Selasa, 03 Agustus 2010

Moonlight Thief chpt. 1

Selene The Thief

Pasar itu ramai. Yah, sejak kapan pasar tidak ramai? Yang jelas, lebih ramai dari
biasanya. Ini hari baik buat para pedagang untuk meraup keuntungan.

Juga hari baik buat para pencopet kelaparan, para maling yang haus harta.

Keramaian pasar itu mendadak berubah menjadi keheningan sesaat saat suara jeritan
wanita yang melengking tinggi membelah udara.

“DOMPETKUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Wanita itu berteriak dan melonjak-lonjak seperti kesetanan, mencari dompetnya dengan
beringas. Sementara itu, di gang kecil sempit yang kotor, berlendir dan bau, seorang
anak nyengir lebar: aku.

Hahaha, aku berhasil mendapatkan tangkapan besar hari ini! Dompet wanita itu tebal
sekali. Dia mangsa yang amat mudah. Aku membuka dompetnya dan bersiul pelan. Wuah,
banyak sekali uangnya! Wanita itu jelas berasal dari keluarga berada…

Aku menjarah semua lembar uang kertas di dalam dompet itu, dan membiarkan kartu
kreditnya begitu saja. Aku ogah berhadapan dengan teknologi. Aku memberikan dompet
yang kini menjadi tipis itu pada temanku yang sudah menunggu. Ia melangkah dan
diam-diam memasukkan kembali dompet itu ke tas wanita itu.

Maling dan copet lain akan mengatakan itu tindakan bodoh, tapi aku tak peduli. Itu
memberiku sedikit rasa bebas dari perasaan bersalah dari tindak kriminalku.

Temanku itu memberiku tanda-tanda, bahasa isyarat kami, yang artinya ‘ke tempat
biasa?’

Aku menggeleng. Dalam bahasa isyarat kami, gelengan berarti ‘ya’ dan anggukan
berarti ‘tidak’.

Kami segera pergi ke tempat yang kami sebut sebagai tempat biasa itu. Setelah
berkumpul di sana, gubuk kecil nyaris ambruk yang tak terpakai lagi, kami masuk ke
sana dan tertawa.

“Tangkapan bagus, Sally!”

“Dan kau, kerja bagus, Endymion!”

“Sally, sudah kubilang panggil aku Andy.”

“Jangan panggil aku Sally, kau tahu aku lebih suka dipanggil Selene. Itu nama yang
bagus…”

“Kau sendiri tahu aku tak suka dipanggil Endymion, tapi lebih suka dipanggil Andy.”

“Lho, aku kan hanya membalasmu!”

Aku berpandangan dengan Andy, lalu terbahak lagi.

“Setidaknya kita punya simpanan untuk sekitar…” aku menghitung uang sebentar. “Kalau
kita berhemat, uang ini bisa kita pakai sampai dua minggu, sudah termasuk kalau kita
membayar uang sekolah!”

“Bagus!” seru Andy girang.

“Kita pulang sekarang?”

“Ya. tapi bagaimana kalau kita membeli makanan dulu?”

“Oke. Aku tak mau mencuri lagi. Terus terang saja, aku benci jadi kriminal.”

“Memangnya aku suka. Ini demi sekolah kita…”

Kami keluar dari gubuk itu dan berjalan menyusuri gang sempit.

“Kau tahu, rambutmu itu sebetulnya bagus sekali,” puji Andy saat ia menatap rambutku.

Aku terbahak. “Sangat menguntungkan untuk usaha pencurian di tengah malam, bukan?
Tapi memang sebaiknya usaha pencurian saat bulan purnama…”

Ya, benar, rambutku yang berwarna keperakan seperti cahaya bulan memang sangat
membantu untuk usaha pencurian di tengah malam. Kalau di siang hari, rambutku
terlihat kelabu seperti uban, tapi di malam hari ia memantulkan sinar bulan dengan
baik sehingga orang akan mengira rambutku tak ada. Selain itu aku cukup mengenakan
pakaian hitam-hitam dan, selesai! Aku berubah menjadi gadis bayangan berambut sinar
bulan.

“Tapi di siang hari yang gelap sangat merepotkan,” sungutku sambil menendang kerikil.

“Ya, rambutmu memang jadi tampak keperakan sedikit kalau siang-siang mendung atau
hujan… karena itu kau selalu siap topi, bukan?” tanya Andy tenang.

“Yap,” jawabku mantap. “Sangat berguna.”

“Untuk menyembunyikan rambutmu? Hahaha, sayang sekali rambutmu seperti itu.”

“Tapi ini sangat membantu, tahu.”

“Memang.”

*

Siang itu sekolah masih ramai karena baru pulang sekolah. Aku dan Andy berjalan di
koridor, membawa setumpuk kertas fotokopian yang diperuntukkan bagi anak-anak manja
di kelas kami yang amat malas mencatat pelajaran. Mereka bahkan rela menunggu
sedikit lebih lama hanya untuk menunggu kami membawakan kertas-kertas ini! Hebat
sekali.

“Kerja bagus, ketua kelas!” seru Ditta saat aku dan Andy muncul membawa tumpukan
kertas fotokopian itu. Dengan cepat ia merebut semuanya dan membagikannya pada semua
teman di kelas.

“Kau sih enak saja bilang begitu, aku capek jalan jauh-jauh cuma buat itu,” kataku
sambil mengusap tengkuk.

Ditta tertawa. “Maaf ya bu ketua kelas, bukannya memang sudah utgasmu untuk menjadi
lelah?”

“Maaf ya bu sekretaris, bukannya masalah fotokopi dan catat-mencatat kelas adalah tugas seorang sekretaris?” balasku dingin.

“Sakit! Selene, itu memang sudah tugasmu!”

“Kalau semua tugas dioperkan pada ketua kelas, buat apa ada sekretaris dan
bendahara?” gumamku tenang.

Betapa dunia begitu sempit, betapa dunia begitu ajaib. Sungguh ironis. Aku dikenal
sebagai anak berprestasi, ketua kelas yang rajin, sangat disiplin di sekolah, tapi
di luar? Pencuri, pencopet, maling, rampok, sebut semuanya. Hebat sekali, bukan?

Semua anak kini telah meninggalkan kelas, kecuali aku dan Andy. Kelas yang kini
tampak lengang itu telah menjadi saksi bisu banyak tangisan keputusasaanku saat
sesekali aku terpaksa menunggak uang sekolah.

“Hari ini selesai,” kataku pelan.

“Ya, untunglah,” kata Andy, menghela nafas dengan lega.

“Kita pulang sekarang?”

“Oke.”

Aku melangkah keluar dengan rasa kesal. Lagi-lagi aku harus menjadi seorang kriminal.

*

Siang itu sekolah lengang. Sudah satu jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi.
Tapi aku dan Andy tetap bertahan di sekolah. Semua anak mengikuti ekstrakulikuler
sekarang, kami tak takut berkeliaran.

“Aku ingin ke perpustakaan,” kataku sambil menatap pintu perpustakaan yang menjulang
tinggi di depanku.

“Oke, ayo masuk,” ajak Andy sambil dengan santai melangkah masuk ke perpustakaan.

Dengan santai tapi luwes, aku dan Andy meluncur ke bagian buku fiksi.

Black Cat ada di rak buku. Sudah lama aku ingin membaca buku itu. Tapi aku juga
ingin membaca buku The Time Machine. Magical Adventures juga tampak menggiurkan.
Platform 13 juga sepertinya menarik.The Murderer juga tampak menggoda. Begitu pula
War of the Magic Creatures, The Greek Princess, Roman Prince’s Blood, The Will of
the Empress, The Emperor’s Hand, Mariel of Redwall, dan Sunshine and Moonlight.

Dengan santai Andy meraih buku War of the Pyramid dari rak, lalu bertanya, “Ayo, kau
mau pinjam buku apa?”

Aku kembali menoleh ke rak buku. Ada satu lagi buku yang menarik perhatianku…
judulnya Guide For The Ones Who Lost in Moonlight Country.

Aku menarik buku itu dari rak. Saat itu terdengar suara teriakan dari sudut terjauh
ruangan: “Moonlight Selene!” yang menggema di ruangan.

“Kaudengar suara itu?” tanyaku pada Andy.

“Ya, jelas sekali,” jawab Andy, kepalanya berputar mencari sumber suara.

“Kurasa suara itu berasal dari sini,” kataku saat teriakan yang sama terdengar lagi.
Aku dan Andy berjalan ke sudut perpustakaan yang baru kali ini kudatangi. Aku bahkan
tak sadar kalau ada sudut ini di sini! Tersembunyi di balik deretan rak buku dan
lemari, ia amat berdebu. Di situ aku menemukan ada pintu kayu besar berwarna kusam
yang tampak amat tua. Aku memeluk bukuku dan melangkah makin dekat dengan pintu itu.

Teriakan itu terdengar lagi, makin keras. Aku yakin teriakan itu berasal dari pintu
ini.

Andy meletakkan bukunya di rak terdekat, lalu mendekatiku.

“Kita buka pintu ini?”

“Kurasa sebaiknya ya. Aku penasaran apa yang ada di balik pintu ini.”

“Kita buka sekarang, kalau begitu.”

Masih memeluk bukuku, aku membuka pintu itu perlahan.

Kegelapan pekat ada di balik pintu itu.

Mendekap erat buku itu, aku memasuki kegelapam itu diikuti Andy. Begitu kami masuk
ke dalamnya, mendadak pintu itu tertutup dengan bunyi debam keras. Aku dan Andy
berusaha membuka pintu itu, tapi percuma.

“Terkunci!” seru Andy dengan nada sengsara. Dia benci kegelapan.

“Benar-benar terkunci?!” seruku tak percaya. Aku berusaha membuka pintu itu. Andy
benar. Pintu itu tak bisa dibuka.

Andy mulai gemetaran. Dia trauma pada kegelapan. Aku tak tahu mengapa, tapi
sepertinya karena dia pernah dikurung di gudang gelap seharian oleh ibu tirinya dulu.

Aku, sebaliknya, menyukai kegelapan. Bintang hanya bisa terlihat saat gelap, bukan?
Selain itu aku tak punya masalah penglihatan karena mataku seperti mata kucing.
Mataku yang berwarna perak-kelabu memang memiliki tingkat ketajaman di atas
rata-rata, dan aku bisa melihat dalam kegelapan, walau tak sejelas waktu siang. Tapi
saat inipun tampak tak terlalu jelas karena memang tempat ini gelap sekali.

“Tenang, Andy,” aku berusaha menenangkan Andy. “Kita pasti akan bisa keluar dari
sini. Bukan lewat perpustakaan karena tak ada orang di sana. Tempat ini berbentuk
lorong, kurasa kita bisa keluar dari sisi sebelah sana. Tutup matamu, biarkan aku
memimpinmu.”

Andy menurut. Aku menggandeng tangannya dan mulai berjalan menyusuri lorong gelap
ini, bersama Andy. Bisa kurasakan tangannya bergetar dan dingin. Aku mengenggamnya
erat.

Setelah sekian lama kami menyusuri lorong ini, aku mulai merasakan tempat ini makin
terang. Dan entah bagaimana aku bisa merasakan pasir di bawah kakiku. Sesekali aku
tersandung kerikil, dan saat melihat ke atas ada banyak stalaktit di sana. Juga, di
bawah, di bagian pinggir lorong, ada beberapa deret stalakmit. Aku merasa heran. Ini
lorong atau gua?

Saat tempat itu sudah cukup terang bagi Andy, aku menyuruhnya membuka matanya. Dan,
reaksi Andy adalah,

“Ini di mana? Gua?”

Aku menggeleng. “Tak tahu. Aku hanya menyusuri lorong itu dan entah bagaimana kita
bisa mencapai tempat ini.”

Andy mengangkat bahu. “Tak ada cara lain untuk mengetahuinya selain melanjutkan
perjalanan, kan? Ayo.”

Kami berdua kembali menyusuri lorong itu. Akhirnya mulut gua itu terlihat. Dengan
gembira kami berlari kecil ke sana.

Begitu sampai di luar, kami kembali dihantui keheranan.

“Ini bukan di sekolah,” kata Andy heran.

“Juga bukan belakang sekolah,” tambahku bingung. Aku jelas tahu itu karena kadang
aku memanjat pagar belakang sekolah saat datang terlambat. Anak baik dilarang meniru.

“Lalu di mana?”

“Tak jelas.”

“Tunggu dulu. Itu tak penting. Sekarang, kenapa kita berpakaian seperti ini?”

Aku menunduk dan memperhatikan pakaianku. Seragam sekolahku lenyap, digantikan
pakaian longgar khas Inggris jaman dulu, yang setelah kuperhatikan rasanya
mirip-mirip baju Peter Pan.

“Apaan nih?!” teriakku kaget.

Dan… kenapa rasanya aku melihat ada kilauan dari rambutku? Aku memerhatikannya
dengan heran. Astaga. Rambutku tidak seperti biasanya. Bahkan di siang hari yang
cerah begini rambutku tetap kemilau keperakan.

“Topi!” desisku saat kekagetanku teratasi. Sialnya, topiku menghilang. Tak ada di
manapun.

“Kenapa di siang begini rambutku tetap seperti ini…?”

“Entahlah. Ini aneh. Sepertinya ini bukan dunia kita.”

“Dan… Andy, kau tak sadar?”

“Apa?”

“Rambutmu. Warna rambutmu memang sewarna matahari. Tapi tak berkilau. Dan sekarang
rambutmu juga berkilau!”

“Heh?” Andy mencabut sehelai rambutnya dan mengamatinya seakan dia tak pernah punya
rambut sebelumnya.

“Kenapa bisa begini?!” serunya tak percaya.

“Aku tak punya teori untuk itu, maaf, tapi yang jelas kita harus mencari tahu di
mana ini dan bagaimana caranya untuk kembali ke tempat kita sendiri.”

Kata-kata itu baru saja terlontar dari mulutku saat tiba-tiba tangan Andy mencekal
bahuku keras. Aku melihat ke arah matanya menatap dan menegang. Ada seorang
laki-laki di sana, memandangi kami ternganga.

“Siapa kalian?” tanya laki-laki itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar