Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 4: JASON’S TURN

Aku melangkah keluar dari kamar Daphne dengan perasaan campur aduk. Cemas, marah, kalut. Schurke berdiri di sana, bersandar di dinding, seperti biasa sedang makan apel. Aku menatapnya dengan marah.

“Jadi,” katanya tenang, “bagaimana keadaan adikmu?”

Aku mengeraskan rahang. “Kau bilang dia tak akan kesakitan lagi. Kau bilang kau akan
membatu mengeluarkan benda itu dari tubuhnya dan dia tak akan kesakitan lagi.”

“Oh,” kata Schurke tenang, “memangnya isi perjanjian kita begitu, ya?”

Aku hanya diam dan memandanginya dengan tatap menuduh.

“Kau sudah bersumpah setia padaku, Jason,” kata Schurke lagi. “Tak ada gunanya
membantahku sekarang. Kau sudah menjadi milikku.”

Aku membuka muut untuk protes, tapi tak bisa mengeluarkan barang sepatah katapun.
Aku menutup mulutku lagi dengan marah.

“Aku tak akan bersumpah padamu kalau seperti ini jadinya,” desisku marah. Aku
mengertakkan gigi dengan kesal.

Schurke menatapku dengan pandang masam. “Kau sudah bersumpah, Jason.”

“Ya, lalu?” tantangku.

“Itu berarti kau sepenuhnya milikku.”

Schurke menempelkan telunjuknya ke dahiku, dan sengatan rasa sakit menyerangku. Aku
berteriak kesakitan.

“Seperti itulah yang akan terjadi kalau kau menentangku,” kata Schurke dingin.

“Tapi kau sudah berjanji!” seruku tersengal. “Kau bilang dia tak akan sakit lagi!”

Schurke mendecakkan lidahnya. “Kau perlu mantra, sepertinya.”

Ia menempelkan jari telunjuknya di dahiku lagi. Tapi kini tak ada rasa sakit. Aku
menatap Schurke dengan bingung, dan memandangnya langsung ke matanya.

Kesalahan besar, kau tahu.

Ada sesuatu dalam mata Schurke yang membuatku merasa aneh. Seakan ingatanku tentang
Daphne disedot keluar dari pikiranku, dan semakin aku berusaha mengingat, semakin
aku berusaha melawan, semakin cepat ingatan itu menghilang. Aku kehilangan rasa
simpatiku terhadap Daphne, lupa kalau dia adikku. Kini bagiku dia bukan siapa-siapa
lagi. Bagiku ia hanya sampah yang menghalangi jalan Schurke, masterku. Dan aku tahu
yang harus kulakukan dari sekarang hanyalah satu, yakni melayani Schurke, mematuhi
tiap perintahnya.

Schurke menarik tangannya kembali, dan aku terduduk lemas di lantai. Schurke
tersenyum lembut padaku.

“Ikutlah denganku, Jason,” katanya. “Aku punya tugas penting bagimu.”

Aku mengangguk patuh.

*

Schurke membawaku ke suaru tempat aneh. Semacam gua tapi dilengkapi segala peralatan
modern. Listrik? Ada. Lampu? Yah, kalau ada listrik jelas ada lampu. TV? Radio?
Komputer? Semuanya lengkap! Bahkan ACpun juga ada di sini.

Schurke tersenyum melihat ketakjubanku. “Kemarilah,” katanya, lalu memimpinku
melewati sejumlah lorong dan membuka sebuah pintu.

“Ini kantorku,” kata Schurke. “Markasku. Semua yang kubutuhkan ada di sini.
Semuanya… kecuali prajurit terpercaya.”

Aku menatap Schurke dengan bingung.

“Aku bisa merasakan darah sihir mengalir di nadi-nadimu,” kata Schurke lagi. “Aku
perlu mengetahui apa jenis sihirmu. Kau mau bekerja sama?”

“Dengan senang hati,” jawabku.

Schurke menyodorkan sebilah pedang padaku. “Ayunkan.”

Aku menuruti perintahnya. Beberapa detik setelah aku mengayunkan pedang itu, muncul
sinar keemasan yang membungkus tubuhku dan pedang itu. Setelah beberapa saat, sinar
keemasan itu menghilang.

“Ya,” Schurke mengangguk puas. “Seperti dugaanku, kau memang Pengguna Senjata.
Aliran sihir yang cukup langka, namun kuat. Kemampuan ini akan membuatmu menjadi
prajurit yang amat baik buatku, Jason.”

Aku merasakan semangat menggebu-gebu dalam tubuhku. Akankah Schurke mengutusku
menjadi prajuritnya? Akan menjadi suatu kebanggaan bagiku bila ia memang
mengangkatku menjadi prajuritnya.

“Kau janji kau akan menjadi prajurit yang baik bagiku?” tanya Schurke padaku.

Aku tersenyum lebar. “Ya, aku janji.”

Schurke tersenyum puas. “Kalau begitu, mulai sekarang kau adalah prajuritku yang terpercaya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar