Chapter 5
Aku dan Naira menunggu dengan bosan di kursi café
dekat sekolah itu, manyantap gelato dan menyeruput espresso (Naira menyukai kopi yang keras, walaupun kafeinnya
membuatnya tidak bisa tidur semalaman) dan caramel
machiatto (vanilla latte dengan krim dan karamel lengket di atasnya). Gelato rasa mintku sudah habis dari
tadi, aku mengunyah sisa cone wafflenya
yang masih ada dengan kebosanan total.
Akhirnya, setelah begitu lama menunggu – aku sudah tak
tahu lagi aku menunggu berapa lama, sense waktuku juga lumayan parah, tapi
kurasa lebih karena aku setengah hantu; hantu kan bukan makhluk yang dibatasi
waktu – akhirnya Enzo datang. Di belakangnya berjalan kakaknya – laki-laki
seumuran Naira dengan rambut acak-acakan dan dandanan khas Sam dan Dean
Winchester dari Supernatural.
Untungnya Enzo tidak mengikuti gayanya, walaupun jaketnya serupa.
“Maaf,” kata Enzo, duduk di sebelahku. “Kakakku bukan
orang yang tepat waktu. Aku Enzo, Enzo Mudparson,” kata Enzo pada Naira,
bersalaman dengannya.
“Naira Spirit,” balas Naira.
“Naira, Shira, ini kakakku, Hugo,” kata Enzo sambil
menunjuk kakaknya.
“Hugo Mudparson,” kata laki-laki berambut acak-acakan
itu. Ia duduk di sebelah Naira, lalu dengan asalnya mengambil sisa cone waffleku yang berlum termakan dan
melahap semuanya.
“Hei!” protesku kesal.
“Maaf, dia belum makan siang,” jelas Enzo. Ia segera
memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya – gelato cokelat dan cappuccino
untuknya sendiri, dan gelato stroberi
dan mocha untuk Hugo. Ia juga memesan
dua gelato vanila untukku dan Naira
sebagai permintaan maaf karena terlambat – sebenarnya dia juga ingin membelikan
minuman lagi, tapi minumanku dan Naira masih banyak. Aku menatap Hugo, tak
percaya kalau orang sepertinya, laki-laki pula, suka makan gelato stroberi.
“Dia suka manis,” jelas Enzo langsung.
Begitu gelato yang
dipesan Enzo datang, aku langsung menyantapnya tanpa malu-malu. “Jadi, kita
langsung ke Terra de la Catala?”
“Kalau tidak, kau mau ke mana lagi?” tanya Hugo sinis.
“Shopping department?”
Aku menatapnya kesal. “Oh, ya, dan kau bisa pergi ke gym.”
“Ya, kita langsung ke sana,” potong Naira sebelum kami
mulai bertengkar mulut. Aku baru mengenalnya beberapa menit dan aku sudah tahu
kalau aku tak mungkin cocok dengannya. Bagus.
Enzo mengeluarkan petanya. “Jadi, pertama-tama, kita
harus ke desa di dekat Terra de la Catala untuk menyewa tenda dan barang-barang
yang kita belum punya untuk berkemah di sana. Berarti desa… Vomica.”
“Oh, bagus,” celetuk Hugo.
“Bagus? Bagus apa?”
“Vomica itu bahasa Latin untuk kutukan.”
Aku menyeruput caramel
machiatoku dengan kalem. Sepertinya perjalanan ini memang ditakdirkan untuk
menjadi perjalanan yang buruk.
Naira melirik jamnya. “Kurasa kita harus cepat. Waktu
kita hanya seminggu. Kita harus bergerak cepat. Setidaknya besok pagi-pagi kita
harus sudah di Terra de la Catala.”
Aku mengangguk, Enzo mengangguk, Hugo mendengus.
“Kenapa buru-buru?” katanya malas. “Seminggu itu
lama.”
Mau tidak mau, aku merasa benar-benar kesal melihatnya
seperti itu. “Kalau begitu pulang sana. Tidak usah ikut.”
Hugo langsung menegakkan duduknya. “Aku tidak mau
diperintah anak perempuan, terutama yang lebih muda dariku.”
Aku menaikkan sebelah alis. “Oh? Kalau begitu pergi
saja. Kau pikir aku mau terjebak bersama pemalas tidak berguna sepertimu?”
Hugo tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak
menonjokku. Tapi ia mengangguk pada Naira, menyatakan persetujuan yang jelas
setengah hati. Ia menghabiskan gelatonya
dalam tiga sendokan, menghabiskan cone
wafflenya dalam tiga gigitan, dan menenggak mochanya dalam satu tegukan, lalu menyuruh kami untuk cepat, dan,
menyadari kebenaran kata-katanya, kami semua menurut.
Setelah membayar semua pesanan kami, kami segera
menaiki bus ke pinggiran kota dan berjalan cepat ke Vomica yang jaraknya tidak
terlalu jauh dari halte. Namun, karena bus dari kota ke daerah dekat Vomica itu
jauh sekali, saat kami sampai di Vomica sudah sore. Akhirnya kami menginap di
penginapan kecil di Vomica dan mendapat diskon sedikit setelah beberapa lama
membujuk si pemilik penginapan. Tentu saja, kami memesan dua kamar. Aku bersama
Naira dan Enzo bersama Hugo.
Keesokan paginya, kami menyewa tenda, kompor, dan
barang-barang lain untuk perlengkapan berkemah kami di rawa-rawa pada si
pemilik penginapan.
“Kalian mau berkemah di rawa-rawa?” tanya si pemilik
penginapan dengan suara sengaunya. “Hati-hati, pada malam hari sering ada hal
aneh di sana.”
Keberadaan kami sendiri sudah cukup aneh, pikirku.
Bagaimana mungkin ada orang yang bisa berubah jadi hantu dan lumpur?
“Aneh bagaimana?” tanya Enzo pada si pemilik
penginapan.
“Orang yang
hilang di tengah malam saat bulan sabit. Atau mayat-mayat tercabik yang
ditemukan di malam purnama. Atau mayat-mayat yang berselimut lumpur yang
ditemukan di malam bulan mati.”
Aku berpandangan dengan Enzo. Yang terakhir jelas
manusia lumpur. Mungkin masih ada keluarga Mudparson yang tinggal di sini. Tapi
dua yang lain? Aku bahkan tidak berani menebak.
“Yah, tapi inilah anak-anak muda jaman sekarang,” kata
si pemilik penginapan. “Selalu mencari masalah. Ini tenda kalian, kompor
kalian, kantong tidur kalian. Kalian bisa membayar semuanya setelah kembali.
Dan,” si pemilik penginapan melirikku dan Enzo dengan kerlingan nakal,
“hati-hati, jangan lakukan yang tidak-tidak.”
Aku mengerjap tak paham, tapi Enzo jelas paham.
Wajahnya memerah seketika, dan ia menghindari pandanganku.
“Apa?” tanyaku bingung.
Si pemilik penginapan tertawa. “Bukan apa-apa. Bawa
semuanya, kembalikan kalau sudah selesai. Ingat, hati-hati, terutama saat bulan
muncul.”
Aku dan Enzo mengangguk, lalu membawa semua barang
sewaan kami ke halaman penginapan itu, tempat Naira dan Hugo menunggu. Kami
berempat segera membagi tugas dan bawaan di bawah instruksi Hugo yang tampaknya
sudah terbiasa berkemah. Hugo dan Enzo membawa tenda dan kompor, sedangkan aku
dan Naira membawa kantong tidur dan alas tidur yang jelas lebih ringan dari
kompor dan tenda.
Kami berjalan di tanah becek namun cukup solid untuk
ditapaki selama beberapa jam sambil membicarakan di mana kira-kira harta itu
disembunyikan. Aku bahkan sempat terjebak perang mulut dengan Hugo lagi, namun
Naira dan Enzo dengan cepat melerai kami.
Secara umum, Naira berjalan dengan setengah melamun;
kebiasaannya saat ia sedang berpikir. Ia akan berjalan tanpa memperhatikan
keadaan sekitarnya, tanpa menyadari bahwa ada dunia di sekitarnya. Dia akan
tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Naira, ini rawa-rawa, jangan melamun,” kataku padanya
setengah hati. Seperti dugaanku, ia tidak menyadari peringatanku. Aku mendesah
dan kembali memperhatikan jalanku sendiri.
Kami berjalan kembali, kini dalam sunyi. Aku mulai
tenggelam dalam pikiranku sendiri. Malam bulan mati, mayat berselimut lumpur,
itu jelas saudara-saudara Enzo dan Hugo. Malam bulan purnama… mungkinkah itu
manusia serigala? Bukannya tidak mungkin. Lalu, orang hilang? Aku sama sekali
tidak tahu. Apakah semacam pemakan daging manusia atau apa? Mengerikan. Apa
sebenarnya yang ada di rawa-rawa ini? Kenapa seaneh ini?
Bahkan saat aku baru berpikir tentang keanehan tempat
itu, aku melihat kalau tanah di jarak beberapa meter dari tempatku sekering
gurun. Ya, tempat ini jelas tidak normal.
Aku mendesah. Di tempat ini, sense arahku yang sudah
parah makin bertambah parah. Saat aku berada di Vomica, si pemilik penginapan
memberitahuku kalau rawa ini ada di arah barat dari Vomica. Setelah berbelok
beberapa kali, aku bahkan sudah tak bisa tahu lagi ke mana arahku berjalan.
Untungnya Hugo cukup berpengalaman untuk tahu kalau ia perlu membawa kompas.
Dan Naira, walau saat ini ia jelas tidak menyadari kehadiranku, memiliki sense
arah yang bagus sekali.
Aku menunduk, masih mempertahankan kecepatan
langkahku. Pikiranku mengembara ke mana-mana, tapi segera kembali ke dunia saat
mendengar jeritan kaget dan panik Naira.
Aku menoleh kaget. “Naira!”
Naira telah terbenam di lumpur rawa hingga selutut.
Aku melangkah mendekatinya, tapi kakiku langsung terbenam sampai di pergelangan
kaki. Aku tak bisa menariknya lagi. Untungnya aku mengenakan sepatu bot kulit
lusuh sehingga kakiku tidak kotor.
Aku mencoba menarik kakiku lagi, tapi yang ada kakiku
hanya terbenam makin dalam.
“Sial,” bisikku kesal.
“Seharusnya kalian perhatikan jalan kalian,” gerutu
Hugo. “Enzo, bantu aku menarik Naira.”
Mereka segera berusaha menarik Naira yang posisinya
jelas lebih gawat dariku. Namun tarikan mereka tidak berguna, Naira tidak bisa
keluar. Ia hanya bisa melenguh kesakitan karena tarikan Hugo dan Enzo.
“Tidak, tidak bisa,” kata Naira.
“Kalau begitu coba Shira dulu, nanti dia bisa bantu
menarik Naira,” kata Enzo, kakaknya mengangguk. Mereka segera berusaha
menarikku, tapi hasilnya sama saja dengan Naira. Aku tidak bisa ditarik keluar.
“Kurasa hanya ada satu cara bagiku untuk keluar,”
kataku setengah berbisik.
“Apa?”
“Berubah,” jawabku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar