Kamis, 04 November 2010

Treasure Hunters

“Serang!!!”

Ledakan teriakan, bunyi pedang beradu. Aku menutup wajah dengan sebelah tangan.
Kenapa aku jadi terjebak di situasi ini? Di antara perebutan harta para bajak laut.
Itu memang benar kalau aku adalah putri dari kapten kapal, tapi apakah aku harus
ikut bertarung juga?

Kutu busuk!!! Sepertinya aku memang harus bertarung kalau tidak mau berubah jadi
ikan panggang. Sial. Aku segera mencabut rapierku, pedang tipis panjang ringan yang
serangannya begitu cepat karena ringan dan tipisnya, lalu mengayunkannya untuk
melindungi diri.

“Amethyst! Awas!”

Aku mengayunkan rapierku ke arah kiri, menghajar bajak laut musuh dengan kuat. “Aku
tahu, Ayah! Aku tidak buta!”

Setelah beberapa lama akhirnya kelompok bajak laut musuh yang menyerang kapal kami
berhasil dilumpuhkan. Awak kapal mereka menjadi awak kapal kami. Kapten bajak laut mereka mati di tangan ayahku. Sedangkan putra bajak lautnya, Jasper, yang seumuran denganku, baru lima belas tahun, terpaksa menjadi awak kapal biasa.

Aku menatap pemuda itu. Bisakah ia menerima posisinya sekarang sebagai awak kapal biasa?

*

Jawaban: bisa. Tapi ada satu masalah. Jasper terlalu dingin.

Dia cekatan. Berenang cepat dan kuat, memanjat tiang kapal dengan lincah seperti
monyet, bisa memasakkan makanan bagi kami semua kalau koki kapal kami sakit. Tapi
sayangnya ia begitu dingin. Pernah sekali aku jatuh di tangga, ia sama sekali tidak
menolongku. Menolehpun tidak! Manusia macam apa dia?! Apa sih warna darahnya?!!

“AMETHYST GEMS!!!”

Aku merasakan bulu tengkukku berdiri tegak. Hanya ada satu alasan kalau Ayah
memanggilku dengan nama lengkapku seperti itu. Dia marah!

“JASPER CAIN!!!”

Tunggu dulu. Jasper juga dipanggil? Apa yang dilakukannya?

Aku berjalan terseok-seok menuju kabin ayahku. Jasper ada di belakangku.

“Kalian berdua,” kata Ayah bahkan sebelum aku sempat mengetuk pintunya, “cepat ke
ruang senjata dan poles semua senjata! Aku sudah menyuruh kalian melakukannya sejak
tadi malam, tapi kalian belum melakukannya!”

Aku menepuk dahi. Aku lupa.

Jasper menarik kerah bajuku dan menyeretku ke ruang senjata.

“Lebih baik poles semuanya sebelum kemarahan ayahmu makin membesar,” kata Jasper
sambil mengambil lap dan mulai memoles pedang.

Aku mengangguk kecil dan memoles salah satu scimitar.

Begitu lama kami terjebak di ruang senjata, memoles entah pedang, pistol, belati,
segala macam senjata. Setelah sekian lama Jasper mulai tampak bosan. Ia mengambil
salah satu pedang yang belum dipoles dan memainkannya.

“Mau coba melawanku?” tanyanya dengan wajah datar.

Aku mengangkat bahu. “Kenapa tidak?”

Dengan falchionnya, Jasper mulai bersiap untuk menyerangku. Aku tetap setia pada
rapierku, dan dengan bangga hati kuberitahu kalian kalau aku tetap menggunakan
pedang tipis itu. Rapier adalah satu-satunya pedang yang bisa benar-benar cocok
denganku.

Lalu, dengan cepat dan tanpa peringatan, Jasper melancarkan serangan padaku.

Dengan cepat aku menghindar. Serangan kulancarkan padanya.

Seharusnya ini bukanlah pertarungan serius, tapi entah bagaimana kami malah terlibat
dalam pertarungan serius. Serangan, tangkisan, teriakan, bunyi pedang beradu. Dengan
segera kami dikelilingi para awak kapal yang meninggalkan pekerjaan mereka masing-
masing untuk mencari tahu apa yang terjadi karena suara teriakan kami begitu keras.
Dua kubupun segera terbentuk. Kubu pendukungku dan kubu pendukung Jasper.

Setelah sekian lama bermain pedang, aku dan Jasper memutuskan untuk mengakhiri
pertarungan ini. Ujung pedangku ada di bawah dagunya, ujung pedangnya di bawah
daguku.

“Seri,” kata Jasper datar.

Aku hanya mengangguk. Aku menurunkan pedangku, ia menurunkan pedangnya. Semua awak
kapal mengeluh kesal.

“Jadi tidak ada pemenangnya?”

“Membosankan!”

“Terlalu.”

“Lalu untuk apa kita ke sini?”

“Memangnya siapa yang menyuruh kalian ke sini?” tanya Jasper dingin.

Aku mendesah. “Bisakah kau bersikap sedikit lebih ramah?”

Jasper hanya diam.

*

Lagi-lagi kerja rodi.

Lagi-lagi kerja rodi bersama Jasper.

Lagi-lagi kerja rodi bersama Jasper yang pendiam, dingin, dan cuek setengah mati itu.

Kenapa lagi-lagi kerja rodi bersama dia?

Kali ini kami harus membersihkan kabin kapten. Bukan kabin tempat Ayah tidur, tapi
kabin tempat Ayah biasa merencanakan tujuan berlayar, arah, segala macam. Kali ini
kerjanya lebih berat dan mengesalkan. Kabin ini begitu kotor! Begitu penuh debu. Ke
mana hilangnya Cody si tukang bersih-bersih yang amat telaten itu di saat ia
dibutuhkan? Ah, aku lupa kalau dia sudah menjadi dendeng kering di pulau terpencil
karena menentang Ayah saat Ayah menyuruhnya membunuh bajak laut musuh dulu.
Marooned. Cody yang malang.

“Lebih cepat menyelesaikan pekerjaan ini, lebih baik,” kata Jasper.

“Itu sih aku juga tahu,” gerutuku kesal. Aku mulai membersihkan lemari yang berisi
peta pelayaran Ayah.

“Aku hanya menegaskan.”

Aku berkacak pinggang. “Tidak bisakah kau bersikap lebih ramah sedikit? Lebih
bersimpati? Karaktermu yang terlalu dingin itu bisa membuat orang…”

BRUKKK!

“AW!”

Aku jatuh terduduk, mengelus-elus puncak kepalaku. Benda keparat apa yang sudah
menjatuhi kepalaku tadi? Auw. Sakit sekali. Apa sih yang menjatuhi kepalaku? Apa
isinya? Batu bata?

Jasper melangkah ke arahku dan berlutut di sampingku. Tapi bukannya menolongku
manusia berdarah dingin itu malah meraih kotak yang tadi menjatuhi kepalaku. Kotak
itu terbuat dari kayu ringan, tapi isinya jelas berat. Aku mencoba membukanya tapi
kotak itu terkunci. Gemboknya sama sekali tidak mau berkompromi dengan jepit
rambutku. Akhirnya Jasper yang kehabisan kesabaran (punya sabar juga dia ternyata,
kukira dia datar sama sekali) mengambil pisau lipatnya dan menjebol gembok itu. Kami
membuka kotak itu dan terdiam.

Bola emas berukir perak. Kompas aneh berwarna perak yang jarumnya rusak. Kalau
kompas biasa selalu menunjuk ke arah utara/selatan, kompas ini jelas rusak. Ia tidak
menunjuk ke arah manapun. Hanya berputar-putar tak tentu arah seperti kompas di
kutub utara. Dua pisau lipat tembaga berukir.

Aku menatap bola emas berukir perak itu. Tanganku bergerak untuk menyentuhnya. Di
saat bersamaan Jasper juga menyentuh bola itu.

Begitu jemari kami menyentuh bola itu, sesuatu yang aneh terjadi. Rasanya kami
berdua seperti dihisap masuk ke dalam bola itu. Aku menjerit, Jasper berteriak.
Begitu kami merasa kaki kami menjejak bumi lagi, segala macam sumpah serapah segera
meluncur keluar dari mulut kami.

“Kutu busuk!!!” seruku kesal. “Apa itu tadi?!”

Jasper tidak menjawab. Itu sih aku tidak heran, toh dia memang terlalu diam. Tapi
yang membuatku kaget, ia hanya berdiri diam dengan mulut ternganga. Berbeda dengan
sikanya yang biasanya selalu memberikan kesan berinteligensi tinggi.

“Jasper?”

Jasper menunjuk ke depan dan aku memekik. Tadi kami ada di kabin kapten, sekarang
kami ada di hutan belantara. Apa ini?

“Ini…”

Mendadak segala pandangan kami serasa berubah. Rasanya seperti kau diseret ke arah
depan dengan begitu cepat sehingga pandangan ke depan berubah menjadi suatu
perspektif yang aneh, tapi sensasi diseret itu tak ada. Kami mendekat ke arah gunung
dan… masuk ke dalamnya. Menebus tanah. Tapi tak ada yang kurasakan, tak ada tanah
yang menempel padaku, tak ada cedera yang kuderita, dan aku masih bisa menghirup
udara luar. Rasanya seperti semua ini hanyalah ilusi.

Kemudian, kilatan emas muncul di depan mata kami. Jutaan – bukan, milyaran – koin
emas tersebar di mana-mana. Segala macam perhiasan tersebar di sana-sini. Pedang,
baik scimitar, falchion, cutlass, rapier, atau pedang jenis apapun, tergantung di
dinding-dinding batu. Belati dan pisau berserak di dekat dinding. Amat banyak batu
mulai berserakan di antara koin-koin emas.

“Harta?”

Setelah aku mengucapkan kata itu, segalanya seperti ditarik mundur. Aku kembali
menembus tanah di gunung, menembus segala macam pepohonan, dan kini bahkan ditarik
menjauh sampai ke laut. Jauh, jauh, jauh…

Aku mengerjap. Kini kami ada di pulau lain lagi. Mirip dengan pulau pertama, tapi
berbeda. Di pulau ini rasanya segalanya terasa lebih… berjiwa. Tiap pohon serasa
seperti mengawasi, tiap daun serasa seperti mengamati, tiap embusan agin serasa
seperti menertawai. Aneh.

Lalu, di sana, jauh di sana, kami melihat ada cahaya mungil. Kami mendekat ke arah
cahaya itu.

Kami mencapai suatu tempat terbuka. Ada semacam podium batu besar, seperti panggung.
Dua titik cahaya melayang di atasnya.

Dua titik cahaya. Satu berwarna keemasan, satu lagi keperakan. Yang keemasan melesat
masuk ke dada Jasper, yang keperkana melesat masuk ke dadaku. Lalu aku merasakan ada
sesuatu yang aneh. Rasanya ada dorongan mendesak untuk pergi ke pulau harta itu. Apa
aku haus akan kekayaan?

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Kegelapan di sekelilingku serasa mencoba meredam
dorongan itu. Saat aku membuka mata kembali, aku sudah kembali berada di kabin
kapten, jemari masih menempel di bola berukir itu, begitu pula jemari Jasper.

“AMETHYST GEMS, JASPER CAIN!!!”

Aku mengerjap, membeku. Itu suara Ayah.

Aku dan Jasper menoleh ke arah pintu. Ayah berdiri di sana, matanya berkilat-kilat
karena kemarahan. Aku meneguk liur. Sepertinya kali ini aku akan benar-benar berubah
jadi ikan panggang. Atau makanan hiu. Entahlah.

“Kenapa kalian tidak membersihkannya dengan cepat?” tanya Ayah. “Ini sudah dua jam
dan kalian hanya duduk diam di situ, berpegangan tangan, melamun. Kalian benar-
benar… Tunggu. Apa itu yang kalian pegang?”

Serentak aku dan Jasper mengalihkan pandang ke arah jemari kami.

Bola itu masih ada di bawah jemari kami. Aku menarik tanganku dan menunduk mengamati
bola itu. Emas, berukir perak. Ukirannya menggambarkan peti harta dan tanaman
merambat.

Ayah mengambil bola itu dan mengamatinya. Ia memutar-mutar bola itu di telapak
tangannya.

“Dari mana kalian mendapatkan ini?” tanya Ayah.

“Dari situ,” kata Jasper sambil menunjuk kotak tempat kami mengambil bola itu.

Aku mengambil bola itu dari tangan Ayah dan mengamatinya lagi. Aku melihat sesuatu
yang tadi tidak tertangkap oleh mataku: tombol. Kecil dan nyaris tak terlihat. Aku
menekannya.

Bola itu terbuka. Di dalamnya ada secarik perkamen kumal. Aku mengambilnya dan
membuka lipatannya.

“Dia, atau mereka, yang telah menyentuh bola ini untuk pertama kalinya tentulah
sudah mengetahui adanya harta yang kusembunyikan,” bacaku keras. “Dan dia, atau
mereka, yang telah menyentuh bola ini untuk pertama kalinya akan dibekali insting
untuk memandu arah mereka walau sebetulnya mereka sendiri tak mengerti di mana
hartaku kusembunyikan. Kompas yang tampak seperti rusak inipun akan membantu karena
ia selalu menunjuk ke arah pulau harta itu. Kuwariskan hartaku pada ia yang pertama
kali menyentuh bola ini. Carilah dan temukanlah, harta itu milikmu. Tapi berhati-
hatilah terhadap jebakan yang mungkin menghadang. Jonathan Gems.”

Ayah menatapku dan Jasper tajam. “Dan yang pertama menyentuhnya adalah,…?”

Aku menunjuk Jasper. Jasper menunjukku.

Ayah mengangkat sebelah alisnya.

Aku mendesah. “Kami menyentuhnya secara bersamaan.”

Ayah mengangguk. “Baiklah, kalau begitu tunggu apa lagi? Kita segera berlayar.”

“Ke mana?” tanyaku dan Jasper bersamaan.

Ayah menatapku seakan aku orang bodoh. “Ke mana lagi? Kita buru harta kakek buyutmu.
Ayo, tunjukkan jalannya.”


*


Aku memejamkan mata dan merasakan angin berhembus di sekelilingku. Ke mana arahnya?

“Ke sana,” kata Jasper, menunjuk ke arah timur.

Aku mengambil kompas rusak itu. Jarumnya berputar lemah dan menunjuk ke arah timur,
lalu berputar lagi, menunjuk ke timur lagi, terus menerus mengulang pola yang sama.

“Timur,” kataku pada Brad yang memegang kemudi kapal.

“Aye, timur,” kata Brad sambil memutar kemudi ke arah timur.

Ayah menatapku tajam. “Apa sudah ada anak buah yang tahu tujuan pelayaran ini?”

“Sepertinya belum,” jawabku.

“Memangnya kenapa kalau mereka tahu?” tanya Jasper dengan wajah datar, menatap
kosong ke lautan bebas.

“Kadang kalau sudah menyangkut masalah seperti ini, awak kapal bisa kehilangan
loyalitas pada kaptennya,” kata Ayah. “Mereka berpura-pura tetap loyal pada kapten
mereka tapi sebetulnya bergantung pada orang lain yang mereka anggap bisa menjadi
pemimpin yang lebih baik dan berbalik menyerang kapten sebelumnya untuk menguasai
harta itu.”

Jasper membeku. Sesaat ia tampak panik. Namun lalu ekspresi itu menghilang
digantikan kedataran seperti biasanya.

“Apa?” tanya Ayah yang memang memiliki mata setajam elang. “Apa kau tahu akan ada
pemberontakan? Apa ada awak yang berusaha mengambil alih kekuatan?”

Jasper menggeleng lalu berlalu. Ia memanjat tiang kapal dan duduk di atas. Aku
mengerjanya dan menyusulnya dengan bingung.

“Kenapa?” tanyaku padanya.

“Bukan apa-apa.”

“Kalau memang bukan apa-apa kau tidak akan kabur begitu dari ayahku. Ceritakan saja.”

Jasper menatapku dengan tatap datar. “Kau bisa menjaga rahasia?”

Aku mengangguk mantap.

“Kemarin malam, sebelum memulai pelayaran baru ini, koki kapal mengumpulkan semua
awak dan memberitahu masalah harta itu,” katanya pelan. “Ia menguping pembicaraan di
kabin itu. Semua awak setuju untuk memberontak. Mereka memintaku untuk menjadi
pemimpin mereka. Kau tidak diberitahu karena mereka khawatir kau lebih memilih
loyalitas kepada ayahmu daripada harta itu.”

“Tentu saja aku memilih ayahku!” bisikku agak kesal. “Tapi kau…?”

Jasper menggeleng. “Aku juga lebih memilih loyalitas. Memang benar ayahmu sudah
membunuh ayahku dan kalau mau terus terang aku masih sedikit kesulitan untuk
menerimanya, tapi dia adalah kapten terbaik yang pernah kujumpai. Bahkan ayahkupun
tak sebaik dia, aku harus mengakuinya. Aku tak akan bisa memimpin sebaik dia. Hanya
saja kalau begini caranya, aku terpaksa menerima tawaran itu karena kalau tidak koki
kapallah yang akan mengambil posisi itu. Jadi aku mengambil posisi sebagai pemimpin
mereka. Tapi aku akan berusaha menipu mereka. Pada akhirnya aku pasti akan tetap
setia pada ayahmu, aku janji.”

Aku menatap Jasper lekat.

“Apa?”

“Baru kali ini aku mendengarmu bicara panjang lebar begini.”

Wajah Jasper memerah malu. “Itu…”

Aku menepuk bahu Jasper. “Aku paham keputusanmu. Santai saja, mulutku tertutup
rapat. Jadi, ke mana arahnya selanjutnya?”

*

CLANG!

“Amethyst! Hati-hati langkah kakimu!”

Aku mengertakkan gigi dan menyerang lagi sekuat tenaga. Ayah sulit dirontokkan, tapi
guru pedang terbaik yang pernah kutemui ya ayahku seorang. Jadi aku tetap berusaha
menyerangnya.

“Aaaaakh!!!”

GEDUBRAK!!!

Adow, adow, adow… sakit. Kenapa bisa jatuh, sih?

Ayah menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal. Ia lalu berbalik pada Jasper dan
mulai melatihnya.

Harus kuakui, Jasper bagus. Refleksnya bagus, kecepatan dan ketepatannya terasa
seperti sudah direncanakan sejak ratusan tahun lalu. Tapi ia tidak bisa melawan
Ayah. Setelah beberapa saat ia juga terjatuh.

“Masalah kalian sama,” kata Ayah. “Kalau sudah berkonsentrasi untuk mengalahkan
seseorang, keseimbangan kalian kacau. Dasar. Kalian perlu latihan khusus.”

*

“Ayah…?”

“Apa?”

“Ayah yakin latihan di sini aman?”

“Tentu saja. Ini kapalku.”

“Bukan itu maksudku… maksudku, di sini?”

“Oh. Ya, tentu saja.”

“Di tiang layar begini?”

“Ya. Dulu kakekmu juga melatihku seperti ini.”

Berdiri di tiang layar yang memang kokoh dan horizontal memang mudah, walau agak
kesulitan untuk menyeimbangkan diri di saat kapal bergoyang atau ada angin kencang,
tapi berlatih pedang di tempat seperti ini? Kalau jatuh bisa bablas sampai ke surga,
nih… Ayah pasti bercada. Sayangnya, dia serius.

“Tunggu apa lagi?!” tanya Ayah dengan wajah sangar. “Sana mulai latihan, kalian
berdua! Cepat!!!”

Mendengar Ayah bicara dengan nada seperti itu, aku dan Jasper segera mengambil
posisi dan mulai berlatih pedang, dengan kecepatan jauh lebih pelan dari biasanya
karena usaha kami untuk menyeimbangkan diri.

Aku menangkis serangan Jasper dengan cepat, lalu segalanya berubah tak terkontrol.

Baik aku maupun Jasper kehilangan keseimbangan karena ombak yang menghantam sisi
kapal. Kami terlontar jatuh. Jasper berhasil menahan jatuhnya dengan bergantung pada
tali layar, tapi sungguh menyedihkan, aku sendiri tidak sempat menyambar apapun
untuk menahan jatuhku.

“Amethyst!!!”

Aku tak dapat bicara, aku tak dapat bersuara, aku tak dapat menjerit, aku terlalu
takut. apa yang akan terjadi kalau kepalaku menghantam kapal? Apa aku akan mati? Apa
aku akan selamat tapi lumpuh? Apa aku akan gegar otak? Apa yang akan terjadi padaku?

Aku memejamkan mata rapat dengan ketakutan, mulutku terbuka dalam jeritan bisu.

BRUK!!!

Apa aku masih hidup? Apa aku baik-baik saja? Sepertinya begitu, karena aku tidak
merasa sakit sama sekali. Aku bisa merasakan tubuhku ada dalam pelukan seseorang.
Aku membuka mata perlahan.

“Phyton?” kataku pelan.

Phyton, salah satu awak kapal, (nama aslinya aku tidak tahu, penggunakan nama
julukan seperti itu biasa) menatapku dengan tatap kaget.

“Aku baru tahu kau bisa terbang, Ame,” katanya sambil menurunkanku dari pelukannya.

Aku mendesah dan berjongkok penuh rasa syukur. “Hah. Terima kasih sudah menangkapku.
Kupikir aku akan mati tadi.”

“Amethyst!”

Aku menoleh. Jasper melepaskan tali yang dituruninya sekitar semeter dari lantai
kapal lalu melangkah menghampiriku.

“Kau tak apa?”

Aku mengangguk, menunduk. “Aku masih hidup. Untunglah. Aku tidak mau mati muda.”

“Memangnya ada yang mau?” tanya Phyton agak lemot.

Aku menatapnya dengan tatap datar, lalu berpaling kembali.

“Amethyst…”

Aku menoleh. Ayah menatapku dengan tatap yang tak bisa kudefinisikan apa artinya. Ia
hanya menatapku dengan tatap itu selama beberapa detik.

Lalu, mendadak, ia memukul kepalaku keras.

“AUW!!! Ayah, itu sakit!!!” protesku sambil memegangi titik di mana Ayah memukulku.

“Kau bisa memperkirakan betapa cemasnya Ayah tadi?” tanya Ayah mendadak, membuatku
terdiam. “Kau bisa pikirkan betapa Ayah takut Ayah akan kehilanganmu seperti ayah
kehilangan ibumu? Tak bisakah kau sedikit lebih berhati-hati?”

Aku hanya bisa diam. Apa yang bisa kukatakan? Aku tak pernah merasakan adanya
kehilangan yang begitu besar. Itu memang benar Ibu sudah meninggal saat aku
dilahirkan, tapi aku tak pernah mengenalnya selain dari cerita Ayah, maka aku tidak
merasakannya sebagai kehilangan yang besar. Dan itu memang benar Cody si pesuruh
sudah berubah menjadi dendeng kering di pulau terpencil, tapi keberadaannya
seringkali tidak disadari dan tak terasa, maka itupun tidak bisa kusebut sebagai
kehilangan yang benar-benar besar.

Ayah menepuk kepalaku lembut lalu berlalu ke kabinnya.

*

“Kehilangan,” bisikku pelan.

Angin malam berhembus, mempermainkan rambutku, seakan ingin menyatakan kata
‘kehilangan’ yang sama.

Apa arti kata ‘kehilangan’? Bagaimana rasa ‘kehilangan’ itu sebenarnya? Apa kelak
aku juga akan merasakan suatu ‘kehilangan’? Tapi ‘kehilangan’ akan apa?

“Hei, sedang apa kau malam-malam begini di sini?”

Aku menoleh. Phyton.

“Kau sendiri?”

Ia tersenyum. “Hanya ingin berpatroli. Sedang memikirkan apa?”

“Tahu dari mana aku sedang memikirkan sesuatu?”

“Kelihatan dari tampangmu, tahu. Kau memikirkan apa sebenarnya?”

Aku mendongak menatap langit malam yang gelap. Beberapa bintang tampak berkelip
padaku. “Kehilangan.”

“Kehilangan?”

“Benar,” aku berbalik menghadapi Phyton. “Apa sebenarnya yang dimaksud dengan
‘kehilangan’? bagaimana rasanya? Sakitkah? Dan… ke mana perginya mereka yang sudah
‘hilang’ itu?”

Phyton menatapku dengan wajah bingung. “Kenapa kau memikirkan hal-hal membingungkan
seperti itu?”

“Hanya memikirkan kata-kata Ayah tadi.”

“Hm…” Phyton tampak memikirkannya. “’Kehilangan’? Aku tak bisa menjelaskannya dengan
baik karena ini bukanlah jenis hal yang bisa kaupahami kalau kau belum mengalaminya
sendiri. Tapi…”

“Tapi?”

Phyton tersenyum pahit. “Percayalah, kau akan merasa lebih baik kalau tak pernah
mengalaminya.”

Aku menatapnya bingung. “Kenapa?”

Phyton hanya tersenyum. “Kelak kau akan tahu, Amethyst. Karena cepat atau lambat,
kau akan merasakan kehilangan. Kehilangan yang besar. Dan aku yakin itu akan terjadi
tak lama lagi.”

Aku membeku. Tak lama lagi? Apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu? Apa dia
bergabung juga dengan para pemberontak kapal itu? Siapa sebetulnya pemimpinnya?

Aku mengerjapkan mata. Ah, ini terlalu banyak untuk kupikirkan. Sudahlah, mungkin
sebaiknya aku tidur saja.

*

Sardon

Sardon sang kapten kapal melangkah pelan tanpa suara ke kabin putrinya. Ia membuka
pintu perlahan.

Gadis itu tengah berbaring miring. Rambut merah keunguannya yang panjang tergerai
berantakan di bantalnya. Rambut warisan dari ibunya itu tampak mirip dengan
amethyst, batu yang namanya digunakan untuk nama gadis itu.

“Kelak kau akan tahu apa itu kehilangan, Nak,” bisik Sardon sambil membelai rambut
putrinya lembut, lalu berbalik dan keluar dari kabin itu.

*

Amethyst

“Sejak dulu sebetulnya aku ingin menanyakan hal ini padamu…”

Aku menatap Jasper. “Apa?”

“Kenapa kau bisa ada di atas kapal ini?”

Aku mengerjap.

“Yah…” Jasper mengusap tengkuk, tampak tak nyaman. “Masalahnya banyak perompak yang
menganggap kehadiran seorang perempuan di kapal akan membawa petaka. Kapal karam,
badai, menghantam karang, sebut saja semuanya. Tapi sepertinya tak ada masalah
tentang kehadiranmu di sini.”

Aku tertawa. “Dulu juga para awak sepertinya cemas. Aku masih ingat mereka
merencanakan pemberontakan saat tahu Ayah ingin membawaku, tapi setelah beberapa
lama aku di kapal dan tak terjadi apapun, mereka akhirnya menganggap kepercayaan itu
hanya takhayul saja. Untunglah. Aku tak mau jadi makanan hiu.”

“Bicara apa di sini?” tanya Ayah yang mendadak muncul. “Sana cepat panjat tiang
kapal. Latihan pedang lagi seperti kemarin. Kali ini lebih berhati-hati, aku tak mau
ada yang jatuh lagi.”

Aku mendesah. Kalau masalah latihan Ayah tak pernah mau kompromi.

*

Aku mengernyitkan dahi.

“Ayah, ini sih bukan latihan pedang.”

“Memang bukan, ini latihan keseimbangan. Cepat jalan.”

Aku berusaha menyeimbangkan diri, berjalan di sepanjang dinding batas kapal. Oleng
sedikit saja, aku bisa jatuh ke laut.

Hebat… dari mana Ayah dapat ide untuk memakai program latihan macam ini?

“Jasper!!! Kau juga naik, cepat!!!” raung Ayah pada Jasper yang angsung segera
memanjat naik dan mulai berjalan menyusulku.

Aku berusaha menjaga keseimbangan supaya tidak terjatuh. Baik ke laut maupun ke
lantai kapal. Aku merasa Ayah mulai sedikit keterlaluan soal ini. Apa latihan
keseimbangan macam ini memang benar-benar perlu?

Tunggu. Apa aku melihat suatu titik di kejauhan? Pulau?

“Amethyst! Konsentrasi!”

“Ah…”

“Apa lagi sekarang? Aku menyuruhmu untuk berkonsentrasi!”

“Kurasa aku melihat pulau di depan.”

Ayah membeku sedetik, lalu segera bertindak.

“Pat! Cepat cek, apa benar ada pulau di depan!”

“Aye, memang benar! Pulau itu cukup kecil, tapi kita bisa berlabuh di sana.”

“Kalau begitu cepat!”

*

“Pulau ini…”

“Apa ini pulau yang menjadi tempat menyembunyikan harta itu?” tanya Ayah.

“Bukan,” jawabku dan Jasper bersamaan.

“Tapi pulau ini tampak familier,” kata Jasper. “Apa ini pulau di mana kita mendapat
dua titik cahaya itu?”

Aku mendongak dalam diam dan mengamati sekelilingku, lalu mengangguk. “Kurasa
begitu.”

Aku melangkah melintasi hutan. Melewati jalan-jalan yang menurutku akan membawaku ke
tempat di mana dulu aku dan Jasper mendapat dua titik cahaya itu.

Podium yang sama menyambutku. Tapi kini tak ada titik cahaya yang kulihat.

“Tempat ini…”

Aku tersenyum pada Jasper. “Ya. di sini.”

Aku melangkah maju ke arah podium itu. Aku mengamati lantainya.

Aku menegang. Aku berjongkok dan mengamati lantai itu lekat-lekat.

“Amethyst?”

“Ada ukiran di lantai posium ini,” kataku sambil meraba ukirannya. “Gambar… tulisan…”

“Apa maksudmu?”

“Ia yang dapat menemukan cahaya di balik batu ini akan bisa mencapai harta tanpa
mengarungi lautan,” bacaku. “Tak ada lagi penantian berbulan-bulan. Masuki lorong
batu dan lewati terowongan licin. Pada akhirnya kau akan melihat kilatan emas yang
kaucari.”

Aku berpandangan dengan Jasper. “Jalan pintas.”

Ayah melangkah mendekati kami. “Jasper, panggil semua awak kapal ke sini. Kalau ini
memang benar jalan pintas, sebaiknya kita melewati jalan yang lebih cepat.”

“Aye,” kata Jasper yang segera melesat untuk mengumpulkan semua awak kapal.

“Amethyst, cobalah untuk membuka pintu rahasia ini.”

“Tak semudah itu,” kataku.

“Apa?”

“Aku bilang, tak semudah itu. Ada semacam teka-teki di sini. Aku butuh waktu untuk
memecahkannya.”

“Cobalah kalau begitu.”

“Aku sedang mencoba memikirkannya.”

Aku menatap podium itu lekat. Gambar-gambar ini hanya ada di tengah. Gambar-gambar
acak yang seharusnya bisa disusun menjadi gambar sempurna. Puzzle. Tapi untuk
memecahkannya aku harus menggeser batu-batu ini. Dan kurasa kalau sudah benar gambar
yang tertera adalah sebuah… peta.

Aku segera mencoba memecahkan teka-teki itu. Geser ke kanan, kiri, kanan, kiri.
Setelah sekian lama akhirnya gambar itu tampak membentuk gambar yang lebih jelas.

Lautan membentang, pulau di sana-sini. Aku tak tahu di mana posisiku sekarang, tapi
entah kenapa aku merasa yakin kalau aku ada di pulau yang ada di sebelah kiri. Di
situ memang hanya ada dua pulau. Ukurannya kira-kira sama, dan terlihat begitu
kecil. Sepertinya ini memang pulau yang sangat kecil.

Teka-teki itu terpecahkan.

Seluruh podium itu bergetar keras. Aku melompat berdiri dan melangkah beberapa
langkah jauhnya dari posium batu itu. Sedikit demi sedikit podium itu mulai terbuka
diiringi suara ‘gruduk-gruduk’ keras. Akhirnya, seluruh permukaan lantai posium itu
terbuka sepenuhnya, dan di baliknya tampak tangga menuju ke bawah tanah.

“Kerja bagus,” kata Ayah, menepuk kepalaku. “Kita masuk!”

*

Suara langkah kaki mengisi udara. Tak seorangpun berbicara. Keheningan yang mencekam
di udara terasa menggantung. Kegelapan di depan mata tampak pekat walau cahaya obor
telah menerangi dinding-dinding batu di depan.

Setelah beberapa lama berjalan, kami mancapai suatu lorong bercabang dua.

“Kanan atau kiri?” tanya Jasper.

Aku memejamkan mata. Kanan atau kiri? Yang mana yang benar? Kurasa kanan. Tapi
bagaimana kalau yang kiri?

“Kita coba saja keduanya,” kataku sambil mengambil ketapel dari kantongku, juga
beberapa butir kerikil sebagai pelurunya. Aku menembakkan satu kerikil ke lorong
sebelah kiri dan satu peluru ke sebelah kanan. Setelah beberapa detik dari lorong
sebelah kiri muncul sekawanan serangga beracun.

“Kita ke kanan sekarang juga,” kataku dan Ayah bersamaan, lalu segera melesat ke
lorong sebelah kanan.

Setelah melewati lorong itu sekian lama, kami mencapai lorong bercabang lagi.

“Tengah,” kataku yakin. Jasper mengangguk.

“Kita coba saja.”

Kami semua melangkah ke sana. Tak terjadi apapun. Kami berada di jalur yang benar.

*

Setelah beberapa jam melintasi lorong-lorong itu kami mencapai sebuah danau. Di tengah danau itu ada pulau kecil yang berisi…

Emas! Perhiasan, senjata! Itulah hartanya!

Aku berbalik dengan senyum lebar di wajahku, tersenyum pada Ayah.

“Ayah…”

Aku membeku, senyumku menghilang. Tepat di depan wajahku, kulihat ayahku sendiri
melotot karena kaget, marah dan sakit, mulutnya terbuka tanpa suara, ujung pedang
mencuat dari perutnya. Dari belakang punggungnya dapat kulihat Brad si nakhoda
menyeringai lebar. Tak dapat diragukan lagi dialah yang telah menusuk Ayah. Ayah terjatuh, berteriak tanpa suara, warna merah mendominasi pakaiannya. Aku menekap mulutku erat. Mataku terbelalak menatap pemandangan di depanku. Suara Phyton terasa
terngiang di telingaku, mengulang kalimat yang dikatakannya dengan pelan, bergaung
dalam kepalaku, mengisi kekosongan yang ada, menekankan pemandangan mengerikan di
depanku, yang tampak berlangsung dalam gerak lambat.

“Kelak kau akan tahu, Amethyst. Karena cepat atau lambat, kau akan merasakan
kehilangan. Kehilangan yang besar. Dan aku yakin itu akan terjadi tak lama lagi.”

*

Ayah jatuh. Darah mengalir dari lukanya. Ujung pedang mencuat dari perutnya.

Aku menjerit keras, menekap mulut rapat-rapat, air mataku menggenang. Ayah! Ayah!
Brad! Brad membunuh Ayah! Tidak, ini pasti mimpi! Tapi kenapa ini tampak begitu
riil? Darahnya, tubuhnya, teriakan tanpa suaranya, ekspresi kesakitannya…

Tidak!!! Ayah tidak boleh mati sekarang!

“Ayah!” jeritku, melesat mendekati Ayah. Ia menatapku dengan tatap penuh penyesalan
dan menggenggam tanganku dengan jemarinya yang besar, kasar, gemetaran. Nafasnya
terengah tak keruan.

“Maaf…”

Aku merasakan air mataku merebak lagi. “Kenapa Ayah minta maaf? Jangan mati dulu,
Ayah! Jangan tinggalkan aku sendirian!”

“Maaf karena Ayah tidak pernah mendidikmu dengan baik,” kata Ayah dengan nafas
terengah. “Aku tak akan bisa hidup lama untuk mengatakan apapun, Amethyst. Tapi…
sadarilah kalau aku benar-benar menyayangimu. Temukan kehidupanmu sendiri…”

Jemari Ayah melemah dan terlepas dari genggamanku. Matanya kini terpejam rapat,
nafasnya tak lagi terdengar, denyut nadinya tak lagi terasa.

“Ayah…”

Ia tak menjawabku.

“Ayah… Ayah! Ayah!!!”

Ayah tak pernah menjawabku. Tak pernah lagi, tak akan pernah lagi.

Aku menangis tanpa suara. Inikah yang dimaksud dengan ‘kehilangan’? Perasaan inikah
yang disebut ‘kesedihan’? Mengapa rasanya begitu sakit? Mengapa emosi ini begitu
menyakitkan? Kekosongan yang terjadi, kenangan-kenangan yang terasa menari-nari di
balik pelupuk mata, kerinduan, kemarahan, segala emosi dan ingatan bercampur aduk
menjadi satu dan menyiksaku. Inilah ‘kehilangan’. Inilah ‘kehilangan besar’ yang
telah dikatakan Phyton padaku. Kini aku mengerti apa maksud ‘kehilangan’. Tapi
kenapa harus Ayah?

Fantasi kini berbaur dengan kenyataan. Bisakah aku membawa kehidupan kembali ke
mereka yang seharusnya sudah mati? Apakah aku bisa menghidupka Ayah lagi? Aku tidak
ingin berpisah dengannya, belum. Aku tidak mau Ayah pergi. Tidak. Tidak mau, tidak
akan pernah mau.

“’Kehilangan’,” isakku pelan. “’Kematian’. ‘Ketakutan’. ‘Kesedihan’. ‘Kemarahan’.
‘Perpisahan’. Semua itu… kenapa harus ada? Kenapa harus ada ‘kematian’,
‘kehilangan’, ‘kesedihan’, ‘kemarahan’? Kenapa? Kenapa?”

“Kau ingin bertemu dengan ayahmu lagi?”

Aku menoleh ke atas dan mendapati Brad telah mengasah pedang lain, siap membunuhku,
aku yakin itu.

“Aku ingin bertemu dengannya,” kataku setengah mendesis, “setelah aku membalaskan
kematiannya!”

Aku mencabut rapierku dan mulai menyerangnya.

“Kenapa kau membunuhnya?!” seruku sambil terus menyerang Brad. “Kenapa kau membunuh
Ayah?! Apa untungnya bagimu?! Beri tahu aku, siapa bosmu?! Siapa kaptenmu yang
baru?! Siapa yang memerintahkanmu membunuh Ayah?!”

“Bisakah kau berhenti bicara?”

“Jawab pertanyaanku!!! Kenapa?! Siapa?! Apa alasanmu?! Apa untungnya bagimu?!”

CLANG!!!

“Argh!!!!”

Aku terengah, berdiri berhadapan dengan Brad, melotot marah, tak sanggup melakukan
apapun. Rapierku telah terlontar entah ke mana.

Brad mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Aku tak akan sanggup menghindar. Aku
memejamkan mata rapat-rapat, memasrahkan diri.

Suara pedang membelah udara terdengar, namun mata pedang itu tak pernah menyentuh
leherku. Suara lain yang kudengar adalah suara pedang beradu. Aku membuka mata
sedikit, mengintip dengan takut sekaligus penasaran.

“Jasper!”

“Kenapa diam saja?! Kabur!” seru Jasper.

“Ke mana?”

Jasper menahan serangan Brad lagi, lalu memaki keras. Ia melemparkan pedangnya dan
berbalik, berlari ke arahku, menarik tanganku, menceburkan diri ke air, berenang,
menyeretku ke pulau harta di kejauhan.

Aku megap-megap sejenak, lalu segera mengikuti Jasper, berenang cepat membelah
danau, ke arah pulau. Tapi kawanan binatang liar tak beradab itu mengejar kami.
Mereka menemukan perahu.

“Babi hutan!!!!!!!” maki Jasper marah. Ia menyelam. Dengan setengah terpaksa aku
mengikutinya.

Kami terus berenang, menyelam, memastikan jejak kami tak teraba oleh mereka,
sehingga kami tak memperhatikan jalan kami. Kami hanya berenang secepat yang kami
bisa, berusaha pergi sejauh mungkin dari mantan awak kapal ayahku. Nafas yang kami
tahan mulai terasa tak mampu lagi menyokong kebutuhan kami akan udara, namun kami
tetap menahannya. Berenang sejauh mungkin dari mereka, hanya itu yang ada dalam
kepala kami.

Tapi pada akhirnya aku tetap tak kuat lagi menahan nafasku, begitu pula Jasper.
Kepala kami menembus permukaan air, terengah kehabisan nafas.

“Di mana?” tanyaku terengah. Pasalnya kami sudah berenang sedemikian jauh, dan
sepertinya melewati lorong aneh, sampai-sampai pulau itu sudah tak terlihat lagi.
Aku menoleh ke sana-sini, berusaha mencari petunjuk tentang letak kami sekarang ini.
Tapi tak ada petunjuk sama sekali.

Mendadak terdengan suara dayung membentur permukaan air. Dengan panik aku segera
menahan nafas dan menyelam lagi, tapi sebelum aku sempat melakukannya aku melihat
perahu itu.

Hanya ada satu orang di perahu itu. Aku mengamatinya sejenak dan aku menyadari kalau
itu adalah Phyton.

“Phyton,” bisikku pelan.

“Apa? Siapa?” balas Jasper, juga berbisik.

“Phyton, awak kapal yang menangkapku saat aku jatuh dari tiang layar dulu. Dia – “

“Menunduk! Cepat menyelam!”

Aku menahan nafas dan menyelam lagi. Tapi kemudian aku melihat perahu Phyton
berhenti beberapa meter jauhnya dari tempatku menyelam bersama Jasper, dan aku sudah
bersiap untuk berenang menjauh, tapi kemudian aku melihat Phyton, juga mendengarnya,
memanggilku dan Jasper. Samar, memang, karena kami ada di bawah air, tapi tetap
terdengar.

Aku memutuskan untuk naik ke permukaan. “Phyton?”

“Ame!” kata Phyton tampak lega. “Untunglah. Kukira aku tak akan menemukanmu. Mana
Jasper?”

“Di sini,” kata Jasper yang juga naik ke permukaan. “Maaf, tapi ‘Ame’?”

“Mempersingkat nama,” kata Phyton. “Cepat, naik ke atas perahu. Kurasa ada baiknya
kalian ikut denganku. Kita harus kabur.”

Aku sudah akan naik ke perahunya, tapi Jasper menyetopku. “Whoa, whoa. Tunggu dulu.
Kenapa tepatnya kami harus ikut denganmu? Kenapa kami harus mempercayaimu? Bisa jadi
kau adalah kaki-tangan mereka yang berniat menangkap kami. Beri kami alasan kenapa
kami harus ikut denganmu.”

“Urgh, Jasper!” Phyton tampak kesal sekaligus panik. “Kujelaskan nanti di
perjalanan. Cepatlah! Kita harus cepat pergi! Sekarang juga!”

“Kenapa tepatnya? Beri aku alasan!”

Phyton membuka mulut untuk menjawab, namun mendadak moncong senapan sudah menempel
di pelipisnya.

“Seharusnya kau ikut sebelum ini terjadi,” kata Phyton, setengah menyalahkan,
setengah mengeluh. Kemudian matanya melebar. “Air! Mereka lewat air! Mereka di bawah
kalian! Cepat, berenang pergi!”

Aku menyelam lagi untuk memeriksa keadaan di bawah air, dan menyadari kalau Phyton
benar. Di bawahku kini berenang beberapa awak kapal, semuanya menyeringai dengan
licik. Aku menarik lengan baju Jasper dan berenang pergi secepat aku mampu. Jasper
dengan cepat menyadari keadaan dan juga berenang secepatnya. Sayangnya gerombolan
manusia tanpa otak itu segera mengejar kami. Sial.

Berenang secepat mungkin di tempat seperti danau, dalam kejaran manusia-manusia
bodoh seperti ini mungkin memang sudah cukup buruk, tapi belum seburuk yang kukira.
Beberapa lama setelah kami berhasil berenang kabur, kami menyadari kalau kini kami
berada dalam semacam lorong bawah air.

Kami berenang begitu cepat hingga tak terlalu memperhatikan jalan. Beberapa kami
pundakku menghantam dinding karang, begitu pula Jasper, hingga kami terluka. Tapi
bahkan luka terparah dan tersakitpun terasa masih lebih baik daripada ditangkap
kerumunan barbar ini dan dipanggang di atas kapal hanya untuk tontonan. Oh, ayolah,
itu perumpamaan. Kalaupun mereka tidak langsung menghabisi kami di tempat, mereka
toh pasti akan membuang kami ke pulau terpencil. Marooned. Siapa juga yang mau?

Setelah beberapa saat, para awak kapal yang mengejar kami berhasil mengepung kami.
Tapi kami masih tersu berusaha berenang maju. Mereka yang ada di depan kami terus
terdesak dan terdesak.

Aku bisa melihat ada cahaya di depan sana. Itu jalan keluar! Ke laut lepas! Aku dan
Jasper dengan bersemangat segera mengayunkan tangan dan kaki sekuat tenaga, terus
mendesak para awak kapal di depan kami.

Nyaris mendekati ujung terowongan bawah air…

Dan mendadak, semua awak di depan kami menghilang. Yang tersisa hanyalah awak di
belakang kami.

Aku tertegun. Apa ini?

Aku mencoba mengulurkan tangan ke luar, dan mendapati bahwa ternyata itu adalah
arus. Arus yang begitu kuat, terlalu kuat. Nyaris mustahil bisa keluar dari sana.

Aku terbatuk. Nafasku mulai gawat. Nyaris tak mungkin kembali ke belakang, hanya
akan membuat paru-paruku meledak.
Tapi melewati arus di depanku sama saja bunuh diri. Arusnya terlalu kuat. Lewat situ
hampir bisa dipastikan akan mati dalam hitungan… oh, detik. Kecuali kalau aku
berenang cukup cepat untuk melewatinya.

Baiklah, kuputuskan untuk mempercayai kemampuan tubuhku.

Aku berenang cepat keluar, menerobos arus itu.

*

Jasper

Jantungnya terasa berhenti berdetak. Apa yang dilakukan Amethyst? Apa dia mau bunuh
diri?

Ia tak sempat menahan Ame, maka satu-satunya cara baginya untuk memastikan Amethyst
selamat adalah dengan mengikuti aksi gilanya. Jasper mengejar Amethyst memasuki arus
itu.

*

Kepalaku menembus permukaan air. Aku terbatuk sejenak dan tersenyum penuh kemenangan
sementara nafasku memburu. Aku berhasil melewati arusnya.

Kepala Jasper muncul di sebelahku. Ia menatapku dengan tatap tajam.

“Kau ini gila, ya?!” bentaknya, tampak tak terpengaruh dengan nafasnya yang kacau.
“Kau mau mati?! Melewati arus seperti itu?!”

“Tapi aku selamat,” engahku sambil tersenyum. “Dan kau sendiri mengejarku dan tetap
selamat.”

Jasper menggeleng. “Sudahlah. Di mana kita sekarang?”

“Di dekat pulau. Lihat!” kataku sambil menunjuk pulau tempat harta itu berada.

Jasper berenang ke daratan, aku mengikutinya. Yah, aku toh tak bisa lama-lama
berendam di air laut, kan?

*

“Kita harus kembali ke ruang harta itu.”

Jasper menatapku heran. “Kukira kau sudah lupa sama sekali tentang harta itu.”

Aku menggeleng. “Tarikan harta itu masih terasa. Dan makin lama makin kuat. Kalau
aku tidak ke sana bisa-bisa aku malah pingsan karena tak kuat menahan tarikannya.”

Jasper mengangkat bahu. “Aneh. Padahal aku sendiri tak merasakannya lagi.”

“Mungkin kau hanya merasakannya saat kau jauh dari harta itu. Kau penunjuk jalan
jarak jauhnya, aku penunjuk jalan jarak dekatnya.”

“Masuk akal. Ayo.”

Kami segera melangkah, melupakan kelelahan kami, ke arah dalam pulau. Cuaca panas
hutan di pulau itu membakar kulit kami, mengeringkan baju kami dengan cepat,
meninggalkan lapisan garam di pakaianku. Suara kicau burung terasa mendominasi
udara, tapi aku sama sekali tidak mempedulikan suara itu. Sekarang, yang penting
bagiku hanyalah satu. Pergi ke tempat harta itu. Aku tidak berharap bisa mendapatkan
harta titu tapi setidaknya aku ingin bisa menyentuhnya suoaya tarikan menyebalkan
ini hilang.

“Lewat sini,” kataku, memimpin jalan. Aku membawa Jasper menuju sebuah gua. Gua
bercabang-cabang, tapi aku tahu pasti mana jalannya.

“Uhm…” Jasper terlihat sedikit ragu. “Kau yakin ini jalannya?”

“Sangat yakin,” jawabku datar. “Sekarang, kau mau ikut denganku atau tidak?”

*

Pertama-tama jalannya menurun. Lalu datar. Kemudian mendaki. Lama-lama menjadi
vertikal. Aku dan Jasper naik ke atas dengan tangga besi yang tertancap. Harus
sangat berhati-hati. Kenapa? Karena besi-besi pijakannya sudah rapuh. Bisa
kaubayangkan itu? Jatuh, tewas. Hebat.

Akhirnya aku sampai di atas. Jalan buntu? Bukan. Pintu tingkap, dan coba tebak… oh,
wow. Engselnya sudah berkarat! Hebat sekali. Bagaimana aku bisa mendorong pintu ini
terbuka? Susah!

Aku berusaha mendorong pintu itu. Tak berhasil. Aku mencoba mendorongnya dengan
punggungku. Berderak sedikit. Aku terus mencoba, dan akhirnya… terbuka.

Aku memanjat naik dan berbaring di lantai yang dipenuhi koin.

Tunggu. Koin?

Aku berdiri kembali, lalu tersenyum lebar. “Jasper! Jasper! Kita berhasil!”

Jasper memanjat naik mengikutiku, lalu tertawa puas. “Ini hebat.”

Aku tertawa bersama Jasper, merasa puas akan diri kami sendiri. Kami berhasil
mencapai harta itu! Akhirnya.

“Kalian sudah selesai tertawa?”

Tawa kami menghilang. Dengan waswas kami menoleh dan mendapati bahwa John si koki
kapal sudah berdiri di depan kami dengan sikap puas, tangannya terlipat di depan
dada. Di belakangnya Brad berdiri, Phyton ada di pundaknya, terikat kuat sampai tak
bisa bergerak. Atau lebih tepatnya mungkin dia memang tak bergerak. Dia pingsan.

“Apa mau kalian?” tanya Jasper dingin. Sifat buruknya yang lama kembali mengambil
alih.

“Jasper, anakku,” kata John dengan sikap menyebalkan. “Tak kusangka kau
mengkhianatiku.”

“Ada satu hal yang perlu kauketahui,” kata Jasper. “Tidak, mungkin dua. Pertama, aku
bukan anakmu. Kedua, dari awal aku memang sudah tak berniat membantumu. Aku memang
tidak mengkhianatimu. Karena dari awal aku memang terus membantu Amethyst.”

“Ck,ck,ck,” decak John. “Bukan jawaban yang menyenangkan.”

“Memangnya jawaban apa yang kauharapkan?” balas Jasper datar.

John tertawa. “Aku hanya ingin kau membantuku untuk sekarang. Bantu aku untuk
membuat harta ini menjadi milikku.”

Aku mengernyitkan dahi. “Caranya?”

John melotot padaku dengan galak. “Diam, perempuan! Selama ini kau mendapat
perlakuan yang terlalu baik dari semua anggota kru kapal. Pembawa sial bagi kapal
sepertimu sepantasnya dibuang ke pulau terpencil. Tapi karena wajhmu itu aku tak
bisa begitu saja membuangmu. Mulai sekarang kau adalah pelayan dan tukang bersih-
bersih. Dan mungkin seorang penghibur.”

John tertawa terbahak-bahak bersama para kru kapal, sementara wajahku memucat.
Apapun yang dikatakannya padaku, pasti intinya hanya satu bagiku, yaitu bencana.

“Tapi memang benar pertanyaanmu,” kata John lagi. “Hanya ada satu hal yang perlu
kalian lakukan, karena kalianlah yang sudah menyentuh bola berukir itu pertama kali.
Teteskan darah kalia di batu yang ada di tengah pulau itu,” kata John sambil
menunjuk batu yang dimaksud.

Tanpa punya pilihan kami berjalan ke sana. Tapi di situ samar-samar aku mndengar
suara gemericik air membentur air, seperti suara pada air terjun. Aku melupakan batu
itu dan berjalan ke arah suara. John membentakku, tapi aku tak peduli. Rasa
penasaranku terlalu besar.

Di sana, di balik kegelapan, ada air terjun. Di balik pulau ini, tepat di
belakangnya, ada air terjun. Yang kulihat bukanlah ujung bawahnya yang tersambung
pada danau, tapi ujung atasnya yang merupakan jalan buntu. Kalau jatuh, kemungkinan
mati besar sekali.

“Ame!”

Aku menoleh. Hanya ada satu orang yang terbiasa memanggilku seperti itu. Phyton. Apa
dia sudah sadar?

Sudah. Dia tampak panik. Ia berteriak-teriak padaku seperti orang gila.

“Ame! Lari! Kabur dari barbar ini! Cepat, selagi kau masih punya kesempatan!”

“Diam!” seru Brad sambil memukul kepala Phyton. Phyton berteriak kesakitan dan tak
bersuara lagi. Bukan karena hilang kesadaran lagi, tapi karena mati-matian menahan
sakit.

“Aku tak akan kabur, Phyton,” kataku. “Karena aku punya rencana.”

“Rencana…?” tanya Jasper tak paham.

Tepat seperti yang kuharapkan, John tampak gelisah mendengar apa yang kukatakan.
Tanpa pikir panjang ia segera memerintahkan semua kru kapal untuk menangkapku.

Aku hanya tersenyum.

Awak kapal terdepan nyaris menangkapku. Tapi dengan cepat aku menunduk dan berbalik,
menceburkan diri ke air dan berpegangan pada batu besar di depat pulau sementara
semua awak kapal yang tak menyangka kalau ada air terjun di bawah segera terhanyut
dan berteriak ketakutan, dan akhirnya hilang dari pandangan.

Aku memanjat batu itu dan menatap John. “Well, hadapi saja, John. Semua awak kapalmu
sudah tiada. Apa yang mau kaulakukan? Hanya tinggal kau, aku, Jasper dan Phyton.”

John menyadari kalau posisinya amat terdesak. Ia menyumpah.

“Oh, tolong tak ada kata-kata kasar, John,” kataku. “Kau ingin pertarungan?”

John tak mengatakan apapun. Tapi ia segera mengambil pedang dan meleparkannya ke
kepalaku. Dengan kaget aku segera menghindar, berjongkok.

“Whoa,” kataku kaget. “Santai saja, teman. Aku tak buru-buru, kok.”

“Amat santai, malah,” kata Jasper tenang.

“Ya, amat santai,” kata Phyton setuju. “Dan, oh, Jasper, bisa kaulepaskan tali ini?”

“Dengan senang hati,” jawab Jasper dan segera melepaskan ikatan Phyton.

Tepat saat pandangan Jasper padaku teralih, John menubruk dan mengangkat tubuhku di
bahunya sementara aku menjerit kaget.

“Sepertinya aku memang tak akan mendapat harta itu,” kata John. “Tapi bukan berarti
aku tak berdaya,”

Dan, diiringi jeritanku, teriak panik Jasper, dan entakan nafas Phyton, John
melemparkanku ke arah air terjun itu.

*

“AMETHYST!!!”

John hanya tertawa. “Satu gangguan menghilang.”

Jasper merasa amat marah. Dikuasai emosi, ia menyambar sebilah pedang dari tumpukan
senjata di situ dan segera menusukkannya pada perut John. Mata John melebar tak
percaya, lalu meredup, dan tubuhnya terjatuh ke belakang, ke arah air terjun.
Akhirnya, hilang di telan kegelapan.

“Ame!” seru Phyton. “Ame!”

“T-t-t-tolong!”

Jasper mengerjap. Apa dia berhalusinasi, atau dia memang mendengar suara Amethyst?

“Tolong aku! Hei!”

Ia tidak berhalusinasi, itu memang suara Amethyst. Ia segera menjenguk ke ara air
terjun dan tersenyum senang dan lega. “Amethyst!”

Amethyst bergantung pada sebongkah batu besar. Ia selamat, walau pucat luar biasa.
Namun memang pegangannya sudah mulai goyah. Dengan segera Jasper dan Phyton
menariknya.

“Terima kasih,” kata Amehtyst lemas.

*

Aku telah merasa lebih tenang. Kini aku hendak meneteskan darah di batu itu bersama
Jasper.

“Jadi, semua harta ini milik kita?” tanyaku.

“Milik kita bersama,” kata Jasper setuju.

“Termasuk aku?” tanya Phyton memastikan, tampak agak cemas.

Aku dan Jasper tertawa. “Ya, termasuk kamu, Phyton.”

Darah menetes dan cahaya menguar. Kini harta ini milik kami.

“Nah, sekarang aku punya satu pertanyaan,” kataku.

“Apa itu?”

“Bagaimana caranya kita membawa semua ini ke kapal?” tanyaku sambil tersenyum kecil.


End
4.11.10
Eve

3 komentar:

  1. “Bagaimana caranya kita membawa semua ini ke kapal?”

    GAMPANG! Diciduk aja pake sekop..
    Atau dimasukin ke mulut
    Atau di bawa satu-satu, terus bolak-balik 1000x

    Gampang kan???

    Pertanyaan aneh!

    BalasHapus
  2. btw, aku dah nambahin fear imp lhooo...
    Sama masukin earth mirror

    HEHEHEHE

    BalasHapus
  3. kalo fear imp ama earth mirror dah tau... dah baca barang dri kmaren.
    ogah kali bolak balik gitu... ciduk pake sekop juga kan pasti lama. orang kapalnya aja nun jauh di pulau seberang...

    BalasHapus