Selasa, 23 November 2010

CHAPTER 10: JASON’S TURN

Aku menatap kedua orang itu. Daphne dan… pemuda itu. Siapa dia? Seingatku tadi
Schurke (Gyle, aku mengingatkan diri sendiri) memberitahuku siapa namanya. Argus.
Ya, Argus.

Keduanya berlari melewati lorong-lorong, berlari keluar dari kastil, menjauh dariku.

Aku menoleh dan berjalan menuju sel Daphne. Sel yang kini tinggal puing-puing karena
sudah dihancurkan Argus.

Kutemukan Gyle di sana, berbaring telentang, mata berkilat marah.

“Gyle…”

“Mana dua orang itu?”

“Entahlah.” Ini jujur karena aku toh tak tahu di mana mereka sekarang. Mungkin
terjebak dalam kastil. Mungkin sudah di luar. Entahlah.

Gyle mengeraskan rahang. Pikiran-pikirannya berseliweran dan terdengar olehku.

Kurang ajar.

Argus… anak sial! Dia menggunakan kemampuannya untuk mencuri kemampuan orang lain
untuk melumpuhkanku!

Kekebalan itu seharusnya menjadi milikku. Gadis itu tak pantas mendapatkannya.

Aku mengerjap. Whoa. Pikiran apa itu tadi? Sepertinya Argus menghajar Gyle dengan
serius tadi.

Gyle bangkit berdiri. Ia menatapku dengan matanya yang tampak tajam. Aku membalas
tatapannya dalam diam. Apa yang ingin dikatakannya?

“Aku tak berhasil membunuh gadis itu,” kata Gyle akhirnya. “Mereka kabur sebelum aku
sempat melakukannya. Kuberi tahu kau. Kau harus membawa gadis itu kembali. Tak harus
sampai membunuhnya. Yang penting aku bisa mendapatkannya.”

Aku hanya mengangguk. Lama kelamaan misi-misi Gyle jadi terasa aneh. Semuanya
tentang gadis itu, Daphne. Memangnya dia punya apa sampai Gyle begitu
menginginkannya? Apa sebenarnya yang seharusnya aku ketahui tapi tak kuketahui di
sini? Apa sebenarnya yang disembunyikan Gyle?

“Sekarang, Jason,” kata Gyle lagi. “Kau harus mencari gadis itu. Sekarang.
Sendirian. Aku tak akan ikut denganmu. Aku punya – “ Gyle meluruskan punggungnya
dengan wajah tersiksa “ – urusan yang harus diselesaikan. Sana pergi!”

*

Aku melangah menuju rumah itu lagi. Rumah yang ditunjukkan Gyle saat ia ingin aku
membunuh Daphne. Aku ingin tahu apa aku bisa menemukannya di dalam rumah ini lagi.

Mendadak serbuan gambaran muncul di kepalaku. Teriakan, jeritan, tawa. Semuanya
dalam nuansa bahagia. Senyum-senyum dan tawa-tawa senang bermunculan tanpa bisa kukendalikan.

Pintu rumah terbuka. Daphne berdiri di sana, senyum lebar terpampang di wajahnya,
tapi senyum itu perlahan menghilang saat ia melihatku.

“Jason…”

Aku hanya diam. Aku memandanginya dalam diam. Aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan. Aku tak tahu siapa dia. aku bahkan tak ada hubungan apapun dengannya.

“Kau akan mengingatku, Jason,” katanya tiba-tiba.

Aku tetap diam. “Aku tak bisa mengatakan apapun tentang itu,” kataku akhirnya. “Yang
jelas Gyle ingin aku membawamu padanya. Walau aku tak paham alasannya.”

Ia menatapku sedih. “Apakah harus?”

Aku mengangguk tegas. “Sayang jawabannya ‘ya’. aku sendiri juga tak mengerti. Dia
hanya memberiku perintah untuk membawamu. Hanya itu.”

“Tapi bagaimana kalau aku tak mau?”

Aku tak menjawab. Daphne mendesah kecil dan berjalan padaku. Menghampiriku. Ia
menatap mataku dalam-dalam.

“Kau harus ingat, Jason. Mungkin tak sekarang. Tapi nanti harus. Tetap ingat aku.
Mengerti?”

Kembali serbua gambaran menyergapku. Kini dalam gelombang ombak kesakitan yang
mendera kepalaku. Aku mengerang pelan. Daphne hanya mampu menatapku bingung.

“Aku benci ini,” keluhku pelan. Kedua tangannya mencengkram kepala dengan kuat. Aku
kesakitan. Apa yang kauharapkan dariku?

“Jason?”

Semua kenangan dan ingatan kembali melimpah ruah masuk ke dalam kepalaku. Daphne,
Ayah, Ibu, Calypso, Ares, segalanya. Juga tentang pemuda itu, James, yang kujumpai
dalam mimpiku. Segalanya.

Daphne tetap memandangiku dengan bingung. Kini dia tampak panik. Ia memanggil teman-
temannya dari dalam rumah.

Setelah beberapa lama segalanya kembali normal, setidaknya kondisi kepalaku berbalik
normal.

“Aw,” aku mendongak kembali, menggelengkan kepalaku dengan gerakan lembut. “Well,
itu menyakitkan. Cara sadis untuk mengingatkan kembali seseorang akan sesuatu yang
dilupakannya. Bukan salahku juga aku lupa, kan? Jadi, Daph, kau mau menyambut
kepulangan kakakmu di dalam agar aku bisa makan atau tetap berdiri di luar begini?”

Mata Daphne tampak bersinar. “Jason!”

Lalu, tanpa peringatan, ia memukuliku.

“Auw! Hei! Hentikan! Daph!”

“Kau pikir berapa lama aku mencemaskanmu?! Berapa lama aku menangis karena mengira
kakakku sudah benar-benar hilang?! kenapa kau tidak kembali dari tadi-tadi?!”

“Hei!” aku memprotes balik. “Kau pikir kondisiku enak?! Kau pikir berapa kali
ingatanku dikubur karena aku berusaha melindungimu?! Berapa kali aku merasakan
sakitnya proses itu saat diulang-ulang?! Berapa lama aku harus kebingungan akan
identitasku sendiri?! Yang merasa cemas itu tak hanya kau sendiri, aku juga
mencemaskan keadaanmu!”

Daphne memberiku satu bogem mentah lagi, lalu memelukku erat.

“Kalau sampai kau hilang lagi, kupastikan aku akan membunuhmu sendiri,” katanya
sadis.

“Ow… Daph, aku tidak bisa nafas…”

*

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan.

“James… bisakah kau membantuku?”

“Maaf, kawan. Sepertinya tidak.”

“Setidaknya bujuk dia. Aku mulai merasa risih di sini.”

“Yah… tapi sulit. Kau tahu sendiri bagaimana dia.”

Aku mendengus.

Akhirnya aku tak tahan lagi. “Calypso, menyingkir dari punggungku!”

Calypso tampak tersinggung. “Tapi kan aku baru…”

“Aku tak peduli, Kelli. Cepat menyingkir dari punggungku. Punggungku bukan batang
pohon tempat semua monyet bisa nergelantungan!”

Mata Calypso berkilat. “Jangan pernah panggil aku Kelli.”

“Stop…” kata Daphne tak sabar. “Hentikan pertengkaran dua sejoli ini sekarang juga.
Sekarang yang penting adalah masalah Gyle dan obsesinya terhadap Kepingan Waktu yang
ada padaku, oke? Aku tak mau mati muda karena perbuatannya itu!”

“Masalah itu juga disingkirkan dulu saja,” balasku sambil mendorong Calypso
jauh-jauh. “Yang jelas, apa sebenarnya Kepingan Waktu itu? Apa wujudnya?”

“Kemungkinan besar gambar abstrak,” jawab Laurel. “Tato. Tertempel pada kulit Daphne
dan tak akan bisa dilepas sebelum pengirimnya melepaskannya sendiri. Atau beberapa
pemilik kemampuan menggabungkan kekuatan untuk melepaskannya.”

Daphne tampak gelisah. Ia menyentuh tengkuknya dengan gerakan cepat seakan ingin
menyembunyikan sesuatu yang ada di sana. Aku segera menyingkirkan tangannya dan
mengintip ke balik helaian rambut dan kerah kemejanya.

“Daph,” kataku kemudian. “Lepas kemejamu.”

Daphne melotot ke arahku. “Piktor! Kau pikir ini di mana?! Aturan pertama dalam
rumah, dilarang berkata atau bertindak tidak senonoh!”

“Kau selalu menggunakan tank top di balik kemejamu!” protesku. “Kau sendiri sering
hanya menggunakan tank top tanpa kemeja!”

“Hanya di rumah!”

“Kau pikir di mana ini?!”

Daphne membuka mulut untuk bicara lagi, tapi menutupnya kembali. Lalu, dengan
diiringi gerutuan, ia membuka kemejanya. Aku membalikkan tubuhnya dan menyibakkan
rambutnya. Di tengkuknya ada gambar hitam abstrak, nyaris tak terlihat di balik
tirai rambut yang menutupinya.

“Daphne,” kataku galak, “kapan kau membuat tato ini?”

“Tiga minggu yang lalu.”

“Jadi ini alasanmu meminta tambahan uang?! Tunggu sampai ayah dan ibumu tahu!”

“Jason!”

“Apa?”

“Itu… ah, sudahlah!”

Theo menyibakkan rambut Daphne lagi. “Whoa! Tato yang bagus, Daph. Di mana kau
membuatnya? Aku juga mau!”

Aku memelototi Theo dan dia segera mengubah kalimatnya.

“Ups, maksudku… urm, di mana? Mungkin yang membuat tahu apa arti tato itu…”

Daphne menggeleng. “Dia tak tahu. Saat melihat tato ini aku langsung merasa jatuh
cinta, karena itu aku segera menanyakan pada pembuat tatonya apa arti tato ini. Tapi
dia tak tahu. Dia hanya bilang dia mendapatkannya dari seorang pengelana tua. Hanya
itu.”

James mengangkat bahu. “Masalah yang sedikit merepotkan.”

“Sangat,” ralat Laurel.

“Hebat,” kata Thalia. “Tato ini keren sekali… yang membuatnya pasti berbakat.”

“Dan cerdas,” timpal Calypso. “Kalau tidak tak akan jadi sebagus ini.”

“Aku ingin tahu, apa orang itu bisa membuatkanku tato sayap abstrak,” kata Erato
dengan mata menerawang.

“Dasar tukang mimpi,” ejek Theo.

“Dan hiu untukmu, Theo.”

“Oh. Baiklah. Kutarik kata-kataku.”

Thalia tertawa. “Kalian ini. Sekarang bukan saatnya bicara tentang tato, bukan?”

“Memang bukan,” jawab Erato dan Theo bersamaan.

“Apa ini, ribut-ribut…?”

Aku menoleh. Seorang pemuda berambut merah acak-acakan menatap kami semua dengan
pandang kesal dan mengantuk. Argus.

“Bangun juga kau akhirnya, Argus,” kata Daphne.

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Argus lagi.

“Bukan apa-apa,” jawab James ketus. “Hanya masalah Kepingan Waktu.”

“Kepingan Waktu bukan ‘hanya’,” kata Laurel. “Kita harus melepaskannya dari tengkuk
Daphne.”

“Caranya?”

“Gabungkan kekuatan kita semua,” kata Laurel mantap. “Dan kita akan melepaskan tato itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar