Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 6: JASON’S TURN

Dahi Schurke mengerut. “Kau punya dua kemampuan,” katanya.

“Hah?” aku menoleh padanya, menghentikan pekerjaanku untuk menyortir beberapa
dokumen Schurke.

“Kau punya dua kemampuan, bukan hanya Pengguna Senjata,” kata Schurke. “Kau spesial,
Jason. Tapi masalahnya, kemampuanmu yang satunya itu apa?”

Aku menggeleng bingung. “Entahlah, aku tak tahu.”

Schurke memandangiku dengan serius. “Kemampuan itu biasanya berhubungan langsung
dengan panca inderamu. Apa kau pernah mendengar sesuatu yang aneh? Atau melihat
hal-hal yang tak masuk akal?”

Aku mengerutkan dahi. “Yah… beberapa kali.”

“Detilnya?”

Aku mengangkat bahu. “Suara-suara. Seakan mengatakan padaku isi pikiran orang-orang.
Dan penglihata-penglihatan aneh. Seakan memberitahuku apa yang sedang dibayangkan
atau diingat-ingat seseorang.”

“Misalnya?”

Aku memejamkan mata. “Kau sedang memikirkan tentang kemampuanku. Juga tentang
sesuatu yang kausebut… Kepingan Waktu.”

Schurke tersenyum puas. “Tepat sekali. Pembaca Pikiran. Hebat.”

Aku mengangkat bahu. “Lebih cocok disebut ‘Pendengar Pikiran’, sebenarnya.”

Schurke tersenyum. “Memang itu namanya.”

Ia menutup matanya. “Apa hanya itu yang kaudengar tadi? Atau kau masih
menyembunyikan suatu rahasia untuk mengejutkanku?”

Aku menggeleng. “Bukan untuk mengejutkanmu, tapi ya. Masih ada satu lagi.”

“Apa itu?”

“Seorang gadis bernama Daphne.”

Aku mendengar suara-suara pikiran Schurke berkelebat di sekelilingku. Sementara itu,
Schurke tampak menegang.

‘Aku sudah menyembunyikan ingatannya.’

‘Dia tak mungin secepat itu ingat.’

‘Aku harus menyembunyikan ingatannya lagi. Sebelum dia berbalik melawanku.’

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tapi lalu segala gambaran mengerikan muncul di
kepalaku. Bukannya mengerikan, tapi aneh. Aku melihat kelebatan-kelebatan bayangan
seorang gadis. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya, tapi ia tampak begitu familier.
Nama dan suara mulai tercampur di benakku. Daphne. Itu nama gadis itu. Lalu segala
macam fakta dan kebenaran bermunculan mengikuti nama itu. Daphne adikku. Aku pergi
meninggalkannya untuk Schurke. Astaga, apa yang kulakukan? Aku harus pulang, Daphne
pasti kebingungan. Tapi Schurke…

“…!!!”

Aku terjatuh di lututku. Kepalaku terasa sakit. Ledakan memori berseliweran di
kepalaku, dan semuanya tentang Daphne. Seakan memoriku yang tersembunyi oleh mantra
Schurke kini berusaha untuk mempengaruhiku.

“Jason?” panggil Schurke, nadanya curiga.

“…rgh!”

Segalanya menjadi jelas, bagai tirai yang tersibak. Schurke memantraiku, memaksaku
untuk bersumpah setia padanya. Lalu memanipulasi ingatanku, menyingkirkan Daphne
dari pikiranku. Hanya untuk membuatku menjadi salah satu prajuritnya. Demi
mendapatkan Kepingan Waktu dalam tubuh Daphne. Untuk kepentingannya sendiri.

Aku harus kembali pada Daphne. Aku harus memperingatkannya. Tapi bagaimana? Kalau
Schurke tahu aku sudah mematahkan mantranya, dia akan marah besar. Yang ada malah
aku akan dimantrai lagi. Percuma saja.

“Jason!”

“…kh…”

Schurke menatapku tajam. “Kau sudah mengingatnya lagi, bukan?”

Aku hanya diam, memegangi kepalaku dengan satu tangan, nafas terengah menahan sakit.
Pedang dari Schurke tergeletak begitu saja di sebelahku. Tapi bahkan tanpa kata-kata
sekalipun, Schurke tahu jawabannya adalah ‘ya’. Ia mendesis marah dan menendang
perutku.

Aku terlontar ke belakang, tapi tetap diam. Bahkan teriakan sekalipun tak muncul
dari mulutku. Aku hanya memandangi Schurke dengan tatap menantang.

Lalu, Schurke melakukannya lagi.

Tangannya melesat, jari telunjuknya menyentuh dahiku.

Lagi-lagi ingatanku tentang Daphne kembali disembunyikan. Aku tak lagi berniat
melawan, aku tak mau kehilangan memoriku begitu cepat. Tapi kini proses itu
dibarengi dengan rasa sakit luar biasa. Di kepala. Seakan kepalaku akan meledak
karena sihir Schurke. Aku berteriak kesakitan.

“Prosesnya selesai,” kata Schurke akhirnya. Aku terjatuh.

“Kau lelah, Jason?” tanya Schurke. “Tidurlah yang nyenyak. Aku punya tugas untukmu.”

Aku terjatuh dalam ketidaksadaran, sama seperti perintahnya.

*

Bayangan seorang gadis tampak di depanku. Ia memunggungiku, dan ia sedang menangis.
Aku mendekatinya dan menepuk bahunya. “Hei.”

Gadis itu menoleh. “Jason?” isaknya, matanya tampak berkaca-kaca.

Gadis itu tampak begitu familier. Aku merasa seakan terikat dengannya dengan suatu
alasan yang tak kuketahui. Sebuah nama muncul di kepalaku.

“Daphne…?”

Gadis itu menatapku dengan matanya yang basah. “Kenapa kau pergi?” tanyanya. Lalu tubuhnya memudar dan lenyap.

*

Aku membuka mata. Sungguh mimpi yang aneh.

“Urgh…!”

Schurke menatapku dengan pandang dingin. Aku menelan ludah. Baru kali ini dia
menatapku dengan pandangan siap membunuh seperti itu. Mengerikan.

“Schurke…?”

Mendadak ia tersenyum ramah, kesan dinginnya menghilang. Sebuah suara menyelinap
masuk ke benakku.

‘Mantraku berhasil.’

“Eh?”

“Berdiri, Jason,” perintah Schurke. “Ada tugas untukmu.”

*

Aku menatap rumah itu lekat. Tak ada sesuatu yang spesial dari rumah ini. Hanya rumah biasa dengan kebun yang terawat dan rapi, halaman dan teras yang bersih. Tak lebih. Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang familier dari rumah ini?
Mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang penting dan mengikat, menghubungkanku
dengan sesuatu dari rumah ini.

“Jason,” panggil Schurke. Aku menoleh padanya. Ia menyodorkan secarik kertas padaku.
Pada kertas itu ada gambar sketsa wajah seorang gadis… Gadis yang ada di mimpiku,
Daphne. Aku memandangi gambar itu lekat, kaget. Apa dia ada hubungannya dengan semua
ini?

“Gadis ini bernama Daphne. Kau harus membunuhnya, Jason, dan bawa mayatnya padaku,”
kata Schurke. Aku memandangnya kaget, berharap dia bercanda. Tapi sayangnya dia
serius.

“Kau dengar kataku,” kata Schurke lagi. “Bunuh dia dan bawa padaku.”

“Kenapa harus membunuhnya?” tanyaku. “Bagaimana kalau aku tak bisa melakukannya?”

Schurke tersenyum. “Kalau begitu, pingsankan dia. Bawa padaku. Pekerjaan selanjutnya
biar kulakukan sendiri.”

Aku masih ragu. Aku merasa tak boleh membunuh gadis itu. Aku merasa ada ikatan yang
menghubungkanku dengannya. Pikiran, hanya pikiran, untuk membunuhnyapun membuatku
merasa bersalah. Tapi kenapa?

Mendadak aku merasakan hawa dingin di belakang punggungku. Aku menoleh ke belakang.
Di sana Schurke memandangiku dengan tatap dingin membekukan. Aku menelan ludah.
Kenapa dia bisa tampak semengerikan itu?

“Buang kelemahanmu, Jason,” kata Schurke.”Kalau kau masih ingin menjadi prajuritku,
buang kelemahanmu. Singkirkan perasaan-perasaan tak berguna. Yang harus kaulakukan
hanyalah mengikuti perintahku. Kau mengerti?”

Aku mengangguk, tapi tetap menatap rumah itu dengan ragu. Haruskah aku melakukan ini?

Jari telunjuk Schurke menyentuh dahiku, dan segala keraguanku sirna. Aku harus
melakukan ini. Aku tak punya pilihan, dan aku akan melakukannya. Bukan demi aku
sendiri. Demi Schurke. Ini perintahnya. Aku harus menaatinya.

“Lakukan, Jason,” perintah Schurke. “Sekarang.”

Aku memandangi pintu rumah itu dan melangkah ke sana.

Selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Kuhitung tiap langkahnya sampai ke pintu. Pada
akhirnya, aku mencapai pintu pada hitungan tujuh belas langkah.

Aku menendang pintu itu hingga terbuka. Delapan orang ada di dalam ruangan di balik
pintu ini. Lima perempuan dan tiga laki-laki, dan salah satu dari ketiga gadis itu...

Bingo.

Dia di sana.

Duduk diapit seorang gadis yang tampak amat mirip dengannya dan seorang pemuda yang
sedang memainkan pisau roti di tangannya.

“Jason…” panggil gadis itu, Daphne.

“Aku harus membawamu,” kataku padanya.

“Ke mana?”

“Pada Schurke.”

Keningnya berkerut. “Apa?”

Gadis yang tampak amat mirip dengannya menatapku tajam. “Apa dia bosmu?”

Aku mengangguk tanpa suara.

“Maka aku tak akan mengizinkanmu untuk membawanya,” kata gadis itu dengan tatap
dingin padaku.

“Bagiku itu berarti pernyataan perang.”

Dan segalanya berubah tak terkontrol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar