Rabu, 29 Desember 2010

CHAPTER 17: DAPHNE’S TURN

“Aduh!”

Seruanku menggema ke segala arah. Aku segera menoleh untuk menyelidiki di mana aku
sekarang. Apa yang kulihat membuat mulutku ternganga lebar.

Bukan sesuatu yang terlalu ‘wow’. Justru sangat biasa. Aula luas luar biasa,
tertutup. Putih di mana-mana. Tak ada yang terlihat selain warna putih, tidak bahkan
bayanganku sendiri. Aku tak bisa melihat apa ada bayangan, sedikitpun. Ini
menakjubkan sekaligus mengerikan. Aku tak bisa mengira-ngira luas luangan ini. Aku
tak bisa melihat warna lain. Aku tak tahu di mana aku sekarang.

Oh Tuhan. Bahkan seorang ‘gila warna putih’ sekalipun pasti akan merasa ketakutan
melihat yang seperti ini.

“Daphne…”

Aku menoleh ke sana-ke mari mencari asal suara. “Siapa itu?”

Tak ada orang. Hanya suara. Aku merinding. Apa-apaan ini? Terlalu mengerikan. Apa
aku didekati hantu? Aduh, jangan sampai! Amit-amit! Aku paling takut dengan hantu…

“Kau tak mengenali kami, Daphne?”

“Kami…?” Kami? Kami? Aah, jangan bilang hantunya ada banyak!!! Aku jadi ingin
menjerit ketakutan!

“Ya… Kami yang saat ini sedang kaupeluk erat-erat, tak mampu kau lepaskan…”

“Hah? Tapi aku tidak memeluk apa-apa!”

“Yang dipeluk oleh raga kasarmu, bukan jiwamu ini.”

“Raga kasar… Hah?! Yang tadi kupeluk itu bukannya… jam pasir Laurel?”

“Benar,” jawab suara itu. Kini aku menyadari kalau suara itu terdengar seperti suara
tiga orang. Yang satu agak serak, yang lain agak rendah, lainnya lagi lebih tinggi,
tapi secara keseluruhan semua suara itu mirip.

“Jadi kalian adalah… ketiga Kepingan Waktu?” tanyaku.

“Benar,” jawab mereka.

“Tapi… Kepingan Waktu…?”

“Kepingan Waktu memiliki nyawa,” suara itu kini terpisah, dan kata-kata itu
diucapkan oleh si suara serak.

“Nyawa…?” kataku tak paham, merasa bodoh. Dari tadi yang kukatakan hanyalah
pertanyaan. Kenapa rasanya aku tidak bisa mengatakan sesuatu yang lebih pintar? Aku
hanya mengulang kata terakhir dari penjelasan mereka!

“Benar,” kata yang memiliki suara rendah.

“Kami adalah satu yang terbagi menjadi tiga, kami memiliki kendali akan waktu, kami
bisa membunuh diri kami sendiri dalam satu waktu, namun kami memerlukan raga kasar
untuk dihancurkan agar keberadaan kami di dunia menghilang,” kata yang memiliki
suara tinggi.

“Hah? Memangnya kalian mau bunuh diri?” tanyaku heran.

“Kami belum selelasi bicara,” kata si seara rendah.

“Oh.”

“Kami bisa membunuh diri kami sendiri, atau menyelamatkan diri kami sendiri, dengan
cara yang sama,” kata si pemilik suara tinggi lagi. “Harus ada raga kasar untuk
menampung kami, membawa esensi kami dalam tubuh itu.”

“Eh… ya?” aku masih tak paham apa maksud mereka.

“Dan untuk itu kami menginginkan raga kasar… tubuhmu.”

Aku ternganga. “Hah? Tubuhku?”

“Kami memerlukan tubuhmu untuk menyelamatkan diri. Kami harus tetap hidup kecuali
kalau tak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk tetap menyelamatkan diri. Tapi
kondisi saat ini tak memungkinkan kami untuk tetap tinggal dalam jam pasir itu. Kami
butuh tubuh seseorang yang bisa melindungi dan tidak memanfaatkan kami.”

“Aku?” tanyaku lagi. “Wow. Aku berterima kasih dan merasa amat tersanjung karena
permintaan kalian ini, tapi maaf, sepertinya lebih baik aku menolak.”

“Hanya ada satu pilihan jawaban bagimu,” kata mereka bersamaan, “yaitu menerima
tawaran ini.”

“Kenapa?”

“Karena proses penyatuannya sudah dimulai sejak tadi,” jawab si suara serak dengan
nada polos dan lugu.

“Apa?! Kenapa tidak menanyakannya dari tadi, kalau begitu?!”

“Karena kami baru bisa menanyakannya sekarang, saat sebagian dari kami sudah
tergabung denganmu.”

“Terlambat! Mana bisa aku menolak kalau begini caranya?!”

“Kau benar-benar serius ingin menolak tawaran ini?”

Aku menghela nafas panjang. “Apa yang akan terjadi kalau aku menolak?”

“Karena proses peleburannya sudah terjadi, maka yang akan terjadi adalah tubuhmu
akan ikut hancur bersama dengan kami begitu kami melebur menjadi satu dengan waktu.”

“AARGH! Kenapa nasib seperti ini harus terjadi padaku?!”

“Kau harus memilih. Apa nasib yang kauinginkan? Tetap hidup walau harus membawa
kami, atau melebur bersama kami dan tak ada yang akan mengingatmu lagi?”

Aku menelan ludah. Apa yang harus kupilih? Aku tidak mau membawa mereka dalam
tubuhku! Terlalu besar tanggung jawabnya! Lagipula, bagaimana kalau mereka lalu
memutuskan untuk mengeksploitasi tubuhku? Memanfaatkannya sampai batas terakhir? Aku
tak mau melakukannya!

Aku membuka mulut, hendak menolak, tapi lalu terdengar suara lain.

“Daphne!”

Aku menoleh ke sana ke mari, kebingungan. “Argus?”

“Jangan menolak tawaran itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar