” balas Naira.
“Naira, Shira, ini kakakku, Hugo,” kata Enzo sambil menunjuk kakaknya.
“Hugo Mudparson,” kata laki-laki berambut acak-acakan itu. Ia duduk di sebelah Naira, lalu dengan asalnya mengambil sisa cone waffleku yang berlum termakan dan melahap semuanya.
“Hei!” protesku kesal.
“Maaf, dia belum makan siang,” jelas Enzo. Ia segera memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya – gelato cokelat dan cappuccino untuknya sendiri, dan gelato stroberi dan mocha untuk Hugo. Ia juga memesan dua gelato vanila untukku dan Naira sebagai permintaan maaf karena terlambat – sebenarnya dia juga ingin membelikan minuman lagi, tapi minumanku dan Naira masih banyak. Aku menatap Hugo, tak percaya kalau orang sepertinya, laki-laki pula, suka makan gelato stroberi.
“Dia suka manis,” jelas Enzo langsung.
Begitu gelato yang dipesan Enzo datang, aku langsung menyantapnya tanpa malu-malu. “Jadi, kita langsung ke Terra de la Catala?”
“Kalau tidak, kau mau ke mana lagi?” tanya Hugo sinis. “Shopping department?”
Aku menatapnya kesal. “Oh, ya, dan kau bisa pergi ke gym.”
“Ya, kita langsung ke sana,” potong Naira sebelum kami mulai bertengkar mulut. Aku baru mengenalnya beberapa menit dan aku sudah tahu kalau aku tak mungkin cocok dengannya. Bagus.
Enzo mengeluarkan petanya. “Jadi, pertama-tama, kita harus ke desa di dekat Terra de la Catala untuk menyewa tenda dan barang-barang yang kita belum punya untuk berkemah di sana. Berarti desa… Vomica.”
“Oh, bagus,” celetuk Hugo.
“Bagus? Bagus apa?”
“Vomica itu bahasa Latin untuk kutukan.”
Aku menyeruput caramel machiatoku dengan kalem. Sepertinya perjalanan ini memang ditakdirkan untuk menjadi perjalanan yang buruk.
Naira melirik jamnya. “Kurasa kita harus cepat. Waktu kita hanya seminggu. Kita harus bergerak cepat. Setidaknya besok pagi-pagi kita harus sudah di Terra de la Catala.”
Aku mengangguk, Enzo mengangguk, Hugo mendengus.
“Kenapa buru-buru?” katanya malas. “Seminggu itu lama.”
Mau tidak mau, aku merasa benar-benar kesal melihatnya seperti itu. “Kalau begitu pulang sana. Tidak usah ikut.”
Hugo langsung menegakkan duduknya. “Aku tidak mau diperintah anak perempuan, terutama yang lebih muda dariku.”
Aku menaikkan sebelah alis. “Oh? Kalau begitu pergi saja. Kau pikir aku mau terjebak bersama pemalas tidak berguna sepertimu?”
Hugo tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak menonjokku. Tapi ia mengangguk pada Naira, menyatakan persetujuan yang jelas setengah hati. Ia menghabiskan gelatonya dalam tiga sendokan, menghabiskan cone wafflenya dalam tiga gigitan, dan menenggak mochanya dalam satu tegukan, lalu menyuruh kami untuk cepat, dan, menyadari kebenaran kata-katanya, kami semua menurut.
Setelah membayar semua pesanan kami, kami segera menaiki bus ke pinggiran kota dan berjalan cepat ke Vomica yang jaraknya tidak terlalu jauh dari halte. Namun, karena bus dari kota ke daerah dekat Vomica itu jauh sekali, saat kami sampai di Vomica sudah sore. Akhirnya kami menginap di penginapan kecil di Vomica dan mendapat diskon sedikit setelah beberapa lama membujuk si pemilik penginapan. Tentu saja, kami memesan dua kamar. Aku bersama Naira dan Enzo bersama Hugo.
Keesokan paginya, kami menyewa tenda, kompor, dan barang-barang lain untuk perlengkapan berkemah kami di rawa-rawa pada si pemilik penginapan.
“Kalian mau berkemah di rawa-rawa?” tanya si pemilik penginapan dengan suara sengaunya. “Hati-hati, pada malam hari sering ada hal aneh di sana.”
Keberadaan kami sendiri sudah cukup aneh, pikirku. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa berubah jadi hantu dan lumpur?
“Aneh bagaimana?” tanya Enzo pada si pemilik penginapan.
 “Orang yang hilang di tengah malam saat bulan sabit. Atau mayat-mayat tercabik yang ditemukan di malam purnama. Atau mayat-mayat yang berselimut lumpur yang ditemukan di malam bulan mati.”
Aku berpandangan dengan Enzo. Yang terakhir jelas manusia lumpur. Mungkin masih ada keluarga Mudparson yang tinggal di sini. Tapi dua yang lain? Aku bahkan tidak berani menebak.
“Yah, tapi inilah anak-anak muda jaman sekarang,” kata si pemilik penginapan. “Selalu mencari masalah. Ini tenda kalian, kompor kalian, kantong tidur kalian. Kalian bisa membayar semuanya setelah kembali. Dan,” si pemilik penginapan melirikku dan Enzo dengan kerlingan nakal, “hati-hati, jangan lakukan yang tidak-tidak.”
Aku mengerjap tak paham, tapi Enzo jelas paham. Wajahnya memerah seketika, dan ia menghindari pandanganku.
“Apa?” tanyaku bingung.
Si pemilik penginapan tertawa. “Bukan apa-apa. Bawa semuanya, kembalikan kalau sudah selesai. Ingat, hati-hati, terutama saat bulan muncul.”
Aku dan Enzo mengangguk, lalu membawa semua barang sewaan kami ke halaman penginapan itu, tempat Naira dan Hugo menunggu. Kami berempat segera membagi tugas dan bawaan di bawah instruksi Hugo yang tampaknya sudah terbiasa berkemah. Hugo dan Enzo membawa tenda dan kompor, sedangkan aku dan Naira membawa kantong tidur dan alas tidur yang jelas lebih ringan dari kompor dan tenda.
Kami berjalan di tanah becek namun cukup solid untuk ditapaki selama beberapa jam sambil membicarakan di mana kira-kira harta itu disembunyikan. Aku bahkan sempat terjebak perang mulut dengan Hugo lagi, namun Naira dan Enzo dengan cepat melerai kami.
Secara umum, Naira berjalan dengan setengah melamun; kebiasaannya saat ia sedang berpikir. Ia akan berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya, tanpa menyadari bahwa ada dunia di sekitarnya. Dia akan tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Naira, ini rawa-rawa, jangan melamun,” kataku padanya setengah hati. Seperti dugaanku, ia tidak menyadari peringatanku. Aku mendesah dan kembali memperhatikan jalanku sendiri.
Kami berjalan kembali, kini dalam sunyi. Aku mulai tenggelam dalam pikiranku sendiri. Malam bulan mati, mayat berselimut lumpur, itu jelas saudara-saudara Enzo dan Hugo. Malam bulan purnama… mungkinkah itu manusia serigala? Bukannya tidak mungkin. Lalu, orang hilang? Aku sama sekali tidak tahu. Apakah semacam pemakan daging manusia atau apa? Mengerikan. Apa sebenarnya yang ada di rawa-rawa ini? Kenapa seaneh ini?
Bahkan saat aku baru berpikir tentang keanehan tempat itu, aku melihat kalau tanah di jarak beberapa meter dari tempatku sekering gurun. Ya, tempat ini jelas tidak normal.
Aku mendesah. Di tempat ini, sense arahku yang sudah parah makin bertambah parah. Saat aku berada di Vomica, si pemilik penginapan memberitahuku kalau rawa ini ada di arah barat dari Vomica. Setelah berbelok beberapa kali, aku bahkan sudah tak bisa tahu lagi ke mana arahku berjalan. Untungnya Hugo cukup berpengalaman untuk tahu kalau ia perlu membawa kompas. Dan Naira, walau saat ini ia jelas tidak menyadari kehadiranku, memiliki sense arah yang bagus sekali.
Aku menunduk, masih mempertahankan kecepatan langkahku. Pikiranku mengembara ke mana-mana, tapi segera kembali ke dunia saat mendengar jeritan kaget dan panik Naira.
Aku menoleh kaget. “Naira!”
Naira telah terbenam di lumpur rawa hingga selutut. Aku melangkah mendekatinya, tapi kakiku langsung terbenam sampai di pergelangan kaki. Aku tak bisa menariknya lagi. Untungnya aku mengenakan sepatu bot kulit lusuh sehingga kakiku tidak kotor.
Aku mencoba menarik kakiku lagi, tapi yang ada kakiku hanya terbenam makin dalam.
“Sial,” bisikku kesal.
“Seharusnya kalian perhatikan jalan kalian,” gerutu Hugo. “Enzo, bantu aku menarik Naira.”
Mereka segera berusaha menarik Naira yang posisinya jelas lebih gawat dariku. Namun tarikan mereka tidak berguna, Naira tidak bisa keluar. Ia hanya bisa melenguh kesakitan karena tarikan Hugo dan Enzo.
“Tidak, tidak bisa,” kata Naira.
“Kalau begitu coba Shira dulu, nanti dia bisa bantu menarik Naira,” kata Enzo, kakaknya mengangguk. Mereka segera berusaha menarikku, tapi hasilnya sama saja dengan Naira. Aku tidak bisa ditarik keluar.
“Kurasa hanya ada satu cara bagiku untuk keluar,” kataku setengah berbisik.
“Apa?”
“Berubah,” jawabku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar