Chapter 3
Terra de la Catala? Enzo pasti bercanda.
Terra de la Catala – alias Tanah Kutukan – adalah
tempat di mana kutukan kami akan makin menjadi-jadi. Akan sulit mengontrol
keadaan kami, bahkan saat siang hari di bulan purnama.
“Berarti kalau kita mau mencari harta itu…” kataku
dengan suara bergetar.
“Kita harus ke sana,” sambung Enzo.
“Mendadak misi ini jadi terdengar sulit,” bisikku
kesal. “Kalau kita sampai hilang kendali, bagaimana nanti nasib kita?”
“Jangan sampai kita hilang kendali,” sahut Enzo datar.
“Memangnya menjaga agar tidak hilang kendali semudah
itu, ya?” tanyaku balik.
“Tidak juga,” jawab Enzo. “Yang jelas, jangan sampai.”
Aku menggelengkan kepala. “Jadi, kita benar-benar akan
mencari harta itu.”
“Tentu saja. Kau juga ingin melepaskan diri dari
kutukan ini.”
Aku mengangguk. “Kapan kita akan pergi?”
Enzo mengambil buku saku siswa dari kantong seragam
sekolahnya. “Yang jelas waktu libur panjang sekolah. Terra de la Catala luas
sekali, nyaris tidak mungkin kita bisa menemukan hartanya dalam waktu sehari
saja.”
“Libur semester berikutnya?”
“Ya. Tepatnya…”
“Minggu depan.”
“Hah? Tapi menurut buku sakunya, masih lima bulan lagi.”
“Minggu depan kita akan mendapat waktu libur selama
seminggu, kelas dua belas ujian.”
Mulut Enzo terbuka, menggumamkan ‘oh’ panjang tanpa
suara, menyatakan pemahamannya dalam diam.
Aku mengambil peta ke harta itu dari pangkuan Enzo,
berusaha memahaminya. Terra de la Catala lebih dikenal sebagai daerah rawa-rawa
yang ajaib oleh orang-orang sekitar; sebagian daerahnya yang berawa-rawa
benar-benar berbahaya, di mana kadang orang bisa tenggelam dalam lumpur tanpa
bisa ditemukan lagi (bukan masalah bagiku dan Enzo. Dia manusia lumpur, dia tak
mungkin mati dalam lumpur. Aku hantu, aku tidak padat. Bagiku lumpur hampir
sama dengan udara bebas) tapi di daerah lain, benar-benar seperti padang gurun.
Kering, tandus. Aneh, bukan?
Dan jarang ada pepohonan di Terra de la Catala. Gua
apalagi. Di mana kira-kira harta itu disembunyikan? Aku tak punya bayangan
apapun.
Tanpa sadar, aku memainkan cincin yang selalu
kukalungkan.
Mata Enzo yang tajam segera menangkap gerakan itu. Ia
menunjuk cincin itu. “Cincin apa itu?”
Aku melepas kalungku dan menatap cincin itu lekat.
“Cincin keluargaku. Keluargaku mempercayakannya padaku walau sebenarnya kakakku
bisa menjaganya lebih baik. Sepertinya karena kutukan yang ada padaku jauh
lebih kental; aku bisa mendadak berubah menjadi hantu sendiri, atau aku bisa
menjadi hantu di saat-saat aku mau, dan setiap kali siklus bulan mati berakhir,
aku selalu menjadi orang terakhir yang berubah kembali. Tapi sejak aku mendapat
cincin ini, sepertinya segalanya tampak lebih mudah bagiku untuk kukendalikan.”
Enzo mengambil cincin itu dari tanganku. Ia meneliti
cincin itu.
Cincin itu terbuat dari perak, lebar, dengan bagian
tengah berwarna hitam dengan motif ukir-ukiran sulur tanaman dan daun emas.
Enzo meraba permukaan ukiran itu dengan lembut, mengagumi kehalusan
pengukirannya. Kemudian ia mengangkat kepala, mulutnya setengah terbuka,
matanya menyipit, alisnya bertaut. Ia merogoh kantongnya dan menyorongkan
tangannya padaku. Dalam genggamannya, ada cincin emas yang tampak identik
dengan cincin perakku, yang berbeda hanyalah warnanya.
Bahan dasarnya emas, bukan perak seperti cincinku.
Namun bagian tengahnya sama persis, hitam dengan ukir-ukiran sulur tanaman dan
daun perak. Aku mengamati tiap ukirannya dengan kagum, menyadari kalau cincin
Enzo dan cincinku sendiri benar-benar sama persis.
“Cincin keluarga,” jelas Enzo sebelum aku
menanyakannya padanya. “Keluargaku memberikannya padaku dengan alasan yang
sama.”
Aku menelengkan kepala, mengambil cincinku dari tangan
Enzo dan membandingkan cincinku dan cincinnya. “Kenapa ada dua cincin yang sama
persis? Sepertinya keberadaan dua cincin yang sama persis itu sedikit…
sia-sia.”
Jemari Enzo menyentak sedikit. “Kecuali… kalau
keberadaan keduanya memang sangat dibutuhkan.”
Aku menatapnya bingung.
“Pikirkan, Shira,” kata Enzo. “Kenapa ada dua cincin
yang sama persis? Mengapa Chiarra Spirit dan Paolo Mudparson mencari harta yang
mungkin sama sekali tidak ada?”
Mendadak aku paham maksud Enzo. “Karena cincin mereka
adalah kunci menuju harta itu.”
Enzo mengangguk, antusias.
“Jadi, sejak awal mereka sudah tahu kalau harta itu
memang ada, karena itu mereka mau mengambil resiko untuk mencari harta yang
mungkin tidak ada.”
“Dan karena mereka tahu cincin mereka adalah kunci
utamanya. Jadi kalaupun pencarian mereka gagal, cincin itu masih bisa digunakan
untuk membuka harta itu.”
“Tapi…” aku mengembalikan cincin Enzo dan mengalungkan
cincinku sendiri. “… apa yang membuat mereka berdua saling mengutuk?”
Enzo memandangku, dan dari pandangannya aku tahu kalau
ia sama bingungnya denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar