Rabu, 17 November 2010

CHAPTER 2: JASON’S TURN

“Kau jelas kenapa-kenapa.”

“Tapi aku baik-baik saja.”

“Tidak. Wajahmu pucat, kau berkeringat dingin, dan kau bahkan nyaris tak mampu
berjalan dengan baik. Kau yakin kau tidak mengkonsumsi narkotika?”

“JASON!”

“Oke, Daph. Santai saja. Aku hanya bercanda. Sebaiknya kau istirahat.”

“Tapi – “

“Daphne. Patuhlah sedikit padaku, oke?”

Daphne menatapku sejenak, tapi akhirnya ia menangguk.

Aku berjalan keluar kamarnya, mematikan lampu kamarnya sebelum menutup pintu. Lalu
aku berjalan menuju kamarku sendiri.

Begitu membuka pintu kamarku, aku tahu ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang
berbeda dari biasanya. Aroma? Bukan. Tampang? Jelas sama dengan biasanya. Apanya
yang salah?

Aku melangkah masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu menutup di belakangku. Aku
menjatuhkan diri di kasur. Tepat saat itu aku mendengar suara itu.

“Aku sudah lama menunggumu.”

Aku segera melompat berdiri dengan kaget. Aku menemukan ada seorang laki-laki di
situ, bersandar di pintuku. Satu tangannya membawa apel. Ia menggigitnya.

“Siapa kau?” tanyaku. “Dari mana kau masuk – dan kapan?”

“Bagiku yang penting hanya pertanyaan pertama,” kata pria itu sambil memandangi
apelnya, mengelapnya di bajunya, lalu menggigitnya lagi.

“Kalau begitu bisakah kau menjawabnya?” tanyaku setengah kesal. Orang ini
sembarangan masuk ke rumah orang, asal makan begitu saja, tak memperkenalkan diri,
lagi.

“Kau bisa memanggilku Schurke.”

Aku terbatuk kecil. “Schurke?”

“Kau tidak salah dengar.”

“Baiklah,” kataku. ‘Schurke’? Nama macam apa itu? Kurasa nanti aku harus
berpetualang dengan Google di bawah. “Jadi, apa tujuanmu ke sini?”

Schurke menggigit apelnya lagi. “Mengajukan penawaran.”

Aku mengernyitkan dahi. “Penawaran?”

“Benar,” katanya sembari mengunyah apelnya. “Kau tahu, adikmu bukan sakit biasa. Dia
sakit karena ada sesuatu dari tubuhnya, sesuatu dari masa lalu yang dikirimkan
padanya, mulai memberontak.”

“Whoa, whoa, whoa,” aku menggeleng. “Tunggu, teman. Kau bilang sesuatu dari masa
lalu?”

“Benar.”

“Jadi benda itu dikirim dengan mesin waktu lalu entah bagaimana bisa masuk ke tubuh
Daphne?”

“Tidak persis seperti itu, tapi, yah… kira-kira begitu.”

Wajahku langsung berubah datar. “Maaf, tapi aku tidak bisa mempercayaimu. Bisakah
sekarang kau berhenti menggangguku?”

Schurke menatapku tajam. “Kalau kau tak percaya, buktikan sendiri. Kau akan melihat
bahwa yang kukatakan benar.”

Setelah itu Schurke berubah menjadi serpihan abu yang mengotori lantai kamarku. Aku
memaki kesal. Aku terpaksa harus membersihkan kamarku sekarang. Dasar Daphne, kenapa
dia sakitnya sekarang? Kenapa tidak besok-besok saja? Kalau dia sehat aku bisa
menyuruhnya membersihkan kamarku sekarang.

*

“Daphne!” seruku kesal. “Kenapa kau selalu sulit dibangunkan di pagi hari? Kau mau
terlambat?”

“Tidak…” jawab Daphne dengan suara mengantuk. “Tapi aku masih ingin tidur…”

“Kalau kau tidur lagi, kutinggalkan kau di rumah. Biar kau berangkat jalan kai atau
naik sepeda saja,” ancamku padanya.

Daphne segera duduk di kasurnya, tapi wajahnya cemberut. Ia menatapku kesal.

“Kalau kau tidak mau terlambat, bangun sekarang juga,” kataku sambil melangkah pergi.

Aku duduk diam di meja makan, mengunyah roti isi. Menunggu Daphne. Ancaman yang
kukatakan hanya sekedar ancaman kosong. Tak mungkin aku meninggalkan adikku di rumah
sendirian, apalagi kedua orangtua kerja dinas di luar kota. Kalau dia sampai kenapa-
kenapa, orangtuaku bisa jadi sangat marah terhadapku.

Mendadak terdengar suara jeritan Daphne dari kamarnya. Kaget, aku segera berlari ke
sana. Di sana, Daphne sudah siap dengan seragamnya, rambut tersisir rapi lengkap
dengan pita kesayangannya (kenapa dia suka mengenakan pita? Yuck!) tapi ia bergelung
di lantai seperti anak kucing. Dengan panik aku segera menghampirinya dan
mengguncang tubuhnya pelan.

“Daph!” panggilku. “Daph, kau tak apa?”

Daph menoleh padaku, wajahnya tampak sepucat kertas. “Ya,” jawabnya lemah. “Aku
sudah tidak apa-apa sekarang.”

“Memangnya tadi kau kenapa?” tanyaku.

“Tubuhku serasa sakit sekali,” katanya sambil duduk. “Seperti ditusuki ribuan jarum.
Sakit. Tapi sekarang aku sudah tak apa.”

“Mungkin sebaiknya kau tidak masuk sekolah hari ini.”

Daphne menggeleng keras kepala. “Ada tes hari ini. Aku tidak mau semalam aku belajar
dengan percuma. Aku sudah tak apa.”

“Kau yakin?”

Daphne mengangguk keras kepala. Melihat kekeras kepalaannya itu, aku tahu aku hanya
bisa menurut pada kehendaknya untuk menjadi anak rajin. Kadang dia bisa menjadi amat
keras kepala.

Mendadak, saat Daphne mengernyit kesakitan saat berdiri, aku sadar kalau apa yang
dikatakan Schurke semalam itu benar. Kalau memang benar begitu, aku hanya punya satu
pilihan; menerima penawarannya. Aku tak mau adikku terluka.

*

Daphne ada kegiatan tambahan di sekolah. Baguslah. Dengan begitu aku punya waktu
ekstra untuk bicara dengan Schurke.

Ada beberapa hal yang kutemukan aneh pada Schurke. Pertama, namanya. Dalam bahasa
Jerman, schurke berarti tokoh jahat, antagonis. Pilihan nama yang aneh untuk seorang
anak, kalau itu memang nama aslinya. Kedua, matanya. Warna mata kanannya berbeda
dengan mata kirinya. Mata kanannya berwarna biru. Yang kiri berwarna hijau. Ketiga,
kemampuannya. Aku heran aku tidak langsung menyadarinya kemarin, tapi bagaimana bisa
seorang manusia lenyap menjadi abu seperti itu?

Aku masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya. Kali ini, Schurke tengah berbaring
miring dengan santai di ranjangku.

“Bisakah kau turun dari ranjangku?” tanyaku.

“Tidak.”

Aku mendengus. “Baiklah. Terserah.”

“Jadi,” kata Schurke, mengeluarkan apel dari kantongnya (apa dia selalu membawa apel
ke mana-mana?) dan mengelapnya dengan bajunya, lalu menggigitnya. “Kau sudah
pikirkan penawaranku?”

Aku duduk di meja belajarku. “Aku sudah melihat kesakitannya.”

“Ya…?” pancing Schurke. “Lalu?”

“Aku perlu mendengar penawaran apa yang kau tawarkan padaku.”

“Jadi,” Schurke menelan apelnya, lalu menggigitnya lagi. “kau bersumpah setia
padaku. Hidupmu menjadi milikku. Aku akan membantu mengeluarkan benda itu dari tubuh
adikmu. Dia tak akan merasa kesakitan. Lalu berikan benda itu padaku. Selesai.”

Aku menatap Schurke ragu. “Begitu saja?”

Schurke menelan dan mengangguk. “Begitu saja.”

“Dan tak akan ada kesakitan lagi bagi adikku?”

“Benar. Jadi, bagaimana? Deal?”

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Tak ada yang tampak aneh dalam perjanjian
itu, tapi entah bagaimana ada yang terasa aneh. Pandangan Schurke padaku terasa
aneh… atau tidak? Entahlah, mungkin hanya pikiranku saja. “Deal.”

Schurke tersenyum puas dan menyentuh dahiku dengan jari telunjuknya. “Dengan ini,
kunyatakan kau, Jason, sebagai salah satu prajuritku yang terpercaya. Apa kau
menerimanya?”

“Aku menerimanya,” kataku nyaris tanpa sadar.

Schurke menarik tangannya kembali.

“Daph tak akan merasa sakit lagi, bukan?” tanyaku memastikan.

Schurke tersenyum lagi dan mengangguk.

Setelah itu, ada ombak-ombak cahaya dan angin yang menerpaku, dan dunia berubah
gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar