Minggu, 07 November 2010

emotion eater chp.4

CHAPTER 4

Aku terperangah memandang lemari baju yang ada di kamarku. Whoa. Isinya banyak
sekali, dan semua ukurannya pas di badanku. Hebat. Dari mana Gregor tahu ukuran
bajuku? Rasanya agak tidak masuk akal, mengingat kami bahkan belum pernah bertemu.

Aku mendengar pintu kamarku diketuk. Aku berjalan ke sana, membuka pintu dan aku
disambut raut wajah ceria seorang perempuan, kira-kira seumuran denganku. Ia
mengenakan baju tanpa lengan, lengan kanannya terlilit oleh gelang lengan perak
dengan hiasan moonstone.

“Selamat malam! Boleh aku masuk? Louie dan Gregor mengatakan sebaiknya aku
mendampingimu malam ini, supaya bisa lebih terbiasa dengan suasana rumah ini.”

Aku tersenyum sopan. “Tentu, masuklah.”

Gadis itu melangkah masuk. Ia berdiri di bagian tengah karpet yang ada di ruangan
itu, memandang kagum kamarku. “Hebat, baru kali ini aku melihat ruangan ini.
Ternyata tempatnya bagus sekali.”

“Memang bagus. Aku sempat terpesona waktu pertama melihatnya tadi,” kataku setuju.

Kamarku luas dan nyaman. Juga menenangkan. Dindingnya dilapisi kertas dinding
berwarna biru pucat, ada motif sulur tanaman di sana. Lantainya tertutup karpet
putih tebal tanpa motif, namun pada pinggiran karpet itu, merapat pada dinding, ada
sulaman berwarna emas. Kasurnya besar dan sederhana, tapi empuk dan nyaman.
Seprainya putih, bedcovernya putih bergaris biru. Ada meja rias di dekat pintu
(walaupun pasti tak akan terpakai, aku tidak suka bersolek) dengan segala macam
alat-alat make-up di sana, yang aku berjanji tak akan kupaia. Untuk apa, toh aku tak
bisa menggunakannya. Tak lupa ada sisir si sana, tapi sisir itu indah sekali. Gagang
biru, punggung emas. Hebat, Gregor pastilah kaya.

Kamar mandi juga bagus. Lengkap dengan bath-up yang nyaman, segala macam sampo,
sabun, hair conditioner, lengkap adanya. Benar-benar wow.

“Oh, ya, kita belum berkenalan, bukan?” tanya gadis itu sambil tersenyum ramah. “Aku
Helena, tapi orang biasa memanggilku Helen. Atau Ellen. Silakan pilih sendiri. Aku
seorang Dream Eater, bukan Emotion Eater, kadang orang mempertanyakan itu.”

“Aku Liana, Lianne.”

“Kau Putri yang ada dalam legenda itu, bukan? Dan Lucas, sepupumu, adalah si
Ksatria.”

Aku tersenyum lemah. “Semua orang yakin aku dan Lucas adalah mereka, tapi aku
sendiri tidak benar-benar yakin apa itu benar.”

“Tidak, yakinlah itu memang benar,” kata Helen, rambutnya yang pendek mengibas saat
ia menoleh cepat ke arahku. “Kalau kau bukan dia, kau tidak mungkin punya kekuatan
sihir itu. Selama ini pemilik kekuatan sihir jarang sekali yang adalah seorang
manusia. Kebanyakan adalah Emotion Eater, Dream Eater, Soul Eater atau Vampir.
Karena itu kau pasti orangnya, sepupumu pasti memang dia.”

Aku tersenyum lagi. Yah, aku tidak mau berharap terlalu banyak, kan?

“Sekarang, kau harus mandi. Sini, kupilihkan baju untukmu.”

“Eh?”

“Turuti saja seleraku. Aku tahu mana yang terbaik bagimu. Kau tidak keberatan pakai
gaun, kan? Makan malam selalu formal di sini, dan Gregor selalu ingin tamu memakai
pakaian yang disediakannya. Aku yakin Lucas sepupumu juga diperlakukan sama oleh
Gerrald.”

“Gerrald?”

“Dia seorang Dream Eater juga, kepala pelayan di sini. penghuni rumah ini hanyalah
Gregor, aku, Gerrald, dan seorang manusia yang diselamatkan Gregor dulu. Dia seorang
perempuan, masih sangat kecil, sekitar empat atau lima tahun. Tapi dia ceria. Dia
benar-benar angin segar buat pelayan kesepian seperti Gerrald.”

“Siapa namanya?” tanyaku penasaran.

“Dia? Kebetulan sekali namanya sama denganku, Helena. Tapi panggilannya Lena.”

“Bagus sekali, dong! Kalau mau panggil keduanya, gampang. Panggil, ‘Helena!’ dan
keduanya menoleh.”

Helen tertawa. “Nah, ini dia! Kurasa ini akan cocok sekali buatmu.”

Aku menatap gaun di tangan Helen. Gaun itu modelnya halter, yang selalu dibilang
orang cocok buatku. Warnanya biru pucat, seperti warna kertas dinding kamarku, tapi
mengkilat. Di bagian pinggang terlilit pita berwarna baby pink, cocok berpadu dengan
warna biru. Gaun itu formal, tapi tetap membuat pemakainya bebas bergerak, jelas,
karena panjangnya hanya sampai sekitar tujuh senti di atas lutut.

Aku mengangguk setuju. Selera Helen memang bagus.

“Sekarang, sana cepat mandi. Keramas kalau perlu. Yang jelas, jangan lama-lama.”

*

Aku memasuki ruang makan bersama Helen. Harus kuakui, dia pandai merias. Wajahku
tidak dirias, untunglah, aku benci dirias, tapi dia bermain dengan rambutku.

Rambutku panjang hingga menutup punggung, lurus. Helen memainkan rambutku, ia
menguncir setengah rambutku dan membiarkan sisanya terurai. Lalu sebagian rambut
yang diikatnya itu dikepangnya kecil-kecil, sebagian dibiarkan, tapi ujung-ujung
rambutku dikeritingnya sedikit dengan catok. Sisa rambutku yang dibiarkannya terurai
lalu diperlakukan sama. Lalu ia menutupi karet gelang yang digunakannya untuk
mengikat rambutku dengan pita berwarna perak dengan pinggiran emas.

Aku duduk di sebelah Helen. Ia tampak santai, tapi aku agak gugup. “Helen, mana tuan
rumahnya?” tanyaku.

“Oh, dia akan datang sebentar lagi. Sabarlah sedikit.”

Tiba-tiba, cahaya keemasan seperti glitter terbang kesana kemari, menari dengan
angin lembut. Aku memekik kaget, lalu tiba-tiba tersadar. Lucas, kenapa dia belum
datang?

Glitter melayang itu terbang mengelilingi ruangan, lalu berhenti sejenak di pintu.
Setelah itu Gregor masuk ke dalam ruangan bersama Louie, dan... Lucas, astaga, yang
mengenakan setelan jas dan berjalan dengan cepat, menampakkan raut wajah kesal.
Mungkin dia kesal karena harus memakai pakaian itu, entahlah. Padahal cocok.

Aku tersenyum geli, meruntuhkan dinding pemisahku. Lalu aku merasakan emosi Lucas,
hahaha, kesal. Dongkol. Sampai terasa di lidahku. Pedas manis permen mint.

Aku membangun kembali dinding pemisahku. Aku tidak mau nanti Gregor atau Louie
memakan emosiku. Kuharap mereka tidak makan emosi Lucas juga.

Gregor mengucapkan salam yang kalau menurutku agak terlalu bertele-tele, tapi
setelah sekian lama akhirnya saat makan tiba juga.

Aku makan dengan lahap karena memang aku kelaparan, harap dimaklumi, dan makanan
yang disajikan benar-benar membuat perut keroncongan.

Saat akhirnya semua piring disingkirkan, Gregor segera berbicara.

“Kuharap semua orang di sini bisa menerima kehadiran Lucas dan Lianne, mengingat
mereka berada dalam bahaya besar tiap saat. Karena itu, aku ingin melatih mereka
menggunakan sihir mereka, mulai besok. Aku ingin semua orang di sini turut membantu
proses belajar mereka.”

Semua orang mengangguk.

“Lalu, mengingat kondisi saat ini, kuharap kalian semua mau merahasiakan keberadaan
Lucas dan Lianne di sini. kalau sampa Soul Eater dan Vampir itu tahu, mungkin itu
akan menjadi akhir bagi hidup kita.”

Semua orang diam. Tak ada suara. Keheningan yang menyesakkan muncul. Keheningan yang
menyesakkan, mencekik, mencemaskan. Keheningan ini membuatku gugup. Ini jenis
keheningan yang mengerikan. Apalagi ekspresi Gregor tampak amat serius. Ini
membuatku makin gugup.

“Baiklah, sekarang sudah malam, sudah waktunya bagi para tamu kita untuk tidur,”
kata Gregor, memecah keheningan yang tadi ia sendiri buat dengan keseriusan
mengerikan. Ellen, tolong antar Lianne ke kamarnya. Gerrald, kau antar Lucas.”

“Ayo, Lianne,” ajak Helen, menarikku berdiri. Aku menurutinya, kami berjalan meuju
ke kamarku.

“Hei, Helen,” panggilku pelan saat kami sudah mencapai koridor yang sepi. Lucas dan
Gerrald tidak bersama kami, tapi mungkin mereka melalui jalan lain. Rumah ini bukan
rumah lagi buatku, ini istana. Terlalu besar untuk disebut rumah.

“Hm?”

“Kau bisa menjelaskan padaku apa kekuatan yang diincar oleh Vampir dan Soul Eater?”

Helen berkedip, memandangku heran.

“Aku penasaran. Sepertinya semua orang begitu meributkan soal ini. Tapi apa
sebenarnya?”

Helen menggeleng. “Maaf, aku tak bisa memberitahumu. Kalau para Emotion Eater
terjerat mantra penghilang kekuatan, kami terjerat mantra penghilang ingatan.
Sedikit saja kami mengatakan soal itu, ingatan kami akan menghilang, sedikit demi
sedikit. Aku tidak ingin kehilangan ingatanku.”

Aku mendesah. “Begitu, ya?”

Helen tersenyum. “Gregor akan memberitahumu sedikit, dibantu Louie, aku yakin.
Mereka punya kekuatan sihir yang hebat, mereka akan bisa menahannya cukup lama. Atau
Si Penjaga yang akan melakukannya.”

“Si Penjaga?”

“Orang, tepatnya Emotion Eater dan Dream Eater yang menjaga kekuatan itu.”

Ada dua? pikirku heran.

Sepertinya Helen bisa membaca apa yang muncul di kepalaku, karena ia lalu berkata,
“Bukan, dia satu orang, maaf. Tapi dia adalah Emotion Eater sekaligus Dream Eater.
Semua Penjaga adalah seorang Dream Eater sekaligus Emotion Eater. Darah yang memang
sudah diwariskan secara turun-temurun dalam klan mereka.”

“Klan apa?”

“D’motion Eater. Disebut juga sebagai Double Eater.”

“Karena memakan dua jenis makanan sekaligus?”

Helen tertawa. “Bisa dibilang begitu.”

Kami memasuki kamarku, Helen membantuku melepas kepangan rambutku dan mencari baju
tidur. Masalahnya, Gregor ternyata punya selera yang cukup ajaib, sampai baju
tidurpun dia ambilkan yang modelnya mencolok. Bukan seleraku sama sekali.

“Astaga! Ini sih bukan baju tidur, tapi gaun pesta!” pekikku saat Helen menyodorkan
gaun tidur berwarna merah mencolok berhias manik-manik.

“Benar juga,” kata Helen setuju. “Bagaimana kalau ini?” tanyanya sambil menyorongkan
piyama merah jambu penuh pita menjijikkan.

“Euh...” keluhku. “Itu terlalu...”

“Ya, aku tahu memang agak menjijikkan. Bagaimana kalau ini?”

“Huek! Renda?! Kau pasti bercanda!”

“Memang susah kalau bukan pemilihnya sendiri. Kalau ini?”

“Oke, itu tampak sederhana, tapi aku tidak mau memakai yang sependek itu, terima
kasih.”

Setelah menghabiskan satu jam yang sia-sia untuk mencari baju tidur, akhirnya aku
mendapat tiga setel yang setidaknya menurutku cukup sederhana dan nyaman dikenakan.

“Terima kasih, Helen, setidaknya aku punya baju tidur untuk tiga hari sekarang,”
kataku setengah mengeluh.

“Sama-sama. Selamat malam.”

“Selamat malam.”

Aku berbaring di kasurku, kepalaku dipenuhi pertanyaan. Sebenarnya apa kekuatan yang
diinginkan klan Vampir dan Soul Eater? Walau begitu pertanyaan itu tak berubah
menjadi jawab, dan aku tertidur dengan membawa semua pertanyaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar