Senin, 08 November 2010

emotion eater chp.7

CHAPTER 7

“Jadi kau mengikuti saranku, kau menggunakan bloodstone.”

Aku mengangguk mengiyakan. “Karena memang hanya batu ini yang meperlihatkan
kerlipan, walau nyaris tak terlihat sama sekali.”

Aku tak dapat melihat wajah Lania tapi aku bisa merasakan senyumannya.

“Aku sekarang mengerti kenapa kau mengatakan kalau kita adalah satu,” kataku padanya.

“Jelaskan.”

“Aku adalah reinkarnasimu, bukan?” tanyaku pelan. “Kau adalah aku di masa lalu. Dan
Lucas adalah reinkarnasi dari Luke, Ksatria sebelumnya. Karena itulah kau mengatakan
kalau aku adalah kau dan kau adalah aku, sekaligus kau adalah kau dan aku adalah
aku. Karena kita memang satu. Walau bagaimanapun, waktu memang mengikis kita, tapi
kita tetap satu orang, secara teknis.”

Lania bertepuk tangan tiga kali. “Sempurna. Kau tahu, sepertinya kau mengetahuinya
dari orang lain.”

“Ya.”

“Dari siapa? Louie?”

“Benar.”

“Louie?”

Lania tertawa hambar. “Dulu dia juga yang menjemputku, bersama dengan Luke. Tapi di
saat perjalanan kami bersama Helen, aku dan Luke terbunuh. Untunglah Helen tidak
mengetahui siapa yang membunuhku, kalau tahu dia pasti akan membunuh mereka dan yang
terjadi pasti justru malah sebaliknya.”

Aku memilih diam.

Lania berpaling. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya, walau tak terlalu
jelas karena terlihat dari samping. Dia tampak manis dan... mirip denganku.

“Lianne, berjanjilah kau tidak akan melakukan hal bodoh. Berjanjilah kau tidak akan
terbunuh sebelum kau menyelesaikan tugasmu menyelamatkan negeri itu. Kalau tidak,
lingkar reinkarnasi ini akan selalu berulang, tanpa henti, dan darah akan terus
tertumpah.”

Aku ragu sejenak, lalu mengangguk.

Lania tampak lega. “Kalau begitu baguslah. Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Mereka
sudah menunggumu.”

“Siapa?”

“Kau akan tahu. Tapi untuk itu, kau harus kembali. Sana, pergilah.”

Aku mengangguk.

*

“Lianne.”

Aku membuka mata perlahan. Wajah Lucas menyambutku.

“Lucas... ada apa?”

“Kau ini, tidur di tempat seperti ini. Kau tidak takut Arthur atau Douglass
menemukan dan membunuhmu?”

Aku menguap lebar. “Bukannya aku tidak takut, tapi aku hanya ketiduran. Aww,
sekarang badanku pegal semua...”

“Salahmu sendiri tidur di luar. Bersandar di pohon, pula. Tak mungkin tak pegal.”

Aku mengacak rambut Lucas pelan. “Ada apa mencariku?”

“Latihan lagi. Louie dan Gregor menunggu.”

Aku mengerang. “Penyiksa... aku masih lelah...”

Benar, lelah. Walaupun aku dan Lucas sudah mendapat batu penyokong kekuatan kami,
tapi kami belum terbiasa untuk menggunakan sihir, sehingga kami sering kelelahan
sebelum Louie dan Gregor mengizinkan kami untuk beristirahat. Maka sering sekali
dijumpai pemandangan kami kelelahan tapi dipaksa tetap berlatih menyihir di sini.

Aku mendesah. “Ayolah. Lebih baik kita menurut daripada nanti kita malah dibantai
lebih parah.”

Lucas mengangguk. Kami berjalan menuju ke taman tempat kami biasa berlatih.

Tanpa mengetahui kejutan apa yang menanti di baliknya.

*

“APA?!”

“Kalian mendengar jelas apa yang kukatakan. Lakukan.”

“Tapi... tapi, itu...”

“Tujuan kalian dilatih sihir memang untuk mempertahankan diri dari serangan dan untuk menyerang. Jadi itu masuk akal kalau aku menyuruh kalian bertarung di sini.
Jangan lama-lama membantah, cepat lakukan!”

“Tapi...”

“Kalau kalian tidak berlatih bertarung, Arthur dan Douglass bisa membunuh kalian
semudah menjentikkan jari. Mereka kuat. Jauh lebih kuat daripadaku. Lakukanlah
sekarang.”

Aku dan Lucas berpandangan.

“Haruskah...”

“Harus. Cepat.”

Lucas mengehembuskan nafas panjang.

“Kalau begini caranya, mau bagaimana lagi,” katanya kesal. Ia membuka sarung
pedangnya. “Tak ada pilihan bagi kita selain menurutinya, Lianne. Serang aku.”

“Lucas...? Tapi aku tak bisa...”

“Bisa. Cobalah dulu. Kalau tidak, kita tidak akan bisa kembali ke rumah untuk
beristirahat. Mungkin malah kita bisa tertahan di sini sampai malam, besok, malah.
Coba saja.”

Aku mendengus. Aku tak ingin melukai Lucas, tapi apa boleh buat. Lagipula dia memang
mengatakan apa yang sebenarnya juga sudah kupikirkan.

Aku meneliti semua seluk beluk tempat ini, taman ini, hutan buatan ini. Kurasa
membuat badai daun cukup menarik. Apalagi ada banyak daun yang gugur di tanah, yang
belum dibersihkan.

Aku menarik nafas dalam-dalam, berkonsentrasi, mulai bersiul pelan.

Seiring dengan naiknya nada siulanku, angin mulai berembus. Makin lama makin kuat,
menerbangkan daun-daun dari tanah.

Semua daun beterbangan, dan aku menyiulkan nada lain untuk mengendalikan arah gerak
angin sehingga semua daun bisa menyerang Lucas.

Lucas meniup pedangnya pelan, kini pedang itu berubah menjadi pedang api.

Aku menjilat bibir, kembali bersiul. Yah, ini memang mulai jadi menarik. Lucas
membakar semua daun menjadi debu yang menyerangku. Aku mengambil sejumput debu itu
dan mengubahnya menjadi setetes air, yang memicu semua butir debu berubah menjadi
air juga.

Aku bersiul lagi, mengarahkan semua molekul air untuk menyerang Lucas. Aku tak
serius menyerangnya, toh dia akan tetap bertahan juga. Tapi terus terang bermain
sihir begini memang menyenangkan.

Air yang menyerangnya terlalu banyak untuk dilawannya, Lucas tahu itu. Ia mengurung
diri dalam bola api saat semua molekul air sudah nyaris menghantamnya. Aku menarik
kembali air itu, seperti ombak pasang surut.

Api yang membungkus tubuh Lucas menghilang. Enath kenapa aku merasa ia berbeda...
matanya...

Aku tersentak. Ini bukan Lucas. Sama sekali bukan dia! Lucas tak pernah seperti ini!
Tapi kalau bukan Lucas, lalu siapa?

“Lianne! Mundur!” perintah Louie, berdiri di depanku. Aku bersiul, air yang tadi
menyerang Lucas kini ada di belakangku, siap melindungiku kalau kubutuhkan. Walau
begitu, mengendalikannya mulai agak sulit. Bagi Lucas sekarang ini pasti mudah untuk
mengendalikan sihirnya, mengingat ia memakai batu yang memang memberinya kekuatan
paling baik. Tapi aku tidak. Seharusnya aku memakai amber, tapi batu itu terlarang
bagi semua orang kecuali aku sehingga Gregor tak memiliki batu itu.

“Siapa kau?” tanya Louie pada Lucas.

“Aku hanya meminjam tubuh ini sebentar, Louise.”

Aku tersentak. Suara itu...

“Tak kusangka kau berani ke sini, Arthur.”

Arthur, dalam tubuh Lucas, tersenyum. Mata merah darah Lucas telah berubah menjadi
mata ungu tua Arthur. Aku sendiri kaget saat menyadari mata Arthur berwarna ungu
tua, tapi memang ada sesuatu yang aneh pada matanya, yang sudah kusadari sejak dulu.
Hanya saja baru sekarang aku menyadari kalau matanya berwarna ungu tua.

“Aku berani. Yang menjadi masalah adalah aku tidak tahu tempat ini. Jadi aku
mengirim jiwaku ke tubuh anak ini untuk mencari tahu. Yah, memorinya bagus,
segalanya tampak jelas. Yang jelas tubuh ini akan kehilangan fungsi selama beberapa
saat. Kau tahu apa yang akan terjadi pada tubuh yang kurasuki, bukan?”

Louie tersenyum masam. “Tak mungkin aku tak tahu. Apalagi aku memang sudah pernah
menjadi korbanmu.”

Aku memandang Louie dengan terkejut. Eh? Sudah pernah jadi korban? Maksudnya sudah
pernah dirasuki?

Arthur, dalam tubuh Lucas, tertawa. “Tubuh ini terasa nyaman, juga mudah
dikendalikan. Ini berarti bocah ini punya kemampuan untuk merasuki tubuh orang lain
juga, sama sepertiku. Hebat sekali. Seingatku, bocah yang dulu, Luke, juga punya
kemampuan yang sama?”

Louie tersenyum hampa. “Kau sudah mendapat apa yang kauinginkan, jadi bagaimana
kalau kau meninggalkan tubuh itu sekarang?”

“Meninggalkan sarang ini? Sarang nyaman ini, yang mudah dikendalikan ini? Kau pasti
bercanda.”

“Tanpa pulang ke tubuhmu? Tubuh milikmu sendiri, yang kaukenal lebih dari siapapun,
yang dapat kaukendalikan lebih mudah dari siapun? Kalau aku bercanda, kugorok
leherku sendiri.”

Sepertinya Arthur mengetahui kebenaran kata-kata itu, sebab ia lalu mendesis marah.

“Seperti biasa kau selalu mendapatkan poin utama dari kelemahan kekuatan seseorang,
Louie.”

“Seperti biasa kau tidak menyadari kelemahan utama dari kekuatanmu sendiri, Arthur.”

“Aku yakin kau sendiri tak menyadari kelemahan kekuatanmu sendiri.”

“Aku menyadarinya.”

“Oh ya? Apa kelemahan itu, kalau begitu?”

“Kau pikir aku bodoh? Aku tak akan semudah itu memberitahumu, kau tahu?”

Arthur tersenyum licik. Melihat wajah Lucas menjadi seperti itu, aku memalingkan
wajah. Lucas seharusnya tidak seperti ini. Kenapa Arthur memilih tubuh Lucas?

“Sebetulnya, Louie, kawan lama, aku tak mau berlama-lama di sini. Aku sendiri,
dengan ragaku sendiri, yang akan datang ke sini bersama Douglass. Hati-hati, tubuh
ini akan jatuh. Sampai jumpa, teman. Dan, oh, Sang Putri. Karena kau ada di sini,
sekalian saja kuberi tahu: kau harus berhati-hati.”

Aku mengerjapkan mata. Apa maksudnya? Dia tak mau menggunakan tubuhku, kan?

“Sampai jumpa.”

Angin menderu kencang, tubuh Lucas meluruh jatuh.

Louie berlari menghampirinya, panik. Aku malah jauh lebih panik lagi. Aku berlari
jauh lebih cepat darinya dan berlutut di samping Lucas.

“Lucas!” panggilku panik.

Aku makin panik saat menyadari kalau dia tidak memberikan reaksi. Matanya terpejam,
dan ia...

Aku membeku. Ia tak bernafas.

“Louie...” bisikku panik saat Louie berlutut di sampingku. “Louie, dia...”

“Dia masih hidup, tenanglah, tapi karena tubuhnya baru saja dieksploitasi oleh
seseorang selain dirinya sendiri, organ tubuhnya akan berhenti bekerja selama
sesaat,” kata Louie menenangkanku. “Ah, untunglah, jantung dan paru-parunya sudah
bekerja normal lagi.”

“Tapi dia belum bangun!”

“Akan makan waktu beberapa lama sampai dia bangun, tapi kalau jantung dan
paru-parunya sudah berfungsi lagi, dia akan baik-baik saja, tenanglah.”

Kuharap dia benar. Aku tetap memilih diam, menatap Lucas yang berbaring kaku seperti
mayat. Oh, kumohon, jangan sampai dia mati! Jangan sampai dia sakit! Astaga, akan
kubunuh Arthur kalau memang dia sampai kena masalah...

“Uh...”

Aku tersentak. “Lucas! Kau tak apa?”

Lucas duduk diam, menatapku dengan pandang kebingungan.

“Dia belum bisa bicara. Belum bisa mendengar juga.”

Aku menatap Louie kaget.

“Dia akan bisa, tenang.”

Lucas menunduk, diam, kebingungan. Aku tak tahu bagaimana perasaannya, aku tak punya
waktu untuk berempati, aku sudah terlanjur panik terlebih dahulu.

“Tadi itu...”

“Lucas!” kataku gembira. “Kau sudah bisa bicara lagi!”

Lucas mengangguk kecil. “Apa yang terjadi tadi? Aku tak ingat apapun sejak saat aku
membuat perisai api.”

Louie menceritakan semua kejadian tadi pada Lucas.

“Begitu rupanya,” kata Lucas, tercenung memandangi tanah. “Pantas aku tak ingat
apa-apa.”

“Memang dapat dimaklumi,” kata Louie dengan tatap hampa. “Kau bisa berdiri?”

Lucas mencoba berdiri, tapi terjatuh kembali.

“Terus terang ini benar-benar menjengkelkan. Jujur saja, kalau aku bisa menghajar
orang itu pasti sudah kulakukan dari tadi,” kata Lucas kesal. Dapat dimaklumi,
mengingat kakinya belum bisa berfungsi dengan baik.

Louie menjilat bibirnya. “Mint,” celetuknya pelan.

“Kau harus belajar bagaimana caranya membentengi dirimu dari serangan perampok emosi
seperti orang itu, Lucas,” kataku datar.

“Aku tak tahu caranya, kau tahu itu,” keluh Lucas pelan. Ia bangkit berdiri.

“Ah, sudah bisa sekarang, rupanya,” kata Louie, tersenyum lebar. “Kalau begitu lebih
baik kalian masuk. Tak ada gunanya kalian berlatih bertarung lagi sekarang. Lagipula
aku tahu kalian sudah kelelahan, jadi ada baiknya kalau lebih baik kita berhenti
sekarang.”

Aku hanya diam dan mengikuti Louie kembali masuk ke dalam rumah.

*

“Kau harus berhati-hati, Lianne.”

Aku menoleh. “Lania? Kenapa?”

Lania tampak cemas walau aku tak bisa melihat wajahnya. Auranya memancar kuat
seperti cahaya matahari.

“Kau harus berhati-hati.”

“Aku sudah mendengar itu, tapi kenapa?”

“Arthur bukanlah jenis orang yang suka bercanda dengan apa yang dikatakannya. Dia
serius saat mengatakan kau harus berhati-hati. Sepertinya dia merencanakan sesuatu.”

“Tapi kalau begitu caranya, bukankah dia malah memberi tahu kalau dia punya rencana
lain?”

“Memang, tapi begitulah caranya bermain. Baginya dengan begitu permainan akan terasa
jauh lebih menegangkan karena kewaspadaan lawannya sudah meningkat terlebih dahulu.
Aku serius, Lianne, kau beanr-benar harus berhati-hati.”

Aku mengangguk. “Akan kulakukan.”

“Dan beritahu Louie untuk tidak mencoba melakukan pemberontakan, Lianne.”

“Apa?”

Suara jam weker di samping kasurku membangunkanku dari tidur.

Aku mengerutkan kening. Louie...

“Pemberontakan?” bisikku heran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar