Lune menatap kotak kecil di tangannya. Ia membuka kotak itu dan menatapnya lekat. 
Perlahan muncul dua boneka kecil, laki-laki dan perempuan. Keduanya tampak 
mengenakan pakaian untuk pesta dansa pada jaman abad ketujuh belas di Inggris, dan 
mereka sedang berdansa. Terdengar alunan lagu, lembut dan manis. Lune 
mendengarkannya baik-baik dan dengan segera menikmati lagu berirama waltz itu.
Dengan segera ia teringat cerita ibunya saat ia masih kecil. Suara ibunya segera 
terngiang di telinganya. Ia segera menenggelamkan diri dalam cerita itu.
Segala detil dari cerita itu kini bermunculan di kepalanya. Ia tersenyum saat 
mengingatnya.
Saat itu ia masih kecil, manja, selalu menempel pada ibunya. Ia teringat sore hari 
saat ibunya pertama kali menceritakan cerita itu padanya.
“Mama!” panggil Lune sambil berlari ke pelukan ibunya.
“Oh, Lune, bulan kecil Mama,” kata ibunya dalam desahan sayang. “Ada apa? seharusnya 
kau belajar saat ini.”
“Aku bosan, Mama. Aku ingin Mama menceritakan sesuatu padaku,” rengek Lune kecil.
Ibunya tersenyum. “Baiklah,” katanya, lalu menggandeng Lune kecil ke kamarnya. Di 
sana ia memangku Lune kecil dan mengambil sebuah kotak musik kecil, kotak yang 
dibawa Lune yang sekarang sambil mengenang masa kecilnya, dan membukanya.
Lune kecil melihat kedua boneka yang berputar dan berdansa diiringi lagu itu dengan 
takjub.
“Mama, lihat!” katanya. “Putri dan pangeran!”
Ibunya tersenyum padanya. “Benar, Lune. Kau tahu ada cerita menarik di balik tarian 
mereka ini?”
Lune kecil menatap ibunya. “Apakah cerita itu, Mama?”
Ibunya tersenyum dan mulai bercerita.
“Dahulu kala, di sebuah kerajaan besar yang makmur, hiduplah seorang putri yang 
cantik dan manis,” ibunya memulai.
“Siapakah nama putri itu, Mama?” tanya Lune kecil.
“Putri itu bernama Luna,” jawab ibunya. “Tetapi walaupun Luna memiliki rumah yang 
besar dan mewah, ia tidak merasa bahagia. Ia merasa kesepian. Tak ada laki-laki yang 
mau menikahinya karena ayahnya, sang raja, takut kalau ada orang yang akan membawa 
putrinya itu keluar dari istananya. Maka sang raja merahasiakan keberadaan Luna dari 
semua orang.
“Luna tumbuh menjadi putri yang cantik dan manis dalam kesendiriannya. Ia selalu 
menurut pada orangtuanya. Ia tak pernah pergi selangkahpun dari kastil tempatnya 
tinggal. Ia hanya tahu dunia di luar kastil dari cerita para pelayan dan prajurit. 
Ia tak mengerti apapun tentang dunia luar.”
“Menyedihkan,” komentar Lune kecil.
“Ya, memang menyedihkan,” tanggap ibunya. “Bahkan Luna sendiri juga merasa sedih. 
Karena itu ia lalu memutuskan untuk pergi. Ia kabur dari istananya.”
“Benarkah?” tanya Lune kecil kaget.
“Iya,” jawab ibunya. “Ia keluar dari istana tanpa ada yang mengerti. Dengan segera 
ia mencapai hutan, ia kelelahan. Di sana ia bertemu dengan seorang pemuda.”
“Siapa namanya?” tanya Lune kecil.
“Sola!” jawab ibuya sambil tertawa kecil.
“Sola?” tanya Lune kecil heran.
“Benar, Sola,” kata ibunya lagi. “Kemudian keduanya saling bercerita kenapa mereka 
ada di dunia luar. Luna memutuskan untuk keluar dari istananya karena ia ingin 
mencari kebahagiannya sendiri. Sedangkan Sola, yang juga putra bangsawan, memutuskan 
untuk pergi dari rumahnya karena ingin mencari cinta. Ia tak ingin dijodohkan.”
“Dijodohkan?” tanya Lune kecil lagi.
“Benar,” kata ibunya. “Pada jaman dulu, perjodohan itu biasa. Nah, karena mereka 
berdua sama-sama pergi dari rumah mereka, maka mereka memutuskan untuk pergi mencari 
apa yang mereka cari bersama-sama. Mereka tahu, untuk itu mereka harus mencari Dewi 
Kebahagiaan. Karena itulah mereka terus bergerak ke gunung di Utara, karena mereka 
tahu gunung itu adalah tempat tinggal Sang Dewi. Perjalanan mereka berat dan 
melelahkan, tapi mereka tetap bertahan karena mereka yakin Sang Dewi akan membantu 
mereka.
“Selama perjalanan, mereka saling bahu-membahu dan menjadi teman seperjalanan yang 
amat baik. Beberapa lama mereka berjalan, akhirnya mereka sampai di gunung tempat 
Sang Dewi tinggal. Mereka menanyakan pada Sang Dewi bagaimana solusi dari semua 
permasalahan mereka. Sang Dewi tidak mengatakan apapun dan malah tertawa. Luna dan 
Sola yang kebingungan menanyakan pada Sang Dewi, kenapa ia tertawa. Sang Dewi 
menjelaskan, solusi dari permasalahan mereka sebetulnya amat mudah. Sola harus 
membahagiakan Luna dan Luna harus mencintai Sola. Semudah itu, sebab mereka sudah 
ditakdirkan untuk bersama, namun tidak menyadari hal tersebut.
“Maka mereka pulang dan menyatakan kalau mereka bertunangan. Keluarga mereka 
menyetujui keputusan itu, dan mereka hidup dengan bahagia.
“Lalu suatu malam, Sang Dewi datang pada mereka dan memberi mereka sebuah kotak yang 
kalau dibuka ternyata berisi sepasang boneka yang bisa menari berputar-putar.”
“Kotak ini!” seru Lune kecil bersemangat.
“Ya,” ibunya setuju. “Sang Dewi berkata, putri itu adalah Luna dan pangerannya 
adalah Sola. Mereka harus mengisi kotak itu dengan sebanyak mungkin rasa cinta 
mereka satu sama lain agar hubungan mereka bisa lancar. Karena itulah kotak itu 
menjadi kotak mereka yang paling berharga.”
Ibu Lune tersenyum lebar pada Lune kecil. “Sama seperti aku dan Ayah.”
Lune tersadar dari lamunannya saat gerakan kedua boneka itu terhenti.
“Eh? Kenapa? Rusak, ya?” kata Lune dengan sedikit panik.
“Apa sih…”
Lune berhenti bergerak. Tangan seorang pemuda menjulur dan mengambil kotak itu 
darinya, lalu memperbaiki kotak itu sehingga kedua bonekanya kembali berputar.
“Tuh, sudah baik lagi.”
Lune tersenyum. “Terima kasih, Sola.”
Sola tersenyum balik. “Sama-sama.”
Kini, sama seperti Luna dalam cerita ibunya, Lune telah menemukan kotak barang-
barang dan perasaannya yang paling berharga.
Navette d'étoffes précieuses – kotak barang-barang berharga.
end
1.1.2011
