Minggu, 07 November 2010

emotion eater chp.1

CHAPTER 1

Angin berhembus dari jendela yang terbuka, mengibarkan rambutnya dengan manis.
Semerbak wangi mawar samar-samar tercium saat angin melenggang masuk. Angin yang
menari-nari membawa kelopak bunga bersamanya, berhembus dengan riang.

Semua mata tak sanggup mengalihkan pandangan darinya. Rambutnya yang panjang
melebihi kerah diikat dengan tali hitam, berwarna pirang indah. Sepasang matanya
begitu memesona, menawan hati. Warnanya biru pudar, bening bagai air sungai jernih.

Saat ia mengucapkan namanya, semua telinga tak mampu menolak pesona suara merdunya.

”Namaku Louie. Louise Andrew Roberts. Siswa pertukaran pelajar dari Amerika. Kuharap
kita bisa berteman dengan baik.”

Aku merasa heran memandangnya. Aku memandangi Louie dengan tatap seakan belum pernah
bertemu dengan laki-laki manapun sebelumnya.

Aku memang sering bertemu dengan laki-laki, tapi belum pernah aku bertemu dengan
yang seperti Louie. Aku dianugerahi bakat untuk mengenali emosi seseorang saat aku
bertemu dengan orang itu. Mengenali, merasakan. Kadang bahkan kalau emosi itu begitu
kuat, aku bisa merasakannya di lidahku. Manis, kecut, asam, asin, pedas, hambar.
Karena itulah aku selalu ingin menghindari tempat ramai, sebab kadang emosi yang
terasa begitu banyak hingga aku merasa pusing.

Tapi Louie berbeda. Aku bisa mengenali tiap emosi semua anak di kelasku, tapi aku
tidak merasakan emosi apapun pada Louie. Aku melihat Louie tersenyum, namun
senyumnya tanpa ekspresi. Hanya ada setitik emosi di matanya, aku lalu menyadari,
namun begitu samar sampai tak dapat dirasakan, dikenali. Terlalu sedikit untuk
ukuran manusia normal.

Tapi aku merasa mungkin itu hanya perasaanku saja. Kadang aku memang salah. Mungkin
ini adalah salah satu dari kesalahan itu.

Walau begitu aku tetap merasa ini aneh.

Aku membiarkan sensasi emosi membasuh diriku, sehingga aku bisa merasakan emosi
teman-temanku. Aku memang bisa membentengi diri dari banjir emosi teman-temanku,
tapi kalau tempatnya terlalu ramai kadang aku tidak mampu melakukannya. Segera,
segala emosi di kelas itu terasa olehku.

Senang... begitu kuat perasaan itu hingga terasa di mulutku. Manis vanila
mendominasi lidahku sejenak.

Terpesona... perasaan ini juga cukup kuat untuk terasa di mulutku. Manis karamel
membalut lidahku.

Iri... ini pasti perasaan Danny.. Selama ini memang dialah bintang kelas yang
diuber-uber oleh sangat banyak perempuan (untunglah aku tidak termasuk di antaranya)
dan kehadiran Louie pasti akan menggeser posisinya itu.

Lalu ada perasaan... wah, suka! Siapa anak perempuan di kelas ini yang jatuh cinta
pada pandangan pertama? Dan perasaan ini kuat juga. Rasa manis pahit cokelat
memenuhi mulutku. Sepertinya ada cukup banyak anak perempuan yang naksir pada
laki-laki tanpa emosi itu...

Aku menjilat bibir untuk menghapus semua rasa itu dari lidahku. Setelah itu aku
kembali membentengi diri dari ledakan emosi itu.

Sepertinya benar. Posisi Danny pasti langsung terenggut begitu saja.

*

Posisi Danny memang langsung terenggut. Dan posisi itu memang langsung disambar oleh Louie. Tapi Louie juga langsung mendapat predikat baru: karang es berjalan!

Itu benar Louie tampan. Lagipula matanya yang bening itu pasti akan langsung menawan
hati siapapun. Tapi sikapnya itu dingin sekali. Sampai saat ini, tidak ada anak yang
kuat berdekatan dengannya sampai lebih dari satu jam karena hanya dibiarkan begitu
saja olehnya. Aku pribadi tidak ingin mendekatinya karena berdekatan denga seseorang
tanpa emosi itu menyeramkan sekali. Dia sama sekali tidak menunjukkan emosi apapun.
Hampa. Memang ada emosi yang tampak di matanya, tapi itu sedikit sekali... terlalu
sedikit untuk ukuran manusia normal. Terlalu sedikit untuk dirasakan. Mengerikan.

”Lianne! Sepupumu!”

Aku menoleh, memandang keluar kelas, dan melihat Lucas, sepupuku, melongokkan kepala
ke dalam kelas, mencariku.

”Sebentar. Trims, Metta!” kataku sambil berdiri dan melangkah keluar kelas.

”Dia anak baru?” tanya Lucas, menunjuk Louie yang, seperti biasa, menyendiri di
kelas, di mejanya di samping jendela yang terbuka. Saat itu angin berhembus masuk,
rambutnya yang panjang berkibar sedikit. Satu tangannya menyangga dagu, tangannya
yang lain membawa buku. Ia membaca buku itu tanpa emosi apapun, aku bisa
merasakannya. Bahkan tatap matanyapun kosong, menerawang.

”Yah... sebenarnya siswa pertukaran pelajar. Aku sudah cerita kalau dia membuat
hampir semua anak perempuan di kelasku jatuh cinta dan langsung mematahkannya dalam
sekejap?” tanyaku, meliriknya datar.

Lucas terperangah, menatapku tak percaya. ”Masa?”

“Tanya Metta sana. Dan Sisca. Sekalian Kiara dan Gina. Semua ditolak.”

Lucas menatapku bingung. “Memangnya hari pertama mereka langsung menyatakan cinta?”

Aku menggeleng. “Hari ketiga sampai seminggu.”

Lucas berdecak kagum. “Muka badak semua rupanya.”

Metta dan Kiara yang mendengar langsung melotot memandang Lucas yang terbahak geli.
Aku menyikut Lucas lembut.

“Senang sekali, ya, mengejek teman sendiri. Ayo, katakan. Kau mau apa sebenarnya ke
kelasku?”

Lucas ber’hehehe’ kecil, lalu menarikku. “Temani ke kantin.”

“Hei!” protesku kaget. “Lucas! Kau tahu aku tidak bisa di tempat ramai! Aku tidak
bisa...”

“Ssst...” Lucas menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Akan kupilihkan pojok
paling sepi bagimu. Tenang saja.”

Memang Lucas sudah tahu tentang kekuatanku ini. Malah, hanya dia yang tahu.

Tapi sepertinya aku tidak punya pilihan selain menemaninya. Dia sulit sekali
dirontokkan. Keras kepala.

*

Aku langsung lemas begitu memasuki kantin. Ramai sekali. Gelombang emosi yang
menyerangku terlalu kuat untuk ditolak, benteng yang selama ini melindungiku runtuh
begitu saja.

“Lucas,” bisikku pelan. “Lucas, aku tak kuat. Ini terlalu kuat. Aku tak bisa.”

“Ke sini,” Lucas membimbingku ke pojok tersepi di kantin. Aku langsung merasa lebih
kuat.

“Lucas!” bentakku marah. “Kau tahu aku tidak bisa. Kenapa kau masih memaksa? Kau
lupa kalau dulu aku pernah sampai pingsan karena itu?”

“Dan jatuh ke pelukanku, aku ingat itu.”

Aku menjitak kepala Lucas dengan gemas. “Aku mau kembali ke kelas,” kataku sambil
berdiri.

“Dan pingsan lagi, maksudmu? Kantin terlalu ramai. Ledakan emosi di sini pasti
terlalu kuat untuk kau tahan.”

Aku mendesis kesal. Sayang sekali, Lucas memang benar. Aku duduk kembali dengan
jengkel.

“Kalau di sini, masih agak sepi. Akan kuambilkan makanan sebentar. Kutraktir kau,
sebagai permintaan maafku. Mau makan apa?”

Aku meliriknya kesal. “Bagus. Setelah kau mencoba membuatku pingsan di depan umum,
kau mentraktirku. Hebat sekali. Dasar penjilat.”

“Kau mau ditraktir atau tidak?”

Aku mendesah. “Mie ayam. Belikan bakso sekalian. Minumnya air saja. Porsi besar.”

Lucas mendelik. “Memangnya kau bisa menghabiskan semuanya?”

Aku menjitaknya lagi. “Aku beli sebanyak itu untuk menghapus emosi dari lidahku,
bodoh! Sudah, belikan saja sana!”

Lucas nyengir. Ia meninggalkanku untuk membelikan pesananku, plus pesanannya sendiri
yang pasti jauh lebih banyak dari pesananku.

Saat ia kembali, ia membawa pesananku. Tanpa mau repot-repot berterimakasih, aku
langsung melahap makananku tanpa memandangnya.

Lucas meringis.

*

Ini pasti hari sialku. Tak mungkin bukan. Ini pasti memang hari tersialku.

Benar-benar mimpi buruk. Kenapa aku bisa sampai sekelompok dengan Louie? Untungnya hanya untuk satu jam pelajaran, tapi kenapa harus Louie? Bahkan kurasa Danny yang
menyebalkan itu jauh lebih baik dari Louie. Setidaknya dia masih memiliki apa yang
disebut orang sebagai emosi. Louie memang punya, tapi tidak terasa sama sekali. Ini
mengerikan.

“Kalau kalian sudah selesai, langsung kumpulkan,” perintah Bu Lita, guru biologi.
“Kalau belum selesai satu jam pelajaran, lanjutkan pulang sekolah dan kumpulkan pada
Ibu di ruang guru. Tugas itu harus diselesaikan hari ini.”

Mampus. Dengan Louie yang tanpa emosi itu? Hebat.

Dan... ini pasti memang hari tersialku. Aku dan Louie tidak dapat menyelesaikan
tugas itu dalam satu jam pelajaran! Terpaksa aku mengerjakannya bersamanya saat
pulang sekolah nanti. Dan, yang paling mengerikan, rupanya yang belum menyelesaikan
tugas itu tinggal aku dan Louie! Benar-benar mimpi buruk!

*

Aku menulis dengan cepat. Semakin cepat semakin baik. Aku tidak mau terjebak
lama-lama dengan manusia tanpa emosi ini. Terlalu mengerikan bagiku.

Louie menatapku lekat. Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya, tapi
tatapannya itu rasanya seperti... magnet. Mataku tak mau lepas dari matanya, aku
terus-menerus memandanginya walau aku tak mau.

Kenapa aku ini? Aku merasa sangat heran. Belum pernah ini terjadi sebelumnya. Tapi
matanya itu terlalu... mempesona. Terlalu indah untuk ditolak. Aku mendapati diriku
tak bisa melepaskan diri dari pesona itu.

Tiba-tiba tangan Louie bergerak, menggenggam tanganku.

Aku merasa kaget. Kenapa tiba-tiba ia menggenggam tanganku?

Ia menatap jemariku dengan tatap menilai, lalu tiba-tiba menjilat kukuku.

Nafasku tersentak karena kaget. Eits, eits, eits... Mau apa dia, menjilat kukuku
begitu? Aku mulai merasa bingung.

“Kenapa bingung?” tanya Louie tiba-tiba. Mata beningnya menatapku tepat di manik
mata.

Aku merasa heran sekarang. Bagaimana dia tahu perasaanku?

“Kenapa heran?” tanya Louie lagi, menjilat kukuku lagi. Astaga. Dia benar-benar
membaca semua perasaanku.

Sekarang aku mulai curiga. Jangan-jangan Louie punya kemampuan yang sama sepertiku,
bisa merasakan emosi orang lain?

“Kenapa curiga?” tanya Louie, mengulum lembut ujung jari kelingkingku. Biasanya
tidak ada perasaan yang tercermin di matanya, tapi kini aku bisa melihat ada
sepercik rasa penasaran di matanya.

Aku tidak menggubris pertanyaannya. “Louie... apa kau juga bisa merasakan emosi
orang lain?”

Mata Louie melebar, tapi kini tak ada lagi emosi di sana. “Kau bisa merasakannya?”

Aku mengangguk.

“Ternyata benar dugaanku. Memang kaulah orangnya.”

Louie melepaskan tanganku. Ia bangkit berdiri. “Mana sepupumu?” tanyanya santai.

Aku mengerutkan dahi heran. “E... dia bisanya menungguku di depan sekolah.”

“Telepon dia. Suruh ke sini. Ada percakapan yang harus dilakukan antara kita
bertiga.”

*

Lucas

Lucas mengangkat teleponnya dan menjawab panggilan yang masuk. “Halo?”

“Lucas?”

Lucas mengerjap kaget. “Lianne? Ada apa? Kenapa telepon? Aku masih menunggumu di
luar.”

“Maaf. Bisakah kau masuk ke dalam, ke kelasku? Aku ingin bicara sebentar. Dengan
Louie juga.”

Lucas mengernyitkan dahi bingung. “Louie?”

“Ya. Kurasa ini cukup mendesak. Ayo.”

“Tunggu sebentar. Aku segera ke sana.”

Lucas bangkit berdiri, membawa tasnya, lalu melangkah memasuki gedung sekolah
kembali. Ia melangkah menuju kelas Lianne dengan kebingungan. Kenapa Louie ingin
bicara dengannya?

Ia membuka pintu kelas Lianne. Louie dan Lianne ada di sana, duduk berhadapan,
berdiskusi dengan seru.

“Lianne? Ada apa?” tanya Lucas, melangkah memasuki kelas.

Lianne menoleh menghadapnya. “Lucas. Sini. Aku ingin bicara sebentar.”

Lucas mengernyitkan dahi dengan heran. “Di rumah bisa, kan?”

“Bersama Louie juga.”

“Ah.”

“Karena itu cepat ke sini. Duduk di sini.”

Lucas menuruti perintah Lianne. Ia duduk di kursi yang ditunjuk Lianne, menghadap
Louie yang menatapnya kosong. Merasakan kekosongan tatapan itu, Lucas merinding.

“Ada apa? Kalau ada yang ingin kaukatakan, cepat katakan sekarang,” ucap Lucas
cepat, berusaha menutupi getar kegelisahan dalam suaranya.

“Tenang saja, aku tidak berniat mencelakaimu,” kata Louie, mangalihkan pandangan.
“Sepupumu punya kekuatan untuk merasakan emosi orang lai, aku yakin kau sudah tahu
itu. Aku punya kekuatan serupa.”

Lucas menatapnya kaget. “Kau juga bisa...?”

“Ya. Tapi kami berbeda.”

Angin berhembus dari jendela yang terbuka, semua kertas dan buku terbang berserakan
di lantai. Rambut panjang Louie berkibar diriup angin, Lianne berusaha merapikan
rambutnya yang kacau karena angin.

“Apa maksudmu?” tanya Lucas bingung.

Louie memberinya tatapan hampa lagi. “Kami berbeda. Lianne hanya merasakan, tapi aku
tidak. Kaumku tidak. Kami hidup dari emosi yang kami rasakan itu. Kami
mengkonsumsinya. Tanpa emosi orang lain, kami akan mengerut dan mati. Kaumku
bukanlah manusia biasa. Kami bukan manusia biasa.”

Lucas memandangnya heran. Kini angin telah berhenti berhembus. Ruangan itu kembali
tenang. “Apa maksudmu?”

Louie masih memandangnya dengan tatap hampa. “Kami bukan manusia biasa. Kami adalah
Emotion Eater, pemakan emosi. Kami hidup dari emosi yang kami makan. Lianne dapat
merasakan emosi itu, tapi hanya sampai di situ. Kami memakannya. Apakah tidak
kaurasakan kegelisahanmu menghilang?”

Lucas merasa kaget. Kini ia memang sudah tidak gelisah lagi. “Kau...”

“Aku memakannya, ya. Kami para Emotion Eater nyaris tak memiliki emosi. Kami hampir
selalu merasa hampa. Dari sanalah muncul gagasan untuk memakan emosi manusia biasa.
Kami bisa bertahan hidup dari emosi yang kami makan itu.”

Lucas menggelengkan kepala. “Kau pasti bercanda.”

“Tidak.”

“Aku tidak percaya. Aku tidak akan percaya. Aku tidak bisa percaya. Kau tidak
mungkin serius.”

“Sayangnya aku serius.”

“Kau...”

“Sst!” Lianne menyuruh Louie dan Lucas diam. “Diam sebentar. Aku merasa mendengar
sesuatu.”

Ketiganya terdiam. Lalu, tiba-tiba pintu kelas yang tertutup meledak begitu saja.

“Lianne! Awas!” seru Lucas saat melihat pecahan pintu itu menyerang Lianne. Secara
refleks ia langsung melempar tubuhnya untuk melindungi Lianne, walau lalu ia merasa
heran sendiri. Kenapa ia langsung melempar tubuh untuk melindungi Lianne?

Kalau dipikir, selama ini juga selalu begitu. Saat Lianne terancam bahaya, Lucas
selalu refleks melindunginya, tak mempedulikan keselamatannya sendiri.

Lucas menoleh ke belakang, menatap pintu yang kini sudah tinggal puing-puing itu.
Bukan hanya pintu, kini seisi kelas juga sudah hancur. Louie berdiri di depannya,
melnghalangi pandangannya. Kedua tangannya terentang dan dinding transparan kebiruan
ada di depannya. Louie menurunkan tangannya dan dinding itu menghilang.

“Sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu, bukan? Arthur, Douglass. Apakah
sekarang kalian sudah berencana menculik Putri dalam legenda itu?” tanya Louie
dengan nada yang sama sekali tidak menyeruakkan emosi.

“Memang sudah sangat lama. Sepertinya terakhir kita bertemu adalah saat penyerangan
para Vampir dan Soul Eater di negeri Emotion Eater, bukan?”

“Benar. Lalu apa yang kalian mau di sini?”

“Kami menginginkan Putri itu, tentu saja. Juga si Ksatria yang melindunginya. Negeri
Emotion Eater harus menjadi milik kami, dan mereka akan mengacaukan segalanya.”

Lianne menatap mereka kebingungan. “Apa maksud kalian?”

Salah satu dari kedua lelaki di depan pintu itu menyeringai, taring panjang tampak
di sana. Lucas merasakan bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu Vampir, tak diragukan
lagi.

“Itu artinya, Putriku yang manis, kau harus kami bawa untuk dipisahkan dari
kekuatanmu, sehingga kau tidak akan lagi bisa menyelamatkan negeri Emotion Eater.”

Lucas menatap Vampir itu lekat. “Tak akan kubiarkan kau membawanya,” desisnya.

“Tenang saja,” kata lelaki satunya.”Kau sendiri juga akan kami bawa bersamanya.”

“Kalau itu, aku yang protes,” kata Louie tanpa emosi. “Aku sudah susah payah mencari
mereka untuk membawa mereka ke negeri Emotion Eater, dan kalian mau membawa mereka
begitu saja. Kalian pikir aku akan membiarkannya begitu saja?”

“Tentu tidak. Kami tahu itu, Louise.”

“Kalau begitu, Douglass, Vampirku sayang, biarkan aku membawa mereka. Begitu pula
kau, Arthur, Soul Eaterku.”

“Sayang sekali tidak, Louise. Kami bermaksud membawa mereka setelah membunuhmu.”

Setelah itu, Douglass si Vampir tiba-tiba mengangkat satu tangannya. Api mengamuk
kesana kemari, menjilat dan membakar. Lianne menjerit saat ia nyaris terbakar.
Secara refleks Lucas menariknya sehingga ia selamat.

“Biar api menjilat tubuhmu, Louise Andrew Roberts!!!” seru Arthur si Soul Eater.

“Sayang sekali, Arthur, tapi aku tidak akan menyerah semudah itu,” kata Louie,
lagi-lagi tanpa emosi. Ia mengangkat tangan dan api itu padam. “Jangan kaulupakan
bahwa aku adalah seorang Emotion Eater sekaligus penyihir.”

“Aku tidak berniat bermain-main denganmu, Louise,” kata Douglass,mengangkat sebelah
tangan lagi. “Sebaiknya kau berhenti bermain sekarang.”

“Tapi aku sendiri juga tidak berniat bermain-main denganmu,” kata Louie, berjalan
menuju ke jendela. Ia membuka jendela dan menatap langit dengan pandangan hampanya
yang biasa.

Lalu ia menatap Lucas dan Lianne. Kali ini pandangannya serius. Entah atas dorongan
apa, tubuh Lucas bergerak ke jendela, menghampiri Louie.

“Kuharap kalian tidak takut ketinggian,” kata Louie, lalu melompat keluar jendela,
dan tanpa bisa mencegah gerak tubuhnya sendiri, Lucas melompat keluar jendela,
diikuti oleh Lianne.

*

“LOUIE!!!INI LANTAI TIGA!!!” hanya itu yang dapat kujeritkan saat tubuhku terjun
bebas ke tanah.

Lucas memelukku, memutar tubuhku, melindungiku kalau-kalau kami jatuh menghujam
tanah. Tapi Louie punya rencana lain. Ia mengangkat satu tangannya dan menjentikkan
jemarinya, dan tubuh kami melayang ringan di udara, jatuh dengan ringan dan selamat
di tanah bagai bulu burung.

“Kita hanya selamat dari mereka untuk beberapa saat. Sebaiknya kita kabur sekarang,”
kata Louie sambil membantuku dan Lucas berdiri.

Tiba-tiba kami dikepung oleh amat banyak murid. Kami menatap berkeliling.

“Sial!” seru Louie tiba-tiba, kehampaannya menghilang dalam sekejap dan digantikan
kemarahan walau hanya bertahan selama beberapa detik. “Mereka dalam pengaruh sihi
Douglass dan Arthur! Mereka akan mematuhi tiap perintah Douglass dan Arthur,
termasuk membunuh kita bertiga! Cepat, kita harus lari!”

“Bagaimana mau lari kalau jalan kita diblokir mereka?” tanya Lucas, memandang
berkeliling dengan waswas.

Louie menjentikkan jemari, dan semua pasukan manusia itu luluh lantak bagai dilanda
angin topan. “Ayo, cepat lari sekarang juga.”

Kami segera berlari cepat-cepat mengikuti langkah kaki Louie.

“Tunggu! Louie! Tugas kita masih di kelas!” seruku saat teringat tugas yang tadi
diberikan oleh Bu Lita.

“Dan sekarang itu pasti sudah hangus! Jangan buang waktu untuk memikirkannya, kita
harus lari dari Vampir dan Soul Eater itu!” seru Lucas sambil menarikku agar berlari
makin cepat.

Kami sampai di persimpangan jalan. Louie, yang berlari di paling depan, mengerang
keras. “Dua orang itu benar-benar pembawa sial! Mereka membawa sebatalion pasukan
Vampir dan Soul Eater di sini! Sekarang kita harus berlari lebih cepat lagi!”

Aku tak tahu lagi arah. Aku tak tahu lagi apa yang kulakukan, ke mana aku pergi.
Lari, hanya itu yang ada di otakku. Aku membiarkan Lucas menarikku dan aku hanya
mengikuti arah larinya. Aku tak tahu lagi aku pergi ke maa. Kota yang sudah kukenal
baik ini seakan menghilang, aku tak lagi mengenalnya.

Pelarian kami ini rupanya menarik perhatian banyak orang, apalagi saat para Vampir
dan Soul Eater itu lalu mengejar kami. Berkali-kali aku nyaris tertangkap oleh
mereka, berkali-kali pula Lucas dan Louie menyelamatkanku. Orang-orang memprotes
saat kami bertiga mengacaukan barang dagangan mereka, menjatuhkan barisan motor yang
diparkir rapi, mendorong gerobak dagangan seorang tukang soto, menjatuhkan kardus-
kardus berisi jeruk segar yang langsung menggelinding bersemangat ke mana-mana,
membuat para Vampir dan Soul Eater itu terpeleset dan terjatuh. Saat berlari, Louie
dengan cepat menyambar beberapa buah jeruk sambil terus berlari.

Saat akhirnya kami berhenti berlari, kami sudah ada di depan rumah kecil bobrok yang
langsung dimasuki Louie tanpa ragu.

“Cepat masuk. Ini rumahku. Sebelum mereka melihat kita.”

Aku dan Lucas segera masuk ke rumah itu tanpa ragu lagi. Aku dan Lucas langsung
mengaparkan diri di sofa, kelelahan setelah berlari begitu jauh. Louie sendiri juga
duduk kelelahan di sofa lain, nafasnya terengah, sama seperti nafasku sendiri, juga
nafas Lucas.

“Louie... kau punya minum?” tanya Lucas kelelahan.

“Tidak, karena itu tadi aku mengambil jeruk,” kata Louie, melempar sebuah untuk
Lucas dan melemparkan sebuah juga untukku, mengambil sebuah untuknya, dan
meletakkan tiga sisanya di meja.

Tanpa ragu, aku langsung mengupas jeruk itu dan memakannya. Manis dan segar.
Benar-benar melegakan tenggorokan yang kering karena berlari cukup lama.

“Jelaskan pada kami, Louie, apa-apaan tadi itu?” tanya Lucas, terengah, kepala
mendongak ke atas dan mata terpejam rapat sementara mulutnya mengulum jeruk.

“Mereka adalah para Vampir dan Soul Eater.”

“Kami sudah tahu itu. Maksudku, kenapa kita dikejar?”

“Ada sebuah legenda,” kata Louie, “yang menyatakan bahwa akan muncul seorang Putri
yang memiliki kekuatan untuk merasakan emosi seperti Emotion Eater dan kekuatan
sihir. Dia akan muncul bersama sepupunya, Ksatria yang selalu melindunginya dari
segala macam bahaya. Legenda itu menyatakan bahwa Sang Putri dan Ksatria akan
menyelamatkan negeri Emotion Eater dari kehancuran, dari tangan para Vampir dan Soul
Eater yang memang sudah menjadi musuh bebuyutan Emotion Eater dari dulu. Kini negeri
Emotion Eater telah berada di ambang kehancuran, dan aku ditugasi untuk mencari
Putri dan Ksatrianya itu. Dan pencarianku berujung pada kalian berdua.”

Aku terperangah. “Maksudmu... kami adalah Putri dan Ksatria yang kaubilang tadi itu?”

Louie mengangguk. “Sepertinya kalian berdua kaget mendengarnya.”

“Kau pasti bercanda,” kata Lucas, menggelengkan kepala tak percaya. “kau pasti
bercanda! Kaupikir kami akan percaya begitu saja?! Mana mungkin! Ini tidak masuk
akal!”

“Apakah Vampir dan Soul Eater yang mengejar kita tadi masuk akal bagimu?”

Lucas terdiam.

Aku menatap Louie. “Apa buktinya kalau kami memang Putri dan Ksatria dalam legenda
itu?” tanyaku padanya.

“Kau punya kemampuan untuk merasakan emosi orang lain, juga punya kekuatan untuk
membentengi diri darinya. Lucas selalu melindungimu, bukan? Ia tidak peduli pada
keselamatannya sendiri, selama kau selamat. Dan itu dilakukannya tanpa benar-benar
menyadarinya, tapi secara refleks. Apa aku benar?” tanya Louie, menatap Lucas kosong.

Lucas mengangguk. “Tapi apa itu cukup untuk dijadikan bukti?”

“Bukti lain sudah terjadi. Kita dikejar Vampir dan Soul Eater, kalian nyaris diculik
oleh mereka. Kurasa itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti.”

“Lalu bagaimana sekarang?” tanyaku pelan. “Kalau aku pulang, bisa-bisa keluargaku
malah terkena imbasnya. Aku tak bisa pulang.”

“Kau bawa ponselmu?”

Aku mengangguk. “Memangnya kenapa?”

“Hubungi keluargamu, katakan kalau kau menginap di rumah temanmu untuk beberapa
hari, membuat tugas. Bilang kalau soal pakaian dan lain-lain kaupinjam dari temanmu
itu. Terserah. Jangan lupa katakan supaya mereka tidak perlu mencarimu. Kau tidak
akan bisa pulang sampai misi penyelamatan negeriku selesai.”

Louie berpaling pada Lucas. “Kau juga, lakukan hal yang sama. Mau tidak mau kalian
hars ikut denganku sekarang.”

Aku berpandangan dengan Lucas. Sepertinya Louie benar. Kami tidak punya pilihan lain
selain mengikutinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar