CHAPTER 4
Aku terperangah memandang lemari baju yang ada di kamarku. Whoa. Isinya banyak 
sekali, dan semua ukurannya pas di badanku. Hebat. Dari mana Gregor tahu ukuran 
bajuku? Rasanya agak tidak masuk akal, mengingat kami bahkan belum pernah bertemu.
Aku mendengar pintu kamarku diketuk. Aku berjalan ke sana, membuka pintu dan aku 
disambut raut wajah ceria seorang perempuan, kira-kira seumuran denganku. Ia 
mengenakan baju tanpa lengan, lengan kanannya terlilit oleh gelang lengan perak 
dengan hiasan moonstone.
“Selamat malam! Boleh aku masuk? Louie dan Gregor mengatakan sebaiknya aku 
mendampingimu malam ini, supaya bisa lebih terbiasa dengan suasana rumah ini.”
Aku tersenyum sopan. “Tentu, masuklah.”
Gadis itu melangkah masuk. Ia berdiri di bagian tengah karpet yang ada di ruangan 
itu, memandang kagum kamarku. “Hebat, baru kali ini aku melihat ruangan ini. 
Ternyata tempatnya bagus sekali.”
“Memang bagus. Aku sempat terpesona waktu pertama melihatnya tadi,” kataku setuju.
Kamarku luas dan nyaman. Juga menenangkan. Dindingnya dilapisi kertas dinding 
berwarna biru pucat, ada motif sulur tanaman di sana. Lantainya tertutup karpet 
putih tebal  tanpa motif, namun pada pinggiran karpet itu, merapat pada dinding, ada 
sulaman berwarna emas. Kasurnya besar dan sederhana, tapi empuk dan nyaman. 
Seprainya putih, bedcovernya putih bergaris biru. Ada meja rias di dekat pintu 
(walaupun pasti tak akan terpakai, aku tidak suka bersolek) dengan segala macam 
alat-alat make-up di sana, yang aku berjanji tak akan kupaia. Untuk apa, toh aku tak 
bisa menggunakannya. Tak lupa ada sisir si sana, tapi sisir itu indah sekali. Gagang 
biru, punggung emas. Hebat, Gregor pastilah kaya.
Kamar mandi juga bagus. Lengkap dengan bath-up yang nyaman, segala macam sampo, 
sabun, hair conditioner, lengkap adanya. Benar-benar wow.
“Oh, ya, kita belum berkenalan, bukan?” tanya gadis itu sambil tersenyum ramah. “Aku 
Helena, tapi orang biasa memanggilku Helen. Atau Ellen. Silakan pilih sendiri. Aku 
seorang Dream Eater, bukan Emotion Eater, kadang orang mempertanyakan itu.”
“Aku Liana, Lianne.”
“Kau Putri yang ada dalam legenda itu, bukan? Dan Lucas, sepupumu, adalah si 
Ksatria.”
Aku tersenyum lemah. “Semua orang yakin aku dan Lucas adalah mereka, tapi aku 
sendiri tidak benar-benar yakin apa itu benar.”
“Tidak, yakinlah itu memang benar,” kata Helen, rambutnya yang pendek mengibas saat 
ia menoleh cepat ke arahku. “Kalau kau bukan dia, kau tidak mungkin punya kekuatan 
sihir itu. Selama ini pemilik kekuatan sihir jarang sekali yang adalah seorang 
manusia. Kebanyakan adalah Emotion Eater, Dream Eater, Soul Eater atau Vampir. 
Karena itu kau pasti orangnya, sepupumu pasti memang dia.”
Aku tersenyum lagi. Yah, aku tidak mau berharap terlalu banyak, kan?
“Sekarang, kau harus mandi. Sini, kupilihkan baju untukmu.”
“Eh?”
“Turuti saja seleraku. Aku tahu mana yang terbaik bagimu. Kau tidak keberatan pakai 
gaun, kan? Makan malam selalu formal di sini, dan Gregor selalu ingin tamu memakai 
pakaian yang disediakannya. Aku yakin Lucas sepupumu juga diperlakukan sama oleh 
Gerrald.”
“Gerrald?”
“Dia seorang Dream Eater juga, kepala pelayan di sini. penghuni rumah ini hanyalah 
Gregor, aku, Gerrald, dan seorang manusia yang diselamatkan Gregor dulu. Dia seorang 
perempuan, masih sangat kecil, sekitar empat atau lima tahun. Tapi dia ceria. Dia 
benar-benar angin segar buat pelayan kesepian seperti Gerrald.”
“Siapa namanya?” tanyaku penasaran.
“Dia? Kebetulan sekali namanya sama denganku, Helena. Tapi panggilannya Lena.”
“Bagus sekali, dong! Kalau mau panggil keduanya, gampang. Panggil, ‘Helena!’ dan 
keduanya menoleh.”
Helen tertawa. “Nah, ini dia! Kurasa ini akan cocok sekali buatmu.”
Aku menatap gaun di tangan Helen. Gaun itu modelnya halter, yang selalu dibilang 
orang cocok buatku. Warnanya biru pucat, seperti warna kertas dinding kamarku, tapi 
mengkilat. Di bagian pinggang terlilit pita berwarna baby pink, cocok berpadu dengan 
warna biru. Gaun itu formal, tapi tetap membuat pemakainya bebas bergerak, jelas, 
karena panjangnya hanya sampai sekitar tujuh senti di atas lutut.
Aku mengangguk setuju. Selera Helen memang bagus.
“Sekarang, sana cepat mandi. Keramas kalau perlu. Yang jelas, jangan lama-lama.”
*
Aku memasuki ruang makan bersama Helen. Harus kuakui, dia pandai merias. Wajahku 
tidak dirias, untunglah, aku benci dirias, tapi dia bermain dengan rambutku.
Rambutku panjang hingga menutup punggung, lurus. Helen memainkan rambutku, ia 
menguncir setengah rambutku dan membiarkan sisanya terurai. Lalu sebagian rambut 
yang diikatnya itu dikepangnya kecil-kecil, sebagian dibiarkan, tapi ujung-ujung 
rambutku dikeritingnya sedikit dengan catok. Sisa rambutku yang dibiarkannya terurai 
lalu diperlakukan sama. Lalu ia menutupi karet gelang yang digunakannya untuk 
mengikat rambutku dengan pita berwarna perak dengan pinggiran emas.
Aku duduk di sebelah Helen. Ia tampak santai, tapi aku agak gugup. “Helen, mana tuan 
rumahnya?” tanyaku.
“Oh, dia akan datang sebentar lagi. Sabarlah sedikit.”
Tiba-tiba, cahaya keemasan seperti glitter terbang kesana kemari, menari dengan 
angin lembut. Aku memekik kaget, lalu tiba-tiba tersadar. Lucas, kenapa dia belum 
datang?
Glitter melayang itu terbang mengelilingi ruangan, lalu berhenti sejenak di pintu. 
Setelah itu Gregor masuk ke dalam ruangan bersama Louie, dan... Lucas, astaga, yang 
mengenakan setelan jas dan berjalan dengan cepat, menampakkan raut wajah kesal. 
Mungkin dia kesal karena harus memakai pakaian itu, entahlah. Padahal cocok.
Aku tersenyum geli, meruntuhkan dinding pemisahku. Lalu aku merasakan emosi Lucas, 
hahaha, kesal. Dongkol. Sampai terasa di lidahku. Pedas manis permen mint.
Aku membangun kembali dinding pemisahku. Aku tidak mau nanti Gregor atau Louie 
memakan emosiku. Kuharap mereka tidak makan emosi Lucas juga.
Gregor mengucapkan salam yang kalau menurutku agak terlalu bertele-tele, tapi 
setelah sekian lama akhirnya saat makan tiba juga.
Aku makan dengan lahap karena memang aku kelaparan, harap dimaklumi, dan makanan 
yang disajikan benar-benar membuat perut keroncongan.
Saat akhirnya semua piring disingkirkan, Gregor segera berbicara.
“Kuharap semua orang di sini bisa menerima kehadiran Lucas dan Lianne, mengingat 
mereka berada dalam bahaya besar tiap saat. Karena itu, aku ingin melatih mereka 
menggunakan sihir mereka, mulai besok. Aku ingin semua orang di sini turut membantu 
proses belajar mereka.”
Semua orang mengangguk.
“Lalu, mengingat kondisi saat ini, kuharap kalian semua mau merahasiakan keberadaan 
Lucas dan Lianne di sini. kalau sampa Soul Eater dan Vampir itu tahu, mungkin itu 
akan menjadi akhir bagi hidup kita.”
Semua orang diam. Tak ada suara. Keheningan yang menyesakkan muncul. Keheningan yang 
menyesakkan, mencekik, mencemaskan. Keheningan ini membuatku gugup. Ini jenis 
keheningan yang mengerikan. Apalagi ekspresi Gregor tampak amat serius. Ini 
membuatku makin gugup.
“Baiklah, sekarang sudah malam, sudah waktunya bagi para tamu kita untuk tidur,” 
kata Gregor, memecah keheningan yang tadi ia sendiri buat dengan keseriusan 
mengerikan. Ellen, tolong antar Lianne ke kamarnya. Gerrald, kau antar Lucas.”
“Ayo, Lianne,” ajak Helen, menarikku berdiri. Aku menurutinya, kami berjalan meuju 
ke kamarku.
“Hei, Helen,” panggilku pelan saat kami sudah mencapai koridor yang sepi. Lucas dan 
Gerrald tidak bersama kami, tapi mungkin mereka melalui jalan lain. Rumah ini bukan 
rumah lagi buatku, ini istana. Terlalu besar untuk disebut rumah.
“Hm?”
“Kau bisa menjelaskan padaku apa kekuatan yang diincar oleh Vampir dan Soul Eater?”
Helen berkedip, memandangku heran.
“Aku penasaran. Sepertinya semua orang begitu meributkan soal ini. Tapi apa 
sebenarnya?”
Helen menggeleng. “Maaf, aku tak bisa memberitahumu. Kalau para Emotion Eater 
terjerat mantra penghilang kekuatan, kami terjerat mantra penghilang ingatan. 
Sedikit saja kami mengatakan soal itu, ingatan kami akan menghilang, sedikit demi 
sedikit. Aku tidak ingin kehilangan ingatanku.”
Aku mendesah. “Begitu, ya?”
Helen tersenyum. “Gregor akan memberitahumu sedikit, dibantu Louie, aku yakin. 
Mereka punya kekuatan sihir yang hebat, mereka akan bisa menahannya cukup lama. Atau 
Si Penjaga yang akan melakukannya.”
“Si Penjaga?”
“Orang, tepatnya Emotion Eater dan Dream Eater yang menjaga kekuatan itu.”
Ada dua? pikirku heran.
Sepertinya Helen bisa membaca apa yang muncul di kepalaku, karena ia lalu berkata, 
“Bukan, dia satu orang, maaf. Tapi dia adalah Emotion Eater sekaligus Dream Eater. 
Semua Penjaga adalah seorang Dream Eater sekaligus Emotion Eater. Darah yang memang 
sudah diwariskan secara turun-temurun dalam klan mereka.”
“Klan apa?”
“D’motion Eater. Disebut juga sebagai Double Eater.”
“Karena memakan dua jenis makanan sekaligus?”
Helen tertawa. “Bisa dibilang begitu.”
Kami memasuki kamarku, Helen membantuku melepas kepangan rambutku dan mencari baju 
tidur. Masalahnya, Gregor ternyata punya selera yang cukup ajaib, sampai baju 
tidurpun dia ambilkan yang modelnya mencolok. Bukan seleraku sama sekali.
“Astaga! Ini sih bukan baju tidur, tapi gaun pesta!” pekikku saat Helen menyodorkan 
gaun tidur berwarna merah mencolok berhias manik-manik.
“Benar juga,” kata Helen setuju. “Bagaimana kalau ini?” tanyanya sambil menyorongkan 
piyama merah jambu penuh pita menjijikkan.
“Euh...” keluhku. “Itu terlalu...”
“Ya, aku tahu memang agak menjijikkan. Bagaimana kalau ini?”
“Huek! Renda?! Kau pasti bercanda!”
“Memang susah kalau bukan pemilihnya sendiri. Kalau ini?”
“Oke, itu tampak sederhana, tapi aku tidak mau memakai yang sependek itu, terima 
kasih.”
Setelah menghabiskan satu jam yang sia-sia untuk mencari baju tidur, akhirnya aku 
mendapat tiga setel yang setidaknya menurutku cukup sederhana dan nyaman dikenakan.
“Terima kasih, Helen, setidaknya aku punya baju tidur untuk tiga hari sekarang,” 
kataku setengah mengeluh.
“Sama-sama. Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Aku berbaring di kasurku, kepalaku dipenuhi pertanyaan. Sebenarnya apa kekuatan yang 
diinginkan klan Vampir dan Soul Eater? Walau begitu pertanyaan itu tak berubah 
menjadi jawab, dan aku tertidur dengan membawa semua pertanyaan itu.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar