Senin, 12 Desember 2011

Terra de la Catala chapter 4


Chapter 4


Chiarra

Chiarra menatap ke meja di depannya. Suasana pasar yang ramai serasa menggempur gendang telinganya dengan keras. sementara itu, si pedagang barang-barang antik di depannya mulai tampak tak sabar, begitu pula pemuda di sebelahnya, teman dekat Chiarra, Paolo.
Akhirnya, Chiarra menatap si pedagang, bapak tua berkumis tebal seperti walrus – dengan tubuh yang gendut bulat, membuatnya tampak nyaris persis walrus, hanya saja si pak tua mengenakan kaos yang bertuliskan ‘I LOVE HUNTING WALRUS’, mungkin karena sebal disebut mirip walrus. Mana mungkin walrus membunuh sesamanya. Selain itu, di bagian punggung kaos itu ada tulisan ‘I HATE WALRUS VERY MUCH’ dan di gantungan pribadi si pedagang ada beberapa kaos lain, dengan tulisan ‘I LOVE EATING WALRUS’, ‘WALRUS ARE DANGEROUS BEASTS’, dan ‘I AM NOT A WALRUS’. Si pedagang telah dengan jelas menyatakan kalau ia tidak suka disebut walrus.
“Bisakah anda mencarikan sesuatu untuk saya?” tanya Chiarra sopan pada si walrus – si pedagang.
Wajah si pedagang langsung tampak cerah kembali. “Kenapa tidak dari tadi?” tanyanya. Ia membungkuk dan mengambil sebuah kotak kayu berukir, membukanya, menampilkan dua cincin di dalamnya. Yang satu cincin perak berukir dan yang lainnya cincin emas berukir. Keduanya tampak identik, kecuali bahwa bahan dasarnya berbeda.
“Cincin?” setelah sekian lama, akhirnya Paolo membuka suara.
“Tentu saja,” kata si pedagang, tersenyum, kumis walrus besarnya berkedut. “Cincin-cincin ini bagus. sudah cukup tua, tapi terawat. Dan, cocok untuk pasangan seperti kalian berdua.”
Wajah Chiarra memerah seketika. “Kami bukan pasangan,” sangkalnya setengah hati.
Si pedagang hanya tertawa. “Bagaimanapun, kurasa kalian akan tetap merasa tertarik pada cincin-cincin ini.”
Paolo menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”
Si pedagang melirik ke kanan-kiri seakan mengawasi sekitar, lalu memberi isyarat pada Chiarra dan Paolo untuk mendekat. Keduanya mendekat, lalu mendengarkan si pedagang berbisik pada mereka.
“Kedua cincin ini adalah kunci ke harta karun.”
Walau nafas si pedagang berbau busuk, namun kata-katanya memang membuat Chiarra dan Paolo tertarik. Chiarra menatap si pedagang dengan antusiasme tinggi, sementara Paolo menatap kedua cincin itu dengan wajah tertarik sekaligus ragu.
Si pedagang tertawa terbahak-bahak. “Kau meragukannya, bukan?” tanyanya. “Harta yang akan dibuka kedua cincin ini sebenarnya bisa dibilang tidak ada. Ada begitu banyak orang yang mencarinya, tapi hanya ada satu yang berhasil kembali hidup-hidup, namun akan lebih baik kalau dia mati.”
“Bagaimana bisa?” tanya Chiarra heran.
“Dia terus-menerus meracau tentang monster dan lain sebagainya seperti orang gila,” desah si pedagang, menyipitkan matanya, sesaat tampak makin mirip dengan walrus. “Kurasa dia memang sudah gila. Lagipula, semua orang yang mencari harta itu mati, hanya orang itu yang selamat. Bukan tidak mungkin kalau yang dikatakannya itu benar, tapi kurasa hanya hewan buas saja, sebagian lainnya hanyalah halusinasinya sendiri.”
Chiarra dan Paolo berpandangan. Keduanya tahu, mereka tertarik pada harta itu.
Mereka meraih cincin itu – Chiarra menyentuh yang perak, Paolo menyentuh yang emas, dan seketika dunia berputar. Kilasan-kilasan gambaran tampak di depan mereka; rawa-rawa dan tanah tandus, danau besar berair jernih, gua, pintu batu besar dalam gua tersebut dengan gambar yinyang emas dan perak. Hanya dengan sekali lirik saja Chiarra dan Paolo tahu kalau cincin mereka akan menjadi kunci di yinyang tersebut. Kemudian, pintu batu itu terbuka, dan keduanya seakan ditarik ke dalam pintu itu, lalu ke atas. Permukaan air menghilang, tampak harta di mana-mana.
Lalu semuanya menghilang.

*

“Kita tak bisa pergi berdua saja,” kataku pada Enzo.
“Kenapa?” tanya Enzo heran, kepolosan tampak jelas di matanya.
Aku memutar bola mata. “Chiarra dan Paolo pergi berdua saja, kan? Pada akhirnya mereka pulang dengan keadaan terkutuk. Bagaimana dengan kita? Aku tak mau membawa dua kutukan sekaligus, satu saja sudah cukup mengerikan.”
“Oh,” Enzo mengangguk paham. “Lalu siapa?”
“Kurasa aku bisa mengajak kakakku, Naira,” jawabku. “Lagipula, dia pintar geografi. Pintar membaca arah.”
“Kau sendiri?”
Wajahku memerah malu. “Tolong jangan tanyakan soal itu.” Sense arahku jelek sekali. Bahkan di rumahku sendiri, aku sering kesulitan membedakan mana utara, selatan, timur, dan barat. Bahkan, kadang antara kanan dan kiri saja terbalik. Membaca peta bagiku sama sulitnya dengan menggarap soal matematika dan fisika – yang, bagiku, sulit sekali.
“Kalau begitu mungkin aku bisa membawa kakakku,” kata Enzo, menyebut kakaknya seakan ia barang. “Namanya Hugo. Mungkin bisa dibilang dialah yang akan menjadi algojo, penjaga kita nanti. Walau mungkin bagimu aku tampak kalem,” nyaris tak punya emosi, pikirku, “Hugo tidaklah sepertiku. Dia tukang kelahi.”
“Kau sendiri?”
“Aku lebih suka menghindari masalah.”
Aku mengangguk. “Jadi, kita akan berangkat minggu depan bersama kakak-kakak kita?”
Enzo mengangkat bahu. “Makin cepat makin baik, bukan? Lagipula, minggu depan siklus bulan purnama, bukan bulan mati. Seharusnya kita bisa tetap selamat.”

*

“Naira, ada sesuatu yang harus kuberi tahu padamu.”
Naira menutup majalah yang sedang dibacanya. “Ada apa?”
“Sebelum kukatakan apa itu, kumohon, berjanjilah jangan menjerit atau berteriak, jangan bertingkah terlalu aneh atau orangtua kita akan curiga,” kataku.
Naira menaikkan sebelah alisnya. “Oke,” katanya perlahan.
“Pergilah bersamaku mencari harta yang dulu dicari Chiarra dan Paolo.”
Tidak seperti dugaanku, rupanya Naira malah mendengus geli. “Yang benar saja, Shira. Harta itu tidak ada.”
“Bagaimana kalau ada?” tanyaku. “Lagipula, ini bisa jadi adalah cara untuk melepaskan kutukan kita.”
“Tapi kita dari keluarga Spirit. Bagaimana dengan keluarga Mudparson?”
“Jangan khawatir. Anak pindahan di kelasku adalah seorang Mudparson.”
Naira mengerjap, lalu duduk lebih tegak dan menatapku dengan serius. “Aku mendengarkan.”
“Minggu depan kita libur karena kelas dua belas ujian. Kau kelas sebelas, aku kelas sepuluh. Kita bisa mencarinya bersama.”
“Lalu, temanmu? Kita akan pergi bertiga?”
“Tidak, Enzo akan membawa kakaknya. Jadi kita berempat.”
Naira mengangguk. “Kau yakin?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kuncinya?”
“Kunci?”
“Legenda menyatakan bahwa harta itu dikunci dalam gua dan memerlukan dua kunci.”
“Kuncinya cincin. Cincin keluarga kita. Dan keluarga Mudparson.”
“Lalu, kau tahu tempatnya di mana?”
Aku menatap Naira lekat, bersiap untuk memberinya kejutan. “Terra de la Catala.”
Bahkan sebelum aku menutup mulutku, Naira sudah menatapku dengan pandang ngeri. “Aku tidak ikut. Bahkan walaupun minggu depan siklus bulan purnama, kutukan di Terra de la Catala akan diperkuat. Aku tak mau terjebak di sana bersama dua orang Mudparson.”
“Naira! Ini kesempatan kita untuk melepaskan kutukan ini.”
“Tapi kita bahkan tidak tahu apakah harta itu memang ada!”
“Tadi kau antusias, sekarang kau begitu skeptis. Ayolah, Naira. Tidakkah kau ingin melepaskan diri dari kutukan ini?”
Naira menunduk dan melirik ke atas, menatap mataku lekat. Ia menimbang-nimbang, berpikir. Satu lirikan saja sudah cukup untuk memberitahuku kalau keputusan ini sulit baginya.
Akhirnya, Naira mendesah. “Oke, aku ikut. Tapi jangan beritahu Ayah dan Ibu. Bilang saja kalau kita berkemah dengan teman-teman kita.”
Aku mengangguk cepat. “Ya. Seharusnya mereka tidak memprotes, mereka bilang mereka ingin kita lebih terbuka pada teman-teman kita.”
Naira mengangguk. “Semoga kita tidak berubah.”
Aku hanya bisa berharap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar