Minggu, 07 November 2010

emotion eater chp.5

CHAPTER 5

Aku berdiri di tengah pancaran cahaya, di depanku berdiri seorang perempuan.
Wajahnya tak terlihat karena bayang-bayang yang ditimbulkan oleh pancaran cahaya
aneh itu.

“Kau akan mempelajari sihir,” kata perempuan itu.

Aku memandangnya terkejut. “Bagaimana kau tahu tentang itu?”

Aku tidak dapat melihat wajahnya, tapi aku mendapat perasaan seakan dia tersenyum.
“Aku sudah mengatakan padamu kalau kita adalah satu, bukan?”

Aku berkedip. “Siapa kau sebenarnya?”

“Kau akan tahu, tapi tidak sekarang. Aku punya satu saran untukmu, Liana. Kalau
mereka menyuruhmu memilih batu, pilihlah bloodstone. Itu tak akan memberimu kekuatan
sebaik kekuatan itu, tapi bloodstone akan memberimu kekuatan lebih banyak daripada
semua batu kecuali kekuatan itu.”

“Kekuatan itu?”

“Kekuatan yang diincar klan Vampir dan Soul Eater.”

“Eh?”

“Sampai jumpa, Liana. Kita akan bertemu lagi.”

“Tunggu! Siapa namamu? Setidaknya beritahu aku siapa namamu!”

“Aku... Lania.”

Aku terbangun dengan kaget.

“Lania...?” bisikku bingung. Kenapa nama itu terdengar familier bagiku? Bahkan aku
merasa seakan itu namaku. Tapi namaku Liana! Bukan Lania.

Siapa sebenarnya perempuan itu?

*

Aku memasukkan pancake ke dalam mulutku, mengunyah dengan kepala penuh pertanyaan.
Siapa sebenarnya perempuan itu? Dan aku baru sadar kalau dia tahu siapa namaku. Dari
mana dia tahu? Apa maksud kata-katanya dulu itu, ‘kita adalah satu’? Ini
membingungkan, sangat.

“Lianne?”

Aku menoleh. “Lucas, ada apa?”

Lucas duduk di sampingku. “Latihan sihir kita dimulai hari ini, ingat? Gregor ingin
kita berlatih di luar rumah.”

“Baguslah, sedikit udara segar akan menyehatkan bagi kita.”

“Secara terpisah.”

Aku memandangnya kaget.

“Mungkin karena mereka menganggap aliran sihir yang kita pakai berbeda, jadi
sebaiknya kita dilatih terpisah.”

“Begitu,” kataku sambil mengangguk. “Yah, mau bagaimana lagi? Memang susah kalau
urusannya begini. Lalu kapan kita mulai?”

“Satu jam lagi.”

Aku melahap sarapanku lagi. “Berarti aku masih punya waktu untuk makan. Kau sudah
makan?”

“Belum.”

“Sana ambil sarapan. Kalau kau tidak makan nanti kau tidak bisa latihan benar-benar.”

“Tapi...”

“Sana cepat.”

*

“Lianne,” panggil Helen, memanggilku dari lamunan.

“Ah? Ada apa?”

“Seriuslah. Latihan ini bukan main-main, kau harus tahu itu.”

“Aku tahu itu.”

“Lalu kenapa kau melamun terus?”

Aku memandang langit, mencermati setiap titik awan putih di sana. “Ada yang
mengganggu pikiranku.”

“Apa itu?”

Aku menggeleng. Tidak penting. “Bukan apa-apa. Akan kucoba lebih berkonsentrasi
sekarang.”

“Baiklah. Kita coba sekali lagi.”

*

Lucas

“Ini.”

Lucas menelengkan kepala dengan bingung. “Pedang?”

Louie dan Gregor melempar senyum padanya. “Kalau kau bisa menguasai berbagai jenis
ilmu beladiri, paling baik kalau kau memakai sihir jenis ini.”

“Memangnya ini sihir jenis apa?” tanya Lucas heran, menerima pedang dari tangan
Louie. Saat menyentuh tangannya, pedang itu memancarkan cahaya keemasan, membuat
Lucas tersentak kaget. Apalagi cahaya itu begitu terang menyilaukan, membuatnya menutup mata beberapa saat.

Lucas membuka mata perlahan, mengerjapkannya beberapa kali. “Apa itu tadi?”

Louie dan Gregor berpandangan dengan senyum mencurigakan di wajah mereka.

“Memang cocok rupanya.”

“Sangat cocok malah.”

“Bahkan sampai senjatanyapun cocok.”

“Untung sekali kita berhasil mendapatkan pedang itu.”

“Memang dia orangnya.”

“Dan pedang itu memang dibuat untuknya, kan?”

“Benar sekali. Untuknya dan hanya untuknya.”

“Tak akan ada yang bisa menggunakan pedang itu selain dirinya.”

“Benar sekali.”

“Sangat benar.”

Lucas mendengus. “Bisakah kalian berhenti bicara seakan aku tak ada di sini?”

Louie dan Gregor secara bersamaan mengecap bibir, Lucas merasakan kekesalannya
dihisap habis.

“Sudah kubilang emosi anak ini enak, bukan?”

“Ya. Mint. Segar.”

“Ini adalah jenis sihir yang digunakan dengan media perantara senjata, Lucas,” kata
Louie, berpaling padanya. “Mengingat kemampuanmu dalam seni beladiri, memang ini
jenis sihir yang paling tepat buatmu. Dan ternyata benar. Selain itu pedangnyapun
cocok denganmu.”

Lucas memandang pedangnya heran. “Memangnya ini pedang apa?”

Gregor tersenyum puas. “Pedang itu sudah dibuat oleh klan Emotion Eater sejak perang
melawan klan Vampir dan Soul Eater dimulai. Legenda menyatakan bahwa Sang Ksatria
akan menggunakan sihir ini, dengan perantara pedang khusus buatan Penjaga. Dan
ternyata benar, bahkan pedangnyapun sangat cocok. Pedang itu sudah dibuat
bertahun-tahun yang lalu, Lucas, hanya untukmu. Hanya itu satu-satunya senjata yang
bisa benar-benar membantumu.”

Lucas memandang pedang itu. Benar, pedang itu terasa hangat dan nyaman di tangannya,
terasa seakan memang dibuat hanya untuknya.

“Nah, sekarang, waktu latihannya!” seru Louie, memecah lamunan Lucas.

“Secepat itukah?”

“Ya. Pasang posisi, kita mulai dari latihan pedang biasa. Untuk membiasakan tanganmu
dengan pedang itu.”

*

Aku terbatuk. Aku memandang Helen dengan sakit hati.

“Helen! Kau bilang ini latihan sihir, bukan? Kenapa menyerangku secara fisik?”
tanyaku dengan nafas tersengal.

“Untuk menyiapkanmu kalau nanti klan mereka menyerangmu secara fisik,” jawab Helen
sambil mengelus gelang lengannya yang berwarna perak. Hiasan moonstonenya tampak
makin berkilau sesaat.

Aku mendesah. “Aku belum benar-benar bisa sihir, dan latihan ini benar-benar
membuatku lelah.”

Helen tersenyum. “Cobalah gunakan sihir sekarang untuk menyerangku.”

“Eh? Tapi aku...”

“Coba saja.”

Aku meneliti keadaan sekitarku. Di taman ini, hutan buatan tepatnya, ada begitu
banyak sulur tanaman dan akar yang menggantung di dahan-dahan, melambai bila tertiup
angin. Tampak bagus di siang hari, tapi benar-benar horor di malam hari.

Aku mendengus. Aku mencoba berkonsentrasi, membayangkan kalau Helen terjerat oleh
begitu banyak sulur dan akar, tersabet ranting...

Angin berhembus kencang, dan tiba-tiba semua sulur dan akar melambai, menyerang
Helen dengan garang. Dengan kaget Helen menghindar, melompat dan berlari, menerobos
melewati sulur-sulur mengamuk itu. Dengan kaget aku menyadari kalau aku bisa
mengendalikan gerakan semua sulur itu. Dengan penasaran aku bertanya-tanya, bisakah
aku mengubah semua sulur dan akar itu menjadi benda lain?

Aku berkonsentrasi sekali lagi, dan semua sulur berubah menjadi api membara. Helen
memekik, antara kesenangan dengan ketakutan. Mungkin dia senang karena khirnya
berhasil membuatku memakai sihirku dengan serius, entahlah, tapi yang jelas dia
ketakutan, tak mau dibakar.

Ia menggunakan sihirnya. Tiba-tiba semua api lenyap dan digantikan air, yang menyerangku cepat.

Aku kembali berkonsentrasi penuh. Kali ini aku membekukan semua molekulnya, dan
membuatnya menjadi jutaan tombak dan anak panah es supertajam, melayang cepat
membelah udara untuk menyerang Helen.

Helen menjentikkan jemari, semua es mencair menjadi air kembali, membuat kami berdua
basah oleh hujan air dingin. Ia tertawa terbahak dengan puas.

“Luar biasa. Lianne! Akhirnya kau bisa menggunakan sihirmu secara maksimal!” katanya
girang.

“Kau bisa saja bicara begitu,” kataku lemah, “Tapi aku kelelahan.”

Aku jatuh terduduk diiringi pekik kaget Helen. Ia menghampririku dan berlutut di
sampingku, sehingga aku bisa melihat kalau ternyata di pipi kirinya ada bekas gosong
sedikit.

“Lianne! Kenapa kau?”

Nafasku terengah. “Kelelahan. Baru kali ini aku memakai sihir sebanyak itu.”

“Yah, itu dapat dimaklumi. Kau belum memilih batu, kan?”

Aku memandangnya heran. “Batu?”

“Oh! Louie belum menjelaskannya padamu?”

“Dia tidak menjelaskan apapun. Kau saja yang menjelaskan padaku. Batu apa? Apa
gunanya?”

Helen tersenyum. “Caramu bertanya membuatku teringat padanya.”

Aku mengerutkan kening dengan heran. “Siapa?”

“Teman lama. Namanya Lania.”

Aku tersentak kaget. Lania? Dia perempuan yang ada di mimpiku, bukan?

“Kau tampak kaget.”

“Tidak. Ceritakan padaku tentang batu ini. Aku ingin tahu.”

Helen tersenyum lagi, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Setiap penyihir selalu harus
memiliki setidaknya sebutir batu mulia yang bisa menjadi sumber kekuatannya. Batu
ini akan memberinya kekuatan lebih sehingga ia bisa bertarung dalam waktu lama, atau
mempertahankan mantra lamanya. Setiap penyihir memiliki satu batu yang akan
memberinya kekuatan sekaligus perlindungan paling baik, walau biasanya dia memiliki
lebih dari satu, tapi satu akan memberikan yang terbaik. Biasanya batu ini adalah
batu yang sama dengan batu kelahiran si penyihir. Misalnya, bila si penyihir
berbintang pisces, biasanya batu pelindung sekaligus pemberi kekuatannya adalah batu
kecubung, sesuai dengan batu kelahirannya. Tapi ini hanya biasanya. Kadang ada yang
luar biasa, seperti bila batunya sama sekali berbeda dengan yang menjadi batu
kelahirannya. Ada yang seperti ini, dan biasanya si penyihir yang memiliki batu yang
berbeda dengan batu kelahirannya memiliki kekuatan yang amat besar. Tapi kita belum
tahu apa batumu, Lianne, kau harus memilih sendiri mana yang memanggilmu. Begitu
pula Lucas.”

“Begitu,” bisikku pelan. Sepertinya itu cukup menjelaskan kenapa aku selalu merasa
kelelahan setelah menyihir sesuatu. Pantas saja setiap malam aku selalu tidur begitu
lelap dan tetap sulit bangun. Aku tidak punya, belum punya, batu yang bisa memberiku
kekuatan cukup untuk itu.

“Latihan kalian cukup bagus.”

Aku dan Helen menoleh, memandang Louie, Gregor dan Lucas yang baru saja datang.
Gregor dan Louie menyunggingkan senyum lebar senang, Lucas sama parahnya denganku:
kelelahan. Apa dia sudah tahu tentang masalah batu itu?

Aku menyadari kalau kini Lucas membawa sebilah pedang yang tersarung di tangan
kanannya. Apa dia baru saja berlatih pedang? Tapi mereka bilang latihan sihir?
Kenapa membawa pedang?

“Ah, rupanya Lucas menggunakan aliran itu ya?” kata Helen penasaran.

“Dia sangat bagus kalau sudah bersama dengan senjata tertentu, jadi dia pas sekali
kalau memakai sihir ini. Apalagi pedangnya memang dibuat khusus untuknya, ingat,
Ellen?” tanya Gregor dengan senyum menghias wajah.

Helen mendekatkan wajahnya ke wajah Lucas. “Maukah kau menunjukkan hasil latihanmu?
Kau sudah melihat Lianne tadi, jadi biarkan kami melihatmu,” pintanya dengan wajah
penuh harap.

“E... itu...”

“Ayolah! Itu harga yang seimbang setelah kau melihat Lianne melakukannya.”

“Benar, tak ada salahnya,” kata Louie dengan nada hampa. “Kita coba, Lucas.
Bersiaplah.”

Lucas mendesah, lalu mengeluarkan pedang dari sarungnya, menggenggamnya dengan
mantap. “Coba saja.”

Louie mengangkat sebelah tangannya. Panah-panah api melayang kesana kemari, melesat
cepat ke arah Lucas. Lucas mengangkat pedangnya.

Pedang itu mengeluarkan cahaya biru keemasan. Lucas meniup lembut pedangnya dan
pedang itu berubah menjadi pedang air.

Nafasku tersentak kaget. Dia sudah sekuat itukah?

Pedang air yang dibawanya itu lalu ditebaskannya ke kanan, dan pedang itu memanjang,
air melesat ke mana-mana, membasahi seluruh taman, memadamkan api Louie. Tapi Louie
belum selesai. Ia memakai air dari Lucas untuk menyerangnya lagi.

Lucas meniup lembut pedangnya lagi. Kini pedangnya berubah menjadi pedang es.
Pedangnya menyabet lagi, kini semua molekul air membeku dan berubah menadi es.

Sekali lagi Lucas meniup pedangnya, kini pedangnya berubah menjadi pedang api. Semua
bongkahan es berubah menjadi api, menyambar menyerang Louie.

Louie tersenyum hampa. Kini ia mengubah kembali api itu menjadi air, tapi tidak
digunakannya untuk menyerang Lucas.

“Kemampuanmu memang lebih baik dari yang kukira, Lucas,” katanya puas.

Lucas menghembuskan nafas panjang, lalu berdiri bersandar pada pohon terdekat. “Aku
lelah,” ungkapnya sambil memejamkan mata, menyandarkan kepala ke pohon.

“Dapat dimaklumi bagi mereka yang belum punya batu,” kata Gregor sambil menepuk
bahunya.

“Ayo kembali ke rumah,” ajak Louie. “Sudah saatnya kalian beristirahat. Mandi, makan
siang, lalu pilihlah batu kalian.”

Lucas mengangguk, sepertinya dia sudah tahu tentang batu itu. Batu pelindung, batu
penyokong kekuatan. Tergantung caramu memandangnya, tapi terus terang aku sendiri
memandangnya sebagai batu pelindung. Yah, sihir bisa melindungimu, bukan? Dan batu
itu memberimu kekuatan untuk memakai sihir lebih banyak...

*

“Lianne.”

“Um...”

“Lianne, hei. Bangun.”

Aku membuka mata perlahan, mengerjapkannya beberapa kali.

“Helen...? Ada apa?” tanyaku dengan suara mengantuk.

Helen memutar bola mata. “Masih tanya juga. Kau ketiduran, ayo bangun. Louie dan
Gregor sudah menunggumu dan Lucas untuk memilih batu kalian.”

“Aku juga tadi ketiduran, Lianne, santai saja,” kata Lucas, menjengukkan kepala dari
balik pintu.

Aku menggeliat dan bangkit berdiri. Rasanya aku masih mengantuk sekali. Aku sudah
kelelahan saat latihan tadi. Apa aku tidak boleh tidur siang sebentar?

Aku menggeliat. Helen menutup pintu dan memaksaku mengganti bajuku dulu. Setelah
semua siap, rapi barulah aku, Lucas dan Helen berjalan ke tempat Louie dan Gregor
menunggu.

Kami menuruni tangga, menuju ruang keluarga lantai satu. Tapi ternyata tak ada orang
di situ.

“Di mana mereka?” tanya Lucas.

“Mereka tidak di sini. Tempatnya bukan di sini,” kata Helen sambil tersenyum
misterius.

“Lalu di mana?” tanyaku, memandang berkeliling ruangan.

Helen masih mempertahankan senyumnya, lalu ia bergerak ke perapian. Ia memandang ke
dalam perapian, kepalanya melongok ke atas, ke arah cerobong asap. Aku heran
sendiri, apa dia tidak takut kepalanya belepotan jelaga? Tapi sepertinya tidak, dia
santai saja melakukannya.

“Ini dia!” serunya dari dalam perapian.

“Apanya?” tanyaku dan Lucas bersamaan.

Helen keluar dari perapian, tak ada bahkan setitikpun jelaga di kepala maupun
wajahnya. Ia nyengir lebar. “Ini jalannya.”

“Jalan apa?” tanyaku dan Lucas, lagi-lagi bersamaan.

“Ke tempat mereka menunggu kita.”

Helen meraba-raba dinding dalam perapian dan menekan sesuatu yang aku tak tahu apa
itu. Terdengar suara bergemuruh sesaat. Lalu perapian terbelah dan menggeser ke
samping, dan menampakkan lubang di balik dindingnya.

Aku dan Lucas terperangah.

“Jalan rahasia?” tanyaku tak percaya.

“Di situ?” tanya Lucas menimpali pertanyaanku.

Helen tersenyum. “Selera Gregor memang aneh, bukan? Tapi percayalah, ruangan rahasia
ini sangat berguna. Tak akan ada yang tahu kalau kami menyimpan bagitu banyak batu
di dalam sini.”

Aku memandangnya kaget.

Helen tersenyum sadis. “Dan ada amat banyak jebakan buat mereka yang berniat maling,
tentu...” katanya dengan raut wajah sadis.

Aku dan Lucas merinding bersamaan.

“Nah, ayo masuk! Aku tidak mau membuat mereka menunggu makin lama!” kata Helen,
ekspresi wajahnya berubah 180 derajat.

Wow, pikirku kagum, bagaimana dia bisa mengubah ekspresinya secepat itu?

Aku dan lucas mengikuti Helen berjalan memasuki ruangan rahasia itu. Salah, itu
bukan ruangan, itu tangga menuju ke bawah. Sepertinya ruangan rahasia itu ada di
ujung tangga ini. Tapi tangga ini begitu gelap, untunglah ada banyak obor yang
menerangi jalan.

Ada banyak pintu di dinding dekat tangga, tapi Helen menyuruh kami untuk tidak
menyentuhnya.

“Jebakan,” katanya saat kutanyakan apa yang ada di dalamnya.

“Ada berapa banyak jebakan?”

“Ratusan. Masing-masing punya kemungkinan untuk membunuh orang dalam satu serangan.
Kalau ada pencuri yang selamat dari jebakan pertama, jebakan kedua akan membunuhnya.
Begitu juga jebakan ketiga, dan seterusnya.”

Aku dan Lucas berpandangan.

“Ini dia pintu yang benar,” kata Helen di saat kami mencapai pintu ketiga dari bawah.

“Mereka menunggu di sini?”

“Yap.”

Helen membuka pintu, dengan santai memasukinya.

“KAK HELEN!!!”

“HYA!!!”

GUBRAK!

Helen duduk di tangga dengan kesal, berteriak marah. “LENA!!! SUDAH KUBILANG JANGAN
TUBRUK AKU SEPERTI ITU!”

Seorang anak kecil, umurnya mungkin baru lima tahun, dan aku sadar kalau dia pasti
anak perempuan yang pernah diceritakan Helen dulu.

“Tapi aku kangen Kak Helen!” protes anak itu saat Helen mengangkat anak itu dari
tubuhnya, yang tadi didudukinya dengan santai.

“Dan itu buka alasan untuk menubrukku seakan-akan aku tetap bisa berdiri tegak,
Lena! Kau mau aku terjatuh dari tangga dan berguling-guling jatuh ke bawah?” marah
Helen.

Anak itu cemberut. “Kak Helen jahat.”

“Pintar, akhirnya kau menyadarinya juga,” balas Helen sinis.

“Kak Helen menyebalkan!” kata anak itu lagi, terlihat benar-benar kesal.

“Oh, benarkah? Kenapa aku baru sadar sekarang, ya?” tanya Helen sinis. Ia berpaling
padaku dan Lucas. “Kalian berdua, jangan hiraukan Lena. Dia memang selalu begini.
Ayo, kita masuk. Louie dan Gregor bisa marah kalau harus menunggu lebih lama lagi.”

“Oke,” kataku dan Lucas, mengikuti Helen memasuki ruangan itu.

“Tunggu, Kak Helen!”

Anak itu, Lena, berlari megikutiku, Lucas dan Helen. Rambutnya yang dikucir dua
mengibar saat ia berlari.

“Ah, datang juga akhirnya kalian bertiga!” sambut Gregor saat kami bertiga memasuki
ruangan berpenerangan remang itu.

“Kalian tahu, kami sudah nyaris gila karena tingkah bocah ini!” seru Louie kesal,
menunjuk Lena dengan marah.

“Aku bukan bocah!” protes Lena secara otomatis.

“Oh, ya, kau bocah, umurmu bahkan baru lima tahun,” kata Louie mematahkan pembelaan
Lena.

Lena cemberut, bibirnya bergetar. “Louie kakek-kakek!” serunya marah.

“Biar aku kakek, yang jelas aku lebih dewasa daripadamu. Kalian berdua, sini. Pilih
batu kalian di sini.”

Mengabaikan rentetan omelan Lena, aku dan Lucas menghampiri meja yang ditunjuk Louie.

*

Lucas

Lucas menatap meja yang ditunjuk Louie, terperangah.

“Ini semua batu mulia?” tanyanya tak percaya, menunjuk meja yang dipenuhi serakan
batu berkilauan indah itu.

Louie dan Gregor mengangguk bersamaan.

“Jade, zambrud, kecubung, bloodstone, moonstone, blood coral, semua ada di sini,”
kata Gregor bangga.

“Semua?” tanya Lianne heran.

“Ya.”

“Kenapa aku tidak melihat amber di sini?” tanya Lianne.

Lucas mengagumi ketepatan kata-kata Lianne, juga ketajaman penglihatannya. Baru
setelah dibilang, dia sadar kalau memang tak ada amber di meja itu. Tapi kenapa?

“Uh, itu,” Gregor tampak agak gelagapan, “Amber memang tidak ada.”

“Kau bilang semua tadi.”

“Tapi tidak amber.”

“Kenapa?”

“Eh, itu,” Gregor berdeham, “karena tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh?”

“Amber adalah batu berkekuatan amat besar, dan batu itulah yang diincar oleh klan
Vampir dan Soul Eater,” kata Louie, lagi-lagi saat mengatakannya tampak lemah.
“Kekuatannya amat besar, dan hanya dapat ditanggung oleh seseorang yang dipilih oleh
batu itu sendiri. Atau setidaknya, roh batu itu. Selama ini belum ada yang cukup
kuat untuk menguasai kekuatan itu, bahkan Penjaga sekalipun.”

Louie terjatuh ke depan, Gregor menagkapnya.

“Kau bicara terlalu banyak,” kata Gregor, menurunkan Louie sehingga ia bisa duduk di
lantai.

“Kalau tidak dijelaskan dia akan terus bertanya.”

“Memang benar, tapi...”

“Aku sudah mengatakannya, Gregor. Kata-kata itu tidak dapat ditarik kembali. Cepat
lakukan itu, Gregor. Kalau tidak mereka tidak akan menemukan batu yang tepat bagi
mereka.”

Gregor memandang Louie sejenak, lalu mengangguk.

“Lianne, Lucas, bersiaplah,” katanya sambil berbalik menghadapi Lucas dan Lianne.
“Untuk bisa menemukan batu yang tepat untuk kalian, kalian harus memilih setelah
kumantrai. Ini bukan matra yang aneh-aneh, tentu, ini hanya untuk membantu kalian
memilih batu yang paling tepat bagi kalian.”

“Dan bagaimana kami bisa tahu batu mana yang paling tepat untuk kami?”

“Batu itu akan memanggil kalian.”

“Dengan cara seperti apa?”

“Batu yang memanggil kalian akan terlihat seakan hanya ialah batu paling berharga di
meja ini. Batu yang lain tak akan tampak menarik, hanya batu itu.”

Lucas berpandangan dengan Lianne, masing-masing menggenggam tangan yang lain.

“Kalian siap?” tanya Gregor.

Lucas dan Lianne mengangguk bersamaan dalam gerakan seirama. “Ya.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Gregor, mengangguk. “Pejamkan mata kalian.”

Lucas dan Lianne memejamkan mata. Sejenak, semburat cahaya terlihat di balik kelopak
mata mereka, lalu gelap sama sekali.

“Buka mata kalian sekarang.”

Lucas membuka matanya. Pandangannya langsung tertuju ke meja.

Semua batu yang tadinya tampak berkilauan kini terlihat tak berharga, lebih seperti
batu kerikil di pinggir jalan. Bahkan kilauan kecil sekalipun tak terlihat. Mata
Lucas menyapu semua batu di situ, mencari kilauan kecil yang seharusnya terlihat.

Tiba-tiba matanya menangkap kilau kecil itu. Makin lama ia menatapnya, makin kilauan
itu tampak membesar. Tangannya terjulur, jemarinya meraih kilauan itu...

Kini kilauan itu tergenggam dalam tangannya. Ia menatap kilauan itu, yang kini
terlihat dalam bentuk batu mulia, tepatnya jasper. Batu itu berkelip, dan ia
memancarkan cahaya merah keemasan.

Batu itu berubah menjadi gelang kaki emas berhias jasper merah. Terasa hangat dan
mendukung di dalam genggamannya, dan ia yakin akan terasa amat nyaman di kakinya.

“Kau sudah mendapatkan batumu, Lucas.”

Lucas menoleh, memandang Gregor yang tersenyum ramah padanya. Ia mengangguk.

“Pakailah gelangmu.”

Lucas memakai gelang kaki itu, menyembunyikannya di balik celana panjangnya. Ia tak
ingin orang melihat gelang kaki itu, sebab itu adalah benda yang sama sekali tak
boleh hilang. Lepas dari kakinyapun tak boleh, ia yakin itu.

“Jaga baik-naik benda itu, usahakan tak pernah jauh darimu,” pesan Gregor, persis
seperti yang sudah diperkirakan Lucas. Lucas mengangguk mengiyakan.

Kini semua batu tampak normal kembali. Semua kilauan kembali tampak, semua kerlipan
mengedip padanya.

“Lianne, bagaimana dengamu?” tanya Gregor pada Lianne. “Sudahkah kautemukan
kerlipanmu?”

Lianne tak menjawab. Ia memandang semua batu di meja, matanya menelusuri semua batu
di meja, dan ia membuka mulutnya.

“Tak ada satupun yang berkilau bagiku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar