Sabtu, 04 September 2010

Moonlight Thief chptr 5: The Connection

Aku terjatuh dengan kekagetan melingkupiku. Apa? bagaimana? Kenapa aku bisa langsung kembali? Apa karena ciuman Andy di keningku tadi? Mengingat itu, wajahku memerah sedikit.
“Selene!” panggil Andy, wajahnya tampak sumringah. “Kau kembali!”
Lalu, bersama seruan itu, Andy memelukku dengan gembira, membuatku menjerit kaget.
“Andy!” seruku. “Aku tahu kau bahagia karena aku kembali seperti semula, tapi apa memelukku itu perlu?! Dan kenapa tadi kau mencium keningku?!”
Andy melepaskan pelukannya. “Kau ingat?”
“Mana mungkin tak ingat.”
Ganti wajah Andy yang memerah. Secara fatal, sampai wajahnya semerah tomat. Aku terkekeh geli melihatnya.
Aku menunduk ke bawah, menatap menembus lapisan keruh es yang ada di bawah kakiku.
“Kota yang membeku,” bisikku pelan.
Terdengar raungan marah dari gua. Aku dan Andy segera menoleh ke sana dengan waspada. Arcas melangkah keluar dengan marah, di belakangnya Robe membuntuti dengan raut wajah gelisah dan takut.
“Jadi,” Arcas berkata dengan suara bergetar menahan amarah, “kau sudah berhasil membebaskan diri dari mantra yang mempertahankan perjanjian darah itu? Kau harus tahu kalau kau adalah satu-satunya orang yang berhasil membebaskan diri dari mantra itu.”
“Betulkah?” tanyaku, pura-pura polos. “Wow. Aku merasa bangga mengetahuinya, Yang Mulia,” dua kata terakhir kuucapkan dengan nada mengejek.
Arcas menggeram marah. Ia melotot padaku dengan marah. Aku menatapnya dengan penasaran. Apa yang hendak dilakukannya sekarang?
Arcas memejamkan matanya, tampak berkonsentrasi. Aku berpandangan dengan Andy, merasakan firasat buruk. Apa yang akan dilakukan raja gila itu?
Mendadak, Arcas tersenyum, membuatku dan Andy merasa kaget. Apa yang akan dilakukannya? Kenapa tersenyum? Apa yang dipikirkannya? Apapun itu, pasti itu bukanlah hal baik, setidaknya untukku dan Andy.
Arcas tersenyum makin lebar, dengan raut wajah licik. Apa yang mau dilakukannya?
“Aku merasa bangga sudah melakukan perjanjian darah denganmu, anakku,” katanya dengan nada mencemooh. “Kau melupakan kalau kau memiliki bekas luka yang menjadi penanda perjanjian kita, bukan? Tanda di lengan kirimu, yang berbentuk bulan sabit dan tiga bintang?”
Aku terkesiap. Aku menggulung lengan bajuku yang sebelah kiri. Bekas luka itu terpampang di sana, sangat jelas, sejelas siang.
Arcas terbahak puas dan licik. “Kau memang berhasil melepaskan diri dari mantraku, kuakui itu. Tapi kau hanya lolos dari mantra yang memerangkapmu. Jiwamu masih milikku. Aku tetap bisa melakukan apapun terhadapmu, walau kini ada pengecualian, yaitu memanfaatkanmu menjadi alatku seperti tadi. Aku tetap bisa melakukan apa yang mau kulakukan padamu tanpa ada halangan apapun. Masih ada koneksi yang membuatku bisa melakukan sesuatu. Misalnya, ini.”
Bersamaan dengan kata terakhir Arcas, aku merasakan sakit yang mengerikan mencengkram seluruh tubuhku. Aku menjerit dan terjatuh di atas es.
Es yang seharusnya terasa amat dingin itu kini terasa membakar. Tubuhku terasa terbakar, memperkuat siksaan itu. Andy yang panik menyentuh lenganku, dan anehnya sentuhannya terasa sedingin es. Secara harfiah, dan dingin itu dikalikan sepuluh kali lipat. Dan tanpa tahu itu, ia tetap membiarkan tangannya menempel di lenganku. Siksaan mengerikan, karena di satu sisi tubuhku terasa terbakar parah, dan di sisi lainnya tubuhku terasa membeku dalam es. Aku menjerit makin keras karena makin lama siksaan itu bertambah parah. Tiap detik terasa seperti seabad, mengabadikan siksaan mengerikan itu. Sulit rasanya untuk mengambil nafas, dan amat mustahil untuk bergerak. Sungguh mengerikan. Aku berbaring di atas es, menggelung tubuh seperti kucing, terisak kesakitan. Samar kudengar suara Arcas yang tertawa.
“Dengan begini, tak akan ada yang merebut takhta dariku!” suara Arcas terdengar timbul-tenggelam di telingaku.
Aku memejamkan mata. Menggigil kesakitan. Aku tak sanggup lagi menjerit karena rasa sakit itu terlalu hebat hingga tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali berdiam diri. Menjerit terasa sia-sia dan menyiksa. Siksaan ini terlalu hebat untukku.
Pandangan mataku mulai tampak timbul-tenggelam. Aku merasa berhalusinasi. Aku melihat wajah-wajah teman-temanku tertawa di depanku. Aku melihat Robe tersenyum padaku. Aku melihat Arcas menatapku ramah. Bahkan, Andy tertawa lebar padaku. Jauh lebih lebar dari teman-temanku yang lain.
Aku kebingungan. Ini halusinasi atau bukan? Ini terasa terlalu nyata untuk ukuran halusinasi. Ya, ini nyata. Tak mungkin ini halusinasi.
“Kenapa?” gumamku tak jelas. “Kenapa kalian tertawa? Kenapa kalian tertawa padaku saat aku kesakitan?”
Hanya ada kata ‘kenapa’ di pikiranku. Kenapa mereka menertawaiku? Di saat aku kesakitan seperti ini? Apa sebetulnya yang ada di pikiran mereka, menertawai orang kesakitan seperti itu? Kenapa mereka bisa seenak itu menertawai orang? Tak sadarkah mereka kalau aku kesakitan parah?
“Selene,” terdengar suara Andy di telingaku. Terdengar timbul tenggelam dan tak jelas. Tapi aku masih bisa menangkap kata-katanya. “Selene. Bertahanlah. Jangan mati dulu. Tahan.”
“Aku tak mau mati,” isakku pelan.
“Tahanlah dulu. Tadi Arcas bilang kalau koneksi itu masih ada. Dan ia memanfaatkannya untuk menyiksamu. Tapi kalau kalian berdua memang masih terhubung, seharusnya kaupun juga bisa menggunakan koneksi itu untuk membalikkan serangan ini padanya.”
Aku menatap Andy sayu. Wajahnya tampak buram. “Apa aku masih punya kekuatan untuk itu?” bisikku.
“Punya,” jawab Andy mantap. “Kalau kau mau, kalau kau yakin kau bisa, kau pasti punya kekuatan untuk itu. Lakukanlah, Selene. Hanya kau satu-satunya yang bisa melakukannya.”
Aku memejamkan mata rapat dan menundukkan kepala hingga daguku menyentuh dada. Aku mendesis kesakitan.
“Aku tak yakin aku bisa,” gumamku tak jelas. “Aku kesakitan, aku kelelahan, aku…”
Andy membekap mulutku. “Kata-kata itulah yang membuatmu tak mampu melakukannya. Kau pasti bisa. Cobalah dulu.”
Aku menatapnya lagi. Ia memandangku serius. Sorot serius memenuhi matanya, serius dan juga lembut. Dan ada secercah sinar lain di sana… kepercayaan.
Aku tak ingin mengkhianati kepercayaan Andy.
“Akan kucoba,” kataku akhirnya.
Aku memejamkan mata lagi. Rasa sakit itu entah bagaimana berangsur menghilang. Menyisakan ketenangan dan kedamaian. Aku berusaha menyusup ke pikiran Arcas, memutarbalikkan mantranya sehingga dia sendirilah yang menderita sakit ini, bukan aku. Pembalasan dendam yang menurutku cukup setimpal. Selain itu…
Selain itu, mungkin kalau dia mati aku baru bisa kembali ke Sunshine Country.
Kegelapan yang melingkupiku terasa makin pekat. Rasa panas membara es di bawah tubuhku menghilang. Aku merasa seperti melayang. Rasanya seperti terpisah dari tubuhku dan melayang menuju ke tempat lain.
Aku membuka mata. Aku tak lagi berbaring di atas lapisan beku danau yang membekukan sebuah kota. Di depanku ada sebuah gerbang besar, terbuat dari besi. Ukir-ukiran memenuhi seluruh permukaannya. Ukiran tanaman anggur yang merambat melilit pohon apel yang berbunga, sulur ivy yang tersambung di sulur anggur itu yang lalu melilit sesosok tubuh manusia… Sesosok laki-laki. Telanjang, tapi tertutup oleh sulur ivy tadi. Wajah laki-laki itu cukup tampan juga… Siapa dia sebenarnya?
Aku memperhatikan wajahnya dengan rasa penasaran. Siapa dia sebenarnya?
Aku menyadari siapa dia, dan terpekik.
“Tak mungkin!” pekikku kaget. “Arcas?! Apa dia memang setampan itu saat masih muda?”
Gerbang itu terbuka perlahan. Aku mengabaikan keterkejutanku dan berjalan masuk ke sana.
Sebuah aula besar. Bukan besar lagi, tapi malah raksasa. Dengan cepat aku berjalan melintasinya, menuju ke pusat ruangan. Sebuah buku besar tua menarik perhatianku. Letaknya ada di tengah aula itu.
Aku mencapai tengah aula itu. Aku menyentuh buku itu.
BRUAKKKK!!!

*

Andy
Lima belas menit telah berlalu sejak mendadak Selene kehilangan kesadarannya. Ia masih bernafas walau lemah, dan detak jantungnya juga masih terasa walau lemah. Andy terus menunggui Selene dengan setia, berharap gadis itu kembali dengan selamat.
“Berhasillah, Selene,” gumamnya pelan. “Berhasillah. Kalau sampai rencana yang satu ini gagal, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Ayolah.”
Mendadak ia direnggut hingga terangkat dari es tempatnya berpijak. Arcas menyeringai jahat padanya.
“Sudah cukup waktumu untuk berdoa. Sekarang, gadis itu sudah berhasil kusingkirkan. Kini giliranmu telah tiba.”
Arcas melemparnya dan ia jatuh terbanting di es. Ia berteriak kesakitan. Rasa dingin es menyengat kulitnya. Ia menggigil.
Arcas menunjuknya menggunakan tongkatnya. Ia mengarahkan tongkat itu ke atas, dan tubuh Andy ikut terangkat. Lalu, dengan kejam, Arcas membantingnya dengan kuat ke es lagi.
Andy terbatuk, memuntahkan darah. Darah yang tercecer di lapisan es itu dengan segera membeku karena hawa dingin yang keterlaluan itu. Merah di atas putih. Abstrak dan indah, sekaligus kejam dan mengerikan. Keindahan yang sadis.
Kembali, tubuhnya terangkat. Lagi, tubuhnya melayang di udara beberapa detik sebelum akhirnya dibanting ke atas es lagi. Dan lagi, darah yang keluar dari mulutnya membentuk lukisan abstrak indah yang kejam. Terulang, terus dan terus.
Arcas terus membantingnya di lapisan es yang sama. Di titik yang sama. Es di titik itu perlahan mulai retak. Sedikit demi sedikit. Perlahan, retak, retak, retak, sedikit lagi akan hancur. Dan tubuh Andy akan meluncur masuk melalui lubang yang terbentuk, terjun menuju air dingin. Dan membeku.
Andy sudah nyaris tak bisa berpikir. Tubuhnya terasa amat sakit, dan Arcas terus memanting-banting tubuhnya dengan bersemangat seakan ia adalah mainan menarik bagi anak kecil, bola karet anti pecah yang tak akan rusak. Tubuhnya dipenuhi lebam dan pakaiannya sudah merah karena darah.
Es itu kembali retak. Cukup sekali lagi ia terbanting, dan ia akan terjun ke dalam air yang sedingin es…
Tapi ia tak melayang lagi. Ia hanya diam di atas lapisan es. Terbaring miring mengenaskan. Darah mengotori tubuh.
Ia menoleh dan menemukan Arcas telah jatuh berlutut. Arcas mengerang kesakitan, dan Andy melonjak girang dalam hati. Selene telah berhasil!
Arcas mengerang kesakitan lagi. Raja itu menatap Andy dengan tatap bengis. Ia menggeram marah.
“Kau…” engahnya. “Kau! Kau yang menyuruh gadis itu menggunakan koneksi kami untuk menyerangku! Kau… Aku akan membunuhmu!”
Andy merasakan kengerian mencengkramnya saat lagi-lagi tubuhnya melayang. Tubuhnya melesat jatuh, ia menjerit, tubuhnya menabrak lapisan es retak yang langsung pecah. Air dingin menyambut tubuhnya. Ia tenggelam dalam air sedingin es yang menyiksanya dengan mengerikan.

*

BRUAKKK!!!
Buku itu terbuka diiringi suara benda jatuh yang begitu keras. Aku terlonjak karena kaget. Aku menenangkan diri dan mengintip ke dalam buku itu. Apa isinya?
“Biarkan kesakitan itu berbalik pada ia yang mengirimkannya,” aku membaca dengan pelan. “Siksaan yang diberikan akan berbalik menyiksa yang memberikan. Yang mendapatkan pertama kali akan terbebas, yang mengirimkan pertama kali akan terperangkap. Kata-kata yang diberikan si pengirim tak akan menimbulkan masalah apapun lagi bagi penerima, namun kata-kata penerima akan menjadi malapetaka bagi yang mengirim.”
Aula itu bergetar seolah diguncang gempa bumi. Tapi aku terus membaca. Entah bagaimana aku merasa kalau aku harus membaca buku itu kalau aku ingin keluar dengan selamat dari sini.
“Bagi sang pengirim, malapetaka yang dikirim penerima akan menjadi siksaan terberatnya,” lanjutku tanpa peduli. “ Siksaan yang akan menimbulkan kematian. Biarkan jiwa-jiwa yang telah melayang karena perbuatan pengirim menuntut balasnya lewat perkataan penerima, dan nyawa pengirim akan pergi menuju kegelapan dunia kematian.”
Guncangan di aula itu makin hebat. Aku membaca dengan makin cepat.
“Sang pengirim tak akan pernah bisa mengirim kutukan apapun lagi. Kini mantranya telah patah dan segalanya tamat baginya. Zaman baru telah dimulai. Tak akan ada yang bisa menghalangi penerima menerima apa yang seharusnya menjadi haknya. Dan kini biarlah sang penerima mendapatkan keselamatannya, jiwa yang tak berdosa akan kembali bersatu dengan apa yang seharusnya menjadi miliknya.”
Aula itu runtuh. Tubuhku berubah menjadi cahaya perak, dan aku melesat terbang menuju keselamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar