Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 3: DAPHNE’S TURN

“Jason!”

Tak ada jawaban. Aku berkacak pinggang di depan pintu rumahku, lalu mencoba
membukanya. Rupanya tidak dikunci. Aku masuk dengan perasaan bingung dan heran.
Tumben Jason ceroboh. Biasanya dia sangat telaten.

“Jason!” panggilku lagi. “Hei, Jason! Di mana kau sebenarnya? Aku sudah membawakan
lasagna pesananmu, kau mau makan siang tidak?”

Masih tak ada jawaban. Dengan heran aku melepaskan tasku dan melemparnya ke sofa,
lalu menaiki tangga ke kamar Jason. Apa dia ketiduran?

Aku mengetuk pintu kamar Jason. “Jason?” panggilku. Tak ada jawaban. Berkali-kali
pintunya kuketuk dan namanya kupanggil, tapi tetap saja nihil. Merasa kesal, aku
mencoba membuka kamarnya, berharap bahwa Jason tidak menguncinya.

Tepat seperti harapanku, pintu itu terbuka. Aku masuk dan memekikkan nama Jason.

Kakakku itu terbaring di lantai, tak bergerak. Matanya terpejam rapat seakan ia
sedang tertidur, tapi aku tahu pasti ia tak tidur. Mana mungkin Jason tidur di
lantai? Dan tak mungkin dia jatuh dari kasur, sikap tidurnya itu tenang sekali.
Sekali tertidur, posisinya tak akan berubah lagi sampai bangun.

Aku mengguncang bahu Jason. “Jason! Hei! Bangun!”

Jason mengerang dan membuka mata. “Apa…?”

“Jason!” kataku lega. “Astaga, kupikir kau – “

“Sedang apa kau di kamarku?” tanya Jason memotong ucapanku dengan kasar.

“Hah…?” aku hanya mampu melongo.

“Kenapa kau di kamarku?” tanya Jason lagi, lebih kasar dari sebelumnya.

“Eh – itu karena aku berulang kali memanggilmu tapi kau tidak menjawab, jadi aku – “

“Tak ada yang perlu kaucemaskan dariku,” potong Jason lagi. “Sana keluar.”

“Eh! Tunggu dulu! Kau tak mau makan siang? Aku sudah membelikanmu lasagna yang kau
pesan tadi, dan – “

“Ambil saja semuanya!”

Jason mendorongku keluar kamar dan membanting pintunya tepat di depan hidungku. Aku
merasa benar-benar bingung. Sejak kapan Jason berubah kasar seperti itu? Aneh.
Biasanya dia lebih lembut dan pengertian. Seperti ada sesuatu yang membuatnya marah
besar, atau seperti ada seseorang yang baru saja mencuci otaknya…

Aku mengangkat bahu. Yah, lihat saja sisi positifnya. Aku punya makan siang lebih
untuk hari ini, bahkan mungkin bisa untuk makan malam juga.

*

Jason hanya duduk diam di depanku. Tak mengatakan apapun. Tak bicara sedikitpun.
Kakakku itu entah bagaimana bisa jadi amat mengerikan. Biasanya tiap kali makan
malam, walau hanya berdua begini dia tetap mengajak bicara. Sekarang? Entah
bagaimana ia bisa menjadi kakak sombong mengerikan.

“Jason,” panggilku, “apa kau punya masalah? Tidak biasanya kau hanya diam seperti
ini. Dengan Calypso?”

Jason mendengus. Hanya itu.

“Jason! Jawab!”

Jason tetap tak bicara.

Aku mendesah. “Omong-omong, aku perlu meminta tolong. Teman-temanku ingin aku ikut
kegiatan pecinta alam. Nanti akan ada kegiatan seperti mendaki gunung, panjat
tebing, hiking dan macam-macam lagi. Biasakah kau membantuku meminta izin pada ayah
dan ibu?”

Jason menatapku tajam. “Tidak. Menurutku malah sebaiknya kau tidak ikut kegiatan
seperti itu.”

Aku menatapnya tak percaya. “Kenapa?”

“Ada terlalu banyak bahaya,” jawab Jason singkat seaka itu bisa menjelaskan semuanya.

“Tapi aku sudah besar! Aku bisa menjaga diri sendiri!” protesku kesal.

Tapi jason tetap menggeleng. “Ada waktunya kau harus mendengarkan ucapan yang lebih
tua darimu, Daphne,” katanya lalu meninggalkan meja.

Aku merasa amat marah. Mengapa Jason bisa seenaknya melarangku melakukan apa yang
ingin kulakukan? Memangnya dia itu siapa? dia hanya kakakku, tak lebih! Aku membuka
mulut untuk memprotes lagi.

Tapi yang keluar dari mulutku bukan teriakan protes, tapi jerit kesakitan.

Terjadi lagi. Seluruh tubuhku terasa amat sakit, seakan ditusuki ribuan jarum.
Pandanganku berkunang-kunang, segalanya tampak buram dan tak jelas. Aku terjatuh,
berbaring di lantai, berguling dalam posisi janin. Kesakitan.

“Hentikan!” jeritku kesakitan. “Hentikan! Sakit! Ini lebih sakit dari yang dulu…
AAAKH!!!”

“Daphne!”

Aku terus menjerit kesakitan. Jason terus berusaha menenangkanku. Tapi tak
sedikitpun ia berhasil. Rasa sakit yang menyiksaku membuatku terus mencakar-cakar
udara dan menjerit-jerit. Aku terlalu kesakitan.

Mendadak, rasa sakit itu menghilang. Aku berbaring telentang, terengah-engah,
berkeringat dingin. Jason ada di atasku, pipinya dipenuhi bekas cakaran, jelas
perbuatanku.

“Apa,” katanya marah sekaligus kaget, “yang kaupikir kaulakukan?”

Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya sedih. “Sakit,” bisikku pelan.

Jason mendesah dan mengangkat tubuhku, menggotongku di bahunya. “Kau harus bersyukur
kau lebih ringan dari kelihatannya, Daph. Kau harus beristirahat. Jangan membuatku
marah lagi.”

Aku hanya diam. Jason berubah seperti angin berganti arah. Tadi ia sedingin es, dan
sekarang ia kembali ke karakternya yang biasanya. Aku tahu ada sesuatu yang salah
pada Jason, tapi apa?

*

“Sekarang,” kata Jason dengan lengan tersilang di depan dada, “jelaskan padaku apa
penyebab kau menjerit-jerit dan bergulingan di lantai seperti itu.”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Sulit menjelaskannya, Jas. Yang aku tahu
hanyalah tubuhku begitu sakit seperti ditusuki ribuan jarum, dan… ada sesuatu di
dalam tubuhku yang rasanya seperti memberontak meminta keluar.”

Sejenak, Jason tampak kaget. Datik berikutnya ekspresi cemas menyelimuti wajahnya.
“Kau yakin kau tak perlu dokter?”

“Tak perlu,” kataku tegas.

Jason menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Sekarang
istirahatlah. Pastikan kau sehat dulu sebelum masuk sekolah. Mengerti?”

Aku mengangguk mantap, lalu menggulung tubuhku di kasur. Jason mematikan lampu
kamarku dan melangkah keluar.

Sedangkan aku sendiri tertidur.

*

Kegelapan tampak di sekelilingku. Aku tak bisa melihat apapun. Tapi sedikit demi
sedikit muncul cahaya… cahaya apa?

Aku berjalan mendekat ke sumber cahaya. Sumber cahaya itu… seorang gadis. Gadis itu
sedang berdiri memunggungiku, tak terlihat seperti apa wajahnya. Rambutnya panjang
dan indah, dan dari belakang ia tampak amat mirip denganku.

“Aku tahu kau pasti akan datang,” kata gadis itu.

Aku terpaku kaget. “Apa?”

“Daphne, aku tahu kau akan datang,” kata gadis itu lalu berbalik. Ia tampak amat
mirip denganku… dia aku!

“Kau… kau…” aku kehilangan kata-kata.

“Aku Laurel,” kata gadis itu. “Aku dan kau adalah orang yang berbeda, tapi sekaligus
juga adalah orang yang sama. Kita sesungguhnya adalah satu, namun terpecah menjadi
dua. Aku adalah pecahanmu. Tapi aku hidup di masa lalu, dan kau di masa depan.”

Aku tak mampu berkata-kata.

“Benarkah…?”

Laurel mengangguk. “Kau mungkin tak percaya, tapi itulah kebenarannya. Ada sesuatu
yang perlu kauketahui.”

Aku menatapnya. Aku baru kali ini melihatnya, bertemu dengannya, tapi aku merasakan
adanya ikatan antara aku dan dia, seperti pada aku dan Jason sebagai kakak-adik,
tapi berbeda. Ikatan ini terasa berbeda jauh, tapi sama kuat. Mungkin malah lebih
kuat. Aku juga merasa harus percaya padanya. Laurel… entah mengapa aku yakin dia
memang pecahanku.

“Aku percaya padamu,” kataku. “Hal apa yang perlu kuketahui?”

“Ada sesuatu di dalam tubuhmu yang memberontak,” kata Laurel. “Benda sihir yang amat
kuat, yang diincar semua orang yang berambisi untuk mengacaukan waktu. Dalam tubuhmu
tersimpan sekeping Keping Waktu.”

Aku menatapnya bingung.

“Waktu amatlah kompleks,” kata Laurel lagi. “Saat ini, eaktu yang sudah berlalu,
masa yang akan datang, semuanya kompleks. Di dalam tubuhmu tersimpan Keping Waktu
yang menyimpan waktu masa depan. Waktu yan diincar oleh hampir semua orang, tempat
di mana mereka bisa memanipulasi segalanya untuk menjadikan mereka berkuasa. Masa
lalu bersifat lebih monoton, sesuatu yang sudah terjadi tak bisa kauubah begitu
saja. Kalau kau ingin mengubahnya, butuh kekuatan yang besar serta benda sihir yang
menyimpan mwaktu di masa yang ingin kauubah sejarahnya. Sedangkan waktu ini adalah
waktu yang sedang berjalan, dan apa yang sedang berjalan kadang bisa lebih berbahaya
daripada waktu yang akan datang maupun waktu yang sudah lalu. Tapi waktu adalah
sesuatu yang tak bisa diprediksi.

“Aku perlu meminta maaf padamu, Daphne. Akulah yang sudah mengirim Keping Waktu
padamu, menyembunyikannya dalam tubuhmu. Dan Keping Waktu itulah yang membuatmu
banyak kesakitan belakangan ini. Aku terpaksa mengirimkannya ke dalam tubuhmu agar
orang yang menginginkannya tak bisa mendapatkannya lagi. Tapi tak kusangka mereka
memiliki Pengelana Waktu di sisi mereka. Mereka sulit dirontokkan.”

Aku menatap Laurel. Semakin lama aku semakin bingung. “Pengelana Waktu?”

Laurel mengangguk. “Ada beberapa orang yang menguasai sihir. Dan amat jarang ada
orang yang bisa menjelajah segala dimensi waktu. Tapi di sisi musuhku ada orang yang
mampu melakukannya. Kau diincar, Daphne. Rasa sakit yang selama ini kaurasakan
adalah efek samping dari mantra yang mereka gunakan untuk mengeluarkan Keping Waktu
dari tubuhmu. Kita harus mengeluarkannya lebih dulu dari musuh kita. Atau mungkin
mereka akan membunuhmu terlebih dahulu.”

Aku menatap Laurel. “Tapi bagaimana caranya?”

Laurel balas menatapku. “Aku akan pergi ke waktumu. Cari sebanyak mungkin pemilik
sihir di sekitarmu. Satu adalah kakakmu sendiri, tapi kau harus mencari yang lain.”

Aku menatap benda dalam pelukan Laurel. Jam pasir yang berkilau kebiruan. “Laurel,
itu…”

Laurel tersenyum. “Aku akan ke tempatmu dengan membawa seorang bantuan, Daphne. Ia
adalah seorang Pengelana Waktu. Mudah baginya untuk berkelana ke masa depan dengan
membawaku.”

Mendadak, Laurel menatapku dengan pandang setengah panik. “Kakakku adalah pecahan
kakakmu. Dan ia merasakan sesuatu yang jahat menguasai kakakmu! Bangun, Daphne!
Selamatkan kakakmu! Musuh kita mungkin ingin menariknya ke sisi mereka untuk
emnjatuhkanmu!”

Dan aku terbangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar