Minggu, 07 November 2010

emotion eater chp.2

CHAPTER 2

Aku menatap kota kelahiranku itu dengan sedih. Kurasa aku tidak akan melihat kota
kecil ini lagi. Sedih rasanya.

Bukit terjal ini membuatku bisa mengawasi kota dengan leluasa. Angin lembut mulai
mengibarkan rambutku. Aku tidak melawan, aku membiarkan angim mengacaukan rambutku.
Aku punya banyak permasalahan yang jauh lebih berat daripada rambut berantakan.

Hidupku tidak akan pernah sama lagi. Kini aku menjadi seorang pelarian yang
mengemban tugas untuk menyelamatkan suatu negeri yang bahkan aku sendiri tidak tahu
seperti apa bentuknya. Aku sudah berurusan dengan makhluk yang kupikir hanya ada
dalam dongeng, seseorang yang tak memiliki emosi, dan terjebak dalam bahaya yang
nyaris merenggut nyawaku. Aku nyaris diculik oleh Vampir, dan kalau itu masih kurang
juga, aku dikejar-kejar oleh pasukan Vampir dan Soul Eater. Hidupku takkan pernah
normal lagi, aku tahu itu.

“Louie,” panggilku tanpa menoleh, merasakan aura Louie saat ia mendekat. “Menurut
cerita yang sering kubaca, Vampir tidak kuat bersentuhan dengan cahaya matahari.
Kenapa mereka bisa keluar di siang hari kemarin?”

“Kau membaca buku yang salah,” kata Louie dengan nada datar. “Mereka memang tidak
kuat dengan cahaya matahari, tapi bukan berarti mereka tidak dapat keluar pada siang
hari. Apa kau lupa kalau kemarin mendung?”

“Ah. Itu rupanya.”

“Hei, kalian berdua. Kurasa sebaiknya kita berangkat sekarang, saat hari masih
pagi,” ajak Lucas. “Bagiku, makin cepat kita menyelesaikan misi penyelamatan negeri
ini, makin baik.”

Aku bangkit berdiri, menggeliat kecil. “Baiklah. Ayo kita berangkat.”

*

Aku tidak merasa harus membentengi diri dari emosi orang lain sekarang ini. Toh yang
ada bersamaku hanya Lucas dan Louie. Yang kurasakan hanyalah emosi Lucas, aku tahu
itu, karena Louie sudah menjelaskan kalau semua Emotion Eater nyaris tak pernah
merasakan emosi. Karena itulah mereka memakan emosi orang lain.

Karena itulah aku hanya merasakan emosi Lucas.

Ketakutan dan kemarahan. Itulah yang dirasakannya. Kurasa ia marah pada Louie karena
telah menyeretnya ke dalam urusan Vampir dan Soul Eater ini. Merenggut kebebasannya.
Aku tak menyalahkannya, aku sendiri juga kesal karena dia menyeretku seenaknya. Dan
ketakutannya, kurasa dia takut pada para Vampir dan Soul Eater itu. Tapi memang
masuk akal. Lagipula, siapa yang tidak takut kalau dihadapkan dengan penghisap darah
dan pemakan jiwa? Walau begitu, aku merasa kemarahan dan ketakutannya agak
berlebihan. Kuat sekali perasannya itu, sampai-sampai rasa kecut dan pedas membekas
di lidahku. Aku langsung membangun benteng untuk menahan gejolak emosinya itu.

Detik berikutnya aku tersadar kalau mungkin kesedihan dan penyesalanku sendiri juga
mungkin dianggap orang terlalu berlebihan.

Tiba-tiba Louie mengecapkan bibirnya. Ia tersenyum, kini adakilatan licik di matanya
yang biasanya hampa.

“Lucas,” katanya, “Kemarahan dan ketakutanmu enak sekali. Pedas dan kecut, seperti
rasa sup tom yum.”

Lucas mendesah. “Terima kasih atas jasamu membuatku merasa hampa, tapi aku tidak
membutuhkan jasa itu.”

“Sayangnya, aku butuh,” Louie tersenyum, ia tak lagi terlihat benar-benar hampa.
Setiap kali ia mengkonsumsi emosi, ia selalu menjadi seperti manusia normal, bukan
Emotion Eater yang hampa.

“Aku mulai merasa seakan aku adalah penyedia makanan bagimu,” kata Lucas, terdengar
agak kesal.

“Rasa kesalmu juga enak. Seperti jeruk segar,” kata Louie, menjilat bibir dengan
senang.

Lucas menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal. Sepertinya kekesalannya begitu
menumpuk sehingga tidak habis-habis dilahap Louie.

“Rasa jeruknya menghilang. Sekarang terasa asam,” kata Louie, memejamkan mata untuk
meresapi rasa itu. “Tapi tetap enak. Belum pernah aku makan emosi seenak emosimu,
Lucas. Kenapa?”

“Sayang aku tidak punya jawaban untuk itu, karena aku sendiripun merasa penasaran,”
kata Lucas sambil berpaling ke depan. “Ke arah mana sekarang? Jalan ini bercabang
tiga,” kata Lucas, menunjuk jalan setapak di depan kami.

“Ambil yang paling kiri,” kata Louie, mulai tampak hampa lagi. “Negeri Emotion Eater
ada di dalam hutan dan hanya para Emotion Eater yang tahu jalannya. Kini kalian
berdua juga tahu, kuharap kalian mau menjaga rahasia ini.”

Lucas tertawa hambar. “Kurasa aku tidak akan membocorkannya. Aku tidak mau berurusan
dengan Emotion Eater sepertimu lagi.”

Louie mengecapkan bibirnya lagi. “Kekesalan lagi! Enak sekali rasanya berdekatan
dengan seseorang yang emosional sepertimu, Lucas.”

Lucas mendesah panjang. “Louie, jalan di depan. Kau saja yang memimpin jalan.”

“Oke. Hahaha, selama kau mau tetap memasok emosi bagiku, aku akan tetap senang.”

“Bukankah kau bilang kalau Emotion Eater selalu hampa?”

“Tidak kalau mereka baru saja mengkonsumsi emosi.”

Lucas menggeram kesal. “Kalau begini terus aku bisa menderita darah tinggi di usia
muda!” serunya marah.

“Marah lagi! Hm, pedas mint. Ada sedikit rasa manis gula juga. Lucas, aku bahagia
bisa bertemu denganmu!”

Lucas mendesah, kembali tenang. Sepertinya emosinya memang sudah habis dihisap
Louie. Pantas saja dia kesal.

“Hei, kalian,” kataku membuka suara, “Bisakah kita akhiri pertengkaran bodoh ini?
Cepat saja kita ke negerimu, Louie. Aku tak mau lama-lama di hutan seperti ini.”

“Memang benar, pilihan buruk untuk berada di hutan, apalagi saat malam hari,” kata
Louie, matanya kembali tampak hampa, nada suaranya tak lagi menyeruakkan emosi
apapun. “Tapi perjalanan kita ini amat jauh, dan akan makan waktu lama. Kurasa
nantinya kita tetap harus bermalam di hutan,” katanya sambil menatapku.

Aku merinding. “Hutan ini? Menginap?”

“Ya, kita tak punya pilihan lain,” katanya lalu berdecap. “Ketakutanmu juga enak.
Tapi tidak seenak milik Lucas.”

Lucas menggeleng-gelengkan kepala lagi. “Bisa kita berangkat sekarang?”

“Tentu,” kata Louie, mendadak ceria. “Ketidaksabaranmu juga enak. Semua emosimu
enak.”

Lucas memandang rumput dengan pandang hampa. Sepertinya emosi Lucas berpindah pada
Louie dan kehampaan Louie berpindah pada Lucas. Tertukar. Ini agak mengerikan.

Semoga saja Louie tidak sering melakukannya.

*

Salah. Louie melakukannya berkali-kali. Mungkin dia ketagihan makan emosi Lucas, dia
sendiri bilang emosi Lucas enak. Tapi tetap saja akibatnya agak menakutkan bagiku.

Kini Lucas banyak melamun, sering memandang hampa dan kosong. Ia mengatakan ia
selalu merasa hampa tiap kali Louie melahap emosinya, banyak maupun sedikit.

Louie harus dihentikan. Sebelum kondisi Lucas memburuk.

Tapi bagaimana? Walau bagaimanapun, Louie tetaplah seorang Emotion Eater. Emosi
adalah makanan baginya. Aku tidak bisa menyuruhnya mogok makan begitu saja.

Tapi tetap saja tidak bisa dibiarkan. Posisi mereka sudah tertukar sekarang.
Seharusnya Lucas yang manusia biasa yang merasakan emosi, dan Louie yang Emotion
Eater yang merasakan kehampaan.

Aku mulai mempelajari keadaan Lucas. Mungkin karena sekarang dia sudah jauh lebih
hampa dari seharusnya, sekali melamun bisa sangat lama. Selain itu, kalau dipanggil
saja dia tak akan langsung tersadar, tapi harus disenggol dulu. Louie malah
kebalikannya. Emosinya kini meledak-ledak, ia jarang merasa hampa. Sepertinya dia
senang bisa merasakan hidup sebagai manusia biasa, bukan Emotion Eater yang hidup
dalam kehampaan.

Aku mencoba mengeceknya saat Lucas sedang melamun lagi.

“Lucas.”

Pandangan matanya tetap kosong.

“Lucas!”

Ia berkedip, tapi ia tetap masih belum menyadari kehadiranku.

“Lucas! Hei!”

Hanya panggilan ternyata memang tak mampu membawanya kembali ke tubuhnya. Ia tetap
memandang kosong ke satu titik di kejauhan yang ia sendiri tidak perhatikan apa itu.

“Lucas!” kali ini aku berseru di telinganya sambil mengguncang bahunya.

Tiga detik berlalu, barulah ia tersadar.

“Hah? Apa?”

“Kenapa kau terus melamun?”

“Aku tak tahu,” jawabnya sambil mengusap sebelah matanya. “Tapi sekarang rasanya aku
lelah sekali. Padahal kemarin-kemarin tidak begini.”

“Yah, memang sudah lima hari kita berada di alam liar seperti ini. Mungkin baru
sekarang kau merasakan lelahnya. Tak ada salahnya kalau kau tidur sekarang. Ini toh
memang sudah malam.”

Lucas mengangguk. “Kurasa kau benar.”

*

“Louie.”

“Uh-hum?”

“Jangan makan emosi Lucas terus.”

“Tapi itu kan makananku.”

“Tapi kalau kau makan terus, posisi kalian bisa terbalik. Seharusnya dia manusia
biasanya, kau manusia tanpa emosinya.”

“Kalau aku tidak makan emosinya, sama saja aku minta mati.”

“Ya sudah, mati saja sana!” kataku dongkol. “Kau pikir kau tidak bisa makan emosiku
juga? Manusianya di sini ada dua, jangan cuma satu yang kaujadikan bahan makanan!”

Louie mulai tampak hampa lagi. “Kau membangun sebuah tembok. Aku tidak bisa
menembusnya.”

Aku memandangnya bingung.

“Saat kau tidak ingin merasakan emosi orang lain, kau membentuk tembok pelindung
untuk memisahkanmu dari emosi orang itu, bukan?” tanya Louie. Aku mengangguk.

“Tapi apa hubungannya?”

“Tembok itu adalah pertahanan sihir yang kaubuat sendiri. Dan tembok itu juga
membuat Emotion Eater tak dapat melahap emosimu. Karena itu aku tak dapat makan
darimu.”

“Tapi dulu saat di kelas...”

“Itu beda. Saat itu kau tidak membangun tembok itu. Jadi aku bisa memakan emosimu.
Lucas tidak membangun tembok itu, padahal sebenarnya dia bisa kalau mau, karena itu
aku memakan emosinya.”

“Begitu rupanya. Tapi berhentilah memakan emosinya. Setidaknya, jangan terlalu
sering. Kurasa akibatnya sudah mulai terlalu berat baginya.”

“Memang.”

Louie mengatakannya dengan santai, walau kehampaan sudah mendominasinya kembali.
Namun aku langsung berpaling padanya dan membentaknya.

“Kenapa kau bisa sesantai itu?! Bagaimana kalau akibatnya sudah terlalu berat untuk
ditanggungnya?!”

Louie memejamkan matanya. “Seingatku orang terakhir yang memikul beban berat itu
akhirnya menjadi gila karena kehampaanyang melingkupinya.”

Aku langsung memasang wajah garang. “Kau... jangan berani-berani membuat Lucas jadi
seperti itu, kau...”

“Kalau begitu, runtuhkan tembokmu. Atau aku terpaksa terus memakan emosi Lucas.”

Aku mendesah. “Selama ini aku membangun tembok itu nyaris tanpa sadar. Sulit
mengendalikannya.”

Di balik kehampaannya, kini kilat keterkejutan muncul di mata Louie. “Kau membangun
tembok itu nyaris tanpa sadar? Jadi tembok itu bisa tiba-tiba ada tanpa kaumau?”

“Kadang begitu,” kataku sambil mengangguk kecil. “Biasanya saat emosi orang sudah
terlalu banyak untuk bisa kutahan, tembok itu runtuh, tapi kadang ia bisa membangun
dirinya sendiri tanpa kemauanku.”

“Hebat,” bisik Louie. “Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang mampu
melakukannya.”

“Memangnya tidak ada orang lain yang bisa?”

“Kalaupun bisa, mereka harus selalu berkonsentrasi untuk mempertahankan tembok itu.
Sepertinya kau tidak.”

“Memang tidak.”

“Hebat. Kekuatan sihirmu jauh lebih besar dari yang kukira.”

“Sihir?”

“Kau punya bakat itu, kau tahu? Kalau kau tidak punya bakat sihir, kau tidak akan
bisa membangun tembok pemisah antara dirimu dengan emosi orang lain.”

Lucas mengerang lemah. Louie bersiul kecil dan ia kembali tidur lelap.

“Mimpi buruk. Kalau itu kuambil tidak apa, bukan?”

Aku menatapnya garang. “Asal bukan emosi yang lain.”

“Kalau begitu aku bisa memantrainya sehingga dia selalu mimpi buruk tiap malam.”

“LOUIE!!!”

“Oke, baiklah, aku tidak akan melakukannya, tapi kau harus membantu pemasokan emosi
bagiku.”

Aku meruntuhkan tembok pertahananku dengan kesal. “Ambil saja. Tapi berjanjilah kau
akan berhenti, atau setidaknya mengurangi, pengambilan emosi dari Lucas.”

Louie mengecapkan bibir, aku merasakan kekesalanku menghilang. Dihisap Louie, jelas.
Tapi ada setitik kehampaan yang lalu muncul, menggantikan kekesalanku tadi.

“Kekesalan,” kata Louie, memandang bintang dengan tatap menerawang. “Rasanya mirip
permen mint.”

Aku mendesah, berharap kehampaan di dadaku itu menghilang, lalu tiba-tiba saja
kehampaan itu lenyap tak berbekas, digantikan ketakutan yang mendadak membuncah. Aku
menggeleng, bukan ketakutan yang kuharapkan. Dan entah kenapa emosi itu bisa
langsung menghilang dan digantikan ketenangan.

Aku menatap Louie. Ia tersenyum padaku.

“Kau takut pada apa? Rasanya seperti daging asap.”

Aku menggeleng. “Sudahlah. Bicara denganmu rasanya membingungkan sekali. Aku ingin
tidur.”

“Tidurlah kalau begitu, putriku,” katanya manis. “Kalau kau bermimpi buruk, mungkin
itu akan menjadi pasokan yang bagus bagiku.”

“Seingatku kau adalah pemakan emosi, bukan pemakan mimpi?”

“Perasaan akibat mimpi itulah yang akan kumakan.”

Aku memutar bola mata. Apalah. Terserah, aku mau tidur sekarang.

*

Aku membentak Luoie dalam bisikan kecil “Louie! Kenapa Lucas masih belum normal
juga?!”

“Butuh waktu untuk penyembuhan, kan?” tanya Louie balik, kehampaan di matanya
menyeruak keluar. Aku membiarkannya mengambil kemarahanku. Lebih baik, lagipula
terlalu banyak marah memang tidak menyehatkan.

Aku mendesah. “Ayo. Kita jalan lagi sekarang.”

Hutan ini tampak menyeramkan sekarang. Kemarin tampaknya biasa, seperti hutan pada
umumnya, lengkap dengan suara hewan-hewan. Tapi di bagian hutan ini... berbeda. Jauh
lebih menakutkan. Tak ada suara hewan hutan di sini, sunyi senyap bagai kuburan.
Seram sekali. Tanpa sadar aku merapatkan diri pada Lucas, mencari ketenangan.

“Di sini sunyi sekali,” kata Lucas pelan.

“Bagian hutan ini bukanlah hutan,” kata Louie dengan ketenangan dan kehampaan yang
mengerikan. “Hutan di sini hanyalah ilusi. Aku mengenalinya. Dan ini bukanlah ilusi
buatan penyihir Emotion Eater.”

“Lalu?”

Mata Louie melebar, ada kengerian yang tampak di sana, walau hanya sedikit. “Vampir!
Ini ilusi buatan Douglass! Cepat, kita harus pergi dari sini secepatnya!”

“Ke arah mana?!”

“Kalau berbalik arah pasti jalannya sudah mereka blokir sekarang. Kita terpaksa
menerobos ke depan. Ayo!”

Dengan segera, kami berlari secepat kaki kami dapat membawa. Nafas kami terengah tak
keruan, tapi desakan untuk terus berlari makin lama makin kuat. Karena sekarang
ilusi hutan ini mulai mengejar kami!

Tiap sulur mengejar, tiap helai daun berubah menjadi badai yang membutakan, tiap
helai kelopak bunga berbaur dengan daun untuk menjadi badai mengerikan. Tiap batang
bergoyang, tiap dahan mengamuk, tiap ranting menyambar. Tak terhitung banyaknya aku
tersabet ranting dan kayu, tapi kebanyakan sabetan itu sudah diterima Lucas sebelum
sampai padaku. Mungkin karena ia memang Ksatria dalam legenda itu, tapi tetap saja
aku merasa bersalah membiarkannya kesakitan seperti itu.

“Cepat!” desak Louie, kini getar ketakutan benar-benar nyata dalam suaranya yang
biasanya tidak menunjukkan emosi apa-apa.

Kami hampir sampai ke tempat terang yang menunjukkan dunia nyata, tapi tepat saat
itu juga begitu banyak sulur ivy yang muncul di depan kami dan membelit kami menjadi
tiga kepompong hijau.

Aku menjerit kuat-kuat, berusaha melepaskan diri, tapi tak mampu. Aku bisa mendengar
raungan marah dan teriakan panik di luar kepompong sulurku. Aku memberontak sekuat
tenaga, tapi tak bisa. Apalagi sekarang kedua tanganku terikat oleh sulur tanaman
itu di belakang punggungku. Aku makin tak mampu melepaskan diri sekarang.

Sedikit demi sedikit mulai tercium bau harum bunga, atau tanaman, entahlah apa itu.
Makin lama bau itu makin kuat, membuatku pusing. Dan dengan ngeri aku tersadar, kini
aku tak dapat menggerakkan tubuhku lagi. Aku mencoba menggerakkan jemariku, tapi tak
bisa. Kini yang bisa kulakukan hanyalah berkedip. Tubuhku lemas sama sekali, tak
dapat kugerakkan sedikitpun. Aku menajamkan pendengaran, dan aku menyadari kalau hal
yang sama pasti terjadi pada Lucas dan Louie, sebab aku tak lagi mendengar teriakan
dan raungan.

Aku merasakan bahwa kini aku tak lagi merasa ngeri maupun takut. Sepertinya bau tadi
mempengaruhi perasaanku juga. Tapi kini bau itu makin menguat. Makin kuat, lebih
kuat, sangat kuat, terlalu kuat. Bau itu memusingkan, memabukkan, aku tak kuat
menahannya. Aku berusaha untuk tidak bernafas melalui hidung, tapi mulurku terkunci
dan aku tak dapat membukanya. Makin lama aku makin tidak bisa menahan bau ini.
Pusing sekali rasanya.

Dari luar sulur, aku mendengar suara bergedebuk, dua kali. Apa itu Louie dan Lucas?

Mataku mulai terasa berat. Aku mengedip-kedipkan mataku, berusaha untuk tidak
tertidur. Tapi godaan itu begitu kuat... apalagi aroma bunga ini seperti aromaterapi
yang membuatmu mengantuk.

Tubuhku melemas, aku memejamkan mata. Kepompong sulur ini lalu terurai membuka
dengan sendirinya, dan aku terjatuh ke tanah yang keras.

Aku tidak peduli. Aku hanya mau tidur sekarang.

Samar aku melihat ada sepasang sepatu bot kulit cokelat yang mendekatiku, dan aku
mendengar perintah samar, tak dapat kutangkap apa katanya, tepat sebelum aku
benar-benar jatuh tertidur.

*

Aku membuka mata perlahan, mengerjapkannya beberapa kali untuk memfokuskan pandang.
Tubuhku masih terasa lemas dan sisa kantuk masih terasa, tapi kini aku bisa melawan
rasa kantuk itu.

Aku berusaha menggerakkan tubuh, tapi tidak bisa. Tubuhku melawan kemauan otakku,
tak mau bergerak.kepanikan mulai menyerangku. Aku diapakan, sampai tidak bisa
bergerak begini? Jangan-jangan aku dilumpuhkan?

“Lianne!”

Aku memejamkan mata rapat-rapat saat Lucas meletakkan kepalaku di pangkuannya.
“Lucas,” bisikku panik, “aku tidak bisa bergerak...”

“Tenanglah,” kata Louie yang lalu duduk di samping Lucas, “Nanti kau akan bisa
bergerak juga. Tadi kami juga tidak bisa bergerak. Setidaknya sekarang sudah bisa.”

“Tapi kurasa efeknya terlalu kuat baginya,” kata Lucas, memandang Louie dengan tatap
cemas.

“Pasti akan hilang. Kalau dalam sepuluh menit belum hilang juga, baru itu berarti
masalah.”

Lima menit kemudian, aku merasa lebih baik. Aku sudah mulai bisa menggerakkan jemari
dan kakiku, tapi sisanya masih tak bisa kugerakkan.

“Setidaknya kau sudah bisa menggerakkan tubuhmu sedikit.”

“Kau enak saja bilang begitu, kau sudah bisa menggerakkan tubuhmu dengan bebas,”
gerutuku mendegar komentar Louie.

“Kalau dia sudah bisa menggerutu, berarti dia sudah sehat,” kata Louie dengan nada
hampanya yang biasa. Lucas tertawa setuju.

Aku duduk dengan susah payah. Aku sudah bisa sepenuhnya mengendalikan tubuhku, tapi
rasa lemasnya yang mengerikan itu masih bertahan, membuatku kesal. Rasa lemas itu
membuatku sulit bergerak sebebas biasanya.

“Rupanya kalian bertiga sudah sadar.”

Aku menoleh, menatap sesosok orang yang sudah pernah kujumpai dalam perjumpaan yang
jauh dari kata menyenangkan itu. Douglass si Vampir dan Arthur si Soul Eater
menyambut kami.

“Perjumpaan kita yang pertama tidak bisa dibilang ramah, bukan?” tanya Arthur sopan.
“Izinkan kami memperkenalkan diri sekarang.”

“Aku Douglass Cain. Vampir. Keahlianku adalah mempengaruhi seseorang untuk membuatnya menuruti kemauanku. Kurasa kalian manusia biasa menyebutnya sebagai ilmu
hipnotis?”

“Aku Arthur Shirley, Soul Eater, keahlianku adalah dalam bidang sihir. Aku bisa
memisahkan diri dari tubuhku dan merasuki tubuh orang lain juga, kalau kalian ingin
tahu. Kuharap kita bisa berteman baik.”

Berteman baik katanya? Setelah membuatku lemas sampai tak bisa bergerak, dia
berharap bisa berteman baik denganku? Aku tahu itu hanya kiasan, tapi enak saja.
Silakan dia bermimpi sesuka hatinya. Aku tak sudi berteman dengannya, dan semoga
saja aku tidak pernah bertemu dengannya lagi kalau aku berhasil kabur dari sini.

Kalau aku berhasil kabur dari sini.

Tapi apakah aku akan berhasil? Seharusnya ya, harus berhasil, aku ingin hidup normal
lagi. Tapi bagaimana?

Aku memandang berkeliling, mencari celah yang mungkin bisa digunakan untuk kabur.
Sayang sekali, satu-satunya pintu keluar adalah di belakang Vampir haus darah dan
Soul Eater abnormal itu. Berarti kesempatan untuk kabur nyaris tak mungkin.

“Ada apa, Louie? Kau berniat untuk kabur?”

“Sayang sekali, tapi di ruangan ini sihir tidak bisa digunakan.”

“Ada segel di sini.”

“Begitu, ya?” tanya Louie, nadanya hampa. “Sayang sekali. Apa segel itu juga berlaku
bagi kalian?”

Douglass tersenyum licik. “Hebat sekali, seperti biasa kau bisa langsung mengenali
taktik kami. Sayang sekali, segel itu tak berlaku bagi kami, jadi kalian sebaiknya
jangan mencoba bermain sekarang.”

Aku menghembuskan nafas kesal. Kalau begitu aku tidak bisa membangun tembok
pelindungku di sini. Tapi aku tak bisa mempercayai orang ini begitu saja, maka aku
dengan keras kepala mencoba untuk membangun diding pembatasku.

Dengan kaget aku menyadari kalau aku bisa membangun tembokku. Apa segel sihir yang
tadi dikatakannya itu hanya bohong?

Sepertinya tidak. Louie benar-benar tidak bisa menggunakan sihirnya di sini. tapi
entah karena alasan apa, aku bisa. Mungkin sihir punya beberapa tipe berbeda dan
mereka hanya menggunakan segel untuk tipe yang digunakan Louie?

Mungkin. Itu artinya kalau aku nekat, mungkin aku bisa membuat mereka melepaskan
kami. Sepertinya mereka tidak memperhitungkanku. Mungkin mereka kira kekuatan siirku
belum bangkit.

Salah besar. Aku malah selalu menggunakannya.

Selama ini aku selalu menggunakan sihir untuk perlindungan, kini aku merasa harus
menyerang. Tapi bagaimana? Tak ada yang memberitahuku caranya. Tak ada yang
mengajariku bagaimana.

Lucas meremas pundakku lembut. Aku menoleh padanya, ia memandangku dengan tatap
serius. Ia mengangguk kecil.

“Ah, lihat ini. Sang Putri dan Ksatria bersatu. Sungguh beruntung kau membawa
mereka, Luoie. Kini kami bisa mengambil mereka secara bersamaan.”

Aku merasakan ketakutan mulai membuncah di dadaku. Aku meruntuhkan tembok
pelindungku, berharap Louie mengambil ketakutanku. Aku tak mau merasa takut di saat
seperti ini. Waktunya tidak tepat untuk merasa takut.

Tepat seperti dugaanku, Louie menghisap ketakutanku. Aku menatap ke belakang
punggung Arthur dan Douglass, mengira-ngira, berapa jauh kami dengan kebebasan.

“Kenapa kalian menginginkanku dan sepupuku?” tanyaku pada mereka. Aku ingin lebih
mengulur waktu.

“Karena legenda.”

Aku mendengus. “Bisakah kau menjelaskannya dengan lebih spesifik? Legenda apa,
kenapa?”

“Sungguh putri cilik yang berani,” Douglass mendekatiku, mengangkat daguku. “Sangat
berani. Tapi keberanian itu bodoh, kau tidak tahu apa yang bisa kami lakukan padamu
kalau...”

Lucas meremas lengannya. “Singkirkan tangan kotormu dari saudariku,” katanya dengan
tatap mata yang menyatakan bahwa ia siap membunuh Vampir itu.

“Douglass, aku menyarankan kau jangan bermain dulu sekarang,” kata Arthur sambil
menarik Douglass mundur. “Bocah itu serius.”

Lucas menatapnya sesaat, lalu membuang muka.

“Legenda menyebutkan kalau akan ada seorang Putri yang menyelamatkan negeri Emotion
Eater saat negeri itu akan hancur. Dan Putri itu akan didampingi oleh Ksatria
penyelamatnya. Setelah dicari, ternyata dua orang itu adalah kalian berdua. Sayang
sekali, Louie sudah menjemput kalian terlebih dahulu. Padahal bila negeri Emotion
Eater selamat, kami tidak akan mencapai tujuan kami.”

“Dan apa tujuan itu?” tanyaku, sambil memikirkan cara untuk kabur.

“Tujuan itu... adalah untuk menguasai kekuatan yang selama ini selalu disembunyikan
oleh mereka para kaum pemakan emosi.”

Arthur menatap Louie tajam. “Kekuatan yang seharusnya menjadi milik bersama.”

Louie kini tampak lemah, tidak seperti biasanya. “Kau tidak mengerti. Kekuatan itu
bukanlah jenis kekuatan yang bisa dipakai untuk dua klan yang berbeda. Klan kita
memang bersaudara, tapi berbeda. Kalau dipaksakan, kedua klan bisa hancur.”

“Bohong!” seru Douglass marah. “Klanmu, klan Emotion Eater, dan klan Dream Eater,
kalian menggunakannya bersama!”

Louie menggeleng. “Tidak. Kami bekerjasama, itu benar. Tapi yang enggunakan kekuatan
itu hanya klan Emotion Eater. Bila klan Dream Eater kitu menggunakannya, kami akan
hancur bersama. Pemimpin klan mereka mengetahuinya, dan memilih untuk mengalah pada
klan kami.”

“Kebohongan yang kauucapkan itu takkan selamanya bisa bertahan,” kata Douglass.

Louie melirikku dengan tatap hampa, tapi secercah cahaya dalam matanya seakan
memohon.

Aku harus kabur sekarang, aku tahu.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan berkonsentrasi. Selama ini untuk membangun tembok
pelindung, aku membayangkan adanya tembok pemisah antara aku dengan emosi orang.
Kini aku membayangkan kalau Arthur dan Douglass terbelit oleh tali yang memang
tergantung di atas, di langit-langit. Aku membayangkan mereka terbanting, terjatuh,
dan akhirnya aku bisa kabur bersama Louie dan Lucas.

Sekarang!

*

Aku merasakan hawa kebebasan menyeruak masuk ke dalam nadiku. Menyenangkan sekali
setelah akhirnya bisa bebas.

“Mereka bodoh,” kata Lucas sambil tertawa senang. “Mereka tidak menjaga ruangan kita
dengan penjaga lain. Hanya mereka sendiri.”

“Tapi mereka menjaganya dengan sihir,” kata Louie pelan.

“Eh?”

“Mereka menjaganya dengan sihir. Kita berkali-kali nyaris terkena sihir itu tadi,”
kata Louie lagi. Ia tampak kelelahan dan kehampaan yang melingkupinya tampak makin
menebal.

“Apa kau...”

Pertanyaanku tak kuselesaikan karena mendadak Louie roboh ke depan. Dengan cepat
Lucas menahan tubuhnya.

“Aku butuh emosi,” kata Louie, wajahnya seputih kertas.

“Ambil milikku,” kataku dan Lucas bersamaan.

Aku meruntuhkan tembok pertahananku, dan kecemasanku menghilang begitu saja. Louie
memejamkan mata, kini kulitnya kembali dialiri warna.

“Terima kasih,” bisiknya, lalu berusaha duduk. Lucas membantunya, sambil memandang
Louie dengan tatap hampa. Mungkin dia sendiri masih belum menutup kehampaannya dulu.

Aku memandang langit yang kini mulai memerah, malam mulai beranjak. Aku menyadari
kalau tadi Arthur dan Douglass belum menjelaskan apa kekuatan yang dimiliki oleh
para Emotion Eater itu.

Kekuatan apa itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar