Chapter 4
Chiarra
Chiarra
menatap ke meja di depannya. Suasana pasar yang ramai serasa menggempur gendang
telinganya dengan keras. sementara itu, si pedagang barang-barang antik di
depannya mulai tampak tak sabar, begitu pula pemuda di sebelahnya, teman dekat
Chiarra, Paolo.
Akhirnya,
Chiarra menatap si pedagang, bapak tua berkumis tebal seperti walrus – dengan
tubuh yang gendut bulat, membuatnya tampak nyaris persis walrus, hanya saja si
pak tua mengenakan kaos yang bertuliskan ‘I LOVE HUNTING WALRUS’, mungkin karena sebal disebut mirip walrus.
Mana mungkin walrus membunuh sesamanya. Selain itu, di bagian punggung kaos itu
ada tulisan ‘I HATE WALRUS VERY MUCH’
dan di gantungan pribadi si pedagang ada beberapa kaos lain, dengan tulisan ‘I
LOVE EATING WALRUS’, ‘WALRUS ARE DANGEROUS BEASTS’, dan ‘I AM NOT A WALRUS’. Si
pedagang telah dengan jelas menyatakan kalau ia tidak suka disebut walrus.
“Bisakah
anda mencarikan sesuatu untuk saya?” tanya Chiarra sopan pada si walrus – si
pedagang.
Wajah
si pedagang langsung tampak cerah kembali. “Kenapa tidak dari tadi?” tanyanya.
Ia membungkuk dan mengambil sebuah kotak kayu berukir, membukanya, menampilkan
dua cincin di dalamnya. Yang satu cincin perak berukir dan yang lainnya cincin
emas berukir. Keduanya tampak identik, kecuali bahwa bahan dasarnya berbeda.
“Cincin?”
setelah sekian lama, akhirnya Paolo membuka suara.
“Tentu
saja,” kata si pedagang, tersenyum, kumis walrus besarnya berkedut.
“Cincin-cincin ini bagus. sudah cukup tua, tapi terawat. Dan, cocok untuk
pasangan seperti kalian berdua.”
Wajah
Chiarra memerah seketika. “Kami bukan pasangan,” sangkalnya setengah hati.
Si
pedagang hanya tertawa. “Bagaimanapun, kurasa kalian akan tetap merasa tertarik
pada cincin-cincin ini.”
Paolo
menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”
Si
pedagang melirik ke kanan-kiri seakan mengawasi sekitar, lalu memberi isyarat
pada Chiarra dan Paolo untuk mendekat. Keduanya mendekat, lalu mendengarkan si
pedagang berbisik pada mereka.
“Kedua
cincin ini adalah kunci ke harta karun.”
Walau
nafas si pedagang berbau busuk, namun kata-katanya memang membuat Chiarra dan
Paolo tertarik. Chiarra menatap si pedagang dengan antusiasme tinggi, sementara
Paolo menatap kedua cincin itu dengan wajah tertarik sekaligus ragu.
Si
pedagang tertawa terbahak-bahak. “Kau meragukannya, bukan?” tanyanya. “Harta
yang akan dibuka kedua cincin ini sebenarnya bisa dibilang tidak ada. Ada
begitu banyak orang yang mencarinya, tapi hanya ada satu yang berhasil kembali
hidup-hidup, namun akan lebih baik kalau dia mati.”
“Bagaimana
bisa?” tanya Chiarra heran.
“Dia
terus-menerus meracau tentang monster dan lain sebagainya seperti orang gila,”
desah si pedagang, menyipitkan matanya, sesaat tampak makin mirip dengan
walrus. “Kurasa dia memang sudah gila. Lagipula, semua orang yang mencari harta
itu mati, hanya orang itu yang selamat. Bukan tidak mungkin kalau yang
dikatakannya itu benar, tapi kurasa hanya hewan buas saja, sebagian lainnya
hanyalah halusinasinya sendiri.”
Chiarra
dan Paolo berpandangan. Keduanya tahu, mereka tertarik pada harta itu.
Mereka
meraih cincin itu – Chiarra menyentuh yang perak, Paolo menyentuh yang emas,
dan seketika dunia berputar. Kilasan-kilasan gambaran tampak di depan mereka;
rawa-rawa dan tanah tandus, danau besar berair jernih, gua, pintu batu besar
dalam gua tersebut dengan gambar yinyang emas dan perak. Hanya dengan sekali
lirik saja Chiarra dan Paolo tahu kalau cincin mereka akan menjadi kunci di
yinyang tersebut. Kemudian, pintu batu itu terbuka, dan keduanya seakan ditarik
ke dalam pintu itu, lalu ke atas. Permukaan air menghilang, tampak harta di
mana-mana.
Lalu
semuanya menghilang.
*
“Kita tak bisa pergi berdua saja,” kataku pada Enzo.
“Kenapa?” tanya Enzo heran, kepolosan tampak jelas di
matanya.
Aku memutar bola mata. “Chiarra dan Paolo pergi berdua
saja, kan? Pada akhirnya mereka pulang dengan keadaan terkutuk. Bagaimana
dengan kita? Aku tak mau membawa dua
kutukan sekaligus, satu saja sudah cukup mengerikan.”
“Oh,” Enzo mengangguk paham. “Lalu siapa?”
“Kurasa aku bisa mengajak kakakku, Naira,” jawabku.
“Lagipula, dia pintar geografi. Pintar membaca arah.”
“Kau sendiri?”
Wajahku memerah malu. “Tolong jangan tanyakan soal
itu.” Sense arahku jelek sekali. Bahkan di rumahku sendiri, aku sering
kesulitan membedakan mana utara, selatan, timur, dan barat. Bahkan, kadang
antara kanan dan kiri saja terbalik. Membaca peta bagiku sama sulitnya dengan
menggarap soal matematika dan fisika – yang, bagiku, sulit sekali.
“Kalau begitu mungkin aku bisa membawa kakakku,” kata
Enzo, menyebut kakaknya seakan ia barang. “Namanya Hugo. Mungkin bisa dibilang
dialah yang akan menjadi algojo, penjaga kita nanti. Walau mungkin bagimu aku
tampak kalem,” nyaris tak punya emosi, pikirku, “Hugo tidaklah sepertiku. Dia
tukang kelahi.”
“Kau sendiri?”
“Aku lebih suka menghindari masalah.”
Aku mengangguk. “Jadi, kita akan berangkat minggu
depan bersama kakak-kakak kita?”
Enzo mengangkat bahu. “Makin cepat makin baik, bukan?
Lagipula, minggu depan siklus bulan purnama, bukan bulan mati. Seharusnya kita
bisa tetap selamat.”
*
“Naira, ada sesuatu yang harus kuberi tahu padamu.”
Naira menutup majalah yang sedang dibacanya. “Ada
apa?”
“Sebelum kukatakan apa itu, kumohon, berjanjilah
jangan menjerit atau berteriak, jangan bertingkah terlalu aneh atau orangtua
kita akan curiga,” kataku.
Naira menaikkan sebelah alisnya. “Oke,” katanya
perlahan.
“Pergilah bersamaku mencari harta yang dulu dicari
Chiarra dan Paolo.”
Tidak seperti dugaanku, rupanya Naira malah mendengus
geli. “Yang benar saja, Shira. Harta itu tidak ada.”
“Bagaimana kalau ada?” tanyaku. “Lagipula, ini bisa
jadi adalah cara untuk melepaskan kutukan kita.”
“Tapi kita dari keluarga Spirit. Bagaimana dengan
keluarga Mudparson?”
“Jangan khawatir. Anak pindahan di kelasku adalah
seorang Mudparson.”
Naira mengerjap, lalu duduk lebih tegak dan menatapku
dengan serius. “Aku mendengarkan.”
“Minggu depan kita libur karena kelas dua belas ujian.
Kau kelas sebelas, aku kelas sepuluh. Kita bisa mencarinya bersama.”
“Lalu, temanmu? Kita akan pergi bertiga?”
“Tidak, Enzo akan membawa kakaknya. Jadi kita
berempat.”
Naira mengangguk. “Kau yakin?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kuncinya?”
“Kunci?”
“Legenda menyatakan bahwa harta itu dikunci dalam gua
dan memerlukan dua kunci.”
“Kuncinya cincin. Cincin keluarga kita. Dan keluarga
Mudparson.”
“Lalu, kau tahu tempatnya di mana?”
Aku menatap Naira lekat, bersiap untuk memberinya
kejutan. “Terra de la Catala.”
Bahkan sebelum aku menutup mulutku, Naira sudah
menatapku dengan pandang ngeri. “Aku tidak ikut. Bahkan walaupun minggu depan
siklus bulan purnama, kutukan di Terra de la Catala akan diperkuat. Aku tak mau
terjebak di sana bersama dua orang Mudparson.”
“Naira! Ini kesempatan kita untuk melepaskan kutukan
ini.”
“Tapi kita bahkan tidak tahu apakah harta itu memang
ada!”
“Tadi kau antusias, sekarang kau begitu skeptis.
Ayolah, Naira. Tidakkah kau ingin melepaskan diri dari kutukan ini?”
Naira menunduk dan melirik ke atas, menatap mataku
lekat. Ia menimbang-nimbang, berpikir. Satu lirikan saja sudah cukup untuk
memberitahuku kalau keputusan ini sulit baginya.
Akhirnya, Naira mendesah. “Oke, aku ikut. Tapi jangan
beritahu Ayah dan Ibu. Bilang saja kalau kita berkemah dengan teman-teman kita.”
Aku mengangguk cepat. “Ya. Seharusnya mereka tidak
memprotes, mereka bilang mereka ingin kita lebih terbuka pada teman-teman kita.”
Naira mengangguk. “Semoga kita tidak berubah.”
Aku hanya bisa berharap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar